Hubungan Variasi Morfologi Sella Tursika Dengan Maloklusi Klas III Skeletal Di RSGMP FKG USU

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sella Tursika
Sella tursika merupakan cekungan berbentuk sadel pada tulang sphenoid yang
berlokasi di tengah fossa kranial terletak pada permukaan intrakranial dari tengkorak
kepala.Lekukan berbentuk sadel ini dikenal sebagai fossa pituitari atau fossa hipofise.
Kelenjar pituitari berada pada fossa hipofise, dibatasi pada bagian anterior oleh
tuberkulum sella dan di posterior oleh dorsum sella.5,10
Tulang sphenoid terdiri empat prosesus clinoid (dua anterior dan dua posterior),
pada bagian anterior dibatasi oleh tuberkulum sella dan pada bagian posterior dibatasi
oleh dorsum sella. Kelenjar pituitari dikelilingi oleh sella tursika dimana dua
prosessus clinoid anterior dan dua prossesus clinoid posterior berada di atas fossa
pituitari (gambar 1). Prosessus clinoid anterior dibentuk oleh perpanjangan ke medial
dan anterior dari lesser wing tulang sphenoid dan prossesus clinoidposterior
merupakan ujung dari dorsum sellae.Prosessus clinoid anterior berukuran lebih besar
dan bentuknya lebih bervariasi. Dapat berbentuk pendek dan tumpul atau menonjol di
atas fossa hipofisis, dan kadang-kadang terhubung. Dasar/lantai sella tursika adalah
fossa hipofisis dengan kelenjar pituitari.3,5,10,11,17

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1.Anatomi sella tursika pada tengkorak kepala.

Sella tursika pada tulang sphenoid terdiri dari fossa sentral hipofise dan dua
pasang prosesus clinoideus. Prosesus ini dihubungkan oleh horizontal fold durameter
yang digambarkan sebagai interclinoid dural fold, interclinoid ligament, fibrous
ligament atau diafragma sella yang membatasi sella tursika di bagian superior seperti
atap yang belum menutup komplit dengan foramen di bawahnya yang biasa disebut
foramen interclinoid.12Teall 1997 membagi sella tursika ke dalam tiga segmen:
dinding anterior, dasar/lantai dan dinding posterior (dorsum sellae) seperti yang
terlihat pada gambar 2.17

Gambar2: Morfologi normal sella tursika dan garis referensiuntuk menentukan ukuran sella. TS;
tuberkulum sella, DS; dorsum sella, BPF; basis/dasardari fossa pituitary, SP; sella posterior, garis
putih;panjang sella, garis merah; diameter of sella,garis biru;kedalaman sella.

Universitas Sumatera Utara

2.2 Embriologi Sella Tursika
Pembentukan prenatal dan postnatal dari kelenjar pituitari dan sella tursika

merupakan proses yang kompleks. Dua struktur yang penting ini berada pada regio
perbatasan, membatasi jaringan yang berbeda asal perkembangannya. Sel pembentuk
kelenjar pituitari berasal dari interaksi antara oral ektoderm yang berkembang
menjadi pituitari posterior. Fossa pituitari berdiferensiasi secara langsung dari
hipofise kartilage yang berasal dari sel neural crest chondrocranium.7,14
Selama perkembangan embriologi, area sella tursika merupakan titik pusat untuk
migrasi sel neural crest untuk perkembangan daerah frontonasal dan maksila.
Pembentukan dan perkembangan bagian anterior kelenjar pituitari, sella tursika dan
gigi berbagi, melibatkan sel neural crest dan sel dental epitheliel progenitor
berdiferensiasi secara bertahap dan saling berinteraksi dengan sel neural crest yang
berasal dari mesenkim. Bagian posterior dari kelenjar pituitari berkembang dari
paraxial mesoderm dimana sangat berhubungan dengan induksi notochordal. Kaitan
yang erat antara perkembangan jaringan otak dan tulang di sekitar otak dan
neurokranium. Adanya malformasi kongenital pada perkembangan otak dapat
dideteksi dengan menganalisa tulang pada neurokranium. Morfologi abnormal dari
cranial base dan sella tursika termasuk pada evaluasi malformasi kraniofasial
postnatal.1,7,17
Perkembangan ukuran dan morfologi sella tursika postnatal selama pertumbuhan
telah didokumentasikan dalam literatur. Deposisi tulang bagian anterior dari


