negara Khilafah Asli dan Asal
Khilafah Asli dan Asal
Oleh: Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia
============
Khilafah Utopis ? Ya bagi pro status-quo alias nihil cita-cita. Bukankah panjenengan wahai para
ulama adalah waratsatu al anbiya. Harusnya para ulama berada di garda terdepan untuk
mengawal cita-cita Nabi SAW yang belum terwujud.
Imam Abdurrahman Ibn Asbath:
واعلم أن بعض الملوءك ال رركاءبءر والحكماءء ال لببرصرراءء بطريق تحصيل الملك قال:
رملن رجارد رسالد رورملن رسارد رقالد رورملن رقارد رمل ررك ال لءبرلالد
(114 /7-وفيات العيان وانباء ابناء الزمن
Bahwa para penguasa agung dan hukama yang mengetahui secara jelas metode menguasai suatu
negeri berpendapat, Man jaada saad, wan man saada qaad, wa man qaada malakal bilaad
(barangsiapa bersungguh2 berjuang dia akan menjadi tuan, dan barangsiapa yang menjadi tuan
dia akan menjadi pemimpin dan barangsiapa menjadi pemimpin dia akan menguasai negeri itu).
Cita-cita Nabi SAW yang belum terwujud:
1. Penaklukan Romawi
2. Takluknya dunia di bawah kekuasaan umat ini. ”ءإ نرن: عل ري لءه رورسل ن ررم
علن ث رلوربارن رقارل رقارل رربسوبل الل ن رءه رص ن رلى الل ن ربه ر
ر
ب
ر
ر
ر
ء
صحيح,“ )أخرجه المام مسلم...ت رمرشاءررقرها رورمرغاءربررها روءإ نرن أ ن رمءتي رسي ربلل ببغ بمل لك برها رما بزءوري ءلي ءمن لرها
ي
أ
ر
ف
ض
ر
أ
ل
ل
ا
لي
وى
ز
ه
ل
ال
ر
ن
ل ر ر ل ب
ر رر
4:97,سنن ابو داود,ابو داود, 4:472 سنن الترمذي, الترمذي, 4:2215 )مسلم
3. Tsumma takuunu khilafatun ala minhajin Nubuwwah
=====================
Khilafah Asli dan Asal
Oleh: Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia
Pengantar
Diakui atau tidak, kembalinya Khilafah merupakan janji Allah dan bisyarah Rasulullah yang
pasti. Ini ditegaskan dengan begitu kuat dalam firman-Nya, Q.s. an-Nur [24]: 55, dan lisan NabiNya, HR. Ahmad dari an-Nu’man bin Basyir. Eksistensi Khilafah sebagai bagian dari ajaran
Islam, bahkan disebut oleh Imam al-Ghazali sebagai penjaga (haris), jelas tidak bisa dibantah
oleh siapapun. Menegakkannya pun wajib. Kewajiban ini disepakati oleh seluruh ulama’, baik
Sunni, Syiah, Mu’tazilah dan Khawarij dari kalangan mazhab akidah, maupun ulama’ Hanafi,
Maliki, Syafii dan Hanbali dari kalangan mazhab fikih. Bahkan, para ulama’ telah menyebutnya
sebagai kewajiban paling agung.
Sejak Khilafah yang terakhir runtuh, tanggal 3 Maret 1924 di Turki, nyaris suara untuk
memperjuangkan tegaknya kembali institusi kaum Muslim yang sangat vital ini pun tak
terdengar. Adalah al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M), ulama’
besar, Mujtahid Mutlak, cucu al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Yusuf an-Nabhani, yang tak lain
adalah guru Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri NU, orang yang mula-mula menyuarakan
Khilafah. Ide ini awalnya tidak saja dianggap utopis, bahkan pengusungnya dianggap gila.
Namun, dengan izin dan pertolongan Allah, berkat perjuangan beliau dengan Hizbut Tahrir, ide
ini kini telah diterima luas oleh berbagai kalangan. Karena ini merupakan ajaran Islam, yang
telah lama diabaikan oleh kaum Muslim.
Jika dahulu istilah “Khilafah” didengar, atau disebut-sebut kaum Muslim pun tidak, kini istilah
itu nyaring terdengar, bahkan hampir setiap hari, setiap saat. Jika sebelumnya, mereka tidak
mengetahui gambarannya, kini gambarannya pun dengan jelas mereka ketahui dan pahami.
Karena itu, ketika ada upaya untuk memalsukan Khilafah ini, umat Islam pun segera
menyadarinya. Sebut saja, Presiden Libanon, yang pernah mendeklair dirinya sebagai Khalifah,
maka seketika itu juga, umat Islam menolaknya. Karena, dia tidak memenuhi syarat sebagai
Khalifah. Begitu juga, ketika Robbert Haddad, dari Universitas Kristen Beirut, menyatakan
konsep Khilafah Nasional, maka serta merta gagasan itu pun ditolak.
Bahkan, contoh mutakhir, ketika Tandzim Daulah Islam fi Iraq wa as-Syam (Daisy) atau lebih
dikenal dengan ISIS, memproklamasikan Khilafah, umat Islam di seluruh dunia pun tidak
terpengaruh. Semuanya ini membuktikan, bahwa umat Islam telah memahami betul konsep
Khilafah. Mana Khilafah yang sesungguhnya, atau asli, dan mana yang tidak, atau asal? Karena
itu, umat Islam saat ini tidak bisa lagi ditipu dengan berbagai klaim Khilafah, termasuk
seseorang yang diklaim sebagai Khalifah.
Ide Khilafah Nation State
Nation state adalah negara yang dibatasi wilayah teritorial yang permanen. Sebenarnya batas
wilayah teritorial permanen merupakan masalah politik, bisa bertambah dan berkurang. Wilayah
Indonesia, misalnya, pada zaman Soeharto telah bertambah, meliputi Timor Timur, setelah
wilayah ini diintegrasikan dengan Indonesia. Namun, di era Habibie, wilayah ini pun lepas
melalui Referendum yang dimotori kaum Kristen, dengan dukungan negara-negara penjajah
Barat.
Ini adalah bukti, bahwa batas wilayah teritorial yang permanen itu sesungguhnya tidak ada.
Bukti lain, negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa, meski secara fisik batas
teritorialnya tetap ada, tetapi secara non-fisik sekat teritorial itupun diabaikan. Setelah tergabung
dalam Uni Eropa, maka negara-negara Eropa ini sesungguhnya telah menjelma menjadi negara
federasi, sebagaimana Amerika Serikat. Mereka harus meleburkan diri dalam negara federasi
baru ini untuk menghadapi imperialisme Amerika. Mereka menyadari, bahwa mereka tidak bisa
melawan Amerika sendiri, kecuali dengan bersatu dalam satu negara.
Ini merupakan bukti lain, bahwa konsep “batas wilayah teritorial permanen” itu sesungguhnya
telah ditinggalkan oleh Barat. Mereka bahkan mengakui itu sebagai bentuk kelemahan mendasar
yang mengakibatkan mereka tidak bisa lepas dari hegemoni Amerika. Konsep “wilayah teritorial
permanen” ini kini hanya dianut oleh negara-negara yang menjadi koloni penjajahan Barat, baik
di Asia, Afrika hingga Eropa.
