Agama pendidikan karakter dan upaya memb

AGAMA, PENDIDIKAN KARAKTER
DAN UPAYA MEMBANGUN KESADARAN BERBANGSA DAN BERNEGARA1
Oleh : Nurrohman
Fenomena kehidupan beragama dan berbangsa
Dewasa ini fenomena intolerenasi dalam kehidupan agama di tampaknya meningkat.
Penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan
toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. Dalam survei CSIS yang dilakukan pada
bulan Februari tahun 2011 di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden menunjukkan bahwa
meskipun 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain,
namun 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah
agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu
tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan.2
Menurut Laporan Wahid Institute 2012, apabila dibandingkan dengan tahun 2011,
data - data kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi tahun
2012 ini mengalami peningkatan jumlah yakni 110 kasus berbanding 93 kasus atau
meningkat sekitar 8 %. Jika pada tahun 2011 rata - rata terjadi 7 kasus pelanggaran
perbulan, maka pada tahun 2012 ini meningkat menjadi rata- rata 9 kasus perbulan.
Bahkan apabila bulan Desember tidak dihitung, maka rata- rata pelanggaran perbulan
adalah 10 kasus. Tindakan brutal sekelompok orang yang mengaku ingin menegakkan agama
dengan teror, ancaman, dan cara-cara kekerasan lainnya, sehingga melanggar kebebasan orang
untuk beragama dan berkeyakinan juga masih sering muncul. Menurut ini , meskipun Jawa Barat

menduduki peringkat tertinggi dalam pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan olen non
state dengan 57 kasus, namun Jawa Tengah juga masih cukup tinggi dengan 30 kasus, sama
dengan jumlah pelanggaran yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). 3
Fenomena itu tidak hanya terjadi di masyarakat tapi juga di lemabaga pendidikan atau
sekolah. Survey yang dilakukan oleh PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap 500 guru pengajar agama
Islam di sekolah negeri maupun swasta seluruh Jawa pada tahun 2008 memperlihatkan bahwa
kebanyakan responden menolak pluralisme dan cenderung mempertahankan pandangan
keagamaan konservatif dan radikal. Misalnya :68,6 % guru agama menolak non-Muslim menjadi
kepala sekolah. 33,8 % menolak guru non Muslim di sekolah mereka, 87 % mereka meminta
muridnya agar tidak mempelajari agama lain.,47,5% dari mereka juga mendukung hukuman
potong tangan bagi pencuri, sementara 21,3 % dari mereka mem- back up perlunya hukuman
mati bagi Muslim yang murtad. Azyumardi Azra , dalam komentarnya terhadap hasil survey
mengatakan : the surveyed Islamic studies teachers had probably never been exposed to
1 Disampaikan dalam seminar yang bertema : “AGAMA DAN KARAKTER BANGSA ; Upaya Mengoptimalkan
dan Mensinergikan Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Basis Pembentukan Karakter
Bangsa” yang diselenggarakan pada tanggal 7 Maret 2013 di Semarang atas kerjasama antara Program Pasca
Sarjana Universitas Islam Nusantara dengan Program Pasca Sarjana Universitas Wahid Hasyim.
2 Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/06/05/173408521/Survei-Toleransi-Beragama-Orang-IndonesiaRendah diakses 26 Februari 2013
3 Lihat . Ringkasan Eksekutif Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012, The Wahid Institute


1

pluralistic views. He said the Religious Affairs Ministry had probably encouraged them to
become Islamic studies teachers , but failed to “refresh” their outdated views on Islam.” It is
actually the ministry’s responsibility to counter such (anti pluralistic) views. It has to organize
regular trainings for these teachers to instill wider and more comprehensive perspective into
their minds.” Said Azyumardi , who is a former UIN rector. 4
Dewasa ini juga masih sering muncul wacana yang mempertentangkan Islam dan
demokrasi, Islam dan Pancasila dengan tujuan melemahkan konsolidasi demokrasi dan Ideologi
Pancasila.
Hizbut Tahrir Indonesia adalah salah satu contoh kelompok yang sering
mempertentangkan secara terbuka antara syariah dan demokrasi , antara kedualatan Tuhan dan
kedaulatan rakyat yang ujungnya mau menggantikan Negara Pancasila dengan Negara Islam
(khilafat) yang cenderung teokratis. 5
Dewasa ini juga tampak fenomena menurunnya karakter bangsa yang ditandai dengan
budaya instant dan prilaku korup yang terjadi di mana-mana. Organisasi Fund for Peace merilis
indeks terbaru mereka mengenai Failed State Index 2012 di mana Indonesia berada di posisi 63.
Sementara negara nomor 1 yang dianggap gagal adalah Somalia. Dalam membuat indeks
tersebut, Fund for Peace menggunakan indikator dan subindikator, salah satunya indeks persepsi