Universitas Sumatera Utara

permukaan inferior sella tursika berhenti pada usia dini dimana resorpsi pada bagian
distal sella floor pada dinding posterior berlanjut pada yang periode panjang.
Deposisi tulang terlihat pada tuberkulum sella dan resorpsi pada batas posterior sella
tursika pada usia diatas 16-18 tahun. Titik sella bergerak ke belakang dan ke bawah
selama pertumbuhan dan perkembangan.7
Kelenjar pituitari berkembang sebelum tulang kartilago sella tursika terbentuk.
Kelenjar adenopituitaryberkembang dari jaringan oral ektoderm dan kelenjar
neuropituitary berasal dari infundibulum cerebri. Morfologi prenatal sella, seperti
yang terlihat pada kartilago, menyerupai morfologi pada jaringan tulang setelah
kelahiran (gambar 3). Penelitian patologis foetusmenunjukkan bahwa deviasi pada
bentuk sella tursika merupakan dasar yang kuat untuk mengetahui deviasi yang akan
terlihat pada saat post natal.14

Gambar 3. Potongan para-axial sella tursika dari foetus manusia, 15 minggu usia gestasional. Bagian
anterior di sebelah kiri. Sella tursika mempunyai penampakan morfologi mirip dengan morfologi pada
radiografi post natal. Kelenjar pituitary berada di dalam sella. Kelenjar adenopituitary terlihat di kiri
dan kelenjar neuropituitary berada di kanan. Ossifikasi pada jaringan kartilago yang ungu terlihat di
bawah sella pada kranial base eksternal.14


Universitas Sumatera Utara

Dinding anterior dan posterior sella tursika berkembang dari sumber yang
berbeda. Kartilago yang membentuk dinding posterior berkembang sama seperti pada
tulang vertebra yaitu berasal dari notochord. Kartilago yang membentuk dinding
anterior berkembang dari sel neural crest (gambar 4).14

Gambar 4.Skema ilustrasi dua area perkembangan dari kranium yaitu area frontonasal (F) dan area
maksila (M). Dua bagian yang berbeda ini berasal dari sel neural crest. Sel neural crest sel ditandai
dengan panah hijau merupakan bagian dari fossa anterior fossa krania, termasuk dinding anterior dari
sella tursika.14

2.3 Pertumbuhan Postnatal Sella Tursika
Perubahan pada sella tursika selama pertumbuhan masa anak-anak telah diteliti
secara radiografi oleh Bjork dan Skieller (1983) dan secara histologi oleh Melsen
(1974). Penelitian ini menunjukkan bahwa sella tursika ukurannya bertambah selama
masa anak-anak. Pertambahan ukuran terjadi sebagai akibat dari resorpsi pada
dinding interior dorsum sella/ dinding posterior, sementara dinding anterior terlihat
stabil selama masa pertumbuhan.14

Hipotesis pada pertengahan tahun 1990an bahwa analisis histologi dari prenatal
sella tursika dan pertumbuhan kelenjar pituitari dapat menjadi metode untuk

Universitas Sumatera Utara

mengetahui kapan terjadinya morfologi yang normal atau morfologi yang patologis
dari sella tursika (Kjaer dan Hansen, 1995). Pemeriksaan histologis foetus dengan
fenotipe yang berbeda diduga dapat membantu mengklasifikasi deviasi morfologi
pada regio ini.14

