PARADIGMA RASIONAL EMPIRIK OBJEKTIF TINJ

PARADIGMA RASIONAL EMPIRIK OBJEKTIF: TINJAUAN FILOSOFIS DAN
TEORITIS METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF
(Paradigma Kedua)

Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan
Dibina oleh Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir

Disusun Oleh
URIP TISNGATI
NIM: 16703261064

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
OKTOBER 2016

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL……………………………………………………………………

i


DAFTAR ISI………………………………………………………………………………

ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………

1

A. Latar belakang ………………………………………………………………

1

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………

2

C. Tujuan Penulisan .…………………………………………………………

2


D. Manfaat Penulisan…………………………………………………………

3

BAB II PEMBAHASAN.…………………………………………………………………

4

A. Orientasi Umum Metodologi Penelitian … …………………………………

4

B. Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Positivistik dan
Rasionalistik ………………………………………………………………..

6

C. Realisme Baru Kualitatif …………………………………………. .………


18

D. Kesimpulan Komparatif …………………………………………. .………

21

BAB III PENUTUP …………………………………………………………………

23

DAFTAR PUSTAKA……….……………………………………………………………

24

ii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

. Usaha manusia untuk mengatasi masalah dalam kehidupan di dunia, baik selaku makhluk
individu maupun sosial akan selalu berkembang. Manusia akan bertemu dengan problematika
dalam interaksi sosialnya dengan beragam vaiabel. Untuk mengatasinya maka manusia
menggunakan nalarnya melalui proses berfikir logis. Seni berfikir dan bertindak ilmiah untuk
menemukan jawaban permasalahan dengan metodologi dan sistematika yang berlandaskan pada
hukum-hukum dan teorema dapat disebut sebagai penelitian.
Pemilihan jenis penelitian harus dipahami oleh peneliti. Ini selalu didasarkan pada
masalah yang diteliti, bukan ditetapkan jenis penelitiannya dahulu baru ditetapkan masalahnya.
Hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa penelitian itu dilakukan karena ada masalah.
Alasan pemilihan suatu metodologi tentunya didasarkan pada kesesuaiannya dengan masalah
penelitian, tujuan penelitian, serta prosedur penelitian yang cocok, hasil yang diharapkan, dan
kondisi kelompok sasaran atau objek penelitiannya.
Manusia sebagai makhluk sosial dalam hidup bermasyarakat dekat sekali dengan konflik
dan interest karena manusia akan selalu memenuhi kebutuhan dan tuntutannya. Terdapat
pembahasan manusia dalam organisasi masyarakat, manusia dengan budaya, manusia dengan
kehidupan ekonomi, kehidupan masa lalu manusia dan sebagainya. Ini termasuk kebutuhan
dalam aspek pendidikan. Pendidikan sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat sangat
kompleks permasalahannya. Dan penelitian ilmiah menjadi cara efektif rasional untuk
mendapatkan pemecahan.
Data penelitian sosial pada bidang pendidikan dan sosial dapat berbentuk nominal (jenis

kelamin, tingkat pendidikan, jenjang sekolah, pekerjaan), ordinal (kelas, juara), rasio, dan
interval (nilai, berat, panjang, usia). Data penelitian juga dapat berbentuk gambar, suara,
dokumen tertulis dan tidak tertulis, atau non angka. Pada penelitian kualitatif, sumber data dapat
berupa informan atau responden dari sampel terpilih, serta sumber data sekunder yang
mendukung sumber primer. Penentuan sumber data hingga pemilihan sampel harus disesuaikan
dengan tujuan penelitian. Tujuan penelitian dirumuskan dalam kerangka berfikir yang

1

mengikuti paradigm penelitian yang tepat. Ini penting karena paradigma berfikir peneliti akan
mempengaruhi konsepsi, hingga metodologinya guna mendapatkan jawaban atau kebenaran.
Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara
pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori.
Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta
kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitian. Namun, pemahaman
peneliti terhadap bangunan filosofis, teoritis dari karakteristik penelitiannya tidak selalu baik.
Akibatnya metodologi penelitian dan hasilnya akan bias.
Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan dan pengumpulan berbagai kasus bahan studi
empiris, pengalaman pribadi, introspektif, wawancara cerita kehidupan, momen-momen rutin
dan problematis pengamatan, sejarah, interaksional, dan visual teks-yang menggambarkan dan

makna dalam kehidupan individu. Artinya, penelitian kualitatif lebih mengarah ke pemaknaan
terhadap proses dan bukan hasil. Peneliti menjadi instrumen penting dalam semua proses
penelitian. Kaitan dengan ini, akan menjadi permasalahan yang berarti jika peneliti kurang
membekali dengan pemahaman mendalam tentang landasan filosofis, teoritis, hingga
metodologi peneliti yang akan diteliti. Dengan demikian telaah paradigma metodologi
penelitian kualitatif penting dilakukan sebagai bagian dari tradisi keilmuan.