Karena itu, Islam juga tidak mengenal konsep “batas wilayah teritorial permanen”. Selain fakta
normatif, fakta historis Negara Khilafah membuktikan itu. Ketika Nabi mendirikan Negara Islam
di Madinah, wilayahnya sangat terbatas. Namun, dalam waktu 10 tahun, wilayahnya telah
meliputi seluruh Jazirah Arab, yang kini meliputi Arab Saudi, Yaman, Oman, Bahrain, Qatar, Uni
Emirat Arab, dan Kuwait. Setelah itu, Irak, termasuk Iran, takluk di bawah pemerintahan Islam.
Diikuti wilayah Syam, yang meliputi Palestina, Yordania, Libanon dan Suriah, juga takluk di
bawah pemerintahan Islam.
Begitu seterusnya, hingga sebagian Eropa dan Asia tunduk di bawah pemerintahan Islam.
Wilayah Negara Islam yang semula kecil, akhirnya berkembang hingga meliputi 2/3 dunia.
Negara Khilafah pun menjadi adidaya selama 10 abad, dan negaranya bertahan hingga 14 abad.
Hingga akhirnya, dihancurkan oleh negara Kafir penjajah, melalui berbagai gerakan sparatisme
di sejumlah wilayah, serta invasi militer negara penjajah Barat di wilayah-wilayah tersebut.
Karena itu, ide Khilafah Nation State bukan ajaran Islam. Karena Khilafah Islam bukanlah
negara yang menganut batas wilayah teritorial permanen. Andai saja, Negara Nabi dan Khulafa’
Rasyidin menganut batas wilayah teritorial permanen, tentu negara ini tidak akan pernah menjadi
negara adidaya selama 10 abad. Wilayahnya juga tidak akan mencapai 2/3 dunia. Justru karena
itulah, kaum Kafir penjajah paham betul, bahwa untuk mengkerdilkan umat Islam, dan agar umat
yang mulia ini tetap bisa dijajah, maka paham kesukuan (kebangsaan) yang menjadi basis nation
state ini disebarkan di tengah-tengah umat.
Sejarah telah menunjukkan kepada kita, bagaimana Inggris menggunakan sentimen ini untuk
memprovokasi Syarif Husain untuk melawan Khilafah ‘Utsmani, dengan iming-iming akan
dijadikan sebagai Khalifah. Sentimen ini juga yang digunakan oleh negara-negara Eropa untuk
menyulut krisis Balkan di zaman Khalifah ‘Abdul Hamid. Sentimen ini juga digunakan oleh
Amerika, melalui Soekarno, untuk menyulut konfrontasi dengan Malaysia. Begitu juga
sebaliknya, Inggris, melalui Tengku Abdurrahman, untuk melawan Indonesia.
Sentimen ini sangat berbahaya, karena bisa menghancurkan kaum Muslim di dunia, dan di
akhirat bisa menyeret mereka ke neraka. Allah berfirman:
﴿حتبلم ءبءنلعرمءتءه ءإلخرواننا﴾ ]سورة آل عمران
عل ري لك بلم ءإلذ ك بن لتبلم أ ر ل
رفأ رلصبر ل،عردانء رفأ رل ن ررف بري لرن بقل بلوءبك بلم
روالذك ببرلوا ءنلعرمرة اللءه ر: ]
“Ingatlah kalian terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada kalian, ketika kalian dahulu
menjadi bermusuh-musuhan, kemudian Dia menyatukan hati kalian, lalu dengan nikmat-Nya itu
kalian menjadi saudara.” (Q.s. Ali ‘Imran [03]: 103)
Nikmat yang disebut oleh Allah di sini adalah nikmat Islam, yang berhasil mengikis sentimen
kesukuan (kebangsaan) di antara kaum Aus dan Khazraj. Sentimen yang telah meluluhlantakkan
persatuan kaum Aus dan Khazraj, dan menyeret mereka dalam peperangan selama puluhan
tahun.
Karena itu, sentimen ini tidak boleh tumbuh dan berkembang. Bahkan, begitu muncul, Nabi pun
segera memadamkannya, seraya bersabda:
« واللفظ لمسلم،عورها رفءإن ن ررها بمن لءتن رةة« ]رواه البخاري ومسلم
»رد ب:جاءهلءي نرءة؟« فقال
]رما ربابل رد ل.
عروى ال ل ر
“Bagaimana mungkin seruan-seruan Jahiliyah itu bisa muncul?” Lalu, Nabi bersabda,
“Tinggalkanlah (seruan-seruan kesukuan) itu, sesungguhnya itu merupakan perkara yang busuk.”
(HR. Bukhari dan Muslim. Sedangkan redaksi milik Muslim)
Begitulah Islam memandang konsep “batas wilayah teritorial permanen”. Karena itu, ini
bukanlah perkara final. Begitu juga apapun bentuk eksperimen manusia, tidak ada yang final.
Justru yang final adalah apa yang telah ditetapkan oleh wahyu dari Allah SWT. Itulah Khilafah
Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah.
Janji dan Bisyarah Kembalinya Khilafah
Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah adalah bentuk final negara kaum Muslim di seluruh
dunia, karena inilah yang ditetapkan oleh wahyu. Istilah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj
Nubuwwah ini digunakan dalam hadits Nabi, dengan konotasi yang spesifik. Ia bukan kerajaan,
bukan republik, bukan federasi, bukan kekaisaran, juga bukan negara demokrasi. Tetapi, negara
kesatuan dengan sistem pemerintahannya yang khas.
Istilah Khilafah ini merupakan ism[un] syar’iyy[un] (istilah syariat), yang digunakan oleh nash
syara’ dengan konotasi syara’. Ini seperti lafadz “Shalat”, “Shaum”, “Zakat”, “Hajj”, “Jihad” dan
sebagainya. Karena itu, selain mempunyai substansi juga mempunyai bentuk amaliyah yang
khas. Karena ini merupakan bagian dari hukum syara’. Maka, tidak mungkin seorang Muslim
disebut telah melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji dan jihad, jika hanya mengambil
substansinya, sementara amaliyahnya yang khas ditinggalkan. Begitu juga dengan Khilafah.
Karena itu, mengapa umat Islam menolak Presiden Libanon saat memproklamirkan dirinya
sebagai Khalifah? Mengapa umat Islam juga menolak, ketika Robbet Haddad, menyebarkan ide
Khilafah Nation State? Mengapa umat Islam juga menolak Khilafah yang diproklamirkan oleh
ISIS? Karena, umat Islam dan para ulama’nya paham, bahwa Khilafah ini bukan hanya
substansi, tetapi mempunyai syarat dan amaliyah yang khas, yang menjadikannya layak disebut
Khilafah.