korupsi.Dalam penjelasan mereka, dari 182 negara, Indonesia berada di urutan 100 untuk urusan
indeks korupsi tersebut. Indonesia hanya berbeda 82 dari negara paling korup berdasarkan indeks
lembaga ini, Somalia. Negara yang dianggap paling baik adalah New Zealand. 6
Menurut survey yang dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada tahun
2011,Kementrian Agama menduduki ranking pertama dalam hal korupsi diantara 22 kementrian
atau lembaga negara. Kementrian ini hanya mendapat 5.37 point dari 10 point, dibawah
Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendapat 5.44 point dan Kementrian Koperasi
dan UKM yang mendapat 5.52 point. Pada tahun 2012 , KPK masih menempatkan Kementrian
Agama sebagai kementrian yang terkorup bersama dengan kementrian Kehutanan.7
Tingginya tingkat korupsi di Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam
menunjukkan bahwa karakter amamah/ accountability dan tabligh/ transparency belum menjadi
watak yang melekat pada sebagian bangsa ini termasuk mereka orang Islam yang sedang
dipercaya memegang kekuasaan.
Kondisi demikian menjadikan lembaga pendidikan juga tidak lepas dari sasaran
kritik.Sebab budaya instan dan prilaku korup juga sedikit banyaknya masuk kedalam di
lingkungan pendidikan melalui prilaku permissive terhadap kecurangan dan ketidakjujuran. Akh
Muzakki ketua LP Maarif Nahdlatul Ulama, Jawa Timur yang juga dosen IAIN Sunan Ampel in
Surabaya dalam tulisannya yang berjudul “Cheating on exams and character education”
mengatakan : Obviously, cheating is another name for dishonesty. And, dishonesty is the
beginning of all evil. Ineffective management of a country is precisely a consequence of the loss

of honesty. If honesty is no longer maintained in the practice of education, then education has
greatly contributed to the institutionalization of the crime itself. Therefore, the problems of the
National Examination have to be strongly put within the framework of character education for
the development of the nation.8 ( Jelaslah , kecurangan adalah bentuk lain dari ketidakjujuran.
Dan ketidakjujuran adalah awal dari kejahatan. Manajemen negeri yang tidak efektif adalah
4 Lihat : Erwida Maulia,” Islamic teachers lack pluralistic perspectives”, The Jakarta Post, November 27,2008
5 Lihat : al-Wa'ie, No. 142 Tahun XII, 1-30 Juni 2012.hlm. 19.
6 Sumber : http://nasional.news.viva.co.id/news/read/327659-indeks-persepsi-korupsi--indonesia-urutan-100
diakses 26 Februari 2013.
7 Sumber : “ Religious Affairs Ministry on graft red alert “, The Jakarta Post, February 28, 2013.
8 Lihat. The Jakarta Post 28 April 2012

2

sebagai konsekwensi dari hilangnya kejujuran. Jika kejujuran tidak lagi dipertahankan dalam
praktek pendidikan maka pendidikan akan memberikan kontribusi besar bagi institusionalisasi
kejahatan. Oleh karena itu problem pada ujian nasional mesti diletakkan dalam kerangka
pendidikan karakter untuk pembangunan bangsa)
Singkatnya fenomena maraknya orang beragama tapi tidak memiliki karakter yang baik
dan fenomena orang yang taat beragama tapi gagal menjadi warganegara yang baik. Inilah

masalah serius yang dihadapi bangsa ini, termasuk yang dihadapi lembaga pendidikan yang
memang bertugas mempersiapkan generasi penerus bangsa ini. Sebab jika fenomena ini tidak
segera diatasi bersama maka kesenjangan antara cita-cita kemerdekaan Indonesia dengan
kenyataan yang dialami oleh rakyat Indonesia akan terus melebar.
Komitment menjadikan kemerdekaan sebagai alat mencerdaskan kehidupan bangsa
Komitmen bangsa ini dalam menjadikan kemerdekaan Indonesia sebagai alat untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa amat jelas bila kita membaca pembukaan Undang-undang
Dasar (UUD) 1945. Pada alinea ketiga dan keempat pembukaan UUD 1945 dikatakan sebagai
berikut :
Atas berkat rachmat Allah yang maha kua sa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaanya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada : Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan kera kyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan /perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Komitment menjadikan pendidikan sebagai alat untuk membentuk karakter yang baik
atau akhlak mulia
Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 menyatakan, ”Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undangundang”
Pasal 2 UU No.20 tahunn 2003 tentang Sisdiknas mengatakan :: Pendidikan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3 UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas mengatakan: Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
3

