Mengurai Pemikiran dan Keteladanan Komun

Mengurai Pemikiran dan Keteladanan Komunikasi Politik Gus Dur
Dalam Proses Demokrasi Di Indonesia
Widya Noventari1

Identitas Buku
Judul
Penulis
Penerbit
Tahun terbit
Tebal Buku

: Demokrasi Aja Kok Repot: Retorika Politik Gus Dur Dalam Proses
Demokrasi di Indonesia
: Dr. Nur Kholisoh, M.Si
: Penerbit Pohon Cahaya, Yogyakarta
: 2012
: xxii + 256 halaman

Buku ini berasal dari disertasi doktoral Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia yang berjudul: Dramatistic Pentad: Retoriks Politik Gus Dur dalam Proses
Demokrasi di Indonesia. Dr. Nur Kholisoh, M.Si melihat ketokohan Gus Dur sebagai seorang

komunikator politik, patut dijadikan kajian yang diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, terutama ilmu komunikasi politik.
Rekam jejak sejarah Gus Dur dalam dunia perpolitikan Indonesia juga tidak terlepas dari
keterlibatan beliau dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari, KH
Abdul Wahab Chasbullah, dan KH Bisri Syansuri pada tanggal 31 Januari 1926. NU merupakan
organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Dibawah kepemimpinan Gus Dur, NU
mengalami fase baru yaitu gerakan ‘transformatorik’: di satu sisi hendak mencairkan kebekuan
kultur, visi, dan orientasi internal NU, dan di sisi lain berupaya membangun kesadaran rakyat
(terutama warga nahdliyin sendiri) untuk secara relatif lepas dari intervensi negara.
Pada tingkat internal NU terjadi benturan-benturan kepentingan antar tokoh-tokoh dari fraksifraksi. Menurut Laode Ida dan Thantowi dalam (kholisoh,2012:7) saat ini muncul tiga fraksi
yang dilatarbelakangi oleh kepentingan masing-masing fraksi, yaitu: fraksi politik, fraksi kiai
(syuriah), dan fraksi cendekia. Fraksi politik masih belum bisa memisahkan antara aktivitas
mereka sebagai politisi dengan posisi mereka sebagai warga NU. Kesulitan ini disebabkan
karena watak politik yang telah tertanam kuat dan cukup lama dalam diri mereka. Sementara itu,
fraksi syuriah tetap berusaha untuk mempertahankan tatanan dan nilai-nilai normative NU yang
1

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang
Angkatan 2010


menyebabkan pola pikir dan tindakan mereka terasa kaku. Sedangkan fraksi cendekia relative
memiliki pola pikir dan tindakan yang berbeda dari kedua faksi lainya, yaitu cenderung bebas
memberikan penafsiran terhadap gerak langkah perjuangan NU sehingga terasa lebih luwes dan
lentur.
yang ada tidak dapat dihindari lagi, sedangkan ditingkat eksternal , hubungan NU
dengan pemerintahan Orde Baru yang otoriter menjadi persoalan tersendiri bagi Gus Dur dan
NU (Kholisoh, 2012: 8). Hegemoni dan dominasi negara di masa Orde Baru menyebabkan
termarjinalisasinya rakyat pada umumnya sehingga menyebabkan menurunnya tingkat
kemandirian organisasi dan masyarakat sipil karena peran negara yang sangat dominan pada
masa itu. Hal ini yang dikatakan oleh Gus Dur perlu adanya pengembangan gerakan politik
kultur yang didasarkan pada suatu kesadaran bahwa, tidak akan pernah terjadi pelaksanaan
sistem politik yang kondusif demokratis selama rakyat tidak memiliki kesadaran hak-hak
politiknya secara baik dan benar. Artinya, kesadaran kritis rakyat merupakan modal utama dalam
upaya menciptakan demokratisasi dalam pelaksanaan sistem politik.
Selain itu, juga perlu dibangun kesadaran masyarakat akan kebhinekaan yang menjadi
ciri khas bangsa Indonesia dengan latar belakang bhineka budaya, etnis, suku dan agama.
Kebhinekaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tersebut dapat menjadi kekuatan yang luar
biasa jika dikembangkan dalam sistem negara yang demokratis (Kholisoh, 2012: 8).
Gus Dur: Sang Komunikator Politik
Aktifitas Gus Dur dalam upaya menegakkan demokrasi di Indonesia, dilakukan dengan

