GAGASAN KEBIJAKAN TATA KELOLA ENERGI NAS (1)

TUGAS
Mata Kuliah: Manajemen dan Ekonomi Energi

GAGASAN KEBIJAKAN TATA KELOLA ENERGI NASIONAL
DENGAN PENDEKATAN PERENCANAAN BOTTOM-UP

Oleh:
Novan Akhiriyanto

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER
MANAJEMEN TENAGA LISTRIK DAN ENERGI
2016

ABSTRAK
Tata kelola energi nasional dimulai dari mengembalikan fungsi Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan penguatan kewenangan Bappenas dalam
perencanaan pembangunan nasional terhadap Kementerian/Lembaga yang lain, terutama
dalam penanganan sektor energi pada khususnya serta diperlukan reformasi struktur
organisasi/instansi yang menangani sektor energi, baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun
Daerah. Bappenas harus memiliki skenario alternatif perencanaan pembangunan energi
berdasarkan target Kebijakan Energi Nasional (KEN). Model tata kelola ini mengadopsi tata

kelola pembangunan sektor energi di India, namun India memiliki model perencanaan energi
yang memiliki beberapa skenario dibanding Indonesia yang secara amanat harus mengacu
pada target-target KEN, hal ini dikarenakan India memiliki sumber energi, terutama batubara
yang terbatas. Dilihat dari keadaan Indonesia secara geografis kepulauan, maka diperlukan

model perencanaan pembangunan dengan pendekatan bottom-up yang memiliki implementasi
agar Pemerintah segera menggalakkan metode penelitian kualitatif yang terperinci, namun
memang penelitian kualitatif memiliki jangka waktu pengambilan data/informasi yang cukup
lama. Salah satu metode penelitian yang diterapkan yaitu Participatory Rural Appraisal
(PRA). PRA memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai kebutuhan dari masyarakat
lokal yang dapat dipenuhi oleh Pemerintah melalui pembangunan yang terencana dengan
baik, juga dapat memberikan data/informasi mengenai potensi energi secara tepat dan
terperinci pada area setempat.

Kata kunci: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), reformasi struktur
organisasi/instansi, pendekatan bottom-up, penelitian kualitatif, Participatory Rural Appraisal
(PRA), potensi energi

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Dalam sejarahnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pertama kali
dibentuk dengan tujuan membantu Pemerintah untuk merencanakan pembangunan sosial dan
ekonomi Indonesia. Selama berkuasanya Orde Baru, anggaran menjadi tanggung jawab
penting Bappenas. Setiap tahunnya, Bappenas melakukan penilaian terhadap paling sedikit
3.500 proyek pembangunan, termasuk membuat prioritas dan memantau pelaksanaannya.
Setelah berakhirnya era Orde Baru ditandai dengan krisis moneter membuat
Pemerintahan menjadi lebih desentralistik, sehingga Bappenas yang mempunyai peran vital
pada masa Orde Baru telah dipersempit kewenangannya, antara lain dengan adanya sistem

otonomi daerah dan lahirnya UU 17/2003 tentang Keuangan Negara memangkas peran
Bappenas dalam melaksanakan fungsi anggaran, apalagi dengan adanya hak budgeting DPR.
Hal tersebut di atas, juga membawa dampak yang sangat berpengaruh pada
pembangunan infrastruktur bidang energi, terutama sub sektor ketenegalistrikan. Saat ini
kapasitas terpasang pembangkit listrik telah mencapai 55.528 MW dengan dominasi PLTU
batubara, capaian tersebut juga menghadapi berbagai hambatan, diantaranya pembebasan
lahan akibat lemahnya institusi dan koordinasi di antara instansi Pemerintah terkait di tengah
situasi keterbatasan investasi sektor energi. Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur
ketenagalistrikan, Pemerintah telah mencanangkan Program Percepatan Pembangunan
Pembangkit 35.000 MW dengan memperbaiki mekanisme yang lalu dengan berbagai
kebijakan. Program ini juga masih dominan menargetkan pembangunan PLTU batubara