Pasal 2 ayat (1) PP no. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan mengatakan : Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga

kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama.
Pasal 2 ayat (2) PP no. 55 tahun 2007 mengatakan : Pendidikan agama bertujuan untuk
berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan
nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni.
Pasal 5 ayat (3) PP No.55 tahun 2007 mengatakan : Pendidikan agama mendorong
peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan
menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pasal 5 ayat (4) PP No.55 tahun 2007 mengatakan: Pendidikan agama mewujudkan
keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan
terhadap pemeluk agama lain.
Secara umum pendidikan di Indonesia diarahkan untuk menjadikan peserta didik sebagai
insan yang cerdas , beriman, bertakwa, berilmu, berakhlak mulia, serta mampu menjadi warga
Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Tentang pendidikan agama, ia diarahkan untuk
menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga bisa terwujud keharmonisan, kerukunan, dan
rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
Hubungan keberagamaan (religiousity) dengan karakter yang baik atau akhlak mulia
Hubungan keberagamaan ( religiousity) dengan karakter yang baik bisa dilihat dalam

pandangan sejumlah pakar seputar karakter yang baik itu.
Ratna Megawangi, misalnya menyebut 9 karakter yang perlu dikembangkan di dunia
pendidikan : Pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; Kedua, kemandirian dan
tanggungjawab; Ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; Keempat, hormat dan santun; Kelima,
dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; Keenam, percaya diri dan
pekerja keras; Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; Kedelapan, baik dan rendah hati, dan;
Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Tom Lickona , salah satu pakar pendidikan karakter terkemuka , menyebut sepuluh sifat
atau karakter yang amat penting (Ten Essential Virtues ). Kesepuluh sifat itu ialah : 1) wisdom 2)
justice 3) fortitude 4) self control 5) love 6) a positive attitude 7) hard work 8) integrity 9)
gratitude 10) humility9
Wisdom (bijak) ,merupakan induknya kebajikan the master virtue. Ia adalah kemampuan
membuat keputusan yang baik ( good judgment). Keputusan yang baik adalah keputusan yang
sudah dipertimbangkan secara masak sehingga baik untuk kita dan untuk orang lain. Wisdom
menuntun kita dalam mempraktekkan sejumlah kebajikan, kapan kita mesti bertindak,
bagaimana cara bertindak, dan bagaimana menyelaraskan antara berbagai kebijakan bila yang
satu berentangan dengan lainnya.

9 http://character-education.info/Articles/TheContentofOurCharacter.pdf
Accessed June 1,2012


4

Justice ( adil) . Adil berarti berarti menghargai hak semua orang termasuk hak diri kita
sendiri, - menghormati diri dengan mempertimbangkan secara wajar akan hak dan kehormatan
kita. Jadi keadilan meliputi kebajikan lintas personal, seperti kejujuran, penghormatan terhadap
orang lain, tanggungjawab, dan toleransi. Toleransi yang dimaksud disini tidak semata dipahami
sebagai persetujuan atas keyakinan dan prilaku orang lain tapi juga disertai dengan respek atau
menghormati kebebasan keyakinan mereka selama mereka tidak melanggar hak-hak orang lain.
Fortitude (sabar dan ulet ). Karakter ini memungkinkan kita untuk terus melakukan halhal yang benar saat kita menghadapi kesulitan. Fortitude merupakan keteguhan dari dalam diri
kita sendiri yang memungkinkan kita mampu mengatasi dan menghadapi kesulitan, kekalahan,
ketidaknyamanan dan penderitaan. Aspek-aspek fortitude menurut Lickona adalah : keberanian
(courage), kelenturan (resilience), kesabaran (patience), kestabilan (perseverance), punya daya
tahan (endurance) serta memiliki kepercayaan diri yang sehat (a healthy self-confidence).
Self-control (pengendalian diri). Pengendalian diri adalah kemampuan untuk
mengendalikan diri sendiri. Karekter ini memungkinkan kita untuk mengontrol kemarahan kita,
mengatur nasfu dan keinginan jasmani kita, menolak godaan dan mampu menunda keinginan
mendapatkan imbalan disaat sedang melayani tujuan yang lebih luhur dan berjangka panjang.
(Self-control is the ability to govern ourselves. It enables us to control our temper, regulate our
sensual appetites and passions, resist temptation, and to delay gratification in the service of

higher and distant goals)
Love.( Cinta). Cinta itu melampui keadilan. Ia memberikan sesuatu yang melebihi
persyaratan yang diminta secara fair. Cinta adalah kesediaan untuk berkorban demi orang lain.
Empati (kemampuan untuk bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain) , compassion ( merasa
iba atau kasihan atas penderitaan yang dialami orang lain), kebaikan , kedermawanan, pelayanan,
loyalitas, patriotism, sifat pemaaf, semua akan membentuk kebajikan cinta. Cinta – utamanya
cinta tanpa pamrih yang tidak mengharapkan timbal balik- merupakan dorongan yang paling
kuat di alam semesta ini.
A positive attitude (bersikap positif). Jika anda memiliki sikap negative dalam hidup ini
maka anda akan membebani diri sendiri dan orang lain. Jika anda memiliki sikap positif , maka
anda akan menjadi asset bagi diri anda sendiri dan bagi orang lain. Karakter yang bisa
memperkuat sikap positif adalah : harapan , antusiasme , fleksibel, dan rasa humor.
Hard work. (kerja keras). Dalam hidup ini , tidak ada sesuatu yang bisa menggantikan
kerja keras. Kerja keras meliputi : adanya inisiatif, rajin, merancang tujuan, dan mengumpulkan
sumber daya. .
Integrity(integritas). Intergritas adalah berpegang teguh pada prinsip moral, menjaga
kata-kata dan teguh terhadap apa yang kita yakini. Integritas berbeda dengan kejujuran (honesty)
yakni berkata benar kepada orang lain. Integritas adalah berkata jujur terhadap diri sendiri.
Bentuk penipuan yang paling membahayakan adalah menipu diri sendiri. Menipu diri
memungkinkan kita untuk melakukan apapun yang kita inginkan kemudian mencari alasan yang