menggunakan komunikasi verbal maupun non verbal, yaitu keseimbangan antara perkataan dan
perbuatan, Rangsangan verbal dan non verbal itu hampir selalu berlangsung bersama-sama dalam
kombinasi. Kedua jenis rangsangan itu diiterprestasikan bersama-sama oleh penerima pesan. Misalnya,
ketika anda mengatakan “tidak” tanpa anda sadari anda juga menggelengkan kepala pada saat yang tanpa
anda sadari anda juga menggelengkan kepala pada saat sama, anda tidak mengatakan “tidak” terlebih
dahulu lalu menggelengkan kepala sesudahnya (Mulyana, 2005:312). Hal ini yang telah diterapkan oleh
Gus Dur ketika beliau selalu menyelaraskan apa

yang dikatakan dan dilakukan. sebagaimana

dikemukakan oleh salah satu keponakannya yang kini menjabat sebagai salah satu Menteri di
Kabinet Indonesia bersatu jilid II, Muhamin Iskandar; “Menariknya Gus Dur itu kan, bukan

hanya sekedar tulisan atau gagasan, tetapi dia melakukan komunikasi dengan melakukan
gerakan”.
Gus Dur dibekali oleh ketajaman pikiran dan ingatan yang sangat luas, salah satu dari
sifat utamanya adalah keingintahuan, serta tingginya rasa humor Gus Dur. Oleh karenanya beliau
akan menjadi teman yang menyenangkan dan oleh karena itulah beliau memiliki banyak teman
(Barton, 2002: 458). Hal yang senada juga dipaparkan oleh Nur Kholisoh bahwasanya keluwesan
Gus Dur dalam bergaul, membuatnya mudah menjalin hubungan dengan berbagai komunitas

sosial. Tidak mengherankan kalau kemudian banyak orang yang berasal dari berbagai macam
komunitas dapat menerima dan mendukung ide-ide demokrasi yang diperjuangkannya. Gus Dur
adalah komunikator yang ulung dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap orang lain,
bahkan orang yang berbeda agama, sosial, dan budaya denganya. Pandangan ini disampaikan
oleh Slamet Effendi Yusuf berikut ini:
“Ya, komunikator ulung. Jadi kalau you bilang komunikator politik yang ulung,
Gus Dur seperti itu. Termasuk, bagaimana beliau menjalin hubungan dengan
berbagai komunitas sosial dari berbagai kalangan, sedemikian rupa. Dan
kemudian beliau itu dijadikan sumber inspirasi dari berbagai tokoh. Jadi, kayak
temen-temen Konghucu, boleh dikatakan, andaikata umat Islam mengizinkan
mungkin ini (Gus Dur) akan jadi nabinya orang Konghucu. Kan, pernah minta
izin, untuk mendirikan patung Gus Dur di vihara, saking agungnya orang ini.
Orang-orang Katolik merasa terlindungi, orang-orang apa…orang-orang…
pejuang-pejuang kemerdekaan, kaum minoritas, pejuang hak-hak demokrasi
meras terlindungi”
Di dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana Gus Dur meramu setiap perkataannya
sebagai seorang komukator politik agar mudah diterima oleh seluruh golongan dan lapisan
masyarakat, salah satunya yaitu menambahkan bumbu humor dalam setiap pesan politiknya.
Kebiasaan Gus Dur menyampaikan pesan politik melalui ‘guyonan’ atau humor menunjukkan
kecerdasannya dalam memahami emosi orang yang diajaknya bicara. Menurut Gus Dur pesan

politik yang berat sekalipun, kalau disampaikan dengan humor, akan lebih mudah dipahami dan
diterima, meski pun itu merupakan teguran atau sindiran bagi orang yang diajaknya bicara. Salah