dengan jumlah pembangunan pembangkit paling banyak di Jawa mencapai 23.863 MW atau
sekitar 55% dari keseluruhan pembangkit Program 35.000 MW (42.940 MW). Padahal rasio
elektrifikasi yang telah mencapai 88,3% tersebar tidak merata di seluruh wilayah Indonesia,
terbesar di Jawa. Di samping itu, perkembangan kapasitas terpasang pembangkit energi
terbarukan (EBT) masih mencapai 11.330 MW, masih jauh dari harapan yang ditargetkan oleh
Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Dengan adanya kondisi di atas, maka perlu adanya penguatan peran Bappenas dalam hal
penyusunan program, anggaran serta evaluasi perencanaan pembangunan yang membawahi
seluruh Kementerian/Lembaga yang ada. Bappenas diharapkan bertindak sebagai pemeran
sentral dalam perencanaan pembangunan. Serta perlu perombakan struktur organisasi
Kementerian/Lembaga sehingga dapat lebih tajam dalam melakukan tugas pokok dan
fungsinya dalam pelaksanaan pembangunan.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah menemukan gagasan ataupun pendapat tentang
bagaimana seharusnya tata kelola sektor energi di Indonesia ke depan dengan
mempertimbangkan dokumen skenario sektor energi (Skenario Bandung) yang telah
diprakarsai oleh Pemerintahan yang lalu, target-target dalam KEN, pendekatan perencanaan
secara bottom-up menggunakan metode participatory rural appraisal (PRA) serta adaptasi
tata kelola energi di India.
1.3. Batasan Permasalahan

Untuk lebih fokus dalam pembahasan, maka diperlukan batasan dalam pembahasan.
Dalam makalah ini, tidak dipertimbangkan permasalahan mengenai lama waktu yang
dibutuhkan metode PRA serta seberapa akurat informasi/data yang dihasilkan metode ini pada
masyarakat lokal, karena metode PRA termasuk dalam penelitian kualitatif. Makalah hanya
mengusulkan konsep relatif baru mengenai pendekatan perencanaan serta reformasi
pengelolaan dalam Pemerintahan terkait sektor energi, terutama sub sektor ketenagalistrikan.

BAB II. LANDASAN TEORI
2.1. Garis Besar Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Mekanisme perencanaan pembangunan ditetapkan dengan mempertimbangkan hasil
Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) dengan mengikutsertakan
aspirasi Pemerintah Daerah serta perwakilan Pemerintah Pusat (Kementerian/Lembaga sektor
terkait) yang merupakan implementasi dari era Otonomi Daerah, kemudian usulan rencana
pembangunan disampaikan dalam Trilateral Meeting (rapat tiga pihak) antara Bappenas,
Kementerian Keuangan dan Kementerian/Lembaga terkait, yang merupakan implementasi
dari UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Keuangan Negara.
Dalam rapat ini, Kementerian Keuangan akan mempertimbangkan kecukupan
penganggaran atas suatu rencana/program yang telah dihasilkan dalam Musrenbangnas. Pada
tahap ini, sering kali usulan rencana/program menghadapi hambatan, sehingga beberapa

usulan akan ditolak demi kecukupan anggaran negara. Setelah melewati tahapan ini, usulan
rencana/program yang telah tersaring dan disetujui dalam Trilateral Meeting akan
disampaikan dalam Rapat Kerja DPR RI dengan Kementerian/Lembaga terkait dengan
membahas rincian rencana/program pembangunan beserta anggarannya, karena DPR RI
mempunyai hak budgeting yang mekanisme teknisnya akan disahkan dalam Rapat Badan
Anggaran DPR RI bersama Pemerintah yang kemudian ditetapkkan menjadi UU Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sehingga beberapa usulan rencana/program yang
pada awalnya telah disampaikan dalam Musrenbangnas berpotensi tidak dapat difasilitasi
melalui APBN.
Di samping itu, pada tingkat desentralistik selain adanya peraturan mengenai otonomi
daerah (UU 32/2004 jo UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33/2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah), juga UU 6/2014
tentang Desa menyebabkan keputusan di sektor energi tidak bergantung lagi dengan
Pemerintah Pusat. Sehingga dari Pemerintah Daerah sampai Pemerintah setingkat Desa
diharapkan mampu untuk mengatur anggaran dan keuangannya sendiri sesuai dengan
kebutuhan rencana pembangunan setempat melalui kewenangan penerimaan perpajakan
tertentu masing-masing Pemerintah Daerah yang telah diserahkan oleh Pemerintah Pusat,
dana alokasi khusus, dana dekonsentrasi maupun dana desa yang semuanya berasal dari
APBN.
Hal ini disebabkan ketidakpuasan yang mulai merebak di daerah yang kaya cadangan