2.4Morfologi Sella Tursika
Morfologi sella tursika pada dewasa ini sudah sering dijelaskan dalam literatur.
Gorden 1922, mengklasifikasikan morfologi sella tursika digolongkan menjadi tiga
tipe; bulat/sirkular, oval atau mangkuk/datar. Davidoff dan Epstein 1950, memberi
istilah sella berbentuk J sedangkan Fornier dan Denizet 1965, menggunakan istilah
omega sella. Teal 1977, mengklasifikasikan morfologi sella tursika menjadi tipe
bulat, oval dan datar/flat.4,5,17
Bentuk dan ukuran sella tursika bervariasi, bentuknya bisa dalam dan dangkal
baik pada anak-anak dan orang dewasa. Camp mengklasifikasi sella tursika normal
dalam tiga tipe: sirkular, oval atau flat (gambar 5). Tipe sirkular merupakan tipe yang

paling banyak ditemukan sedangkan tipe flat yang paling jarang. Pada 70% anakanak bentuk sella tursika berbentuk bulat. Pada profil, sella dapat terlihat konkaf
terlihat seperti ekskavasi di baawah clinoids anterior. Dasar/lantai sella tursika,
dimana pada banyak kasus adalah yang konkaf, bisa flat ataupun konveks. Pada
radiografi lateral, sella tursika biasanya dibatasi garis padat putih yang tipis.
Gambaran ini terlihat lebih penting dari pada ukuran fossa.11

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5. Klasifikasi dari tiga bentuk sella tursika:(A) oval, (B) sirkular, (C) flat.

Penilaian morfologi sella tursika dapat menjadi alat ukur untuk menentukan
kondisi patologi pada kelenjar pituitari. Morfologi abnormal sella tursika dilaporkan
pada kasus dengan deviasi kraniofasial yang parah, variasi kelainan genetik, sindrom
dan anomali gigi. Variasi morfologi sella tursika telah banyak dilaporkan oleh
peneliti yang berbeda. 16,17
Sefalogram lateral digunakan dalam ortodonti untuk menilai morfologi
kraniofasial, yang memungkinkan untuk membedakan antara maloklusi dentoalveolar
dan perbedaan skeletal. Kebanyakan perubahan terjadi antara usia 6 dan 15 tahun
pada wanita dan antara 6 dan 18 tahun pada pria. Terlepas dari struktur wajah , fossa
media kranii, termasuk sella tursika terlihat pada radiografi.11

Sejak dua dekade terakhir ini morfologi sella tursika telah diteliti pada foto profil
radiografi. Penelitian menggambarkan morfologi normal dan deviasi pada genotip
yang telah diketahui ataupun yang belum diketahui. Pada beberapa kasus gambaran
bentuk dari sella berdasarkan observasi sesudah prenatal dari regio ini.14

Universitas Sumatera Utara

Skema karakteristik morfologi sella tursika yang umum dijumpai, ditunjukkan
pada gambar 6. Beberapa deviasi digambarkan oleh Axelsson dkk 2004, jarang
ditemukan dan diduga adanya variasi pada morfologi merupakan tanda-tanda adanya
kondisi patologi. Pada penelitian morfologi sella tursika pada grup kembar
monozigot, menunjukkan bahwa ukuran sella tursika sebagian besar mirip pada
individu dengan kembarannya (Brock-Jacobsen dkk, 2009). Sementara pada kembar
yang lain,

sella tursika berbeda pada keduanya. Penemuan ini mengindikasikan

bahwa malformasi pada sella tursika tidak hanya ditentukan secara genetik.14
Variasi morfologi sella tursika telah diteliti oleh banyak peneliti seiring waktu.
Gorden dan bell pada tahun 1922 mempelajari radiografi dari anak usia 1 sampai 12

tahun dan mengklasifikasikan sella tursika menjadi tiga tipe yaitu sirkular, oval dan
datar. Mereka menyimpulkan bahawa bentuk sella tursika yang paling banyak
dijumpai pada subjek yaitu bentuk oval atau sirkular, tetapi mereka mengobservasi
bahwa tidak semua kasus dapat ditentukan dengan klasifikasi yang terlalu umum
seperti itu.16
Pada penelitian terbaru oleh Axelsson pada tahun 2004, morfologi sella tursika
dibagi menjadi enam tipe yaitunormal, oblique anterior wall, double contour of the
floor,bridging, irregularity in the posterior, bentuk piramidal dari dorsum sella
(Gambar 6). 16