satu contoh bagaimana Gus Dur mengeksplorasi humornya, adalah seperti yang dikemukakan
oleh Magnis-Suseno dalam (Kholisoh, 2012: 95-96) berikut:
Dalam suatu pertemuan Gus Dur menceritakan ada tiga orang tokoh agama,
yaitu seorang kiai, pastor dan pendeta. Ketiga tokoh agam atersebut bermaksud
masuk surga karena mereka merasa sudah banyak ber buat baik selama hidupnya
termasuk mengajak umat manusia untuk berbuat baik. Sesampainya mereka di
pintu surga, mereka bertemu dengan malaikat penjaga surga yang menahan
merekan untuk masuk ke surga. Sebelum masuk surge, malaikat penjaga pintu
surge meminta kepada ketiga tokoh agama tersebut untuk mengisi beberapa form,
yaitu formulir yang berisi beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh ketiga
tokoh agama tadi. Nah… ketika mereke (ketiga tokoh agama tersebut) sedang
sibuk mengisi formulir yang diberikan oleh malaikat penjaga pintu surga, tibatiba dating seorang laki-laki dengan agak bau-bau alkohol. Setiba dia di depan
pintu surga, lalu malaikat penjaga pintu surge langsung mempersilahkan lakilaki yang agak berbau alkohol tadi untuk masuk ke surga tanpa bertanya terlebih
dahulu apalagi mengisi form. Tentu saja… hal ini membuat ketiga tokoh agama
yang sejak tadi sudah menunggu dengan mengisi form pertanyaan menjadi heran
dan langsu bertanya kepada malaikat penjaga pintu surga, kenapa laki-laki yang
baru dating dengan sedikit babuk itu kok bias langsung masuk surge tanpa

ditanya sedikit pun, sementara memreka yang terlebih dahulu dating belum boleh
masuk ke surge sebelum mengisi form. Lalu apa jawaban malaikat? Kalian tahu,
ketika berceramah dan memberikan nasehat di mesjid atau gereja, para jamaah
banyak yang tertidur karena mendengar nasehat dari kalian itu. Sedangkan lakilaki tadi, ketika dia mengendarai kendaraan umum dan mengantarkan para
penumpang, justru para penumpang khususk berdo’a untuk keselamatan mereka.
Menurut Magnis-Suseno dalam (Kholisoh, 2012: 90), ketika berbicara dengan Gus Dur,
pembicaraan yang serius justru disampaikan dengan cara yang sangat santai bahkan terkesan
seperti gosip. Bagi orang awam yang tidak mengenal Gus Dur dan kultur Jawa, hal ini akan

terlihat aneh, karena mereka berpikir pembicaraan itu hanya main-main saja. Oleh karena itu,
diperlukan kemampuan yang baik untuk memahami pembicaraan Gus Dur.
Tulisan Gus Dur berjudul ”Melawan melalui lelucon “ yang dirmuat dalam Tempo, 19
desember 1981 disebutkan bahwa Gus Dur mampu menyampaikan pesan politiknya yang
terkesan berat, terkadang dilakukang dan ‘goyunan’ atau humor yang ringan sehingga lebih
mudah dipahami dan diterima. Menurut Gus Dur, lelucon sebagai wahana ekspresi memiliki
kegunaan tersendiri. Minimal mampu mencairkan suasana dan sebagai pemersatu bahasa rakyat
dan mengidentifikasi masalah-masalah yang diresahkan. Selain itu, lelucon juga mampu
menggalang kesatuan dan persatuan minimal mengidentifikasi ‘lawan bersama’, serta untuk
kritik terhadap keadaaan yang tidak menyenangkan di tempat sendiri.
Humor bagi Gus Dur merupakan pelengkap hidup yang melengkapi kepribadianya.