energi fosil karena merasa Pemerintah Pusat hanya mau sumber daya alamnya tapi
mengabaikan pembangunan setempat untuk menikmati pertumbuhan dan peningkatan standar
hidup dari sumber daya yang menjadi hak Daerah. Serta juga meyebabkan kesenjangan yang
semakin lebar antara penduduk desa dan kota. Selain itu, wilayah-wilayah yang memiliki
sumber energi terbarukan merasa kurang mendapat pemberdayaan dan dukungan dari
Pemerintah Pusat dalam mengelola sumber-sumber energi tersebut. Secara umum, kelangkaan
energi semakin nyata pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Diperparah dengan mulai
dicabutnya subsidi energi secara bertahap. Sehingga untuk menanggulangi ketegangan
tersebut, Pemerintah Pusat mulai melakukan kebijakan pendekatan yang pruralistik, dari
bawah ke atas (bottom-up) guna mengimbangi tuntutan Otonomi Daerah yang lebih besar di
tengah menghadapi kesulitan dalam menyediakan kecukupan pasokan energi akibat
kelangkaan energi global.
Sebenarnya pada masa Pemerintahan saat ini, mulai bermaksud untuk melakukan
penguatan fungsi dan kewenangan Bappenas seperti pada era Orde baru, dimana kedudukan

Bappenas di bawah langsung Presiden, akan menjadi sangat vital kembali. Perubahan fungsi
Bappenas disebabkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan DPR RI tidak lagi bisa
membahas sampai satuan tiga (rincian rencana anggaran dan belanja Kementerian/Lembaga),
sehingga kewenangan membahas rincian tersebut akan dikembalikan kepada Bappenas,
demikian yang diungkapkan oleh Sekretaris Kabinet[1].

2.2. Skenario Awak Kapal (Skenario Bandung) [2]
Pada masa akhir Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II, mulai digagas mengenai
ide untuk mengatasi permasalahan tata kelola energi yang lebih baik berdasarkan 4 skenario
(Skenario Bandung) yang mungkin dapat terjadi ke depan oleh para pemangku kepentingan
sektor energi atas inisiatif Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP-PPP), dimana semua skenario tersebut mempunyai tantangannya
masing-masing. Skenario-skenario tersebut menciptakan kerangka kerja dan bahasa bersama
untuk mendukung dialog, debat, dan pengambilan keputusan para pemangku kepentingan di
dalam maupun di luar sektor energi. Skenario Bandung sektor energi digambarkan pada
Tabel-1 di bawah.

Tabel-1. Skenario Bandung

Dari kondisi yang terjadi saat ini, maka indikasi-indikasi kondisi menunjukkan bahwa
Skenario Awak Kapal lebih mendekati kondisi dan tantangan ke depan. Dimana dengan
adanya UU 23/2014 dan UU 6/2014 maka kewenangan Pemerintah Daerah sampai tingkat
Desa sekalipun menjadi lebih besar untuk mengatur anggaran dan belanja pembangunan
masing-masing.
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel-1 di atas. Bahwa melihat situasi tersebut serta
kemungkinan yang dapat terjadi melalui Skenario Awak Kapal, sebenarnya Pemerintahan saat

ini telah mempersiapkan dasar-dasar kebijakan untuk mendukung Skenario Awak Kapal ini.
Terbukti dengan adanya pendistribusian Dana Desa oleh Kementerian Desa dan
Pembangunan Daerah Tertinggal (KDPDT), sehingga Pemerintahan setingkat Desa dapat
mengalokasikan Dana Desa tersebut sesuai dengan kebutuhan dan potensi masyarakat desa
melalui perencanaan pembangunan desa setempat yang telah disetujui oleh seluruh perangkat
desa. Dari segi pendekatan perencanaan pembangunan, maka kondisi ini sangat
memungkinkan diterapkannya pendekatan pruralistik/bottom-up dengan lebih luas yang
bertujuan melaksanakan pembangunan lebih tepat sasaran dan berkelanjutan karena pelaku

