Produksi Serasah dan Laju Dekomposisi Be

1

ANALISIS PRODUKSI SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI
BERBAGAI JENIS LAMUN DI PERAIRAN PULAU BARRANG LOMPO

SKRIPSI

Oleh :
KRISYE
L11107057

JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012

2

ANALISIS PRODUKSI SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI
BERBAGAI JENIS LAMUN DI PERAIRAN PULAU BARRANG LOMPO


Oleh :
KRISYE
L11107057
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin

JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012

3

ABSTRAK
KRISYE, L111 07 057. “Analisis Produksi Serasah dan Laju Dekomposisi
Berbagai Jenis Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo” di bawah

bimbingan Ibu Andi Niartiningsih sebagai Pembimbing Utama dan Bapak
Supriadi sebagai Pembimbing Anggota.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai bulan
September 2011 di perairan Pulau Barrang Lompo dengan tujuan untuk
mengetahui produksi serasah dan laju dekomposisi berbagai jenis lamun di
perairan Pulau Barrang Lompo.
Sampel pengamatan untuk produksi serasah yaitu lamun jenis Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis,
Syringodium isoetifolium dan Halophila ovalis sedangkan sampel pengamatan
untuk laju dekomposisi tidak menggunakan lamun E. acoroides dan T.
hemprichii. Stasiun pengamatan yaitu berada di sebelah Barat dan Selatan P.
Barrang Lompo. Metode yang digunakan untuk produksi serasah yaitu metode
kurungan dimana kurungannya terbuat dari waring dengan mesh size 3 mm dan
tinggi 1 – 2 m dan masing-masing sisinya berukuran 50 cm x 50 cm. Setiap 24
jam serasah yang terapung maupun yang tenggelam dikumpulkan dan
dipisahkan menurut jenis lamunnya. Untuk laju dekomposisi, metode yang
digunakan yaitu memasukkan daun lamun dengan berat masing-masing lamun 5
g kecuali untuk H. ovalis 1 g, ke dalam 18 kantong untuk tiap jenis dimana
kantong terbuat dari waring berukuran 5 cm x 10 cm dengan mesh size 1 mm
dan kemudian diinkubasi di dasar perairan. Selain itu dibuat sampel standar

dimana hasil akhir berat kering dari sampel standar akan digunakan sebagai
rasio pengali untuk mencari berat kering awal sampel. Pengambilan sampel
dilakukan setiap 10 hari kecuali untuk H. ovalis 7 hari.
Hasil penelitian produksi serasah di stasiun Barat, produksi serasah
tertinggi pada jenis T. hemprichii baik yang terapung maupun tenggelam (0.0031
gbk/tegakan dan 0.0068 gbk/tegakan) sedangkan produksi serasah terendah
pada jenis H. ovalis baik yang terapung maupun tenggelam (2.222 x 10-5
gbk/tegakan dan 0 gbk/ tegakan). Di stasiun Selatan, produksi serasah tertinggi
pada jenis T. hemprichii baik yang terapung maupun yang tenggelam (0.0005
gbk/tegakan dan 0.0024 gbk/tegakan) sedangkan produksi serasah terendah
pada jenis H. ovalis baik yang terapung maupun yang tenggelam dengan nilai
yang sama sebanyak 1.754 x 10-5 grbk/tegakan. Hasil penelitian di stasiun Barat
dan Selatan, laju dekomposisi tertinggi untuk C. rotundata (4.47% dan 4.94%),
H. uninervis (4.26% dan 4.14%), S. isoetifolium (6.33% dan 7.83%) dan H. ovalis
(3.33% dan 3.13%).

Kata Kunci : Produksi Serasah, Laju Dekomposisi, Lamun, Pulau Barrang
Lompo

4


HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi
Nama Mahasiswa
No. Pokok
Jurusan

: Analisis Produksi Serasah dan Laju Dekomposisi
Berbagai Jenis Lamun di Perairan Pulau Barrang
Lompo
: Krisye
: L 111 07 057
: Ilmu Kelautan
Skripsi telah diperiksa
dan disetujui oleh :

Pembimbing Utama,

Prof. Dr. Ir. Andi Niartiningsih, MP

NIP. 196112011987032002

Pembimbing Anggota,

Supriadi, ST, M.Si
NIP. 196912011995031002

Mengetahui :
Dekan
Ketua Program Studi
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Ilmu Kelautan,

Prof. Dr. Ir. Andi Niartiningsih, MP
NIP. 196112011987032002

Tanggal Lulus : 3 Januari 2012

Dr.Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si
NIP. 196311201993031002


5

RIWAYAT HIDUP
Krisye dilahirkan pada tanggal 27 Juli 1989 di
Ambon, Maluku. Anak pertama dari dua orang bersaudara
dari Ayahanda Albertus David Pasanea dan Ibunda Yola
Sahalessy.
Penulis memulai pendidikannya pada tahun 19941995 di Taman Kanak Kanak Elim, Makassar. Pada tahun
1995-2001 di Sekolah Dasar Inpres Batua I, Makassar. Pada
tahun 2001-2004 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Negeri 8 Makassar dan pada tahun 2004-2007 Sekolah Menengah Atas Negeri 8
Makassar. Di tahun ajaran 2007/2008 penulis diterima sebagai Mahasiswa di
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas
Hasanuddin Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiwa Baru (SPMB).
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten pada
beberapa mata kuliah diantaranya Dasar-Dasar Komputasi, Fishiologi Hewan Air,
Vertebrata Laut, Biologi Laut dan Koralogi. Selain menjadi asisten Penulis juga
diangkat menjadi operator di Laboratorium Komputer Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Di bidang keorganisasian penulis pernah menjabat sebagai Ketua
Panitia Natal PERMAKRIS Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin tahun 2009.

Penulis juga pernah ditugaskan menjadi Liasion Officer (LO) Pekan Ilmiah
Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXIV Universitas Hasannudin Tahun 2011.
Penulis menyelesaikan rangkaian tugas akhir yaitu Kuliah Kerja Nyata di
Kelurahan Leang-Leang Kec. Bantimurung Kab. Maros pada tahun 2010, Praktik
Kerja Lapang di Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pangkajene dan Kepulauan
pada tahun 2010. Melakukan penelitian dengan judul “Analisis Produksi Serasah
dan Laju Dekomposisi Berbagai Jenis Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo”
pada tahun 2011.

6

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan kasih sayang-Nya penulis mampu
menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Produksi Serasah dan Laju
Dekomposisi Berbagai Jenis Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo”.
Penulis sadar bahwa skripsi yang sederhana ini dapat tersusun
sedemikian rupa tanpa petunjuk, kritik dan saran serta motivasi dari berbagai
pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini tak ada hal yang dapat penulis
sampaikan selain ucapan “Terima kasih” yang sebesar-besarnya sebagai bentuk

penghargaan dan penghormatan kepada :
1.