Dalam setiap pembicaraan masalah-masalah apapun selalu terdengat joke-joke segarnya. Sikap
Gus Dur yang humoris ternyata mampu mencairkan situasi yang tegang, mempermudah sesuatu
yang ruwet, meringankan hal yang berat, dan mempermudah sesuatu yang pelik dan ‘njlimet’.
Cita rasa humor yang tinggi ini menjadikan Gus Dur selalu tampil santai dan sederhana. Kalimat
“gitu aja kok repot”, seolah sudah menjadi “trade mark” Gus Dur. Menariknya lagi, Gus Dur
mampu membawa siapapun lawan bicaranya ke dalam suasana humor, baik kawan maupun
lawan.
Pada sekitar tahun 2006 televisi menyuguhkan acara yang menarik yakni sebuah acara
kritikan dan sindiran terhadap pemerintah dengan gaya ‘guyonan’, salah satunya adalah acara
Republik Benar Benar Mabok (BBM), Republik BBM ini diciptakan untuk menyampaikan kritik
dengan cara cair dan penuh humor (Koespradono, 2008:120). Ide cerita dan proses kreatif
Republik BBM dilatarbelakangi peristiwa-peristiwa yang diberitakan di surat kabar. Konsep
acara Republik BBM adalah ngobrol-ngobrol ala warung kopi, sehingga topik apa saja bias
disajikan isu pembicaraan. Maka dari konsep ini, melalui tayang ingin mampu menjadi sarana
penyampaian pesan-pesan positif yang diharapkan mampu membangun rasa kesatuan dan
persatuan bangsa Indonesia.
Gus Dur dan Demokrasi
Dalam buku Demokrasi

Aja Kok Repot: Retorika Politik Gus Dur Dalam Proses


Demokrasi Di Indonesia ini diulas tuntas tentang demokrasi yang dipahami sebagai pembebasan,

keadilan dan persamaan yang merupakan nilai-nilai pluralisme, yaitu kebhinekaan suku, agama,
dan ras yang menjadi bagian dari realitas kehidupan bangsa Indonesia yang selalu diperjuangkan
oleh Gus Dur.
Secara lengkap dan jelas dalam buku ini diuraikan bagimana bangsa Indonesia sebagai
sebuah negara yang memiliki kebhinekaan etnis, agama, dan budaya telah melahirkan
persentuhan beragama budaya dan adat istiadat antara kelompok masyarakat. Kebhinekaan yang
telah berlangsung sejak lama ini, seringkali memicu terjadinya konflik. seperti kekerasan yang
mengatasnamakan agama, menjamurnya aliran kepercayaan yang menyimpang, perang suku, dan
lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena kebhinekaan yang ada hanya sekedar menjadi
indifference (ketidakpedulian) satu sama lain. Kebhinekaan hanya membentuk masyarakat yang
hidup bersama-sama tetapi sesungguhnya berada dalam ‘dunianya’ masing-masing tanpa ada
upaya untuk berperan aktif dalam membangun kebersamaan yang dilandasi oleh sikap saling
menghormati dan menghargai.
Belum terhapus dalam ingatan kasus Bom Bali yang menewaskan ratusan orang yang
tidak berdosa baik dalam maupun luar negeri, munculnya berbagai gerakan sparati seperti;
Gerakan Aceh Merdeka (GAM); Republik Maluku Selatan (RMS) merupakan ancaman NKRI,
maraknya ajaran agama yang dianggap menyimpang serta kekerasa yang berlatar belakang

RASA. Inilah sebagian contoh kasus yang terjadi akibat merosotnya nila-nilai demokrasi di
negara ini.
Merosotnya semangat kebangsaan dan mengedepankan semangat agama, etnis, dan
daerah telah menimbulkan solidaritas sempit dalam bentuk keagamaan. Jika tahun-tahun awal
pasca kemeerdekaan semua warga negara larut dalam kesadaran berbangsa yang tinggi, saat ini
kesadaran beragama justru mengambil bentuknya yang sangat sectarian. Para penganut berbagai
agama justru hanya merasa terikat pada kemajuan agama masing-masing. Kecurigaan antara para
pemeluk berbagai agama juga terasa sangat besar (Musa, 2010: 107).
Untuk itu, perlu ditumbuhkan kesadaran akan adanya kebhinekaan sebagai kekuatan yang
dapat memersatukan keseluruhan komponen bangsa. Hal inilah yang mendasari perjuangan Gus
Dur dalam menyampaikan ide-idenya tentang pluralisme. Pluralism dan multikultural yang
diajarkan oleh Gus Dur tidak hanya menjadi inspirasi bagi bangsa ini, tetapi bangsa-bangsa lain
di dunia. Ide-ide dan gagasan tentang pluralisme, kadangkala juga disampaikan melalui humor
yang menarik, sebagaimana dikemukakan oleh Magnis-Suseno dalam (Kholisoh, 2012: 98-99):