membenarkan apa yang kita lakukan.
Gratitude. (bersyukur). Syukur sering digambarkan sebagai kunci atau rahasia
kebahagiaan hidup. Dia memutuskan untuk berhenti mengeluhkan segala kelemahan-kelemahan
fisik sembari mensyukuri segala yang telah dia miliki. .
Humility. ( rendah hati). Rendah hati bisa dipandang sebagai dasar dari seluruh kehidupan
yang bermoral. Rendah hati diperlukan untuk bisa memperoleh berbagai kebajikan lain sebab
rendah hati bisa menjadikan kita menyadari ketidaksempurnaan dan menuntun kita untuk
menjadi orang yang lebih baik. Rendah hati juga memungkinkan kita mengambil tanggung
5

jawab atas kesalahan dan kegagalan kita (ketimbang menyalahkan orang lain), meminta maaf
kepada mereka dan terus berupaya melakukan perbaikan. Kunci pengembangan karakter dalam
hidup adalah sederhana yakni adanya kerendahan hati untuk berubah. “The key to character
growth in life is simply the humble willingness to change”kata Lickona.
Semua karakter yang dikatakan oleh Ratna Megawangi maupun Tom Lickona semuanya
sejalan dengan spirit yang diajarkan Islam melalui Muhammad Rasulullah SAW. Karena misi
utama yang dibawa Nabi Muhammad itu bukan misi politik melainkan misi moral. Dia diutus
untuk memperbaiki moralitas atau karakter masyarakat. Itulah sebabnya , pendidikan agama
amat terkait dengan pendidikan moral atau pendidikan karakter. Moral atau karakter yang baik
akan menjadikan sesorang bisa toleran terhadap perbedaan. Betul , apa yang dikatakan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat mengomentari kurikulum baru. Sebagaimana dikutip
oleh harian The Jakarta Post, beliau mengatakan : “Education should not only make people smart
but also to train Indonesians to be mentally tough, physically healthy, tolerant and willing to live
in harmony with others with different religions, race, and tribes. By preparing a tolerancecentered curriculum, intolerance, which can be violent, can be stopped upstream,”10
Upaya membangun kesadaran berbangsa dan bernegara
Meskipun cikal bakal atau jejak-jejak yang menjadi tonggak berdirinya sebuah Negara
yang bernama Indonesia bisa ditelusuri mulai dari masa kerajaan Sriwijaya maupun Majapahit
namun kalau dihitung sejak munculnya kesadaran untuk menjadikan kawasan yang kemudian
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai sekarang baru sekitar satu abad,
sebuah masa yang untuk kematangan sebuah bangsa menurut hemat saya masih sangat pendek.
Kesadaran berbangsa di Indonesia muncul sejak tahun 1908 dan berpuncak pada tahun 1928, saat
unsur-unsur pemuda dari perwakilan nusantara menyatakan tekadnya menjadi satu atas dasar
satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa.
Pada awal masa penjajahan memang muncul perlawanan di berbagai daerah terhadap
kekuatan kolonialisme maupun imperialisme. Tetapi perlawanan itu lebih disebabkan oleh
keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan kaum penjajah dengan kata lain gagasan
untuk membuat satu bangsa yang kemudian disebut NKRI belum begitu jelas.
Kesadaran untuk menjadikan wilayah nusantara atau Hindia Belanda menjadi satu
bangsa, satu tanah air dan satu bahasa baru dinyatakan secara tegas oleh sejumlah pemuda pada
tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu , atau 82 tahun yang lalu, sejumlah pemuda yang berasal
dari berbagai etnis ,pulau dan agama yang berasal dari kawasan Hindia Belanda (Netherlands
East Indies) berkumpul menyelenggarakan kongres pemuda selama dua hari di Jakarta (Batavia).
Di akhir pertemuan yang bersejarah ini mereka bertekad untuk mewujudkan tiga
komitmen: Satu tanah air yaitu tanah air Indonesia ( wilayah territorial yang pada waktu itu
disebut Netherlands East Indies), satu bangsa yaitu bangsa Indonesia dan satu bahasa yaitu
bahasa Indonesia.
Sartono Kartodirdjo, sejarawan terkemuka di Indonesia pernah menjelaskan bahwa pada
tahun 1925, atau tiga tahun sebelum diadakannya kongres pemuda, Himpunan Mahasiswa
Indonesia yang berada di Holland telah membuat manifesto politik yang mengekspresikan
sebuah aspirasi untuk mendirikan sebuah Negara Indonesia yang modern yang dibangun atas
dasar kesatuan (unity ) , kesetaraan (equality) dan kebebebasan atau kemerdekaan (liberty) untuk
10 Bagus BT Saragih,,” Future of Indonesia depends on new curriculum: Minister”, The Jakarta Post, February 19
2013