Setelah kesadaran umat tentang Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah begitu mengkristal,
upaya untuk mengaburkan hingga menghentikan kembalinya Khilafah semakin gencar dilakukan
oleh kaum Kafir penjajah. Tak terkecuali, melalui kaum Muslim sendiri. Melalui berbagai dalih
dan penyesatan, kaum Kafir penjajah telah berhasil menyihir sebagian umat Islam untuk
memuluskan rencana mereka. Mulai dari isu War on Terorism, invasi ke Irak, Afghanistan hingga
Perang melawan ISIS. Tetapi, sebagaimana penegasan Allah:
﴿30 : رواللبه رخي لبر ال لرماءكءري لرن﴾ ]سورة النفال، روي رلمك ببرلورن روي رلمك ببر اللبه،خءربجلورك
أ رلو ي رلقتبل بلورك أ رلو ي ب ل،]روءإلذ ي رلمك ببر ءبرك ال ن رءذي لرن ك ررفبرلوا لءي بثلءبتبلورك
“Ingatlah (Muhammad), ketika orang-orang Kafir itu melakukan makar jahat kepadamu untuk
menangkapmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka merancang makar jahat, tetapi
Allah membalas makar (mereka). Dan, Allah adalah Dzat yang Maha Menggagalkan makar.”
(Q.s. al-Anfal: 30)
Ayat ini mengingatkan Nabi, bahwa apapun makar jahat yang dirancang kaum Kafir untuk
menggagalkan perjuangan Nabi pasti gagal. Akhirnya, Nabi pun berhasil mendapatkan nushrah
(dukungan) penduduk Madinah. Di sanalah, Nabi hijrah dan mendirikan Negara Islam yang
pertama. Dari sana pula, Islam kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Hal yang sama kini pun terulang kembali. Semakin kencang upaya kaum Kafir untuk memerangi
Khilafah, semakin kuat pula keingintahuan dan kerinduan umat kepadanya. Bahkan, upaya
menyerang nash-nash syara’ yang menyatakan kembalinya Khilafah pun tidak bisa
menggoyahkan keyakinan umat. Alih-alih menjadi hujah yang mendukung serangan mereka,
justru upaya ini melemahkan mereka sendiri.
Lihatlah, ketika mereka menyatakan, bahwa hadits tentang kembalinya Khilafah Rasyidah ‘ala
Minhaj Nubuwwah ini lemah, karena di dalamnya terdapat Habib bin Salim, yang dituduh tidak
kredibel. Mengenai Habib bin Salim sendiri, Ibn Hajar menjelaskan, sebagai berikut:
“Habib bin Salim al-Anshari Maula an-Nu’man bin Basyir sekaligus penulisnya: Abu Hatim
berkomentar, “Tsiqqah”. Al-Bukhari berkomentar, “Tentang dia, harus diteliti.” Abu Ahmad bin
‘Adi berkomentar, “Di dalam matan-matan haditsnya tidak terdapat satu pun hadits munkar.”
Aku [Ibn Hajar] berkomentar, “Al-Ajiri menuturkan dari Abu Dawud, “Tsiqqah.” Ibn Hibban
menyebutkannya dalam kitabnya “at-Tsiqqat”. Dia pun disebutkan di sana.” (Lihat, Ibn Hajar alAsqalani, Tahdzib at-Tahdzib, Juz II/161)
Selanjutnya, Ibn Hajar menyebutkan nama Habib bin Salim, tetapi Habib bin Salim yang lain.
Tentang ini, beliau menulis begini:
“Jika ia bukan Maula an-Nu’man [bin Basyir], saya tidak tahu, siapa dia. Al-‘Uqaili telah
menolak haditsnya dari an-Nu’man..” (Lihat, Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, Juz
II/161).
Karena itu, hadits kembalinya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah ini secara umum
dinyatakan sahih oleh Albani, dan dinyatakan hasan oleh Arna’uth. Mengenai maksud perkataan
al-Bukhari “Fiihi Nazhar” (harus diteliti) ketika mengomentari Habib bin Salim, tepatnya dalam
kitabnya at-Tarikh al-Kabir, Juz II/318. Al-Bukhari berkomentar:
روى عنه أبو بشيروبشير بن ثابت ومحمد بن، عن النعمان،حبيب بن سالم مولى النعمان بن بشير النصاري
فيه نظر، وهو كاتب النعمان،المنتشروخالد بن عرفطة وإبراهيم بن مهاجر
“Habib bin Salim adalah Maula (bekas budak) dari Nu’man bin Basyir al-Anshari,
[meriwayatkan hadits] dari an-Nu’man, dan meriwayatkan [hadits] darinya Abu Basyir, Basyir
bin Tsabit, Muhammad bin Al Muntasyir, Khalid bin ‘Arfathah, dan Ibrahim bin Muhajir, dan dia
[Habib bin Salim] adalah penulis/sekretaris Nu’man, dia perlu diteliti.” (Lihat, al-Bukhari, atTarikh al-Kabir, Juz II/318).
Mengenai perkataan al-Bukhari “fihi nazhar” (dia harus diteliti) ini, sudah banyak dijelaskan
oleh para ulama. Al-‘Iraqi berkata dalam kitabnya Syarah al-Alfiyah:
يقولهما البخاري فيمن تركوا حديثه: وفلن سكتوا عنه،فلن فيه نظر
“[Perkataan] “fihi nazhar” (dia harus diteliti), dan “fulan sakatuu ‘anhu” (si Fulan telah
didiamkan), merupakan dua perkataan yang diucapkan oleh al-Bukhari mengenai periwayat
hadits yang haditsnya ditinggalkan.” (Lihat, al-‘Iraqi, Syarah Al Alfiyah, Juz II/11).
Ad-Dzahabi berkata dalam mukadimah kitabnya, Mizanu al-I’tidal:
ل يقوله البخاري إل فيمن يتهمه غالبا، وفي حديثه نظر، فيه نظر:قوله
“Perkataan dia (al-Bukhari): “fihi nazhar” (dia harus diteliti), dan “fii hadiitsihi nazhar”
(haditsnya perlu diteliti), tidaklah diucapkan oleh al-Bukhari, kecuali mengenai orang-orang
yang dia tuduh [tidak kredibel] pada galibnya.” (Lihat, Ad-Dzahabi, Mizanu al-I’tidal, Juz I/3-4).
Namun, kutipan di atas juga bisa menunjukkan kaidah umum dari perkataan al-Bukhari “fihi
nazhar” (dia harus diteliti), yang memang menunjukkan lemahnya kredibilitas periwayat hadits.
Namun dalam kasus Habib bin Salim, perkataan al-Bukhari ini bukanlah merupakan jarh yang
kemudian melemahkan hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. Karena terdapat dua
qarinah (indikasi) yang dapat mempertahankan kredibilitas Habib bin Salim dan juga hadits yang
diriwayatkannya.
Dua indikasi tersebut adalah; Pertama, al-Bukhari sendiri menilai sahih hadits yang di dalamnya
ada periwayat Habib bin Salim. Kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai al-Bukhari dengan
kalimat “fihi nazhar” (dia perlu diteliti) boleh jadi dianggap kredibel oleh ahli hadits lain.