“Dia juga punya satu lelucon lain, yaitu juga mengenai pluralism, yaitu tentang
seorang pendeta. Tapi, sebenarnya dia bis apilih siapa saja, bias juga pastor.
Jadi, ada pendeta mengetuk pintu surga, mau masuk surga, lalu dibukakan oleh
malaikat. Malaikat bertanya, mau kemana pak? Lalu dia (pendeta tadi)
mengatakan mau ke surga. Malaikat kemudian bilang, o ya…, masuk-masuk…

lalu pendeta itu masuk ke surge dan mendapatkan kamar nomor 5 (di surga ada
banyak kamar). Kemudian dating lagi orang-orang, ada kiai, orang biasa, orang
budha juga datang. Semua boleh masuk, tetapi mereka masuk ruang bersama
yang ada di surga. Jam dua belas siang, mereka mengajak mereka ke kamar
makan sekalian makan siang karena di surge waktunya makan siang. Lalu ada
yang bertanya kepada malaikat, apakakah pendeta yang ada dikamar nomor 5
tidak mendapat makan? Malaikat menjawab, o… kita ini kan di surge, tentu dia
dapat makan. Tetapi, coba kalau dia membuka pintu dan melilah kalian, dia pasti
sedih karena dia mengira dialah satu-satunya orang yang masuk ke surge. Nah,
Gus Dur bercerita seperti itu. Ini bagus, jadii lelucon seperti itu membuat orang
reflektif, tidak usah dijelaskan”.
Pluralitas bangsa Indonesia harus berjalan seiring dengan demokrasi yang didalamnya
terdapat nilai kebersamaan dan kebebasan. Dengan demokrasi, masing-masing komunitas dapat
mengembangkan kreatifitas dan belajar untuk menyamakan pandangan serta sikap dewasa dalam
berbeda pendapat. Karena itu, dalan pandangan Gus Dus perlu dilakukan upaya saling
memahami dalam konteks kedewasaan demokrasi, bukan sikap harus saling menyamakan atau
menyeragamkan (Musa, 2010:112).
Mengapa Gus Dus Dikagumi?
Dalam buku ini, penjelasan yang sangat terperinci digambarkan oleh Nur Kholisoh
mengenai bagaimana seorang Gus Dur yang mampu menyampaikan pesan-pesan politiknya

dengan cerdas agar mudah dipahami dan diterima oleh khalayak dengan ciri khas yang sering
menggunakan humor dalam berkomunikasi. Hal ini menunjukkan kemampuan Gus Dur dalam
memahami kondisi psikologis masyarakat awam yang tidak suka dengan bahasa yang rumit dan

nasehat yang terlalu kaku. Hal ini juga menunjukkan kebiasaan Gus Dur dalam menyampaikan
pesan politik melalui ‘guyonan ‘ dan humor menunjukkan kecerdasan dalam memahami emosi
orang yang diajaknya bicara. Humor merupakan bagian dari karakter kearifan yang khas dari
sosok seorang Gus Dur dalam berkomunikasi yang hampir tidak dimiliki oleh para pemimpin
kita sekarang ini.
Berbagai alasan rasional untuk menjawab pertanyaan “Mengapa Gus Dus Dikagumi?”.
Gur Dur merupakan sosok yang mampu memahami dan mengerti dari karakter bangsa sendiri,
Gus Dur juga mempersilahkan atau mengamikan dirinya untuk menyerap semua aspirasi dan
menampung keragaman adat istiadat yang berkembang di dalam masyarakat. Menurut Dr. Ali
Masykur Musa, apa yang diberikannya terhadap masyarakat Papua, misalnya, adalah contoh dari
kemampuanya dalam memahami karakter budaya itu. Demikian juga yang dilakukannya
terhadap masyarakat Aceh. Ia tidak hanya menyerukan ‘peperangan di Aceh dihentikan, tetapi
juga membangun kesepahaman dengan GAM atas dasar aspirasi orang Aceh sendiri.
Lihatlah bagaimana Gus Dur dengan santainya keluar menuju beranda Istana Negara
hanya mengenakan kaos dan celana pendek, lalu melambaikan tangan kepada rakyat yang
mendukungnya tanpa takut imejnya sebagai tokoh bangsa akan jatuh. Lihat juga bagaimana Gus
Dur dengan enteng menjawab setiap pertanyaan menyangkut permasalahn yang dihadapi oleh
rakyat. Gus Dur melakukan itu semua tanpa khawatir citra dirinya akan merosot. Rakyat melihat
apa yang dilakukan Gus Dur lebih pada spontanitas tindakan seorang manusia yang selalu
mengikuti kata hatinya (Musa, 2010: 131).
Perilaku Gus Durs yang spontan dan tidak dibuat-buat itulah yang mendorong warga
masyarakat Tionghoa “jatuh hati” dan menobatkanya sebagai “Bapak Tionghoa Indonesia”.
Menurut Liues Sungkharisma