perencanaan pembangunan merupakan objek sasaran pembangunan itu sendiri, namun masih
di bawah pengawasan Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam teknis pelaksanaannya sesuai
prinsip Good Governance.
2.3. Kebijakan Energi Nasional
Sebagai upaya untuk mendukung pemerintah dalam mengembangkan manajemen
pengelolaan energi di tanah air, Dewan Energi Nasional (DEN) sesuai dengan tugas pokok
dan fungsinya telah merancang KEN. Saat ini Peraturan Pemerintahan (PP) KEN yang
merupakan panduan operasional bagi tata kelola kebijakan energi hingga 2050 sudah
terbentuk dengan lahirnya PP 79/2014 yang telah disahkan oleh Pemerintahan Kabinet
Indonesia Bersatu serta Pemerintahan saat ini sedang menjabarkannya dalam bentuk Rencana
Umum Energi Nasional (RUEN). Dasar pemikiran mengenai terbentuknya KEN atas dasar

adanya pernyataan bahwa permasalahan energi Indonesia saat ini bukan disebabkan tidak
mempunyai sumber daya energi, tetapi karena belum ditemukannya manajemen tata kelola
yang tepat untuk Indonesia yang secara geografis merupakan negara kepulauan. Perencanaan
dan pembangunan energi menganut konsep negara kontinental sehingga kurang tepat untuk
Indonesia.
Secara definisi, KEN merupakan kebijakan pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip
berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya Kemandirian Energi
dan Ketahanan Energi Nasional. Kemandirian Energi adalah terjaminnya ketersediaan energi
dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari sumber dalam negeri. Ketahanan
Energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan, akses masyarakat terhadap energi pada
harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan
terhadap lingkungan hidup.
Bauran energi sampai dengan 2050 dalam KEN menitikberatkan pada pencapaian target
peningkatan porsi EBT sampai dengan 31% dari bauran energi total pada 2050, dengan
kapasitas terpasang pembangkit listrik ditargetkan sebesar 430 GW. Target porsi EBT dalam
jangka menengah pada 2025 sebesar 23%, dengan dengan kapasitas terpasang pembangkit
listrik ditargetkan sebesar 115 GW. Seperti yang ditunjukkan dalam Gambar-1 di bawah.
Kebijakan mengenai energi nasional ini dibentuk agar dapat dijadikan sebagai payung hukum
dalam hubungan kebijakan pemerintah mengenai energi. Tujuan pengadaan KEN yaitu agar
dapat dijadikan sebagai acuan dalam menata dan juga mengelola energi Indonesia di masa

mendatang.

Dengan begitu Indonesia akan menjadi negara yang mandiri, terutama dalam bidang
energi. Oleh sebab itu, KEN sangat penting untuk ada dan juga dipertahankan. KEN disusun
sebagai pedoman dalam mengelola energi demi mewujudkan ketahanan energi yang juga
sebagai sistem pendukung. KEN atau kebijakan energi nasional sendiri menetapkan sasaran
penyediaan dan juga pemanfaatan energi primer serta energi final.

Gambar-1. Target Kebijakan Energi Nasional

2.4. Tata Kelola Energi di
India[3]
India bertransisi menjadi
pemakai energi terbesar ketujuh
dunia pada tahun 2000. Negara
ini
mempunyai
kapasitas
pembangkit listrik terbesar
kelima dunia. Bauran energi di