Universitas Sumatera Utara

Gambar 6. Perbedaan tipe morfologi sella tursika: (a) normal sella tursika, (b) oblique anterior wall,
(c) double contour of the floor, (d) bridgingsella tursika, (e) irregularity in the posterior part, (f)
bentuk piramida dorsum sella (Axelsson et all 2004).6,7,10,16

2.5Bridging Sella Tursika
Diagnosa adanya kalsifikasi dari sella tursika dapat diketahui dari radiografi
sefalometri lateral. Leonardi dkk menyatakan penyatuan tulang prosesus clinoideus
anterior dan posterior disebut juga sella tursika bridging (STB). Insiden ini telah

dilaporkan pada penelitian anatomi dan radiografi.5,12

Universitas Sumatera Utara

Sejumlah anomali gigi, seperti hipodonsia dan palatoversi kaninus maksila, telah
dikaitkan dengan kalsifikasi ligamen interclinoid atau bridging sella tursika
(Leonardi dkk, 2006). Adanya kalsifikasi klinis intrakranial selain mempengaruhi
pertumbuhan gigi,

yang sangat sugestif yaitu etiologi genetik yang mendasari

terjadinya anomali gigi dan deviasi pada di area orofasial (Pirinen dkk, 1996).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai morfologi sella tursika telah
menjelaskan variasi morfologi yang signifikan terkait dengan struktur ini (Tetradis
dan Kantor, 1999). Selain itu, mereka telah menyimpulkan bahwa penampilan
morfologi telah terbentuk pada awal perkembangan embrio (Kjær et al, 1998;.
Nielsen et al., 2005).15
Kalsifikasi dari ligamen interclinoid, atau sella tursika bridging, telah terbukti
terjadi lebih dari 1,1-13 persen dari populasi umum (Bergland dkk 1968, Cederberg
dkk 2003, Axelsson dkk 2004, Alkofide 2007) dengan prevalensi meningkat dengan

disproporsi kraniofasial parah (Becktor dkk 2000, Jones dkk 2005). Perbedaan yang
jelas antara penyatuan nyata prosessus anterior dan prosessus posterior (sella
tursikabridging) dan overlapping pada radiografi lateral sulit untuk ditentukan
(Axelsson dkk 2004). Selain itu, sella tursikabridging juga terlihat dalam hubungan
dengan kondisi perkembangan genetik yang dapat mempengaruhi kraniofasial, seperti
sindrom nevoid karsinoma sel basal (NBCCS) dan sindrom Williams (Kimonis dkk
1997, Axelsson dkk 2004). 12,15
Bridgingatau penyatuan antara struktur anterior dan posterior sella tursika,
khususnya kalsifikasi ligament interklinoid, telah diklasifikasikan oleh Becktor dkk

Universitas Sumatera Utara

menjadi dua kelompok yaitu tipe A: gambaran penyatuan seperti pita (ribbonlike) dan
tipe B: perpanjangan tulang prosessus anterior dan/atau prosessus klinoid posterior,
seperti bertemu atau saling timpa sepanjang fossa pituitary (Gambar. 7). 5,9,13

Gambar 7. Perbedaan bentuk dari sella tursika berdasarkan klasifikasi Becktor,dkk pada tahun 2000;
(a) Tidak ada penyatuan sella tursika bridge, (b) Gambaran penyatuan seperti pita (ribbonlike), (c) tipe
B: perpanjangan prosessus clinoid anterior dan proses clinoid posterior, seperti bertemu atau saling
timpa di tengah sella tursika dengan penyatuan yang tipis.