Indikasi pertama, telah ditunjukkan oleh at-Tirmidzi dalam kitabnya al-‘Ilal al-Kabir (Juz I/33),
bahwa at-Tirmidzi suatu saat pernah bertanya kepada al-Bukhari mengenai suatu hadits. Hadits
ini diriwayatkan oleh Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir, bahwa Nabi saw. dalam dua
shalat Ied dan shalat Jum’at telah membaca surat Sabbihisma Rabbikal A’la dan surat Hal Ataaka
Hadiistul Ghaasiyah, dan bisa jadi keduanya (Ied dan Jumat) bertemu pada satu hari dan Nabi
saw. membaca kedua surat itu. Maka al-Bukhari berkomentar, “Huwa hadits sahih (Itu hadits
shahih).” (Lihat, at-Tirmidzi, al-‘Ilal al-Kabir, Juz I/33).
Ini jelas menunjukkan al-Bukhari sendiri telah menilai shahih hadits yang perawinya dinilainya
sebagai “fihi nazhar“. Fakta ini menunjukkan, ketika al-Bukhari menilai seorang perawi dengan
mengucapkan “fihi nazhar“, tidaklah selalu berarti haditsnya otomatis lemah (dhaif) dan tak
dapat dijadikan hujjah. Contohnya kasus Habib bin Salim ini.
Yang mungkin menjadi pertanyaan, mengapa al-Bukhari tetap menshahihkan hadits yang
perawinya dikomentarinya dengan “fiihi nazhar”? Menurut Khalid Manshur Abdullah ad-Durais
dalam kitabnya Mauqifu al-Imaamaini al-Bukhari wa Muslim min Isytirath al-Liqaa’ wa asSamaa’ (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, tt hal. 120), hal itu karena al-Bukhari tidak sampai derajat
yakin, bahwa Habib bin Salim telah bertemu (liqa’) atau mendengar (as-samaa’) hadits dari anNu’man bin Basyir. Imam Bukhari ragu (syakk), apakah Habib bin Salim pernah bertemu
(mendengar) hadits tersebut dari Nu’man bin Basyir. (Lihat, Khalid Manshur Abdullah ad-
Durais, Mauqiful al-Imaamaini al-Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’,
Maktabah ar-Rusyd, tt, hlm. 121).
Namun ketidakyakinan al-Bukhari ini tak berarti al-Bukhari secara mutlak tidak mempercayai
Habib bin Salim. Dengan mencermati deskripsi al-Bukhari mengenai biografi Habib bin Salim,
akan dapat disimpulkan bahwa al-Bukhari sebenarnya mempunyai dugaan kuat (zhann ghaalib),
bahwa Habib bin Salim pernah bertemu (liqa’) atau mendengar (samaa’) dari an-Nu’man bin
Basyir, walau tak sampai derajat yakin.
Ada dua alasan untuk itu. Pertama, al-Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah maula
(bekas budak). Artinya dulu Habib bin Salim adalah budak milik Nu’man bin Basyir, lalu anNu’man memerdekakan Habib bin Salim. Jadi sangat mungkin Habib bin Salim mendengar
hadits dari an-Nu’man bin Basyir. Kedua, al-Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah
penulis atau sekretaris an-Nu’man bin Basyir. Pada galibnya, seorang penulis sering bertemu
atau mendengar perkataan dari atasannya. Maka sangatlah mungkin Habib bin Salim mendengar
hadits dari an-Nu’man bin Basyir. Kedua alasan inilah kiranya yang menjadikan al-Bukhari tetap
menilai shahih hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. (Lihat, Khalid Manshur Abdullah
ad-Durais, Mauqiful al-Imaamaini al-Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’,
Maktabah ar-Rusyd, tt, hlm. 121).
Ini adalah indikasi pertama yang membuktikan kredibilitas Habib bin Salim, serta hadits yang
diriwayatkannya, dengan adanya penilaian shahih dari al-Bukhari sendiri terhadap hadits yang
diriwayatkan oleh Habib bin Salim.
Indikasi kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai al-Bukhari dengan kalimat “fihi nazhar” bisa
jadi tetap dianggap kredibel oleh ahli hadits lainnya. Ini sungguh terjadi dan contohnya banyak.
Sebagai contoh Habib bin Salim. Meski al-Bukhari menilainya “fiihi nazhar” namun menurut alHafizh Ibn Hajar al-Asqalani, Ibn ‘Adi, Abu Hatim, Abu Dawud, dan Ibn Hiban Habib bin Salim
dianggap tidak ada masalah. Contoh-contoh lainnya banyak diberikan oleh Syaikh Syu’aib alArna’uth, yang men-tahqiq kitab Siyar A’lam an-Nubala’ karya ad-Dzahabi, Juz XII/439. Di
antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, perawi bernama Tamaam bin Najiih. Al-Bukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun
Tamaam bin Najiih dianggap tsiqah oleh Yahya bin Ma’iin. Abu Dawud dan at-Tirmidzi juga
tidak meninggalkan haditsnya. Kedua, perawi bernama Rasyid bin Dawud as- Shan’ani. AlBukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun Yahya bin Ma’iin menganggapnya tsiqah. Ibn Hiban
memasukkan namanya dalam kitabnya at-Tsiqaat. An-Nasa’i juga meriwayatkan hadits darinya.
Ketiga, perawi bernama Tsa’labah bin Yazid al-Hammani. Al-Bukhari menilainya “fii hadiitsihi
nazhar” (harus diteliti). Tetapi an-Nasa’i berkata, dia tsiqah. Ibn ‘Adi mengatakan, “Aku tidak
melihat haditsnya munkar (menyalahi periwayat lain yang lebih tsiqah) dalam kadar yang dia
riwayatkan.” Dan seterusnya banyak sekali.
Jadi, penilaian al-Bukhari “fiihi nazhar” kepada seorang perawi, tidak berarti hadits yang
diriwayatkannya secara mutlak tertolak atau selalu tertolak. Karena bisa jadi para Ahli Hadits
lain menilai perawi tersebut sebagai tsiqah (perawi terpercaya), yang menghimpun karakter ‘adil
(taqwa) dan dhabith (kuat hapalannya).
Kesimpulan
Jelaslah sudah, bahwa Khilafah Islam sebagai ajaran Islam, harus diyakini oleh umatnya, terlebih
para ulama’nya. Keyakinan ini tidak hanya meyakini substansinya, tetapi juga Khilafah sebagai
ism[un] syar’iyy[un] (istilah syariat) dengan konotasi syara’nya. Inilah bentuk final negara kaum
Muslim di seluruh dunia. Karena inilah, satu-satunya sistem pemerintahan yang diwariskan oleh
Nabi dan para sahabat.
Kembalinya Khilafah juga pasti, karena ini merupakan janji Allah, dan bisyarah Nabi-Nya.
Karena itu, menyerang nash-nash syara’, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah, atau
memutarbalikkan maknanya demi imbalan dunia yang tidak seberapa, hanya akan sia-sia belaka.
Umat Islam pun kini sudah lebih cerdas, dan paham tentang Khilafah. Mereka tidak lagi bisa
ditipu, siapapun yang menipunya.
Maka, daripada bersusah payah mengahabiskan energi untuk mengaburkan, menyerang atau
membelokkan konsep Khilafah, lebih baik berjuang bersama-sama demi tegaknya kembali
Khilafah. Karena, apapun upaya untuk menghalangi tegaknya Khilafah tidak akan pernah
berhasil. Karena ini melawan janji Allah, dan bisyarah Nabi-Nya. Sedangkan janji Allah dan
bisyarah Nabi-Nya itu pasti. Wallahu a’lam.