B. Rumusan Masalah
Makalah ini berusaha mengkaji paradigma penelitian kualitatif dengan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa orientasi umum metodologi penelitian?
2. Bagaimana metodologi penelitian kualitatif dalam pendekatan positivistik dan rasionalistik?
3. Bagaimana gambaran realisme baru kualitatif?
4. Bagaimana kesimpulan komparatif metodologi penelitian kualitatif berlandaskan filosofis
positivisme dan rasionalisme?

C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui:
1. Orientasi umum metodologi penelitian

2

2. Metodologi penelitian kualitatif dalam pendekatan positivistik dan rasionalistik.
3. Gambaran realisme baru kualitatif.
4. Kesimpulan komparatif metodologi penelitian kualitatif berlandaskan filosofis positivisme
dan rasionalisme

D. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan memiliki kegunaan berikut ini:
1. Mahasiswa, peneliti, dan pembaca dapat mengetahui, memahami orientasi umum
metodologi penelitian.
2. Mahasiswa, peneliti, dan pembaca dapat mengetahui, memahami, mendalami metodologi
penelitian kualitatif dalam pendekatan positivistik dan rasionalistik.
3. Mahasiswa, peneliti, dan pembaca dapat mengetahui, memahami realisme baru kualitatif.
4. Mahasiswa, peneliti, dan pembaca dapat mengetahui, memahami kesimpulan komparatif
metodologi penelitian kualitatif berlandaskan filosofis positivisme dan rasionalisme.

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Orientasi Umum Metodologi Penelitian
1. Metodologi Penelitian dan Rumusan Substantif Kebenaran

Sering terjadi perdebatan dalam pemberian pengertian, definisi, atau dalam ranah
aplikasi terkait metoda dan metodologi penelitian. Ini karena pengetahuan, pemahaman,
kemampuan berfikir kiritis orang berbeda. Menurut Muhadjir (1996: 3), setidak-tidaknya
ilmuwan peneliti yang bersangkutan perlu tahu dia menggunakan landasan filsafat ilmu yang
mana untuk metodologi penelitian yang digunakannya; sehingga yang bersangkutan sadar
setidak-tidaknya dalam dua hal, yaitu sadar akan kelebihan dan kelemahan metodologi yang
digunakan, dan sadar bahwa ada metodologi penelitian lain yang menggunakan landasan
filsafat berbeda.
Lebih lanjut dikatakan Muhadjir, bahwa metode penelitian berbeda dengan metodologi
penelitian. Metodologi penelitian membahas konsep teoritik berbagai metoda, kelebihan dan
kelemahannya, yang dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan metoda yang digunakan.
Sedangkan metoda penelitian mengemukakan secara teknis tentang metoda-metoda yang
digunakan dalam penelitiannya. Metodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari
tentang metoda-metoda penelitian, ilmu tentang alat-alat dalam penelitian. Di lingkungan
filsafat, logika dikenal sebagai ilmu tentang alat untuk mencari kebenaran. Bila ditata dalam

sistematika, metodologi penelitian merupakan bagian dari logika (Muhadjir, 1996:4).
Sebelum pembahasan tentang kebenaran, perlu diingat kembali bahwa untuk
menjawab permasalahan maka membutuhkan cara berfikir yang sistematis, objektif,
menggunakan ilmu pengetahuan tertentu. Filsafat ilmu bertugas memberi landasan filosofik
untuk minimal memahami berbagai konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu, sampai
membekalkan kemampuan untuk membangun teori ilmiah (Muhadjir, 2001:2). Setidaknya
ada empat objek telaah filsafat ilmu, yaitu fakta atau kenyataan, kebenaran, uji konfirmasi,
dan logika inferensi.
Filsafat ilmu sebelum abad ke-18 dikuasai oleh dua pemikiran deduktif, yaitu formil
Aristoteles dan logika materiil aksiomatik Euclides. Logika formil Aristoteles menguji
kebenaran berdasarkan relasi antar proposisi. Logika aksiomatik Euclides menguji
4