6

seluruh rakyat di kepulauan nusantara.11 Bukan hanya mahasiswa Indonesia yang di luar negeri
saja yang mulai menyuarakan kesadaran berbangsa dan bernegara, para tokoh Islam atau para
ulama yang kemudian tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama juga menyuarakan aspirasi
serupa. Meskipun resminya didirikan pada 13 Januari tahun 1926,Nahdlatul Ulama sebenarnya
ditopang oleh tiga gerakan yang mendahuluinya yakni:Gerakan Nahdlatul Wathan (kebangkitan
Bangsa), gerakan Tashwirul Afkar (mencerdaskan kehidupan bangsa), dan gerakan Nahdlatul
Tujjar (kebangkitan ekonomi).12
Manifesto yang juga didukung oleh gerakan di dalam negeri inilah yang tampakanya
memberikan inspirasi kepada pemuda termasuk pemuda Islam untuk bersumpah pada tahun
1928.13 Sumpah ini memberikan pesan yang jelas bahwa mereka ingin mendirikan Negara
kesatuan di wilayah territorial jajahan Belanda (Netherlands East Indies). Bila sumpah ini
dikaitkan dengan manifesto tiga tahun sebelumnya yang menegaskan perlunya unity, equality
dan liberty sebagai dasar negara, maka tampak jelas bahwa Negara kesatuan yang diinginkan
mereka ( founding fathers) mesti berwatak demokratis dan pluralis, sebab equality dan liberty
hanya mungkin berkembang di Negara demokratis yang berwatak pluralis..
Sumpah pemuda ini kemudian menjadi tonggak sejarah berdirinya sebuah negeri impian
yang bernama Republik Indonesia yang terdiri atas lebih dari 17000 pulau dan dihuni lebih dari
300 kelompok etnis.
Jika sebuah bangsa diibaratkan imagined community,14 meminjam istilah Benedict
Anderson, maka melalui pendirian Budi Utomo yang kemudian dilanjutkan dengan sumpah
pemuda para faunding fathers mulai mengkonstruksikan angan-angan ini sedikit lebih jelas.
Sungguhpun demikian , falsasfat bangsa ,bentuk Negara maupun bagaimana hubungan agama
dan Negara masih memerlukan rumusan lebih lanjut.
Menjelang Indonesia diproklamirkan, atau tepatnya pada tanggal 22 Juni 1945, para
founding fathers sempat membuat kesepakatan bahwa Piagam Jakarta akan menjadi filosofi
Negara. Filosofi yang terkandung dalam Piagam Jakarta antara lain bahwa Negara mesti
dibangun berdasarkan nilai ketuhanan dengan rumusan: Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya.
Hanya berjarak tujuh belas tahun setelah Sumpah Pemuda 1928, menjelang berakhirnya
perang dunia ke II, atau tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta, atas nama
rakyat Indonesia , akhirnya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pertanyaan yang sering
muncul adalah mengapa Piagam Jakarta yang berisi antara lain: Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya kemudian tidak bisa dipertahankan untuk
menjadi falsafat Bangsa pada saat Indonesia mau diproklamirkan pada 17 Agustus 1945?
11 : lihat : http://www.budpar.go.id/page.php?ic=611&id=1910 diakses 19 November 2010
12 Diantara syair terkenal yang digubah oleh KH Wahab Hasbullah dalam bahasa Arab , terjemahnya begini :
Wahai bangsaku wahai bangsaku, Cinta tanah air bagian dari iman, Cintailah tanah air ini wahai bangsaku ,
Jangan kalian menjadi orang terjajah, Sungguh kesempurnaan itu harus , Dibuktikan dengan perbuatan , Dan
bukanlah kesempurnaan itu hanya , Berupa ucapan…..Lihat , Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU,
Surabaya, PT Duta Aksara Mulia, Cet ketiga, 2010. hlm.30.
13 Moehammad Yamin, a Youth Pledge stalwart, later reported that the meeting had brought together youths who
had grouped themselves into associations called Java Youths, Sumatra Youths, Islamic Association Youths, Batak
Youths, Celebes (now Sulawesi) Youths, Batavia Youths, and the Association of Indonesian Students, - all these
attended the Youth Congress held on 27 to 28 October 1928 in Jakarta lihat : http://www.budpar.go.id/page.php?
ic=611&id=1910 diakses 19 November 2010
14
Lebih
lanjut
baca:
Benedict
Annderson,
The
Nation
as
imagined
community,
http://www.nationalismproject.org/what/anderson.htm diakses tanggal 19 November 2010