India meliputi semua sumber
daya energi, termasuk energi
terbarukan. Dominasi dari
energi primer batubara dalam
bauran energi nampaknya akan
berlanjut pada masa mendatang.
Saat ini ketergantungan India terhadap impor energi primer batubara menjadi suatu
permasalahan tersendiri, karena sekitar 58% dari total kapasitas pembangkitan energi listrik
berasal dari batubara. Kapasitas terpasang PLTU batubara mencapai 86% dari total kapasitas
terpasang pembangkit thermal yang mempunyai porsi 67% dalam bauran energi primer untuk
pembangkitan. Sedangkan porsi energi primer lainnya, seperti energi terbarukan mencapai
13%, energi hidro mencapai 17% dan energi nuklir bertahan pada posisi 2% dalam porsi
bauran energi.
Terdapat beberapa instansi dalam sektor energi di India. Dengan Komisi Perencanaan
(Planning Commission) di atasnya yang sekarang menjadi institusi NITI Aayog (National
Institution for Transfroming India), 5 Kementerian membidangi kebijakan energi untuk
masing-masing jenis bahan bakar dan Kementerian-Kementerian yang lain serta Pemerintah
Pusat yang secara langsung atau tak langsung dapat mempengaruhi kebijakan dalam energi.
Seperti terdapat pada Gambar-2 di bawah.
Komisi Perencanaan (Planning Commission) dibentuk oleh resolusi pemerintah India
pada tahun 1950 dengan Jawaharlal Nehru sebagai ketua pertama untuk mempercepat
pembangunan ekonomi dengan mengalokasikan sumber daya nasional secara efisien dan
memastikan kesempatan dibuka untuk semua kalangan masyarakat. Komisi Perencanaan
memiliki tanggung jawab untuk menilai sumber daya nasional, untuk menentukan prioritas
dan merumuskan perencanaan. Peran Komisi Perencanaan sangat penting karena merumuskan
rencana lima tahunan dan memantau implementasi berdasarkan konsultasi dengan
kementerian pusat dan pemerintah federal dalam prosesnya, namun tidak memiliki kekuatan
untuk mengimplementasikan kebijakan. Perdana Menteri India sebagai ketuanya dan
memberikan arahan kepada komisi pada semua isu-isu kebijakan utama, sementara ada wakil
ketua dan anggota tetap yang berfungsi sebagai badan gabungan melalui beberapa divisidivisi khusus.
Pembuatan kebijakan dan implementasi di sektor energi terbagi di antara lima kementerian,
dan beberapa komisi pemerintah dan lembaga. Sebelumnya, terdapat Kementerian Energi,
Kementerian ini membawahi bidang ketenagalistrikan, batubara dan energi non-konvensional.
Dengan adanya reformasi ekonomi nasional, Kementerian Energi dibagi menjadi 5
kementerian yang terpisah pada tahun 1992, yaitu Kementerian Ketenagalistrikan (Ministry of

Gambar-2. Struktur Pemerintahan Sektor Energi India

Power

MOP)
bertanggungjawab
untuk
sektor
kelistrikan
dan
seluruh
urusan
yang
menyangkut
kelistrikan;
Kementerian
Batubara
(Ministry of Coal – MOC)
bertanggungjawab
untuk
kebijakan eksplorasi dan
pengembangan
cadangan
batubara; dan Kementerian
Energi Baru dan Terbarukan
(Ministry of New and Renewable Energy – MNRE) melaksanakan program nasional untuk
meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan seperti energi angin, matahari dan minihidro.
Kementerian Minyak dan Gas Bumi (Ministry of Petroleum and Natural Gas – MOPNG)
mengawasi semua aspek dari sektor minyak dan gas alam, termasuk eksplorasi, produksi,
pemasaran dan impor/ekspor. Serta Departemen Energi Atom (Department of Atomic Energy
– DAE). Sedangkan Otoritas Kelistrikan Pusat untuk mengawasi dan menentukan penerapan
kebijakan pengusahaan ketenagalistrikan mulai dari investasi, perizinan usaha sampai dengan
penentuan tarif listrik yang ditangani oleh Pemerintah Pusat. Otoritas ini memiliki perwakilan
pada tiap negara bagian di seluruh India, mulai dari daerah perkotaan sampai daerah terpencil.
2.5. Metode Participatory Rural Appraisal (PRA)
Secara harfiah metode ini dapat diartikan sebagai pengkajian pedesaan dan secara
partisipatif. Menurut Robert Chambers (yang mengembangkan metode ini) mengartikan
sebagai sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat pedesaan dan atau
pesisir untuk turut serta meningkatkan dan mengkaji pengetahuan mereka mengenai hidup
dan keadaan mereka sendiri agar meraka dapat menyusun rencana dan tindakan
pelaksanaannya.
Metode ini bukan sekedar pengkajian, melainkan melibatkan masyarakat dalam
keseluruhan proses kegiatan sejak mulai mengenal kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan sampai mengevaluasi kegiatan. Juga bukan saja untuk masyarakat pedesaan,
melainkan juga untuk perkotaan. Alasan dikembangkannya metode PRA dikarenakan adanya
kelemahan pendekatan top-down, dimana terdapat ketidakselarasan antara Peneliti dan
Perencana dengan pelaksanaan kegiatan. Dari kenyataan selama ini, bahwa masyarakat hanya
sekedar sebagai pelaksana kegiatan atau objek pembangunan, tidak merasa pemilik
perencanaan/program kegiatan pembangunan serta ada keberlanjutan apabila program
pembangunan telah selesai dilaksanakan. Tujuan yang ingin dicapai dari penerapan metode
ini, yaitu:
1. Tujuan Jangka Pendek: yaitu melaksanakan kegiatan bersama masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan praktis dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
2. Tujuan Jangka Panjang adalah untuk mencapai pemberdayaan masyarakat dan perubahan
sosial dengan pengembangan masyarakat melalui proses pembelajaran.[4]
PRA adalah pengenalan masalah/kebutuhan dan potensi wilayah pedesaan secara umum;
perumusan masalah dan penetapan prioritas masalah; identifikasi alternatif pemecahan