Beberapa penelitian telah menemukan kondisi abnormal skeletal seperti adanya
kalsifikasi pada ligamen interklinoid dan variasi normal pada radiografi sefalometri
(Bisk dan Lee 1976, Kantor dan Norton 1987, Tetradis dan Kantor 1999). Pada
subjek yang sehat, range angka kejadianbridging mulai dari 3,8-13 % (Cedeberg dkk
2003, Axelsson dkk 2004). Becktor dkk 2000, Leonardi dkk 2009, tendensi yang
mengarah pada besarnya frekuensi bridgingpada sella tursikatelah ditemukan pada
pasien dengan deviasi kraniofasial yang parah (Becktor dkk, 2000).3,8,12,20
Untuk mengevaluasi dan mengukur derajatbridging, digunakan standar
penilaian yang dikembangkan oleh Leonardi dkk (gambar 8).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan dimensi sella, level bridging dibagi menjadi tiga kelompok:
1. Tidak ada kalsifikasi: Tipe I, dimana panjang/jarak interclinoid seimbang
atau lebih besar dari ¾ diameter sella tursika.
2. Kalsifikasi sebagian: Tipe II, dimana panjang seimbang atau kurang dari ¾
diameter sella tursika..
3. Kalsifikasi komplit: Tipe III, dimana hanya terlihat diafragma sella pada foto
sefalometri lateral.1

Gambar 8. Tipe I (tidak ada kalsifikasiligamen interklinoid/bridging, type II (kalsifikasi sebagian),
and type III (kalsifikasi komplit).15

2.6 Ukuran Sella Tursika
Seperti halnya morfologi sella tursika, penelitian mengenai ukuran sella tursika juga
telah banyak dilakukan dengan metode yang berbeda. Camp, 1924 melakukan
penelitian pada pasien dewasa dan melaporkan nilai lebarsella tursikayaitu 10,6 mm
(pada penelitian ini disebut panjang) dan 11,3 mm pada penelitian yang dilakukan
pada etnis pakistan pada tahun 2011. 16
Perubahan pada sella tursika selama periode pertumbuhan anak-anak telah diteliti
secara radiografi, seperti pada penelitian implant oleh Bjork dan Skieller (1983) dan
secara histologi seperti oleh Melsen (1974). Penelitian ini menunjukkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

ukuran sella tursika bertambah selama periode anak-anak. Pertambahan ukuran
terjadi akibat resorpsi pada dinding bagian dalamdorsum sella sedangkan dinding
anterior stabil selama periode pertumbuhan. Struktur yang stabil ini berguna untuk
superimposisi radiografi dalam evaluasi pertumbuhan kraniofasial (Bjork dan
Skieller, 1983). Selama masa pertumbuhan, dinding posterior mengalami resorpsi dan
titik sella secara bertahap bergerak ke arah dorsal-caudal. 14
Ukuran dari sella tursika yang dari radiografi dapat diukur dengan berbagai
metode pengukuran area. Camp,1924; Silverman, 1957; Chilton dkk, 1983; Choi
dkk,2001; Axelsson dkk, 2004; Jones dkk, 2005, Data normatif mengenai ukuran
telah dilaporkan pada literatur dan rentang jarak dimensi vertikal sekitar 4 sampai 12
mm dan 5 sampai 16 untuk dimensi anteroposterior. Variasi antara berbagai metode
pengukuran kemungkinan karena menggunakan titik landmarks yang berbeda, teknik
radiografi dan derajat pembesaran radiografi. Perubahan ukuran dari sella tursika
lebih berkaitan dengan keadaan patologis, pembesaran sella tursika paling sering
dijumpai tetapi tidak disertai dengan erosi tulang.20

Gambar 9. Morfologi normal sella tursika dan garis referensi yang digunakan untuk mengukur sella:
TS: tuberkulum sella; DS: dorsum sella; BPF:base of the pituitary fossa. A: panjang sella. B: diameter
anteroposterior sella. C: kedalaman sella.