7

Sebab, kalau Piagam ini dipertahankan maka Indonesia yang diangankan sebagai Negara yang
wilayah terirtorialnya meliputi seluruh Netherlands East Indies, tidak bisa diwujudkan sebab
wilayah bagian timur akan memisahkan diri. Dengan kata lain Piagam Jakarta tidak bisa
mempertahankan prinsip unity. Sukarno dalam pidatonya di Universitas Indonesia pada 7 Mei
1953 , sebagaimana dikutip oleh Herbert Feith dan Lance Castle mengatakan : : If we establish a
state based on Islam, many areas whose population is not Islamic, such as the Moluccas, Bali,
Flores, Timor, the Kei Islands, and Sulawesi, will secede. And West Irian, which has not yet
become part of the territory of Indonesia, will not want to be part of the Republic. 15
Lalu mengapa umat Islam , paling tidak sebagian mereka , sepertinya tidak rela
melepaskan Piagam Jakarta dan terus ingin mendapat tempat khusus dalam Negara yang baru
didirikan itu ? Mengapa sebagian umat Islam terus menginginkan agar Islam dijadikan dasar
negara, bahkan menginginkan agar syarat formal seorang kepala negara harus beragama Islam ?
Ada tiga alasan , menurut hemat saya, yang mendorong umat Islam ingin ditempatkan
sebagai warga Negara “kelas satu” di suatu Negara yang baru dibentuk yang bernama Republik
Indonesia. Pertama, umat Islam merupakan mayoritas di negeri ini. Kedua , tokoh-tokoh pejuang
kemerdekaan kebanyakan orang Islam. Dan ketiga , umat Islam di masa penjajahan paling
mengalami kegetiran karena statusnya sebagai warga Negara kelas tiga atau kelas empat.
Pada masa penjajahan, pemerintah Belanda memang membagi-bagi warga Negara atas
dasar etnis dan agama. Sistem hukum Belanda mengklasifikasi warga Negara kedalam tiga
tingkatan. Eropa, Timur Asing dan pribumi (indigenous). Tentang pencatatan sipil , misalnya
,orang Eropa diatur dengan Staatsblad No.1849, etnis China diatur dengan staatsblad No.1917,
untuk pribumi (indigenous people) yang tidak beragama Kristen diatur dengan staatsblad
No.1920 dan pribumi yang beragama Kristen diatur dengan staatsblad No.1933.16
Pengaturan seperti itu menjadikan orang Eropa menjadi warga Negara kelas satu, kelas
dua etnis China atau Timur Asing, kelas tiga pribumi (indigenous), dan pribumi dibagi dua : yang
beragama Kristen dan yang non Kristen. Umat Islam di Indonesia , pada umumnya, masuk
kedalam kategori pribumi non-Kristen atau kelas empat.17
Secara teoritis, orang Kristen pribumi dan Muslim pribumi kelasnya sama, sama-sama
indigenous, tetapi karena Kristen pribumi lebih dekat dengan missionaries Kristen Eropa, maka
secara social mereka bisa menikmati kelas lebih tinggi atau bahkan sejajar dengan orang Eropa.
Itulah sebabnya, secara psikologis, umat Islam banyak yang merasa iri dengan status atau
fasilitas yang diberikan oleh kaum penjajah kepada orang Kristen.
Memang tidak semua orang Kristen menikmati statusnya saat mereka dibawah
penjajahan. Banyak juga orang Kristen yang ikut memberontak, ikut berjuang dalam merebut
kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi hal itu tidak mengurangi niat sebagian umat Islam untuk
membalikkan keadaan. Bisa dipahami bila pada saat merdeka keinginan untuk
menjungkirbalikkan status cukup kuat. Misalnya , ada keinginan kuat untuk menjadikan Islam

15 Herbert Feith and Lance Castles eds., Indonesian Political Thinking 1945-1965 (Jakarta: Equinox 2007) pp. 168169.
16 Lihat. Frans H. Winarta, Equally and pluralism in the Citizenship Law, The Jakarta Post , September 28,2006.
17 Tercatat bahwa selama empat tahun dari 1936 sampai 1939, pemerintah Kolonial membayar subsidi bagi sekolah
atau kegiatan keagamaan dengan sangat tidak adil . Pada tahun 1936 subsidi kepada Protestan f 686.100, Katholik
f.268.500 dan Islam f.7.500. Pada tahun 1937, subsidi kepada Protestan f.683.200 , Katholik f.290.700 dan Islam
f 7.500. Pada tahun 1938, subsidi kepada Protestan f 696.100, Katholik f.296.100 dan Islam f. 7.500. Pada tahun
1939, subsidi kepada Protestan f.844.000, Katholik f.335.700 dan Islam f.7.600. Lihat . Choirul Anam,
Pertumbuhan dan Perkembangan NU, hlm.27

8

sebagai dasar Negara. Ada juga keinginan kuat untuk hanya memberikan jabatan kepala Negara
kepada orang yang beragama Islam.
Menurut hemat saya keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara, keinginan
untuk mendapatkan jaminan eksplisit dari konstitusi untuk menjalankan syari’at Islam atau
keinginan untuk mensyaratkan seorang kepala Negara secara formal beragama Islam, mesti
dipahami dalam suasana psikologis seperti itu. Setiap keinginan yang muncul dari suasana
psikologis yang cenderung emosional , meskipun bisa dimengerti tapi terkadang dirasa tidak
tepat apabila kemudian ditimbang-timbang lagi dalam suasana yang lebih tenang dengan
menggunakan pikiran yang lebih jernih.
Memang, dengan menjadikan Islam sebagai dasar Negara atau dengan memberikan
jabatan kepala Negara khusus kepada orang Islam, akan menjadikan status umat Islam naik
menjadi warga Negara kelas satu. Akan tetapi andaikata kita kembalikan kepada cita-cita awal
founding fathers yang menginginkan berdirinya Negara Indonesia yang didasari atas semangat
unity, equality dan liberty, maka hal itu amat berpotensi melahirkan prilaku diskriminatif dan
menjadikan kedudukan setiap warga Negara tidak lagi equal, sesuatu yang bertentangan dengan
cita-cita awal. Pergantian klausul dalam Piagam Jakarta ( Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya) dengan klausul dalam Pancasila sekarang ini
(Ketuhanan Yang Mahaesa) , menurut hemat saya , juga tidak lepas dari semangat ini.
Konsep khilafat/imamat atau Negara Islam yang sering dirujuk oleh para tokoh Islam
yang memperjuangkannya memang mengenal, minimal adanya dua jenis kewarganegaraan yakni
muslim dan dzimmi (non-Muslim). Dan harus diakui bahwa dzimmi dalam konsep khilafat klasik
merupakan warga Negara kelas dua. Sebenarnya bukan istilah khilafat atau Darul Islam yang
menjadikan non-Muslim atau bahkan sebagian Muslim merasa tidak nyaman, tetapi konsep
dibalik istilah itu. Pada waktu itu , dan saya kira sampai sekarang, para pendukung Negara Islam
tidak berhasil meyakinkan non-Muslim bahwa Negara Islam/ khilafat atau Negara yang
berdasarkan Islam bisa dibangun atas dasar equality (kesetaraan ) dan liberty (kebebasan).
Itulah sebabnya, setiap upaya untuk menawarkan gagasan yang dikhawatirkan akan
mengurangi kebebasan , kesetaraan atau menimbulkan perpecahan bangsa selalu akan mendapat
kritik atau koreksi. Meskipun sejarah Indonesia mencatat adanya kelompok yang berupaya
menjadikan Islam sebagai dasar negara secara formal, namun dalam perjalanan sejarah bangsa
ini, upaya formalisasi syari’at atau memasukkan kembali Piagam Jakarta kedalam konstitusi
tidak pernah mendapat dukungan memadai dalam empat kali amandement UUD 1945 yang
dilakukan pada masa reformasi. Demikian pula setiap upaya untuk lebih menitikberatkan
kesatuan dengan mengorbankan pluralisme juga akan mendapat tantangan dari masyarakat.
Masa depan empat pilar kehidupan berbangsa
Menurut hemat saya, masa depan empat pilar kehidupan berbangsa yakni Pancasila,
Undang Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bineka Tunggal Ika,
akan dikembalikan kepada bangsa dan rakyat Indonesia sendiri. Meskipun para pemimpin
bangsa sering mengulang-ulang perlunya empat pillar kehidupan berbangsa dan bernegara
dipertahankan, andaikata rakyat Indonesia sendiri tidak ikut berusaha mempertahankannya maka
sebenarnya tidak ada jaminan bahwa empat pilar kehidupan bangsa akan bisa lestari.
Umat Islam Indonesia sebagai penghuni terbesar negeri ini bisa memeberikan kontribusi
yang besar dalam upaya mempertahankan empat pilar ini. Semakin bulat dukungan umat Islam
terhadap empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara maka semakin kuat empat pilar ini.
9

Alasan teologis maupun rasional yang digunakan NU untuk menerima Pancasila sebagai
ideology final bagi umat Islam bisa dijadikan bahan kajian oleh mereka yang masih ragu dalam
menerima empat pilar kehidupan berbangsa ini.
Tantangan terberat bagi bangsa Indonesia kedepan adalah pertama bagaimana bangsa ini
mengatasi konflik dan kekerasan, terutama yang bernuansa suku , agama , ras dan antar golongan
atau yang dulu dikenal konflik SARA. Bagaimana bangsa ini mengatasi prilaku intolerance dari
satu kelompok kepada kelompok lain. Bangsa Indonesia bisa belajar dari sejarah bangsa lain baik
bangsa Amerika 18 maupun Afrika19 dalam menangani persoalan ini. Kerusuhan dan konflik yang
terjadi di mana-mana mesti dianggap sebagai ujian bagi bangsa ini.
Tantangan kedua adalah bagaimana bangsa dan Negara ini mewujudkan komitmennya
untuk mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Empat pilar itu tidak ada
artinya bila diskriminasi atas dasar etnis, agama maupun ras dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa
ada upaya serius untuk mencegahnya. Empat pilar akan kehilangan maknanya bila hukum dan
keadilan hanya menjadi komoditi yang bisa diperjualbelikan dan hanya bisa dimiliki oleh orang
yang berduit sehingga rakyat miskin tidak bisa merasakan apa yang namanya
keadilan,kemiskinan dan pengangguran masih tinggi serta gap antara orang kaya dan miskin
masih amat lebar.
Upaya mensinergikan
pembangunan karakter bangsa