Kedua orang tua tercinta, Ibunda Yolanda Pasanea-Sahalessy dan
Ayahanda Albertus David Pasanea, atas semua yang telah
diberikan. Ananda hanya bisa membalasnya dengan doa serta kasih
sayang yang tulus dan tanpa henti.

2.

Adikku Marissa Kezia atas doa dan keceriaan yang diberikan.
Semoga Kakakmu ini bisa menjadi manusia yang berguna di tengahtengah keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

3.

Ibu Prof. Dr. Ir. Hj Andi Niartiningsih, MP. selaku pembimbing utama
dan Bapak Supriadi, ST, M.Si selaku pembimbing kedua yang telah
meluangkan sedikit waktu, pikiran dan tenaga dalam membimbing
penulis selama penelitian hingga penyusunan tugas akhir ini.


4.

Para dosen penguji, Bapak Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si., Bapak
Drs. Sulaiman Gosalam, M.Si., dan Bapak Dr. Mahatma, ST.,
M.Sc., yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan saran
dan kritik dalam perbaikan skripsi penulis.

7

5.

Ibu Prof. Dr. Ir. Andi Niartiningsih, MP., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Bapak Dr. Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si
selaku ketua jurusan Ilmu Kelautan dan Bapak Drs. Sulaiman
Gosalam, M.Si sebagai penasehat akademik, atas segala petunjuk,
nasehat dan bimbingan selama masa studi hingga tahap
penyelesaian studi.

6.


Bapak Dr. Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si., yang telah memberikan
kepercayaan untuk menjadi asisten atau operator di Laboratorium
Komputer Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.

7.

Ibu Dr. Inayah Yasir, M.Sc., yang selalu memberikan bimbingan dan
semangat kepada penulis selama masa studi hingga penyelesaian
tugas akhir.

8.

Bapak Ir. Marzuki Ukkas, DEA., Bapak Benny A.J. Gosari,
S.Kel.,M.Si., Bapak Dr. Ir. Abdul Haris, M.Si. dan Bapak Dr. Ir.
Syafiuddin, M.Si yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi
panitia penyelesaian tugas akhir penulis.

9.

Sahabat-sahabat seperjuangan : Andi Haerul, S.Kel., Syamsidar

Gaffar, S.Kel., Hendra, S.Kel., Hajja Agustina Fahyra S.Kel.,
Ishak S.Kel., Aprizal Junaidi, S.Kel., Ilham Antariksa, Anjelty,
Irwan Jaelani, Rhojim Wahyudi, Melky Rambungan, Nasrum
Nasir, Nova Wahyudi, Satria Budhiardi yang telah memberikan
semangat, perhatian, dukungan dan kerjasama dalam masa studi
hingga penyelesaian tugas akhir.

10.

Kawan-kawan KKN Gelombang 78 Kecamatan Bantimurung
Kabupaten Maros, terkhusus bapak/ibu dan saudara-saudari
seposko Kelurahan Leang-Leang (Bapak Hamzah, Ibu Ningsih,

8

Abdy, Taza, Irha, Khiky, Eka, Adri, dan Ulva) atas semua bantuan
dan doanya selama ini.
11.

Seluruh bapak dan ibu dosen, pegawai dan staf Jurusan Ilmu
Kelautan, begitu juga semua dosen, pegawai dan staf se-Unhas atas
segala pengetahuan dan bantuan yang telah diberikan selama masa
studi penulis.

12.

Kawan-kawan seperjuangan angkatan 2007 yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuan, motivasi,
kebersamaan, perhatian dan dukungannya.

13.

Dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam masa studi
hingga penyelesaian tugas akhir ini.

Penulis hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangatlah diperlukan
penulis untuk perbaikan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
kemajuan ilmu kelautan. Ora et Labora (Berdoa dan Bekerja).

Makassar, Februari 2012

Penulis

9

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL...................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xiv
I.

II.

PENDAHULUAN............................................................................................1
A.

Latar Belakang Masalah..............................................................1

B.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian.................................................2

C.

Ruang Lingkup Penelitian............................................................2

TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................3
A.

Pengertian Lamun........................................................................3

B.

Peranan Lamun...........................................................................3

C.

Produktivitas Lamun.....................................................................4

D.

Sebaran Geografis Lamun...........................................................4

E.

Faktor Pembatas Lamun..............................................................6

F.

1.

Kecerahan...................................................................................6

2.

Suhu............................................................................................7

3.

Salinitas.......................................................................................7

4.

Kecepatan arus............................................................................8

5.

Nutrien.........................................................................................8
Dekomposisi Serasah Lamun......................................................8

III. METODE PENELITIAN................................................................................11
A.

Waktu dan Tempat.....................................................................11

B.

Alat dan Bahan..........................................................................11

C.

Prosedur Penelitian....................................................................13

D.

Analisis Data..............................................................................18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................21
A.

Gambaran Umum Lokasi...........................................................21

B.

Produksi Serasah Lamun...........................................................22

C.

Dekomposisi Lamun...................................................................40

10

V.

D.

Parameter Lingkungan...............................................................46

E.

Jumlah Bakteri...........................................................................48

SIMPULAN DAN SARAN.............................................................................49
A.

Simpulan....................................................................................49

B.

Saran.........................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................50
LAMPIRAN......................................................................................................... 53

11

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Rasio Berat Kering dan Berat Basah..........................................................40
2..........................Perkiraan Hari Habisnya Serasah Berdasarkan Uji Regresi
Eksponensial......................................................................................................46
3. Parameter Lingkungan...............................................................................47
4. Data Gelombang.........................................................................................47
5............Jumlah Bakteri Pada Lamun, Sedimen dan Air Laut Pada Berbagai
Tingkat Pengenceran..........................................................................................48

12

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Sebaran geografik beberapa genera lamun (Den Hartog 1969)...................6
6. Bagan mekanisme dekomposisi aerobik dari detritus (Fenchel 1977)........10
7. Peta Lokasi Penelitian Pulau Barrang Lompo.............................................11
8. Model Kurungan Untuk Produksi Serasah..................................................13
9. Tata Letak Kantong Serasah.......................................................................15
10. Produksi Serasah E. acoroides Stasiun a dan b.........................................22
11. Produksi Serasah T. Hemprichii Stasiun a dan b........................................23
12. Produksi Serasah C. rotundata Stasiun a dan b.........................................24
13. Produksi Serasah H. uninervis Stasiun a dan b..........................................25
14. Produksi Serasah S. Isoetifoilum Stasiun a dan b......................................26
15. Produksi Serasah H. ovalis Stasiun a dan b...............................................27
16......................Produksi Serasah Lamun Yang Terapung dan Tenggelam di
Stasiun Barat......................................................................................................28
17......................Produksi Serasah Lamun Yang Terapung dan Tenggelam di
Stasiun Selatan..................................................................................................29
18. Produksi Serasah Lamun Yang Terapung di Stasiun Barat dan Selatan.....30
19. Produksi Serasah Lamun Yang Tenggelam di Stasiun Barat dan Selatan. .31
20. Total Produksi Serasah...............................................................................32
21. Produksi Serasah Lamun Per Luasan Untuk Tiap Jenis Lamun.................36
22. Rata-rata Produksi Serasah Berbagai Jenis Lamun...................................37
23. Rata-rata Total Produksi Serasah Lamun di Stasiun Barat Per Luasan......38
24. Hubungan Kepadatan Lamun dan Produksi Serasah.................................39
25. Persen Pengurangan Berat Lamun Stasiun Barat......................................41
26. Persen Pengurangan Berat Lamun Stasiun Selatan...................................42

13

27. Laju Dekomposisi Serasah (%/hari) Stasiun Selatan dan Barat..................44

14

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor
1.
2.
3.
4.