Universitas Sumatera Utara

Ukuran sella tursika yang membesar kemungkinan merupakan indikasi tumor
pituitary

yang

memproduksi

hormon

secara

berlebihan

seperti

hormon

adrenokortikotropik, prolactin, growth hormone, thyroid stimulating hormondan
antidiuretik hormon. Ukuran sella tursika yang membesar pada radiografitelah
ditemukan berkaitan dengan adenoma, meningioma, primary hypothyroidism,
prolactinoma,

gigantism,

acromegali,

empty

Sella

syndromedanNelson

syndrome.Ukuran yang kecil dari sella tursika dapat disebabkan karena menurunnya
fungsi pituitary menyebabkan simptom seperti ukuran badanyang pendek dan
retardasi pertumbuhan skeletal.20

2.7. Tipe Maloklusi
Perkembangan dan pertumbuhan wajah skeletal dimulai dari masa embrio dan
dipercepat pada awal masa kelahiran, kemudian melambat sampai usia pra pubertas.
Percepatan pertumbuhan akan terjadi kembali pada masa pubertas hingga mencapai
puncak pada usia pradewasa dan menjadi lambat sampai mencapai dewasa. Tulang
wajah akan mencapai 60% ukuran dewasa pada usia empat tahun. Pada usia 12 tahun,
ukuran tulang wajah telah mencapai 90% ukuran dewasa, hubungan maksila dan
mandibula sangat menentukan keharmonisan wajah.19
Analisis Steiner
Analisis Steiner pertama kali diperkenalkan oleh Cecil Steiner 1953, seorang
ortodontis di California. Banyak elemen dari analisis ini yang masih populer
digunakan sampai saat ini. Steiner memanfaatkan garis sella-nasion (SN) sebagai titik
acuan horizontal.21,22

Universitas Sumatera Utara

Steiner membagi analisisnya menjadi 3 bagian yaitu:21
2.7.1. Analisis skeletal
a. Sudut SNA
Sudut SNA digunakan untuk menganalisis hubungan anteroposterior maksila
terhadap basis kranium. Sudut SNA dibentuk dari pertemuan garis S-N dan N-A.
Nilai normal sudut SNA adalah 82° ± 2°.2 Jika nilai SNA lebih besar dari nilai
normal, maka maksila diindikasikan mengalami prognasi. Sebaliknya jika nilai SNA
kurang dari nilai normal, maka maksila diindikasikan mengalami retrognasi.21

Gambar 10. Sudut SNA

b. Sudut SNB
Sudut SNB digunakan untuk menganalisis hubungan anteroposterior
mandibula terhadap basis kranium. Sudut SNB dibentuk dari pertemuan garis S-N
dan N-B. Nilai normal sudut SNB adalah 80° ± 2°.2 Jika nilai SNB lebih besar dari
nilai normal, maka mandibula diindikasikan mengalami prognasi. Sebaliknya jika
nilai SNB kurang dari nilai normal, maka mandibula mengalami retrognasi.21

Universitas Sumatera Utara

Gambar 11. Sudut SNB

c. Sudut ANB
Sudut ANB digunakan untuk menganalisis hubungan maksila terhadap
mandibula. Sudut ANB merupakan selisih dari sudut SNA dan SNB. Nilai normal
sudut ANB adalah 2° ± 2° (0° - 4°). Bila ANB bernilai positif menunjukkan posisi
maksila lebih ke depan dari mandibula. Ini menunjukkan profil cembung. Sedangkan
bila nilai ANB negatif menunjukkan posisi maksila lebih ke belakang dari mandibula.
Ini menunjukkan profil cekung.21
Pada analisis ini, Steiner membagi relasi rahang menjadi tiga kelas, yaitu:
1. Klas I Skeletal
Kelas I mempunyai nilai ANB normal (0° - 4°) dan profil wajah cembung.
Nilai ANB yang normal juga dapat diperoleh bila keadaan kedua skeletal rahang
mengalami prognati ataupun retrognati.21,22
2. Klas II Skeletal
Kelas II mempunyai nilai ANB lebih besar dari nilai normal (ANB > 4°) dan
profil wajah cembung. Nilai ANB yang lebih besar ini dapat disebabkan oleh tiga hal,