Oleh: Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia
============
Khilafah Utopis ? Ya bagi pro status-quo alias nihil cita-cita. Bukankah panjenengan wahai para
ulama adalah waratsatu al anbiya. Harusnya para ulama berada di garda terdepan untuk
mengawal cita-cita Nabi SAW yang belum terwujud.
Imam Abdurrahman Ibn Asbath:
واعلم أن بعض الملوءك ال رركاءبءر والحكماءء ال لببرصرراءء بطريق تحصيل الملك قال:
رملن رجارد رسالد رورملن رسارد رقالد رورملن رقارد رمل ررك ال لءبرلالد
(114 /7-وفيات العيان وانباء ابناء الزمن
Bahwa para penguasa agung dan hukama yang mengetahui secara jelas metode menguasai suatu
negeri berpendapat, Man jaada saad, wan man saada qaad, wa man qaada malakal bilaad
(barangsiapa bersungguh2 berjuang dia akan menjadi tuan, dan barangsiapa yang menjadi tuan
dia akan menjadi pemimpin dan barangsiapa menjadi pemimpin dia akan menguasai negeri itu).
Cita-cita Nabi SAW yang belum terwujud:
1. Penaklukan Romawi
2. Takluknya dunia di bawah kekuasaan umat ini. ”ءإ نرن: عل ري لءه رورسل ن ررم
علن ث رلوربارن رقارل رقارل رربسوبل الل ن رءه رص ن رلى الل ن ربه ر
ر
ب
ر
ر
ر
ء
صحيح,“ )أخرجه المام مسلم...ت رمرشاءررقرها رورمرغاءربررها روءإ نرن أ ن رمءتي رسي ربلل ببغ بمل لك برها رما بزءوري ءلي ءمن لرها
ي
أ
ر
ف
ض
ر
أ
ل
ل
ا
لي
وى
ز
ه
ل
ال
ر
ن
ل ر ر ل ب
ر رر
4:97,سنن ابو داود,ابو داود, 4:472 سنن الترمذي, الترمذي, 4:2215 )مسلم
3. Tsumma takuunu khilafatun ala minhajin Nubuwwah
=====================
Khilafah Asli dan Asal
Oleh: Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia
Pengantar
Diakui atau tidak, kembalinya Khilafah merupakan janji Allah dan bisyarah Rasulullah yang
pasti. Ini ditegaskan dengan begitu kuat dalam firman-Nya, Q.s. an-Nur [24]: 55, dan lisan NabiNya, HR. Ahmad dari an-Nu’man bin Basyir. Eksistensi Khilafah sebagai bagian dari ajaran
Islam, bahkan disebut oleh Imam al-Ghazali sebagai penjaga (haris), jelas tidak bisa dibantah
oleh siapapun. Menegakkannya pun wajib. Kewajiban ini disepakati oleh seluruh ulama’, baik
Sunni, Syiah, Mu’tazilah dan Khawarij dari kalangan mazhab akidah, maupun ulama’ Hanafi,
Maliki, Syafii dan Hanbali dari kalangan mazhab fikih. Bahkan, para ulama’ telah menyebutnya
sebagai kewajiban paling agung.
Sejak Khilafah yang terakhir runtuh, tanggal 3 Maret 1924 di Turki, nyaris suara untuk
memperjuangkan tegaknya kembali institusi kaum Muslim yang sangat vital ini pun tak
terdengar. Adalah al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M), ulama’
besar, Mujtahid Mutlak, cucu al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Yusuf an-Nabhani, yang tak lain
adalah guru Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri NU, orang yang mula-mula menyuarakan
Khilafah. Ide ini awalnya tidak saja dianggap utopis, bahkan pengusungnya dianggap gila.
Namun, dengan izin dan pertolongan Allah, berkat perjuangan beliau dengan Hizbut Tahrir, ide
ini kini telah diterima luas oleh berbagai kalangan. Karena ini merupakan ajaran Islam, yang
telah lama diabaikan oleh kaum Muslim.
Jika dahulu istilah “Khilafah” didengar, atau disebut-sebut kaum Muslim pun tidak, kini istilah
itu nyaring terdengar, bahkan hampir setiap hari, setiap saat. Jika sebelumnya, mereka tidak
mengetahui gambarannya, kini gambarannya pun dengan jelas mereka ketahui dan pahami.
Karena itu, ketika ada upaya untuk memalsukan Khilafah ini, umat Islam pun segera
menyadarinya. Sebut saja, Presiden Libanon, yang pernah mendeklair dirinya sebagai Khalifah,
maka seketika itu juga, umat Islam menolaknya. Karena, dia tidak memenuhi syarat sebagai
Khalifah. Begitu juga, ketika Robbert Haddad, dari Universitas Kristen Beirut, menyatakan
konsep Khilafah Nasional, maka serta merta gagasan itu pun ditolak.
Bahkan, contoh mutakhir, ketika Tandzim Daulah Islam fi Iraq wa as-Syam (Daisy) atau lebih
dikenal dengan ISIS, memproklamasikan Khilafah, umat Islam di seluruh dunia pun tidak
terpengaruh. Semuanya ini membuktikan, bahwa umat Islam telah memahami betul konsep
Khilafah. Mana Khilafah yang sesungguhnya, atau asli, dan mana yang tidak, atau asal? Karena
itu, umat Islam saat ini tidak bisa lagi ditipu dengan berbagai klaim Khilafah, termasuk
seseorang yang diklaim sebagai Khalifah.
Ide Khilafah Nation State
Nation state adalah negara yang dibatasi wilayah teritorial yang permanen. Sebenarnya batas
wilayah teritorial permanen merupakan masalah politik, bisa bertambah dan berkurang. Wilayah
Indonesia, misalnya, pada zaman Soeharto telah bertambah, meliputi Timor Timur, setelah
wilayah ini diintegrasikan dengan Indonesia. Namun, di era Habibie, wilayah ini pun lepas
melalui Referendum yang dimotori kaum Kristen, dengan dukungan negara-negara penjajah
Barat.
Ini adalah bukti, bahwa batas wilayah teritorial yang permanen itu sesungguhnya tidak ada.
Bukti lain, negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa, meski secara fisik batas
teritorialnya tetap ada, tetapi secara non-fisik sekat teritorial itupun diabaikan. Setelah tergabung
dalam Uni Eropa, maka negara-negara Eropa ini sesungguhnya telah menjelma menjadi negara
federasi, sebagaimana Amerika Serikat. Mereka harus meleburkan diri dalam negara federasi
baru ini untuk menghadapi imperialisme Amerika. Mereka menyadari, bahwa mereka tidak bisa
melawan Amerika sendiri, kecuali dengan bersatu dalam satu negara.
Ini merupakan bukti lain, bahwa konsep “batas wilayah teritorial permanen” itu sesungguhnya
telah ditinggalkan oleh Barat. Mereka bahkan mengakui itu sebagai bentuk kelemahan mendasar
yang mengakibatkan mereka tidak bisa lepas dari hegemoni Amerika. Konsep “wilayah teritorial
permanen” ini kini hanya dianut oleh negara-negara yang menjadi koloni penjajahan Barat, baik
di Asia, Afrika hingga Eropa.