Halaman

Produksi Serasah Per Tegakan Stasiun Barat……………………..................53
Produksi Serasah Per Tegakan Stasiun Selatan……………………………....55
Analisis ANOVA Produksi Serasah Per Tegakan Stasiun Barat……………..57
Analisis ANOVA Produksi Serasah Lamun Per Tegakan Stasiun
Selatan……………………………………………………………………………..58
5. Analisis ANOVA Produksi Serasah Per Tegakan Yang Terapung…………..59
6. Analisis ANOVA Produksi Serasah Per Tegakan Yang Tenggelam………...60
7. Analisis ANOVA Total Produksi Serasah Lamun Per Tegakan……………...61
8. Kepadatan Lamun Stasiun Barat………………..………………………………62
9. Kepadatan Lamun Stasiun Selatan……………………………………….........64
10. Data Dekomposisi Stasiun Barat………………………………………………..66
11. Data Dekomposisi Stasiun Selatan……………………………………………..67
12. Persen Pengurangan Berat Stasiun Barat……………………………………..68
13. Persen Pengurangan Berat Stasiun Selatan…………………………………..69
14. Laju Dekomposisi Serasah………………………………………………………70
15. Analisis Regresi Eksponensial…………………………………………………..71
16. Parameter Lingkungan…………………………………………………………...72
17. Data Gelombang……………………………………………………………….....73
18. Dokumentasi Penelitian……………………………………………………….....89

1

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
19. Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang yang
dapat tumbuh di lingkungan perairan laut. Menurut Azkab (2000),
lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (angiospermae)
yang mempunyai kemampuan adaptasi untuk hidup di lingkungan
perairan laut. Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di
laut yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan biota laut
serta merupakan salah satu ekosistem bahari yang paling produktif
(Hutomo dan Azkab, 1987). Peranan penting dari ekosistem lamun ini
yaitu sebagai produsen primer, stabilisator dasar perairan, pendaur
zat hara, sumber makanan, serta sebagai tempat asuhan dan tempat
tinggal.
20. Lamun hidup di perairan dangkal yang berpasir dan ada pula dijumpai
di daerah terumbu karang. Lamun ini membentuk suatu komunitas
yang lebat sehingga membentuk padang lamun yang cukup luas
(Nontji, 2005). Padang lamun ini merupakan ekosistem yang sangat
tinggi produktivitas organiknya. Produktivitas lamun berkisar antara
500-1000 gC/m2/tahun bahkan dapat lebih dua kali lipat (Azkab,
2000).
21. Serasah merupakan daun-daun lamun yang gugur akibat dari
pengaruh fisik maupun umur daun lamun yang sudah tua. Serasah
yang jatuh kemudian akan terdekomposisi oleh bantuan mikroba.
Namun peran meiofauna dan makrofauna cukup besar dalam
membentuk fraksi-fraksi serasah menjadi lebih kecil sehingga rasio

2

luas permukaan dengan volume serasah lebih besar. Hal ini
memungkinkan mikroba dapat mendekomposisi lebih baik (OnatePacalioga, 1992). Beberapa organisme dapat secara langsung
memakan daun-daun lamun seperti beberapa jenis ikan, penyu,
dugong dan bulu babi sedangkan serasah

4
22. yang mengendap akan dikonsumsi fauna bentik dan partikel-partikel
serasah di dalam air dimanfaatkan oleh organisme penyaring (filter
feeder) (Romimohtarto dan Juwana, 2007). Proses dekomposisi
menghasilkan bahan organik dari partikel-partikel serasah dan dapat
terbawa ke ekosistem sekitarnya dengan bantuan arus sehingga
dapat memperkaya ekosistem sekitarnya yang kandungan bahan
organiknya sedikit. Oleh karena itu tingkat produksi serasah dan laju
dekomposisi pada lamun sangat penting untuk diketahui dalam
rangka memahami fungsi ekologi ekosistem lamun (sebagai penyedia
nutrien) bagi perairan laut.
B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
23. Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu
1. Untuk mengetahui produksi serasah pada berbagai jenis lamun di
Pulau Barrang Lompo
2. Untuk mengetahui laju dekomposisi pada berbagai jenis lamun di Pulau
Barrang Lompo
24. Kegunaan dari penelitian adalah sebagai bahan informasi dan
referensi tentang sumberdaya perairan yang berhubungan dengan
ekosistem lamun.
C. Ruang Lingkup Penelitian
25. Penelitian ini difokuskan pada pengukuran tingkat produksi dan laju
dekomposisi serasah lamun yang dilakukan pada perairan Pulau
Barrang Lompo. Selain itu dilakukan juga pengukuran parameter
lingkungan perairan yang meliputi kecepatan arus, gelombang,
salinitas, suhu, oksigen terlarut, dan melihat jumlah koloni bakteri
sebagai data pendukung.
26.

5

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Lamun
27. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (Anthophyta) yang
hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh,
berimpang, berakar, dan berkembang biak secara generatif (biji) dan
vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang
tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat pasir, lumpur dan
pecahan karang. Padang lamun (seagrass bed) adalah hamparan
vegetasi lamun yang menutupi suatu area laut dangkal yang terbentuk
oleh satu jenis lamun (monospecific) atau lebih (mixed vegetation)
dengan kerapatan tanaman yang padat (dense) atau jarang (sparse).
Sedangkan ekosisitem lamun (seagrass ecosystem) adalah suatu
sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang di dalamnya terjadi
hubungan timbal balik antara komponen abiotik (air dan sedimen) dan
biotik (hewan dan tumbuhan) (Azkab, 2006).
28. Ekosistem padang lamun merupakan habitat terpenting di daerah
beriklim tropis. Lamun merupakan satu-satunya angiospermae atau
tumbuhan berbunga yang memiliki akar, batang dan daun sejati yang
telah beradaptasi untuk hidup sepenuhnya di laut.
D. Peranan Lamun
29. Menurut Supriadi (2003), sebagai produsen primer, pada Pulau
Barrang Lompo, Makassar produktivitas total lamun Enhalus
accoroides mencapai 12,083 g berat kering /m2/hari dan Thalassia
hemprichii 16,391 g berat kering/m2/hari.
30. Meskipun beberapa hewan dapat mengkonsumsi langsung lamun,
tetapi proses dekomposisi juga merupakan hal yang penting. Proses