Universitas Sumatera Utara

yaitu maksila yang mengalami prognati, mandibula yang mengalami retrognati dan
kombinasi keduanya.21,22
3. Klas III Skeletal
Klas III mempunyai nilai ANB lebih kecil dari nilai normal (ANB < 0°) dan
profil wajah cekung. Nilai ANB yang lebih kecil ini dapat disebabkan oleh tiga hal,
yaitu maksila yang mengalami retrognati, mandibula yang mengalami prognati, dan
kombinasi keduanya.21,22

Gambar 12. Sudut ANB

Dokter gigi dan ortodontis secara rutin mengevaluasi radiografisefalometri
pasien, dengan mengetahui variasi normal dari sela tursika diharapkan mampu
mengenali kelainan pada daerah ini bahkan sebelum melihat tampilan klinisnya. Saat
ini, penentuan morfologikraniofasial menjadi fokus perhatian para penelitidi berbagai
bidang studi yaitu radiologi dan ortodonti. Sebuah teori baru-baru ini yangmasih terus

Universitas Sumatera Utara

menerus diteliti adalah adanya hubungan antaramorfologi dan ukuran sella tursika
dengan tipe wajah skeletal.6
Tipe wajah skeletal dalam ilmu ortodonti diklasifikasikan menjadi tiga jenis
yaitu Klas I, II, dan III, hal ini dilihat berdasarkanhubungan anteroposteriordari
maksila dan mandibula. Banyak penelitian dilakukan mengenai prevalensi tipe wajah
skeletal pada berbagai kelompok etnis, menurut penelitian yang dilakukan oleh
Wahab pada populasi Deutro-Melayu Indonesia tahun 2013, prevalensi paling tinggi
ditemukan pada Klas I yaitu 48,8%, diikuti dengan Klas II yaitu 33,1% dan Klas III
sebanyak 18,1%.19
Perawatan pasien pada masing-masing tipe wajah skeletal tersebut berbeda-beda,
sebelum memulai perawatan ortodonti yang rumit dan mahal sangat penting untuk
menentukan jenis hubungan skeletal antar rahang agar diperoleh hasil perawatan yang
lebih baik. Pada analisa sefalometri lateral terkadang didapatkan hasil borderline
sehingga sulit untuk memastikan hubungan skeletal rahang, terutama pada Klas I dan
III. Dalam situasi ini, dengan memperhatikan variasi morfologi dan ukuran sella
tursikapada radiografi sefalometri dapat membantu untuk menentukan hubungan
skeletal apakah Kelas I, II ataupun III.6
Dari

ulasan

di

atas

penulis

ingin

mengetahui

variasi

morfologisella

tursikamenurut metode Axelsson dkk dan hubungannya dengan tipe wajah maloklusi
Klas III skeletal.

Universitas Sumatera Utara

2.8 Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara

2.9 Kerangka Konsep
Pasien ortodonti 17-35 tahun

Radiografi sefalometri lateral

Nilai ANB

Maloklusi Klas I
skeletal (grup
kontrol)

Maloklusi Klas III
skeletal

Morfologi
Sella
Tursika

Hubungan

Universitas Sumatera Utara

2.10

Hipotesis Penelitian
1. Ada perbedaan morfologi sella tursika pada kelompok pasien dengan
maloklusi Klas III skeletal dibandingkan pada pasien dengan maloklusi
Klas I skeletal.
2. Ada hubungan variasi morfologi sella tursika pasien dengan maloklusi
Klas III skeletal.

Universitas Sumatera Utara