pendidikan

agama,

pendidikan

kewarganegaraan

dan

Upaya mensinergikan antara pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan
pembangunan karakter bangsa bisa dilakukan dengan menjadikan agama sebagai sumber nilai
untuk membangun karakter bangsa sehingga melahirkan pendidikan agama yang berwawasan
kebangsaan. Dengan demikian, umat beragama( peserta didik) akan menjadi umat yang saleh
sekaligus menjadi warga Negara yang baik ( piety & good citizen).
Untuk menjadikan umat beragama (peserta didik) menjadi umat yang saleh sekaligus
menjadi warga Negara yang baik memerlukan sejumlah langkah sebagai berikut.
Langkah pertama ialah menentukan nilai apa saja yang akan dijadikan acuan bagi
pembentukan karakter bangsa. Langkah kedua adalah menjadikan agama tidak hanya diajarkan
sebagai system ketuhanan/ system ritus maupun system nilai/norma social tapi juga diajarkan
sebagai bagian dari upaya menguatkan karakter bangsa. Langkah ketiga, pembuatan atau
penyempurnaan kurikulum pendidikan agama yang bertujuan membentuk karakter bangsa serta
pembuatan atau penyempurnaan kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang berbasis nilai
agama. Langkah keempat, pembuatan bahan ajar atau modul-modul tentang pendidikan karakter
berbasis nilai agama yang akan dijadikan supelemen bagi pendidikan agama maupun pendidikan
18 Kate Abbott dalam tulisannya tentang A brief history of intolerance in America antara lain menyebutkan bahwa
ditengah bangsa ini melakukan rekonstruksi setelah terjadinya perang sipil (civil war ) sekitar tahun 1865-1866 ,
sekolah dan gereja milik orang Afro Amerika (African American) yang berada di Memphis dan New Orleans
dibakar habis. Pada tahun 1915 kelompok Ku Kluk Klan dengan pengikut lebih dari empat juta, tampil di tingkat
nasional menyerukan anti-Semitism dan anti Catholicism. Pada tahun 1928 , calon presiden AL Smith gagal terpilih
terkait dengan keyakinannya sebagai orang Katolik. Baru pada tahun1960 seorang presiden yang beragama Katolik
bisa terpilih.
19 Setelah berhasil menghapuskan politik apartheid di Afrika Selatan , Nelson Mandela dalam autobiagrafinya yang
berjudul Long Walk to Freedom, antara lain mengatakan : “ I told the white audience the we needed them and did
not want them to leave the country. They were South Africans just like ourselves , and this was their land, too. I
would not mince words about the horrors of apartheid, but, I said , over and over, that we should forget the past and
concentrate on building a better future for all.” Lihat editorial The Jakarta Post , July 16 2010.

10

kewarganegaraan. Langkah kelima melakukan pelatihan atau lokakarya penerapan kurikulum
pendidikan agama berwawasan kebangsaan dan pendidikan kewarganegaraan berbasis nilai
agama yang diikuti oleh guru pendidikan agama dan guru pendidikan kewarganegaraan.
Langkah keenam adalah : uji coba dan evaluasi secara berkala dan berkelanjutan sehingga
ditemukan formula yang lebih tepat dalam mensinergikan pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan dan pembangunan karakter bangsa.
Upaya mensinergikan ini tentu tidak mudah. Menurut Plato (427-347 ), tujuan hidup
manusia adalah eudaimonia atau hidup yang baik. Agar supaya orang dapat hidup baik, ia harus
mendapat pendidikan. Akan tetapi mengingat manusia adalah makhuk sosial , pendidikan itu
baru dapat tercapai dengan baik jikalau ada negara yang baik.
Penutup
Memang betul kata Lickona bahwa kunci pengembangan karakter dalam hidup adalah
adanya kerendahan hati untuk berubah, karenanya upaya mensinergikan pendidikan agama,
pendidikan kewarganegaraan untuk pembangunan karakter bangsa akan berhasil bila didukung
oleh kemauan semua pihak untuk berubah dan memperbaiki diri.. The key to character growth
in life is simply the humble willingness to change” kata Lickona.Innallaha la yughayyiru ma
biqaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim (QS, 13:11)
Wallahu a’lam bi al-shawab

11