dalam (Musa, 2010: 131) tokoh masyarakat Tionghoa yang

dikenal dekat dengan Gus Dur, jauh sebelum Gus Dur menjadi Presiden ia telah menunjukkan
perhatian yang bersar terhadap warga Tionghoa. Bangsa ini, kata liues, sesungguhnya
membutuhkan pemimpin yang bias bertindak seperti Gus Dur. Cepat, lugas, spontan, jujur dan
tidak dibuat-buat. Seorang pemimpin yang mendasarkan tindakanya pada hati nurani, tidak pada
pertimbangan politik kekuasaan.
Dalam sebuah Forum Studi Kebangsaan Indonesia oleh mahasiswa FIS UM dengan
Bapak Emanuel Gotamsil yang sampai sekarang aktif dalam Paguyuban Pemberdayaan
suwadaya masyarakat (PPSM) dan Gatara (LSM Gus Dur atau sering menyebut dirinya sebagai

Gusdurian) yang mengusung tema “Gus Dur dan Pluralisme” dapat diambil beberapa nilai
penting yang menjadikan masukan dan perenungan bagi mahasiwa dan masyarakat pada
umumnya, yaitu:


Gus Dur sebagi tokoh yang sangat paham terhadap bangsanya, rasa kemanusiaanya yang
sangat menusiawi mampu menjadikannya sosok seorang pemimpin yang rendah hati dan
tampil apa adanya,



Mencoba untuk membuka diri atas perbedaan yang ada,



Kesadaran kritis harus terus dibangun mengingat kegemaran Gus Dur yang haus ilmu dan
selalu belajar dari berbagai macam perbedaan yang ada sehingga mampu penjadi pilar yang
mewarnai kebhinekaan bangsa.



Untuk menciptakan masyarakat Bhineka Tunggal Eka, negeri yang Gemah Ripah Lokjinawi
semua dimulai dari diri sendiri dan hal ini harus terus dilestarikan.

Penutup
Yang menonjol dari buku ini adalah data dari setiap peristiwa politik sebagai panggung
retorika itu ada, baik dari wacana maupun ketika retorika ini ditulis. Dan yang menjadi lebih
menarik dari buku ini yaitu ulasan dengan bahasa yang jelas dan lugas langsung memberikan
pencerahan kepada para pembaca ketika perubahan yang terjadi dalam suatu komunikasi politik,
baik yang mengarah pada identifikasi maupun divisi, tidak terlepas dari substansi yang dimiliki
oleh para pelaku komunikasi. Sebagai seorang pemimpin pada masanya Gus Dur memberikan
gambaran bagaimana kita sebagai bangsa yang majemuk dan plural menghargai berbagai lapisan
etnis, suku, dan agama. Namun bangsa Indonesia merasa kesulitan untuk mempertahankan nilainilai persatuan atas kemajemukan yang ada. Karena ketidak mauan dan ketidakmampuan untuk
belajar dari sebuah kegagalan selama ini. Faktor lainya karena keresahan pemerintah untuk terus
menguras Sumber Daya Alam (SDA) untuk kepentingan sekelompok orang atau pribadi secara
tidak bermoral.
Pustaka Pembanding
Barton, Greg. 2002. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid.
Yogyakarta: LKIS.
Kholisoh, Nur. 2012. Demokrasi Aja Kok Repot: Retorika Politik Gus Dur Dalam Proses
Demokrasi Di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Pohon cahaya.

Koespradono, Gantyo. 2008. Kick Andy: Kumpulan Kisah Inspiratif. Jakarta: PT Bentang
Pustaka.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rossdakarya.
Musa, Ali Masykur. 2010. Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama.