Tingkat Numerasi dan Literasi Bangsa

Naskah Opini Kedaulatan Rakyat, dimuat 7 November 2013, halaman 14.

TINGKAT NUMERASI DAN LITERASI
BANGSA KITA RENDAH
Ida F Priyanto

Sampai saat ini tingkat numerasi maupun literasi Indonesia masih berada jauh di bawah rata-rata
dunia. Numerasi adalah kemampuan dan kemauan menghitung, sedangkan literasi adalah
kemampuan dan kemauan membaca.
Persoalan numerasi memang jarang sekali dibahas secara meluas; sedangkan literasi banyak
dilakukan di luar pendidikan formal. Bahkan numerasi seringkali dianggap tidak penting
dibandingkan dengan literasi. Padahal, kemampuan membaca saja tidaklah cukup untuk
menghadapi masyarakat yang semakin meng-global saat ini.
Menurut kajian oleh OECD, standar rata-rata kemampuan dan kemauan membaca dunia adalah
493, standar kemampuan dan kemauan menghitung adalah 496. Ada lima negara yang disebut-

sebut memiliki tingkat literasi dan numerasi yang jauh di atas rata-rata adalah China, Korea
Selatan, Finlandia, Hong Kong, dan Singapura. Tingkat literasi China saat ini adalah 556, Korea
539, Finlandia 536, Hong Kong 533, dan Singapore 526.
Di sisi lain, tingkat kemampuan dan kemauan menghitung atau numerasi tertinggi dimiliki oleh
empat negara Asia dan disusul oleh satu negara Eropa. Singapore adalah negara dengan tingkat

numerasi tertinggi di atas rata-rata yaitu 562, disusul oleh China 600, Hong Kong 555, Korea
Selatan 546, dan Finlandia 541.
Posisi Indonesia saat ini masih jauh di bawah rata-rata dunia dan berada di tingkat 402 untuk
literasi, dan 371 untuk numerasi.
Bagaimana dampak numerasi dan literasi di Indonesia? Numerasi sangat berpengaruh terhadap
kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Banyak masyarakat yang tidak dapat menghitung secara
jeli dan menyebabkan persoalan besar dalam kehidupan sehari-hari. Contoh yang sederhana,
adalah pembelian pulsa telpon yang sangat besar dan kemudian membuang pulsa begitu saja
untuk mengirimkan informasi yang tidak selalu bermanfaat.
Pembelian benda atau barang yang mahal untuk gaya hidup termasuk contoh betapa lemahnya
numerasi masyarakat kita—membeli tanpa memperhitungkan nilai manfaat. Namun tidak kalah
penting adalah perhitungan bunga bank yang biasanya juga jarang dipikir panjang. Yang mereka
ketahui adalah bagaimana agar dapat memperoleh uang besar pada saat dibutuhkan.
Persoalan numerasi sudah sangat besar dan seringkali masyarakat bisa dijadikan permainan bagi
orang-orang tertentu. Harga barang kebutuhan pun dapat dipermainkan. Harga cabai yang bisa
membumbung tinggi, harga pulsa yang berlipat-llipat saat berada di luar negeri, harga makanan
yang sangat sangat tinggi di bandara, tarif parkir yang membumbung di tempat atau waktu
tertentu adalah contoh permainan dalam masyarakat dengan tingkat numerasi yang lemah.
Banyak juga yang tidak menyadari berapa kenaikan harga sapi dan kambing saat menjelang Idul
Adha dan berapa orang dapat memetik pendapatan sesaat tersebut terlepas dari persoalan agama.

Sementara itu, terkait literasi atau melek baca, yang saat ini terjadi di Indonesia adalah a-literasi
bukan iliterasi. A-literasi adalah ketidak-mauan membaca masyarakat, bukannya iliterasi yang
berarti ketidakmampuan membaca. Masyarakat kita mampu membaca, namun banyak yang tidak
mau membaca sehingga banyak yang melakukan tindakan yang melanggar aturan dan tatanan

kehidupan. Contoh kecil adalah membaca lampu lalu lintas di perempatan jalan. Banyak
pengendara yang tidak mau membaca arti lampu merah sehingga pelanggaran di jalan raya
sangat sering terjadi. Banyak peraturan yang tidak terbaca dan tidak dipatuhi.
Rendahnya literasi dan numerasi tidak hanya terjadi pada masyarakat, namun juga pada jajaran
pejabat. Berapa banyak pejabat yang melihat angka rupiah pada saat memiliki jabatan dan berapa
banyak dari mereka yang jarang membaca peraturan, sehingga KPK memiliki tugas-tugas yang
sangat besar saat ini.
Membangun tingkat numerasi dan literasi dapat dilakukan sejak usia dini secara masif.
Pembangunan tingkat literasi saat ini masih sangat sporadis, sedangkan pengembangan numerasi
masih lemah. Banyak anak sekolah yang masih takut dengan pelajaran matematika. Bisa jadi hal
itu karena sistem pengajarannya yang tidak membuat orang mau belajar matematika atau karena
numerasi sudah demikian parahnya. Hal yang juga terjadi pada pengajaran bahasa Indonesia
yang tidak berhasil membuat orang mampu berbahasa Indonesia dengan baik.
Sumpah Pemuda sudah tinggal kenangan dan bangsa kita tidak lagi mampu dan mau
menggunakan bahasanya sendiri dengan baik dan benar.


Ida F Priyanto
IIS-PhD Information Science, University of North Texas, Amerika Serikat.
=========================================================
Image from: raybrookman.global2.vic.edu.au - 1966 × 1274