6

dekomposisi menghasilkan bahan organik dari partikel-partikel
serasah. Serasah yang mengendap akan dikonsumsi oleh fauna
bentik, sedangkan partikel-partikel serasah di dalam air merupakan
makanan invertebrata penyaring. Pada gilirannya nanti hewan-hewan
tersebut akan menjadi mangsa dari karnivora yang terdiri dari
berbagai jenis ikan dan invertebrata. Selain itu daun yang putus dan
tanaman yang tumbang akan dihanyutkan arus ke lingkungan
sekelilingnya atau ke sistem sekitarnya seperti ekosistem terumbu
karang. Serasah yang diproduksi oleh lamun membantu
meningkatkan kelimpahan fito dan zooplankton diperairan terumbu
karang (Hutomo dan Azkab, 1987).
31. Lamun juga berperan penting dalam menstabilkan sedimen dan
memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak di
daerah pantai sehingga dapat mencegah terjadinya erosi. Lamun juga
berfungsi sebagai habitat dan tempat asuhan berbagai organisme
laut. Selain itu lamun juga berfungsi sebagai pendaur zat hara seperti
fosfor dan nitrogen sehingga dapat dimanfaatkan oleh organisme lain.
E. Produktivitas Lamun
32. Produktivitas yaitu kecepatan produksi yang merupakan hasil dari
produksi per satuan waktu (Azkab, 2000). Nilai produksi 500-1000
gC/m2/tahun merupakan tipe area dengan produktivitas tinggi bahkan
dapat lebih dari dua kali lipat. Daun lamun menyumbangkan sejumlah
besar organisme epifit. Bahkan sering terjadi biomassa epifit sama
dengan biomassa daun lamun. Beberapa organisme memakan
langsung daun-daun lamun. Beberapa dari organisme tersebut

7

memakan langsung material epifit, tetapi umumnya daun-daun yang
sudah kering/mati, dan biasanya dikonsumsi sebagai detritus.
F. Sebaran Geografis Lamun
33. Dari 7 genera lamun penghuni perairan tropik, 3 genera termasuk
famili Hydrocharitaceae yaitu Enhalus, Thalassia dan Halophila, dan 4
genera termasuk famili Pomatogetonaceae yaitu Halodule,
Cymodecea, Syringodium dan Thalassodendron, semua termasuk
subfamili Cymodoceoideae. Meskipun demikian, ada beberapa
genera yang mengandung spesies dengan sebaran meluas ke
perairan subtropik dan ugahari hangat (warm temperate) misalnya
Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium. Selain itu ada spesiesspesies yang sebarannya terbatas di perairan subtropik misalnya
Cymodocea nodosa, C. angustata dan Thalassodendron
pachyrhizum. Lamun tropik terpusat pada dua wilayah yaitu Indo
Pasifik Barat serta Karibia dan pantai Pasifik Amerika Tengah. Di Indo
Pasifik Barat semua genera (7 genera) didapatkan, di Karibia hanya
didapatkan 4 genera. Pada tingkat spesies, kemiripan kedua wilayah
tropik tersebut lebih kecil. Halophila decipiens mempunyai sebaran
pantropik dan Halodule wrightii didapatkan baik di Atlantik maupun
Samudra Hindia. Kecuali kedua spesies tersebut, Indo Pasifik Barat
dan Karibia tidak mempunyai spesies yang sama. Meskipun demikian
kedua wilayah yang jauh terpisah tersebut mempunyai pasangan
spesies berbeda yang secara morfologik mempunyai kemiripan. Di
antara 5 genera lamun penghuni perairan ugahari 2 genera, Zostera
dan Posidonia, mempunyai sebaran bipolar. Zostera mempunyai
sebaran yang sangat luas. Sedangkan Posidonia hanya terbatas di

8

Laut Tengah dan Australia Selatan. Satu genus, Phyllospadix, terbatas
di perairan Pasifik Utara. Sedangkan 2 genera, Heterozostera dan
Amphibolis, terbatas pada perairan ugahari di belahan bumi selatan
(Kiswara dan Hutomo, 1985).
34. Di Indonesia, sampai saat ini telah tercatat 13 spesies lamun. Dari
ketiga belas spesies lamun yang terdapat di perairan Indonesia,
beberapa spesies menunjukkan penyebarannya yang sangat khusus
seperti Thalassodendron ciliatum, terdapat di Maluku, Nusa Tenggara,
Kangean dan Kepulauan Riau. Halophila spinulosa terdapat di Kep.
Riau, Anyer (Pulau Jawa), Baluran Utara (Besuki) dan Irian. Halophila
decipiens terdapat di Teluk Jakarta (Pulau Jawa), Teluk Motimoti
(Sumbawa) dan Kep. Aru (Kiswara dan Hutomo, 1985).
35. Tahun 2007, ditemukan spesies baru yaitu Halophila sulawesii (Kuo)
di perairan Kep. Spermonde Sulawesi Selatan. Jenis ini mirip dengan
Halophila ovalis namun bersifat monoecious (berumah satu) dan
ditemukan di perairan dalam sekitar 10 - 30 m (Kuriandewa, 2009).

9

36.

10

37. Gambar 1. Sebaran geografik beberapa genera lamun (Den Hartog
1969)
G. Faktor Pembatas Lamun
38. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap keberadaan ekosistem
padang lamun, antara lain: kecerahan, suhu, salinitas, substrat dan
kecepatan arus (Tuwo, 2011).
1. Kecerahan
39. Lamun pada umumnya hidup pada daerah yang dapat ditembus
cahaya matahari. Lamun memerlukan intensitas cahaya matahari
yang tinggi karena cahaya tersebut dipelukan untuk proses
fotosintesis. Oleh karena itu, Beberapa aktivitas yang meningkatkan
muatan sedimentasi pada badan air akan berakibat pada tingginya
tingkat kekeruhan sehingga berpotensi untuk mengurangi penetrasi
cahaya. Hal ini dapat menggangu produksi primer dari ekosistem
padang lamun (Dahuri, 2003). Menurut Kiswara dan Hutomo (1985),
Halophila telah didapatkan di kedalaman 90 m karena pada
kedalaman ini tingkat kekeruhan rendah sehingga masih dapat
ditembus cahaya matahari
2. Suhu
40. Suhu merupakan faktor yang penting bagi kehidupan organisme di
laut karena mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun
perkembangbiakan organisme tertentu (Hutabarat dan Evans, 2006).
Pada kisaran suhu 25 - 30°C, fotosintesis bersih akan meningkat
dengan meningkatnya suhu (Hutomo, 1999). Menurut Nontji (2005),
pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi organisme perairan merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Suhu rata-rata

11

untuk pertumbuhan lamun berkiasar antara 24-27 0C. Namun menurut
Dahuri (2003), lamun juga dapat tumbuh secara optimal berkisar
antara 28-30OC.
3. Salinitas.
41. Lamun dapat hidup di lingkungan perairan yang mengandung kadar
garam. Menurut Hemmingga dan Duarte (2000), pada umumnya
lamun dapat tumbuh secara optimal dengan salinitas sekitar 35 ‰,
ada juga yang dapat bertahan hidup di air payau yang berada dekat
muara. Sedangkan menurut Zieman (1987), lamun dapat tumbuh
secara optimal berkisar antara 25-35 ‰. Spesies lamun pada
umumnya euryhaline tetapi jika terjadi kondisi perairan yang
hyposaline (10 ‰) atau hypersaline (45 ‰) maka lamun akan
menderita stres dan akhitnya mati (Hemminga dan Duarte 2000).
4. Kecepatan arus
42. Arus bermanfaat untuk membawa unsur hara masuk atau ke luar dari
suatu ekosistem. Unsur hara ini sangat diperlukan untuk lamun dalam
proses pertumbuhan. Dahuri (2003) menjelaskan bahwa kecepatan
arus perairan berpengaruh terhadap produktivitas padang lamun. Arus
dengan kecepatan 0,5 m/s masih termasuk kondisi yang baik untuk
pertumbuhan lamun.
5. Nutrien
43. Dinamika nutrien memegang peranan kunci pada ekosistem padang
lamun dan ekosistem lainnya. Ketersediaan nutrien menjadi faktor
pembatas pertumbuhan, kelimpahan dan morfologi lamun pada
perairan yang jernih (Hutomo, 1987).

12

H. Dekomposisi Serasah Lamun
44. Sebagai tumbuhan autotrof, lamun yang menempati trophic level
pertama masuk ke dalam jaring makanan melalui dua jalur, yaitu jalur
rantai makanan herbivora dan jalur rantai makanan detritus (Supriadi
dan Arifin, 2005). Namun jalur melalui herbivora umumnya kurang dari
10% dari total produksi lamun. Barnes dan Hughes (1999)
melaporkan bahwa daun Syringodium yang hilang (tidak
dimanfaatkan langsung oleh herbivora) mencapai 92,5% dan
Thalassia mencapai 90,4% dari produktivitas. Dengan demikian, jalur
detritus memegang peranan yang cukup penting dalam ekosistem
padang lamun. Secara kuantitatif produksi lamun dalam jumlah besar
dapat masuk ke jaring makanan melalui dekomposer (Fenchel, 1977).
45. Pada prinsipnya daun dan akar dari tumbuhan berpembuluh yang
mati akan mengalami dua tipe kerusakan (pematahan) yaitu secara
mekanik dan secara biokimia (Azkab, 1999), dan secara umum akan
melewati tiga fase perombakan (Zieman, 1987), yaitu : hilangnya
berat tumbuhan secara cepat oleh pelarut dan autolysis senyawa
tumbuhan. Fase ini sangat cepat dan material yang dilepaskan dapat
langsung digunakan. Memasuki fase kedua, perombakan akan
menjadi lambat dan terjadi pengurangan berat oleh proses
fregmentasi dan degradasi substrat oleh aktivitas mikroba. Pada akhir
fase ini, hal tersebut akan sulit untuk dilakukan, serta hilangnya nilai
(value) dari bahan makanan. Pada fase ketiga, dekomposisi yang
terjadi menjadi lebih lambat oleh banyaknya material residu yang
resisten.
46. Pada sistem laut dangkal sebagian besar material yang dilepaskan
dalam bentuk partikel dan material ini akan digunakan oleh bakteri di

13

sedimen. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri dan jamur
memegang peranan sebagai dekomposisi primer dari lamun.
47. Keberadaan oksigen sering didemonstrasikan sebagai faktor
pembatas dalam aktivitas bakteri. Pada detritus Spartina, dimana
aktifitas bakteri tidak begitu tampak pada area permukaan detritus.
Melalui observasi secara mikroskopik, diketahui bahwa hanya pada
bagian lapisan luar sel saja yang dihuni oleh bakteri, dimana pada
bagian tengah partikel sangat jarang dihuni oleh bakteri, dan hal ini
mungkin disebabkan oleh terbatasnya oksigen (Klug, 1980).

14

48.

49. Gambar 2. Bagan mekanisme dekomposisi aerobik dari detritus
(Fenchel 1977)
50. Fakta menunjukkan bahwa pada sedimen di perairan dangkal dengan
sedikit padang lamun, akan terjadi penurunan proses kimiawi

15

sehingga kita dapat mengetahui bahwa tingkat ketersediaan oksigen
merupakan hal yang penting dalam dekomposisi aerob di alam
(Azkab 1999). Ditemukan bahwa Amphipoda (Parhylella) memakan
partikel detritus dari Thalassia di wadah percobaan, dimana rasio
antara detritus dengan hewan sama dengan yang ada di lapangan.
Hasil menunjukkan bahwa penurunan ukuran rata-rata detritus dan
penyerapan oksigen oleh mikroba akan naik sampai 100% dalam 92
jam (Klug, 1980).
51.

16

III.

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat
52. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai
dengan bulan September 2011, di sebelah Barat dan sebelah Selatan
perairan Pulau Barrang Lompo, Kota Makassar. Penimbangan dan
pengovenan sampel dikerjakan di Hacthery Barrang Lompo dan
Laboratorium Biologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

17

53.

54. Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian Pulau Barrang Lompo
I.

Alat dan Bahan
55. Alat yang digunakan dalam penelitian di lapangan yaitu pisau untuk
mengambil daun serasah, gunting untuk memotong waring, waring
sebagai tempat serasah, paving block sebagai penahan agar waring
tidak terbawa arus, besi sebagai pemberat, tool box sebagai tempattempat peralatan untuk dipakai di laut, layang-layang arus untuk

18

mengukur arus, tiang pasut untuk mengukur gelombang, thermometer
untuk mengukur suhu, salinometer untuk mengukur salinitas, DO
meter untuk mengukur kadar oksigen, transek kuadran 50 X 50 cm
untuk mengukur kepadatan lamun, roll meter untuk mengukur jarak
area pengamatan, pelampung sebagai penanda lokasi sampel
penelitian, alat selam dasar untuk menyelam, sabak dan alat tulis
untuk mencatat data di lapangan.
56. Alat yang digunakan dalam penelitian di laboratorium yaitu timbangan
digital untuk menimbang sampel, autoclave dengan tekanan 15 Psi
atau 2 atm dengan suhu 121oC untuk mensterilkan alat dan bahan,
incubator 35OC ± 1OC untuk menginkubasi mikroba pada suhu yang
terkontrol, cawan petri untuk sebagai wadah untuk media tempat
tumbuhnya bakteri, tabung reaksi sebagai wadah larutan yang
digunakan untuk proses pengenceran, Labu Erlenmeyer sebagai
wadah untuk menampung larutan atau sampel, kapas sebagai
penutup tabung reaksi dan Labu Erlenmeyer, hot plate stirrer dan
stirrer bar (magnetic stirrer) berfungsi untuk pembuatan media agar,
fortex untuk mengaduk larutan coloni counter mempermudah
perhitungan koloni yang tumbuh setelah diinkubasi di dalam cawan
petri, Laminar Air Flow (LAF) sebagai tempat bekerja secara aseptis,
pipet ukur merupakan alat untuk memindahkan larutan, oven untuk
mengeringkan sampel serasah lamun.
57. Bahan yang digunakan dalam penelitian di lapangan yaitu berbagai
jenis daun lamun seperti Enhalus acoroides, Halophila ovalis,
Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii, Syringodium
isoetifolium, Halodule uninervis sebagai sampel percobaan, kantong
sampel untuk menyimpan sampel serasah dan tali untuk mengikat

19

waring pada besi sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian
di laboratorium yaitu berbagai jenis daun lamun sama seperti
penelitian di lapangan serta air laut dan sedimen sebagai sampel
percobaan untuk melihat total bakteri, tryptone 5 gr, yeast extract 22,5
gr, dextrose 1 gr, agar 15 gr, dan aquades untuk pembuatan media.
J. Prosedur Penelitian
1. Observasi Awal
58. Observasi awal dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis lamun dan
sebarannya di Pulau Barrang Lompo untuk memudahkan dalam
mengoleksi lamun dan menempatkan kurungan pada saat penelitian
serta melihat kondisi/keadaan lingkungan padang lamun yang akan
dijadikan stasiun. Semua spesies lamun yang hidup di perairan P.
Barrang Lompo terdapat pada bagian Barat dan Selatan oleh karena
itu penelitan ini dilakukan pada 2 stasiun yaitu di bagian Barat dan
Selatan perairan Pulau Barrang Lompo.
2. Tahap Perlakuan untuk Produksi Serasah
59. Metode yang digunakan untuk mengetahui produksi serasah yaitu
menggunakan metode kurungan (Nojima dan Mukai 1996). Kurungan
terbuat dari waring dengan mesh size 3 mm dengan tinggi 1 - 2 meter
dan masing-masing sisinya berukuran 50 cm x 50 cm (Supriadi dan
Arifin 2005).

20

60.

61.

Gambar 4 Model Kurungan Untuk Produksi Serasah

62. Sebelum lamun dikurung, substrat dasar dibersihkan dari serasah dan
organisme bentos setelah itu dihitung kepadatan lamunnya. Penelitian
akan dilakukan selama 3 x 24 jam dimana setiap 24 jam, serasah
yang terapung maupun yang jatuh di dasar dikumpulkan, kemudian
dipisah menurut jenis lamunnya dan dimasukkan ke dalam kantong
sampel untuk dibawa ke laboratorium. Selanjutnya dilakukan
pengeringan dengan oven dan sampel kemudian ditimbang dengan
menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,001. Jumlah
kurungan yang digunakan sebanyak 3 buah kemudian akan
ditempatkan pada 3 titik di masing-masing stasiun dan disesuaikan
dengan sebaran jenis-jenis lamun.
3. Tahap Perlakuan untuk Laju Dekomposisi
63. Daun tua dan bersih dari jenis lamun yang ada di lokasi penelitian
diambil dengan menggunakan pisau. Daun tua pada setiap tunas
ditandai dengan warna daun yang hijau tua/hijau kecoklatan dan
helaian daun berada di bagian terluar dari tunas. Daun-daun tersebut
dimasukkan ke dalam cool box untuk dibawa ke laboratorium.
Setelah 24 jam daun tersebut dikeluarkan dan dicuci dengan
menggunakan air laut untuk menghilangkan organisme-organisme

21

penempel. Daun kemudian diangin-anginkan beberapa menit sampai
air di permukaan daun tersebut habis.
64. Sebelum dilakukan inkubasi di lapangan, terlebih dahulu dibuat
sampel standar untuk mengetahui rasio antara berat kering dan berat
basah daun masing-masing jenis lamun. Sampel standar ini
digunakan untuk mengetahui berat kering awal dari sampel yang akan
diinkubasikan di lapangan berdasarkan berat basahnya. Sampel
standar dibuat dengan cara mengambil sebanyak 3 sampel tiap jenis
daun lamun kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu
60oC sampai didapatkan berat konstan. Rasio antara berat kering
dan berat basah sampel ini digunakan untuk mengetahui berat kering
awal sampel yang akan diinkubasikan di lapangan.
Serasah Lamun

65.
66.

67.

10 cm

5 cm
68.

18 kantong untuk tiap jenis lamun

Gambar 5. Tata Letak Kantong Serasah

69. Sebanyak 5 gram (berat basah) sampel tiap jenis lamun kecuali untuk
H. ovalis 1 gram karena daunnya yang tipis dan ringan serta
perseberannya yang sedikit sehingga tidak memungkinkan untuk
mengoleksi lamun ini sebanyak 5 gram, kemudian dimasukkan ke

22

dalam kantong yang terbuat dari waring berukuran 5 cm x 10 cm
dengan mesh size 1 mm setelah itu diinkubasikan sebanyak 18
kantong tiap jenis lamun yang diletakkan di dasar perairan dalam
padang lamun. Sebanyak 3 kantong dari masing-masing jenis lamun
diambil setiap 10 hari sampai hari ke-60 sedangkan untuk jenis H.
ovalis baik di stasiun barat maupun selatan, pengambilan sampel
dilakukan setiap 7 hari untuk mencegah apabila sampel serasah
tersebut habis terdekomposisi sebelum diamati dan pengambilan
sampel berakhir sampai hari ke-42. Untuk menyamakan pengambilan
sampel setiap 10 hari maka dilakukan ekstraplorasi nilai. Penentuan
masa inkubasi di lapangan didasarkan pada hasil penelitian Supriadi
dan Arifin (2005). Sampel dibawa ke laboratorium kemudian dicuci
dengan air tawar (Juman 2005), dan dikeringkan dalam oven pada
suhu 60oC sampai didapatkan berat konstan. Sampel kemudian
ditimbang menggunakan timbangan digital untuk mengetahui berat
yang tersisa.
4. Kepadatan Lamun
70. Kepadatan lamun diamati dengan menggunakan transek kuadrat
berukuran 1 m x 1 m. Sampling dilakukan secara sistematis dari
pantai ke arah luar dengan jarak antar transek 10 meter dimulai dari
ditemukannya lamun sampai tidak ditemukannya lamun.
5. Mengukur Arus
71. Menentukan kecepatan arus dengan menggunakan layang-layang
arus, yakni dengan menetapkan jarak tempuh layang-layang arus (5
meter) kemudian mengukur waktu tempuh layang-layang arus
tersebut dengan menggunakan stopwatch.
6. Mengukur Gelombang

23

72. Mengukur gelombang dengan mengukur tinggi dan lembah ombak
yang datang pada tiang skala sebanyak masing-masing 51 kali.
Pengukuran ombak ini dilakukan pada waktu pagi hari dan sore hari.
7. Mengukur Suhu dan Salinitas
73. Mengukur suhu dengan cara mencelupkan thermometer ke dalam
kolom perairan dan mencatat skala yang ditunjukan sedangkan untuk
mengukur salinitas dengan cara mengambil air laut yang dituangkan
ke dalam botol ukuran 1,5 L setelah itu memasukan salinometer ke
dalam botol lalu membaca skala yang ditunjukan oleh salinometer.
8. Mengukur Kandungan Oksigen (DO)
74. Mengukur kandungan oksigen dengan cara mencelupkan sensor DO
meter ke dalam kolom perairan dan mencatat angka yang ditunjukan
oleh DO meter.
9. Uji Mikrobiologi Total Bakteri
75. Pembuatan media nutrien agar (plate count agar) dengan cara
mencampurkan tryptone sebanyak 5 gr, yeast extract sebanyak 22,5
gr, dextrose sebanyak 1gr, agar sebanyak 15 gr dan aquades
sebanyak 500 ml ke dalam Labu Erlenmeyer kemudian panaskan
dengan menggunakan hot plate strirrer dan stirrer bar hingga larutan
mendidih dan homogen. Setelah itu sterilisasi menggunakan
autoclave sebanyak 15 menit. Masukkan air laut sebanyak 225 ml ke
dalam 3 buah Labu Erlenmeyer dan sebanyak 9 ml ke dalam 18
tabung reaksi setelah itu sterilkan menggunakan autoclave. Setelah
itu timbang sampel lamun dan sedimen sebanyak 25 g dan air laut
sebanyak 25 ml. Kemudian ambil 3 buah Labu Erlenmeyer yang
sudah steril dan campurkan masing-masing sampel lamun, sedimen
dan air laut ke dalamnya serta diberi label 10-1 yang menandakan

24

tingkat pengenceran pertama. Setelah itu siapkan 18 buah tabung
reaksi yang sudah steril dan bagi 3 kelompok sehingga terbagi
menjadi 6 buah tabung reaksi untuk masing-masing kelompok dimana
kelompok pertama untuk sampel lamun, kelompok kedua untuk
sedimen dan kelompok ketiga untuk air laut. Kemudian tabung reaksi
untuk masing-masing kelompok diberi label 10-2 sampai 10-7 dengan
tujuan untuk menandakan tingkat pengenceran pada masing-masing
tabung reaksi. Setelah itu siapkan cawan petri sebanyak 18 buah
yang sebelumnya telah disterilkan pada oven dengan suhu 180OC
selama 2 jam dan bagi 3 kelompok sehingga terbagi menjadi 6 cawan
petri untuk masing-masing kelompok dimana kelompok pertama untuk
sampel lamun, kelompok kedua untuk sedimen dan kelompok ketiga
untuk air laut. Kemudian cawan petri untuk masing-masing kelompok
diberi label A10-5 sampai A10-7 dan B10-5 sampai B10-7 dengan tujuan
untuk menandakan tingkat pengenceran pada masing-masing tabung
reaksi. Setelah itu pipet 1 ml dari pengenceran 10-1 ke 10-2, lalu
tabung reaksi 10-2 ini di fortex agar larutannya tercampur. Lakukan hal
yang sama sampai tabung reaksi 10-7. Setelah pengenceran selesai,
pipet 2 ml larutan tabung reaksi 10-5 dan masukkan masing-masing 1
ml ke dalam cawan petri A10-5 dan B10-5 setelah itu masukkan
medianya ke masing-masing cawan. Lakukan hal yang sama sampai
pada cawan petri A10-7 dan B10-7. Setelah selesai, masukkan cawan
petri tersebut ke dalam inkubator selama 2 hari. Setelah 2 hari
keluarkan cawan petri dan hitung total bakteri pada masing-masing
cawan petri dengan menggunakan colony counter.

25

K. Analisis Data
76.

Untuk produksi serasah dihitung berdasarkan rumus :
77.

78.

P=

w /Di /hr

dimana :
79.

P = Produksi serasah (gram berat kering (gbk)/tgk/hr)

80.

W = Berat Serasah (gbk)

81.

Di = Kepadatan Lamun jenis i (tgk/m2)

82.

Hr = Hari

83. Untuk laju dekomposisi dihitung berdasarkan rumus (Juman, 2005) :
84.
85. R =

IW −FW
D

86. dimana :

91.

87.

R = Laju dekomposisi (%);

88.

IW = Berat awal serasah (%);

89.

FW = Berat akhir serasah (%); dan

90.

D = Lama inkubasi (10 hari).

Untuk kepadatan lamun dihitung berdasarkan rumus (Fachrul,

2006) :
92.

Di =

¿
L

93. dimana :
94.

Di : Kepadatan jenis i (tgk/luas transek)

95.

Ni : Jumlah tegakan jenis i

96.

L : Luas Transek (m2)

97.
98.
99. Untuk kecepatan arus terukur (V) :

26

V=

100.

105.

S
t ;

101.

dimana :

102.

S = Panjang lintasan layang-layang arus (m)

103.

t = Waktu tempuh layang-layang arus (detik)

104.

V = Kecepatan arus (m/s)

Untuk gelombang pengukurannya terdiri atas :

1. Tinggi gelombang :
106.

H = (puncak gelombang – lembah

gelombang)
2. Tinggi ombak signifikan (H1/3) :
107.

H1/3 = 1/3 rata-rata dari gelombang

terbesar
n/3

∑ Hi
H 1 /3 =

108.

i=1

n/3

3. Tinggi rata-rata (H) :

H =

109.

H 1 + H 2 + H 3 + . .. . . H N

4. Periode gelombang (T);
110.

T = t/N

5. Periode gelombang signifikan (T1/3) :
111.

T1/3 = 1,1 x T

6. Panjang gelombang (Lo);
112.
7. Tinggi gelombang pecah (Hb) :

L = 1,56 T2

N

27

0,563
H 1/3 0,2
[
]
L
Hb = H1/3 [
]

113.
114.

Dimana :

115.

T

=

Periode gelombang (detik)

116.

t

=

Waktu pengamatan

117.

N

=

Banyaknya gelombang

118.

Hi

=

Tinggi gelombang (cm)

119.

L

=

Panjang gelombang (cm)

120.

H1/3

=

Tinggi gelombang signifikan

121.

T1/3

=

Periode gelombang signifikan

122.

Hb

=

Tinggi gelombang pecah

123.

Untuk melihat perbandingan produksi serasah yang terapung dan

tenggelam antara masing-masing jenis lamun maka digunakan Uji
Analisis of Variance (ANOVA). Untuk memprediksi proses
dekomposisi pada setiap spesies lamun dianalisis dengan
menggunakan analisis regresi. Untuk mempermudah pengolaan data
dan pengerjaan skripsi digunakan software Microsoft Office Word
2007, Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS 17.0

28

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi
124.

Secara administrasi, Pulau Barrang Lompo merupakan wilayah

kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan.
Jarak tempuh perjalanan sampai ke Pulau Barrang Lompo dengan
menggunakan speed boat ± 30 menit dan untuk kapal penumpang ±
50 - 60 menit atau ± 11.2 km.
125.

Secara garis besar Pulau Barrang Lompo terdiri dari daratan,

perairan laut dangkal. Untuk wilayah perairan laut dangkal, Barrang
Lompo didominasi berturut-turut oleh penutupan pasir dan diikuti oleh
penutupan lamun, karang hidup, campuran (lamun, karang hidup dan
karang mati) serta karang mati (Idrus 2001).
126.

Dari hasil obeservasi dan identifikasi di lapangan, terdapat 8 jenis

lamun yang berada di perairan Pulau Barrang Lompo antara lain
Enhalus acoroides, Thallasia hemprichii, Cymodocea rotundata,
Cymodocea serulata, Halodule uninervis, Halodule pinifolia,
Syringodium isoetifolium, dan Halophila ovalis. Jenis lamun yang
paling banyak ditemui yaitu E. acoroides dan T. hemprichii.
127.
128.
129.
130.
131.
132.
133.
134.

29

135.
B. Produksi Serasah Lamun
1. Produksi Serasah Lamun Per Tegakan
136.

Untuk jenis E. acoroides, produksi serasah di stasiun Barat (a)

yang terapung sebesar 0.0008 gram berat kering (gbk)/tegakan
sedangkan yang tenggelam tidak ada. Pada stasiun Selatan (b)
produksi serasah yang terapung dan tenggelam sama banyaknya
yaitu sebesar 0.0007 gbk/tegakan (Gambar 6). Di stasiun Barat
produksi serasah yang terapung lebih banyak dibandingkan yang
tenggelam hal ini dikarenakan hanya bagian-bagian kecil dari daun E.
acoroides yang sudah tua yang mengalami keguguran dan bagianbagian kecil dari daun E. acoroides ini memiliki massa jenis yang lebih
ringan dibandingkan massa jenis air sehingga lebih mudah untuk
terapung sedangkan di stasiun Selatan produksi serasah yang
terapung maupun yang tenggelam sama banyaknya hal ini
dikarenakan selain hanya bagian-bagian kecil dari daun lamun yang
sudah tua yang mengalami keguguran ada juga pengaruh fisik seperti
arus yang membuat bagian-bagian kecil dari daun-daun muda
mengalami keguguran. Daun-daun muda yang gugur ini memiliki
massa jenis yang lebih besar dibandingkan massa jenis air sehingga
cenderung untuk tenggelam tetapi daun-daun tersebut akan
mengalami dekomposisi sehingga mengurangi berat massa jenisnya
dan pada akhirnya akan terapung.

30

137.

Object 13

Object 15

138.

Gambar 6. Produksi Serasah E. acoroides Stasiun a dan b

139.

Untuk jenis T. hemprichii, produksi serasah di stasiun Barat yang

terapung sebesar 0.0031 gbk/tegakan sedangkan yang tenggelam
0.0068 gbk/tegakan. Pada stasiun Selatan produksi serasah yang
terapung sebesar 0.0005 gbk/tegakan sedangkan yang tenggelam
0.0024 gbk/tegakan (Gambar 7). Di stasiun Barat maupun Selatan,
produksi serasah yang tenggelam lebih banyak dibandingkan yang

31

terapung hal ini dikarenakan daun-daun dari T. hemprichii yang gugur
ini memiliki ukuran yang besar sehingga memiliki massa jenis yang
lebih besar dibandingkan massa jenis air sehingga lebih cenderung
untuk tenggelam tetapi daun-daun tersebut akan mengalami
dekomposisi sehingga mengurangi berat massa jenisnya dan pada
akhirnya akan terapung.

140.

Object 17

Object 20

141.

Gambar 7. Produksi Serasah T. Hemprichii Stasiun a dan b

32

142.

Untuk jenis C. rotundata, produksi serasah di stasiun Barat yang

terapung sebesar 0.0004 gbk/tegakan sedangkan yang tenggelam
0.0009 gbk/tegakan. Pada stasiun Selatan produksi serasah yang
terapung sebesar 0.0001 gbk/tegakan dan tenggelam 0.0007
gbk/tegakan (Gambar 8). Di stasiun Barat maupun Selatan produksi
serasah yang tenggelam lebih banyak dibandingkan yang terapung
hal ini dikarenakan daun-daun dari C. rotundata yang gugur ini
memiliki ukuran yang besar sehingga memiliki massa jenis yang lebih
besar dibandingkan massa jenis air sehingga lebih cenderung untuk
tenggelam tetapi daun-daun tersebut akan mengalami dekomposisi
sehingga mengurangi berat massa jenisnya dan pada akhirnya akan
terapung.

33

143.

Object 22

Object 24

144.

Gambar 8. Produksi Serasah C. rotundata Stasiun a dan b

145.

Untuk jenis H. uninervis, produksi serasah di stasiun Barat yang

terapung sebesar 0.0004 gbk/tegakan sedangkan yang tenggelam
0.0003 gbk/tegakan. Pada stasiun Selatan produksi serasah yang
terapung sebesar 0.0002 gbk/tegakan dan tenggelam 0.0004
gbk/tegakan (Gambar 9). Di stasiun Barat produksi serasah yang
terapung lebih besar dibandingkan yang tenggelam hal ini

34

dikarenakan daun-daun H. uninervis yang gugur berukuran kecil dan
berumur tua sehingga massa jenisnya lebih ringan dibandingkan
massa jenis air sedangkan di stasiun Selatan produksi serasah yang
tenggelam lebih banyak dibandingkan yang terapung hal ini
dikarenakan adanya faktor fisik yang membuat daun-daun dari H.
uninervis yang masih muda mengalami keguguran. Daun-daun muda
ini memiliki massa jenis yang lebih berat dibandingkan massa jenis air
sehingga cenderung untuk tenggelam tetapi daun-daun tersebut akan
mengalami dekomposisi se