Karena itu, Islam juga tidak mengenal konsep “batas wilayah teritorial permanen”. Selain fakta
normatif, fakta historis Negara Khilafah membuktikan itu. Ketika Nabi mendirikan Negara Islam
di Madinah, wilayahnya sangat terbatas. Namun, dalam waktu 10 tahun, wilayahnya telah
meliputi seluruh Jazirah Arab, yang kini meliputi Arab Saudi, Yaman, Oman, Bahrain, Qatar, Uni
Emirat Arab, dan Kuwait. Setelah itu, Irak, termasuk Iran, takluk di bawah pemerintahan Islam.
Diikuti wilayah Syam, yang meliputi Palestina, Yordania, Libanon dan Suriah, juga takluk di
bawah pemerintahan Islam.
Begitu seterusnya, hingga sebagian Eropa dan Asia tunduk di bawah pemerintahan Islam.
Wilayah Negara Islam yang semula kecil, akhirnya berkembang hingga meliputi 2/3 dunia.
Negara Khilafah pun menjadi adidaya selama 10 abad, dan negaranya bertahan hingga 14 abad.
Hingga akhirnya, dihancurkan oleh negara Kafir penjajah, melalui berbagai gerakan sparatisme
di sejumlah wilayah, serta invasi militer negara penjajah Barat di wilayah-wilayah tersebut.
Karena itu, ide Khilafah Nation State bukan ajaran Islam. Karena Khilafah Islam bukanlah
negara yang menganut batas wilayah teritorial permanen. Andai saja, Negara Nabi dan Khulafa’
Rasyidin menganut batas wilayah teritorial permanen, tentu negara ini tidak akan pernah menjadi
negara adidaya selama 10 abad. Wilayahnya juga tidak akan mencapai 2/3 dunia. Justru karena
itulah, kaum Kafir penjajah paham betul, bahwa untuk mengkerdilkan umat Islam, dan agar umat
yang mulia ini tetap bisa dijajah, maka paham kesukuan (kebangsaan) yang menjadi basis nation
state ini disebarkan di tengah-tengah umat.
Sejarah telah menunjukkan kepada kita, bagaimana Inggris menggunakan sentimen ini untuk
memprovokasi Syarif Husain untuk melawan Khilafah ‘Utsmani, dengan iming-iming akan
dijadikan sebagai Khalifah. Sentimen ini juga yang digunakan oleh negara-negara Eropa untuk
menyulut krisis Balkan di zaman Khalifah ‘Abdul Hamid. Sentimen ini juga digunakan oleh
Amerika, melalui Soekarno, untuk menyulut konfrontasi dengan Malaysia. Begitu juga
sebaliknya, Inggris, melalui Tengku Abdurrahman, untuk melawan Indonesia.
Sentimen ini sangat berbahaya, karena bisa menghancurkan kaum Muslim di dunia, dan di
akhirat bisa menyeret mereka ke neraka. Allah berfirman:
﴿حتبلم ءبءنلعرمءتءه ءإلخرواننا﴾ ]سورة آل عمران
عل ري لك بلم ءإلذ ك بن لتبلم أ ر ل
رفأ رلصبر ل،عردانء رفأ رل ن ررف بري لرن بقل بلوءبك بلم
روالذك ببرلوا ءنلعرمرة اللءه ر: ]
“Ingatlah kalian terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada kalian, ketika kalian dahulu
menjadi bermusuh-musuhan, kemudian Dia menyatukan hati kalian, lalu dengan nikmat-Nya itu
kalian menjadi saudara.” (Q.s. Ali ‘Imran [03]: 103)
Nikmat yang disebut oleh Allah di sini adalah nikmat Islam, yang berhasil mengikis sentimen
kesukuan (kebangsaan) di antara kaum Aus dan Khazraj. Sentimen yang telah meluluhlantakkan
persatuan kaum Aus dan Khazraj, dan menyeret mereka dalam peperangan selama puluhan
tahun.
Karena itu, sentimen ini tidak boleh tumbuh dan berkembang. Bahkan, begitu muncul, Nabi pun
segera memadamkannya, seraya bersabda:
« واللفظ لمسلم،عورها رفءإن ن ررها بمن لءتن رةة« ]رواه البخاري ومسلم
»رد ب:جاءهلءي نرءة؟« فقال
]رما ربابل رد ل.
عروى ال ل ر
“Bagaimana mungkin seruan-seruan Jahiliyah itu bisa muncul?” Lalu, Nabi bersabda,
“Tinggalkanlah (seruan-seruan kesukuan) itu, sesungguhnya itu merupakan perkara yang busuk.”
(HR. Bukhari dan Muslim. Sedangkan redaksi milik Muslim)
Begitulah Islam memandang konsep “batas wilayah teritorial permanen”. Karena itu, ini
bukanlah perkara final. Begitu juga apapun bentuk eksperimen manusia, tidak ada yang final.
Justru yang final adalah apa yang telah ditetapkan oleh wahyu dari Allah SWT. Itulah Khilafah
Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah.
Janji dan Bisyarah Kembalinya Khilafah
Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah adalah bentuk final negara kaum Muslim di seluruh
dunia, karena inilah yang ditetapkan oleh wahyu. Istilah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj
Nubuwwah ini digunakan dalam hadits Nabi, dengan konotasi yang spesifik. Ia bukan kerajaan,
bukan republik, bukan federasi, bukan kekaisaran, juga bukan negara demokrasi. Tetapi, negara
kesatuan dengan sistem pemerintahannya yang khas.
Istilah Khilafah ini merupakan ism[un] syar’iyy[un] (istilah syariat), yang digunakan oleh nash
syara’ dengan konotasi syara’. Ini seperti lafadz “Shalat”, “Shaum”, “Zakat”, “Hajj”, “Jihad” dan
sebagainya. Karena itu, selain mempunyai substansi juga mempunyai bentuk amaliyah yang
khas. Karena ini merupakan bagian dari hukum syara’. Maka, tidak mungkin seorang Muslim
disebut telah melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji dan jihad, jika hanya mengambil
substansinya, sementara amaliyahnya yang khas ditinggalkan. Begitu juga dengan Khilafah.
Karena itu, mengapa umat Islam menolak Presiden Libanon saat memproklamirkan dirinya
sebagai Khalifah? Mengapa umat Islam juga menolak, ketika Robbet Haddad, menyebarkan ide
Khilafah Nation State? Mengapa umat Islam juga menolak Khilafah yang diproklamirkan oleh
ISIS? Karena, umat Islam dan para ulama’nya paham, bahwa Khilafah ini bukan hanya
substansi, tetapi mempunyai syarat dan amaliyah yang khas, yang menjadikannya layak disebut
Khilafah.