Gambar-3. Tahapan Pelaksanaan PRA[4]

masalah; pemilihan alternatif
pemecahan masalah sesuai
dengan
kemampuan
masyarakat dan sumberdaya
yang tersedia; perencanaan
penerapan gagasan; penyajian
rencana
kegiatan
guna
mendapatkan masukan dan
penyempurnaan di tingkat yang
lebih besar; pelaksanaan dan
pengorganisasian masyarakat
sesuai dengan kebutuhan dan
tingkat
perkembangan
masyarakat; pemantauan dan
pengarahan; serta evaluasi dan
rencana tindak lanjut.
Adapun tahapan-tahapan
pelaksanaan
PRA
secara
ringkas adalah penelusuran
kondisi wilayah desa dari masa
ke masa; pencatatan kalender
musiman
berdasarkan
kebiasaan warga; gambaran
pemetaan wilayah desa; penelusuran lokasi (Transect); pembuatan Diagram Venn (bagan
hubungan kelembagaan); kajian mata pencaharian warga desa; pembuatan Matriks Ranking
(bagan peringkat); penyusunan Rencana Kegiatan Spesifik Lokasi. Dapat dilihat pada
Gambar-3 di atas, memang proses pelaksanaan metode PRA menggunakan suatu pendekatan
yang sesederhana mungkin agar setiap anggot amasyarakat dengan latar belakang pendidikan
berbeda-beda dapat memahami bersama-sama dan peduli atas pelaksanaan
rencana/pembangunan yang nantinya dapat memberikan pemberdayaan bersama. [5]

BAB III. GAGASAN KEBIJAKAN TATA KELOLA ENERGI
3.1. Peluang Perencanaan Pembangunan yang Lebih Tepat Sasaran
Dengan adanya putusan MK mengenai hak budgeting DPR RI yang menggugurkan
kewenangan lembaga tersebut untuk memeriksa sampai dengan rincian kegiatan (satuan tiga)
suatu Kementerian/Lembaga dan diserahkan kepada Bappenas kembali kewenangan tersebut
serta Bappenas ditempatkan di bawah langsung Presiden melebihi kewenangan dari
Kementerian Koordinator dan Kementerian/Lembaga lainnya, maka perencanaan/program
pembangunan yang akan dilaksanakan oleh tiap Kementerian/Lembaga diharapkan akan
berjalan lebih tepat sasaran, karena Bappenas dianggap mengerti tentang analisis teknokratis
suatu perencanaan/program yang diusulkan oleh tiap Kementerian/Lembaga.
Namun, kewenangan Bappenas tentang penganggaran ini masih dirasa kurang sempurna
seperti pada era Orde Baru, karena terdapat UU Keuangan Negara yang masih membatasi