Setelah kesadaran umat tentang Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah begitu mengkristal,
upaya untuk mengaburkan hingga menghentikan kembalinya Khilafah semakin gencar dilakukan
oleh kaum Kafir penjajah. Tak terkecuali, melalui kaum Muslim sendiri. Melalui berbagai dalih
dan penyesatan, kaum Kafir penjajah telah berhasil menyihir sebagian umat Islam untuk
memuluskan rencana mereka. Mulai dari isu War on Terorism, invasi ke Irak, Afghanistan hingga
Perang melawan ISIS. Tetapi, sebagaimana penegasan Allah:
﴿30 : رواللبه رخي لبر ال لرماءكءري لرن﴾ ]سورة النفال، روي رلمك ببرلورن روي رلمك ببر اللبه،خءربجلورك
أ رلو ي رلقتبل بلورك أ رلو ي ب ل،]روءإلذ ي رلمك ببر ءبرك ال ن رءذي لرن ك ررفبرلوا لءي بثلءبتبلورك
“Ingatlah (Muhammad), ketika orang-orang Kafir itu melakukan makar jahat kepadamu untuk
menangkapmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka merancang makar jahat, tetapi
Allah membalas makar (mereka). Dan, Allah adalah Dzat yang Maha Menggagalkan makar.”
(Q.s. al-Anfal: 30)
Ayat ini mengingatkan Nabi, bahwa apapun makar jahat yang dirancang kaum Kafir untuk
menggagalkan perjuangan Nabi pasti gagal. Akhirnya, Nabi pun berhasil mendapatkan nushrah
(dukungan) penduduk Madinah. Di sanalah, Nabi hijrah dan mendirikan Negara Islam yang
pertama. Dari sana pula, Islam kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Hal yang sama kini pun terulang kembali. Semakin kencang upaya kaum Kafir untuk memerangi
Khilafah, semakin kuat pula keingintahuan dan kerinduan umat kepadanya. Bahkan, upaya
menyerang nash-nash syara’ yang menyatakan kembalinya Khilafah pun tidak bisa
menggoyahkan keyakinan umat. Alih-alih menjadi hujah yang mendukung serangan mereka,
justru upaya ini melemahkan mereka sendiri.
Lihatlah, ketika mereka menyatakan, bahwa hadits tentang kembalinya Khilafah Rasyidah ‘ala
Minhaj Nubuwwah ini lemah, karena di dalamnya terdapat Habib bin Salim, yang dituduh tidak
kredibel. Mengenai Habib bin Salim sendiri, Ibn Hajar menjelaskan, sebagai berikut:
“Habib bin Salim al-Anshari Maula an-Nu’man bin Basyir sekaligus penulisnya: Abu Hatim
berkomentar, “Tsiqqah”. Al-Bukhari berkomentar, “Tentang dia, harus diteliti.” Abu Ahmad bin
‘Adi berkomentar, “Di dalam matan-matan haditsnya tidak terdapat satu pun hadits munkar.”
Aku [Ibn Hajar] berkomentar, “Al-Ajiri menuturkan dari Abu Dawud, “Tsiqqah.” Ibn Hibban
menyebutkannya dalam kitabnya “at-Tsiqqat”. Dia pun disebutkan di sana.” (Lihat, Ibn Hajar alAsqalani, Tahdzib at-Tahdzib, Juz II/161)
Selanjutnya, Ibn Hajar menyebutkan nama Habib bin Salim, tetapi Habib bin Salim yang lain.
Tentang ini, beliau menulis begini:
“Jika ia bukan Maula an-Nu’man [bin Basyir], saya tidak tahu, siapa dia. Al-‘Uqaili telah
menolak haditsnya dari an-Nu’man..” (Lihat, Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, Juz
II/161).
Karena itu, hadits kembalinya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah ini secara umum
dinyatakan sahih oleh Albani, dan dinyatakan hasan oleh Arna’uth. Mengenai maksud perkataan
al-Bukhari “Fiihi Nazhar” (harus diteliti) ketika mengomentari Habib bin Salim, tepatnya dalam
kitabnya at-Tarikh al-Kabir, Juz II/318. Al-Bukhari berkomentar:
روى عنه أبو بشيروبشير بن ثابت ومحمد بن، عن النعمان،حبيب بن سالم مولى النعمان بن بشير النصاري
فيه نظر، وهو كاتب النعمان،المنتشروخالد بن عرفطة وإبراهيم بن مهاجر
“Habib bin Salim adalah Maula (bekas budak) dari Nu’man bin Basyir al-Anshari,
[meriwayatkan hadits] dari an-Nu’man, dan meriwayatkan [hadits] darinya Abu Basyir, Basyir
bin Tsabit, Muhammad bin Al Muntasyir, Khalid bin ‘Arfathah, dan Ibrahim bin Muhajir, dan dia
[Habib bin Salim] adalah penulis/sekretaris Nu’man, dia perlu diteliti.” (Lihat, al-Bukhari, atTarikh al-Kabir, Juz II/318).
Mengenai perkataan al-Bukhari “fihi nazhar” (dia harus diteliti) ini, sudah banyak dijelaskan
oleh para ulama. Al-‘Iraqi berkata dalam kitabnya Syarah al-Alfiyah:
يقولهما البخاري فيمن تركوا حديثه: وفلن سكتوا عنه،فلن فيه نظر
“[Perkataan] “fihi nazhar” (dia harus diteliti), dan “fulan sakatuu ‘anhu” (si Fulan telah
didiamkan), merupakan dua perkataan yang diucapkan oleh al-Bukhari mengenai periwayat
hadits yang haditsnya ditinggalkan.” (Lihat, al-‘Iraqi, Syarah Al Alfiyah, Juz II/11).
Ad-Dzahabi berkata dalam mukadimah kitabnya, Mizanu al-I’tidal:
ل يقوله البخاري إل فيمن يتهمه غالبا، وفي حديثه نظر، فيه نظر:قوله
“Perkataan dia (al-Bukhari): “fihi nazhar” (dia harus diteliti), dan “fii hadiitsihi nazhar”
(haditsnya perlu diteliti), tidaklah diucapkan oleh al-Bukhari, kecuali mengenai orang-orang
yang dia tuduh [tidak kredibel] pada galibnya.” (Lihat, Ad-Dzahabi, Mizanu al-I’tidal, Juz I/3-4).
Namun, kutipan di atas juga bisa menunjukkan kaidah umum dari perkataan al-Bukhari “fihi
nazhar” (dia harus diteliti), yang memang menunjukkan lemahnya kredibilitas periwayat hadits.
Namun dalam kasus Habib bin Salim, perkataan al-Bukhari ini bukanlah merupakan jarh yang
kemudian melemahkan hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. Karena terdapat dua
qarinah (indikasi) yang dapat mempertahankan kredibilitas Habib bin Salim dan juga hadits yang
diriwayatkannya.
Dua indikasi tersebut adalah; Pertama, al-Bukhari sendiri menilai sahih hadits yang di dalamnya
ada periwayat Habib bin Salim. Kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai al-Bukhari dengan
kalimat “fihi nazhar” (dia perlu diteliti) boleh jadi dianggap kredibel oleh ahli hadits lain.
Indikasi pertama, telah ditunjukkan oleh at-Tirmidzi dalam kitabnya al-‘Ilal al-Kabir (Juz I/33),
bahwa at-Tirmidzi suatu saat pernah bertanya kepada al-Bukhari mengenai suatu hadits. Hadits
ini diriwayatkan oleh Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir, bahwa Nabi saw. dalam dua
shalat Ied dan shalat Jum’at telah membaca surat Sabbihisma Rabbikal A’la dan surat Hal Ataaka
Hadiistul Ghaasiyah, dan bisa jadi keduanya (Ied dan Jumat) bertemu pada satu hari dan Nabi
saw. membaca kedua surat itu. Maka al-Bukhari berkomentar, “Huwa hadits sahih (Itu hadits
shahih).” (Lihat, at-Tirmidzi, al-‘Ilal al-Kabir, Juz I/33).
Ini jelas menunjukkan al-Bukhari sendiri telah menilai shahih hadits yang perawinya dinilainya
sebagai “fihi nazhar“. Fakta ini menunjukkan, ketika al-Bukhari menilai seorang perawi dengan
mengucapkan “fihi nazhar“, tidaklah selalu berarti haditsnya otomatis lemah (dhaif) dan tak
dapat dijadikan hujjah. Contohnya kasus Habib bin Salim ini.
Yang mungkin menjadi pertanyaan, mengapa al-Bukhari tetap menshahihkan hadits yang
perawinya dikomentarinya dengan “fiihi nazhar”? Menurut Khalid Manshur Abdullah ad-Durais
dalam kitabnya Mauqifu al-Imaamaini al-Bukhari wa Muslim min Isytirath al-Liqaa’ wa asSamaa’ (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, tt hal. 120), hal itu karena al-Bukhari tidak sampai derajat
yakin, bahwa Habib bin Salim telah bertemu (liqa’) atau mendengar (as-samaa’) hadits dari anNu’man bin Basyir. Imam Bukhari ragu (syakk), apakah Habib bin Salim pernah bertemu
(mendengar) hadits tersebut dari Nu’man bin Basyir. (Lihat, Khalid Manshur Abdullah ad-
Durais, Mauqiful al-Imaamaini al-Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’,
Maktabah ar-Rusyd, tt, hlm. 121).
Namun ketidakyakinan al-Bukhari ini tak berarti al-Bukhari secara mutlak tidak mempercayai
Habib bin Salim. Dengan mencermati deskripsi al-Bukhari mengenai biografi Habib bin Salim,
akan dapat disimpulkan bahwa al-Bukhari sebenarnya mempunyai dugaan kuat (zhann ghaalib),
bahwa Habib bin Salim pernah bertemu (liqa’) atau mendengar (samaa’) dari an-Nu’man bin
Basyir, walau tak sampai derajat yakin.
Ada dua alasan untuk itu. Pertama, al-Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah maula
(bekas budak). Artinya dulu Habib bin Salim adalah budak milik Nu’man bin Basyir, lalu anNu’man memerdekakan Habib bin Salim. Jadi sangat mungkin Habib bin Salim mendengar
hadits dari an-Nu’man bin Basyir. Kedua, al-Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah
penulis atau sekretaris an-Nu’man bin Basyir. Pada galibnya, seorang penulis sering bertemu
atau mendengar perkataan dari atasannya. Maka sangatlah mungkin Habib bin Salim mendengar
hadits dari an-Nu’man bin Basyir. Kedua alasan inilah kiranya yang menjadikan al-Bukhari tetap
menilai shahih hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. (Lihat, Khalid Manshur Abdullah
ad-Durais, Mauqiful al-Imaamaini al-Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’,
Maktabah ar-Rusyd, tt, hlm. 121).
Ini adalah indikasi pertama yang membuktikan kredibilitas Habib bin Salim, serta hadits yang
diriwayatkannya, dengan adanya penilaian shahih dari al-Bukhari sendiri terhadap hadits yang
diriwayatkan oleh Habib bin Salim.
Indikasi kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai al-Bukhari dengan kalimat “fihi nazhar” bisa
jadi tetap dianggap kredibel oleh ahli hadits lainnya. Ini sungguh terjadi dan contohnya banyak.
Sebagai contoh Habib bin Salim. Meski al-Bukhari menilainya “fiihi nazhar” namun menurut alHafizh Ibn Hajar al-Asqalani, Ibn ‘Adi, Abu Hatim, Abu Dawud, dan Ibn Hiban Habib bin Salim
dianggap tidak ada masalah. Contoh-contoh lainnya banyak diberikan oleh Syaikh Syu’aib alArna’uth, yang men-tahqiq kitab Siyar A’lam an-Nubala’ karya ad-Dzahabi, Juz XII/439. Di
antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, perawi bernama Tamaam bin Najiih. Al-Bukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun
Tamaam bin Najiih dianggap tsiqah oleh Yahya bin Ma’iin. Abu Dawud dan at-Tirmidzi juga
tidak meninggalkan haditsnya. Kedua, perawi bernama Rasyid bin Dawud as- Shan’ani. AlBukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun Yahya bin Ma’iin menganggapnya tsiqah. Ibn Hiban
memasukkan namanya dalam kitabnya at-Tsiqaat. An-Nasa’i juga meriwayatkan hadits darinya.
Ketiga, perawi bernama Tsa’labah bin Yazid al-Hammani. Al-Bukhari menilainya “fii hadiitsihi
nazhar” (harus diteliti). Tetapi an-Nasa’i berkata, dia tsiqah. Ibn ‘Adi mengatakan, “Aku tidak
melihat haditsnya munkar (menyalahi periwayat lain yang lebih tsiqah) dalam kadar yang dia
riwayatkan.” Dan seterusnya banyak sekali.
Jadi, penilaian al-Bukhari “fiihi nazhar” kepada seorang perawi, tidak berarti hadits yang
diriwayatkannya secara mutlak tertolak atau selalu tertolak. Karena bisa jadi para Ahli Hadits
lain menilai perawi tersebut sebagai tsiqah (perawi terpercaya), yang menghimpun karakter ‘adil
(taqwa) dan dhabith (kuat hapalannya).
Kesimpulan
Jelaslah sudah, bahwa Khilafah Islam sebagai ajaran Islam, harus diyakini oleh umatnya, terlebih
para ulama’nya. Keyakinan ini tidak hanya meyakini substansinya, tetapi juga Khilafah sebagai
ism[un] syar’iyy[un] (istilah syariat) dengan konotasi syara’nya. Inilah bentuk final negara kaum
Muslim di seluruh dunia. Karena inilah, satu-satunya sistem pemerintahan yang diwariskan oleh
Nabi dan para sahabat.
Kembalinya Khilafah juga pasti, karena ini merupakan janji Allah, dan bisyarah Nabi-Nya.
Karena itu, menyerang nash-nash syara’, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah, atau
memutarbalikkan maknanya demi imbalan dunia yang tidak seberapa, hanya akan sia-sia belaka.
Umat Islam pun kini sudah lebih cerdas, dan paham tentang Khilafah. Mereka tidak lagi bisa
ditipu, siapapun yang menipunya.
Maka, daripada bersusah payah mengahabiskan energi untuk mengaburkan, menyerang atau
membelokkan konsep Khilafah, lebih baik berjuang bersama-sama demi tegaknya kembali
Khilafah. Karena, apapun upaya untuk menghalangi tegaknya Khilafah tidak akan pernah
berhasil. Karena ini melawan janji Allah, dan bisyarah Nabi-Nya. Sedangkan janji Allah dan
bisyarah Nabi-Nya itu pasti. Wallahu a’lam.