kewenangan Bappenas dalam menentukan penganggaran untuk prioritas program yang sangat
diutamakan dalam misi Nawacita Pemerintahan saat ini. Kemudian penentuan satuan biaya
kegiatan (Satuan Biaya Masukan – SBM) Kementerian/Lembaga masih merupakan domain
Kementerian Keuangan dengan penetapan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK),
padahal diharapkan Bappenas dapat menyusun satuan biaya kegiatan karena hal ini terkait
dengan penentuan satuan tiga dari pagu indikatif yang termuat dalam Rencana Kerja
Kementerian/Lembaga (Renja-K/L) ataupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Penyesuaian
atas anggaran indikatif dalam Renja-K/L atau RKP selama ini memang merupakan
kewenangan dari Bappenas. Serta kekurangan anggaran atas belanja negara
(Kementerian/Lembaga) pada suatu rencana/program pembangunan, yang penerimaannya
terbesar dari perpajakan (Kementerian Keuangan) selama ini ditutupi oleh pencarian dana
oleh Bappenas.
3.2. Peluang Penerapan Metode PRA dalam Sektor Energi
Merujuk pada uraian pada Bab II, dimana terdapat kemungkinan Skenario Awak Kapal
yang dapat terjadi serta dengan adanya Program Dana Desa maka metode PRA yang dikenal
luas sebagai metode perencanaan dengan pendekatan bottom-up sangat cocok dengan kondisi
geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Hal ini selaras dengan filosofi
pernyataan permasalahan yang mendasari tersusunnya KEN.
Ditambah dengan program Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM)
yang saat ini sedang melakukan inovasi program dengan mengirimkan para sarjana melalui
Program Penggerak Energi Tanah Air (PETA) dengan mendidik para sarjana tersebut untuk
turun ke desa-desa atau daerah-daerah terpencil dan miskin untuk menggerakkan
pembangunan infrastruktur energi yang nantinya memberikan penyuluhan kepada masyarakat
lokal agar dapat memberikan keberlanjutan program pembangunan energi ini.
Diharapkan dengan adanya program PETA ini, KESDM dapat bekerja sama dengan
KDPDT untuk melakukan kesepakatan, sehingga KDPDT dapat mengucurkan dana desa
tersebut dengan memprioritaskan dana tersebut untuk pembangunan energi, jika nantinya
berdasarkan metode PRA yang dilaksanakan memang masyarakat lokal setempat
membutuhkan infrastruktur energi agar dapat meningkatkan taraf ekonominya. Mengingat
nawacita Pemerintahan saat ini yang salah satu program prioritasnya kedaulatan energi yang
dilaksanakan sesuai dengan arahan dalam KEN. Model penerapan kerjasama antara KESDM
dengan KDPDT ini diharapkan para sarjana yang mengikuti Program PETA dapat sekaligus
menghitung potensi energi pada area kecil setempat, sehingga dapat mengetahui kapan
seharusnya dilakukan pembangunan infrastruktur energi pada area itu, sekalipun jika belum
begitu membutuhkan pembangunan infrastruktur energi, data/informasi mengenai potensi
energi telah didapat oleh Pemerintah Pusat. Sehingga ketika area ini siap untuk dilaksanakan
perencanaan pembangunan infrastruktur energi, maka data/informasi telah tersedia.
Namun memang berdasarkan catatan pengalaman yang telah melakukan metode PRA
ini membutuhkan waktu yang lama. Tetapi jika dikaitkan dengan potensi energi, terutama
energi surya/bayu maka data/informasi ini akan sangat berguna karena potensi energi
surya/bayu didapatkan lebih akurat, dengan rentang waktu paling tidak 1 tahun. Sehingga
diharapkan target bauran energi dalam KEN, terutama pembangunan EBT dapat tercapai.

Selain itu, Pendekatan khusus untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan,
karena sifat dari infrastruktur ketenagalistrikan yang memiliki manfaat secara tidak langsung
terhadap masyarakat setempat yang satu area dengan pembangkitan tenaga listrik. Maka perlu
ada Peraturan Menteri khusus mengenai pembentukan unit khusus di PLN (setingkat area) di
sekitar pembangkit dengan pentarifan khusus yang lebih murah dari TTL nasional, dihitung
sebagai tanggung jawab sosial (CSR) dari perusahaan pembangkit IPP/swasta dan/atau PLN.
3.3. Alternatif Gagasan
Dengan memperhatikan uraian di atas, maka perlu adanya perombakan dalam struktur
organisasi yang menangani sektor energi, dimana KESDM diharapkan dapat dipisah sehingga
Menteri yang menangani sektor energi dapat lebih fokus dalam mengambil kebijakan terkait
energi. Mengadaptasi struktur organisasi sektor energi di India, gagasan yang diusulkan ini
memecah KESDM menjadi 2 Kementerian, yaitu Kementerian Ketenagalistrikan dan Energi
Terbarukan – Ministry of Power and Renewable Energy; dan Kementerian Energi Hulu dan
Mineral – Ministry of Upstream Energy and Mineral), agar dapat memfokuskan urusan sektor
ESDM, terutama sektor hulu energi seperti minyak bumi, gas bumi dan batubara yang saat ini
masih dianggap sebagai komoditas ekspor yang mempengaruhi penerimaan negara.
Berdasarkan Gambar-4,
Kementerian
Ketenagalistrikan dan
Energi
Terbarukan
(KKET) dibentuk agar
dapat mengembangkan
infrastruktur
ketenagalistrikan,
terutama pembangkitan
tenaga listrik yang
berbasis sumber energi
primer
dari
EBT.
Diharapkan
KKET
memiliki kewenangan
Gambar-4. Gagasan Perombakan Struktur Organisasi yang Menangani Sektor Energi

salah satunya kebijakan untuk mengawasi dan meninjau tarif tenaga listrik (TTL) secara
nasional maupun TTL secara lokal sehingga TTL lebih tepat sasaran dan berkeadilan sesuai
potensi yang dimiliki area lokal, merencanakan program pembangunan infrastruktur
ketenagalistrikan, melalui Badan Otoritas Kelistrikan Pusat (BOK) maupun Daerah. Badan ini
juga melakukan kebijakan percepatan perizinan usaha penyediaan tenaga listrik serta
mempromosikan investasi ketenagalistrikan kepada pihak-pihak swasta yang berminat dengan
memberikan data/informasi potensi EBT yang diperoleh melalui metode PRA seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, sehingga pihak swasta memperoleh kepastian pengembalian
modal jika berinvestasi membangun pembangkit berbasis EBT, baik on-grid maupun off-grid.
Peluang ini juga muncul karena PT PLN (Persero) juga telah melakukan regionalisasi
perusahaan sehingga, penerapan TTL nasional berdasarkan kondisi suatu daerah dapat
dilakukan secara berkeadilan.

Selain itu juga, KKET dapat membentuk Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi
Energi Terbarukan (BP2TET) yang terdiri dari BLU Pusat Penelitian, Pengembangan dan
Pengkajian Energi Surya (Puspesur), BLU Pusat Penelitian, Pengembangan dan Pengkajian
Energi Angin (Puspera) serta BLU Pusat Pengembangan dan Pengkajian Energi Hidro
Marjinal (Puspemar), dimana data/informasi potensi energi dari metode PRA akan diolah dan
dilakukan pengembangan teknologi energi sesuai potensi energi area lokal setempat. Di
samping membentuk unit eselon I, terdiri dari Ditjen Implementasi dan Akses Energi
(DJIAE), Ditjen Program Energi (DJPE), Ditjen Konservasi Energi (DJKE). KKET dapat juga
membentuk UPT seperti pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(KPUPR) sehingga jejaring aspirasi daerah dapat tertampung secara seksama dan UPT ini
harus melaksanakan implementasi perencanaan/program energi, khususnya energi terbarukan
di suatu kawasan tertentu yang secara khusus diperuntukkan untuk prioritas yang lain dan
terkait energi, seperti Kawasan Ekonomi Khusus dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
(KSPN).

BAB IV. PENUTUP
Dengan adanya sistem perencanaan dengan pendekatan bottom-up diharapkan
menjamin sutau hasil pembangunan yang berkelanjutan, karena masyarakat turut merasa
memiliki hasil dari pembangunan itu sendiri. Penguatan fungsi Bappenas dalam hal
kewenangan di bidang perencanaan dan penganggaran dianggap sangat perlu untuk
diwujudkan, diiringi dengan perombakan KESDM menjadi 2 Kementerian terpisah yang
memang memiliki latarbelakang permasalahan yang berbeda sambil dilakukan penguatan
struktur organisasi dalam pemecahan KESDM.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.

https://togartanjung.wordpress.com/2014/04/15/pergeseran-peran-bappenas-2/
“Skenario Bandung – Sketsa Energi Indonesia 2030”, atas prakarsa UKP-PPP
“India: Towards Energy Independence 2030”, McKinsey & Company, Inc., January 2014
“Panduan Pengambilan Data dengan Metode Rapid Rural Appraisal (RRA) dan
Participatory Rural Appraisal (PRA) – Volume 2”, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil, 2006
5. “Participatory Rural Appraisal (PRA)”, Yosefina Anggraini, 30 November 2012
“Relevansi Metode Participatory Rural Appraisal Dalam Mendukung Implementasi
Undang-Undang Pemerintahan Desa”, Asep Supriatna, 29 Maret 2014.