kebenaran materiil berdasar kesesuaian antara empirik dengan aksiomanya. Aksioma adalah
kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi karena sudah self-evident (Muhadjir, 2016:2627). Logika materiil induktif selanjutnya mendominasi pada abad XX. Logika ini
berlandaskan filsafat positivisme.
Rumusan substantif tentang apa itu kebenaran (truth) dikenalkan Michael William
menjadi lima, yaitu kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif,
kebenaran pragmatik, dan kebenaran proposisi (dalam Borchart, 1996) serta kebenaran
paradigmatik atau konstruktif (Muhadjir, 2001, 16-17). Kebenaran proposisi dapat diperoleh

jika proposisinya benar. Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep
kompleks (h.17). Dalam logika proposisi maka kebenaran dapat bersifat formal (logika
Aristoteles) dan logika materiil kategorik (Euclides). Kebenaran korespondensi adalah
berfikir tentang terbuktinya sesuatu relevan dengan sesuatu lain. Korespondensi relevan
dibuktikan antara fakta dengan belief yang diyakini (h. 18). Kebenaran koherensi bermakna
sesuatu yang koheren dengan sesuatu lain, ada kesesuaian atau keharmonisan dengan
sesuatu yang memiliki hierarki yang lebih tinggi (skema, nilai, system) (h.18). Kebenaran
struktural paradigmatik berkembang dari kebenaran korespondensi. Namun, dalam praktik
analisis statistik multi variable perlu dimaknai korespondensi keseluruhan struktur tata
hubungan agar mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang menyeluruh (h. 18).
Selanjutnya kebenaran pragmatik menampilkan teori kebenaran performatif dan pragmatik.

2. Filsafat Keilmuan: Pola Berfikir Kausal
Sistem logika merupakan sistem berfikir yang menggunakan adat tertentu untuk
mendeskripsikan sampai membuat inferensi dalam ilmu pengetahuan. Pola berfikir kausal
sebagai basic pattern of logic dimaknai sebagai pola mencermati proses perubahan dari
objek yang diteliti (Muhadjir, 2016:31)
Aristoteles mengenalkan empat causa, yaitu quod atau kausa efisien, causa ut atau
kausa final, kausa formil, dan kausa meteriil. Dalam filsafat modern, kausa formil dan kausa
materiil Aristoteles dikenal dalam terapan teori-teori insrumentatif dan substantif. Beberapa

konsep kausa antara lain: 1) Immanuel cause (sebab menghasilkan perubahan pada objek
itu sendiri) dan transient cause (sebab yang menghasilkan perubahan pada objek lain); 2)
Causa cognescendi (kausa sebagai landasan kebenaran) dan causa fiendi (landasan
5

eksistensi tertentu); 3) Physical Cause oleh John Stuart Mill, mampu dikonformasikannya
hanya pada objeknya itu sendiri; 4) Descartes, 1506-1650, dikenal sebagai rasionalis dengan
istilah cogito ergo sum (aku ada maka berfikir) mengembangkan kausalitas berdasar berfikir
dan berimajinasi dan John Locke yang dikenal sebagai empirik, mengembangkan sebab
akibat berdasarkan empirik; 5) Berkeley, 1685-1753, menampilkan bukti-bukti kausalitas
(bukti instrumentatif) yang pada positivism modern diterapkan pada teori-teori fungsional,
serta Hume yang mempertahankan bukti kausalitas substantif empirik (h. 32).
Kausalitas dalam konsep modern menggunakan tiga konsep uji kausalitas yang diakui
pada positivism dan rasionalisme, yaitu 1) mencermati sebab pada objek atau substansi itu
sendiri (physical cause Mill), 2) mencermati perubahan materiil pada objek atau substansi
pada objek lain (kausalitas John Locke & Hume), dan 3) mencermatik peranan dimensi
formil pada objek lain (kausalitas formil atau instrumentatif Barkeley). Cara mencermati
hubungan kausal dapat menggunakan argumentasi kausal, mencermati kompleksitas,
pengayaan, dan menggunakan berfikir Gestalt (h.33). Dalam perkembangannya, realisme
modern yang berusaha mensinkronkan tuntutan bukti empirik objektif dengan tuntutan
rasional objektif, menuntut constructed theory, suatu kebenaran dalam konstruk
paradigmatik.

B. Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Pendekatan Positivisme dan Rasionalistik
1. Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Pendekatan Positivisme
Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825).
Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh empirist Inggris,
Francis Bacon (sekitar tahun 1600). Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satusatunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek
pengetahuan (Muhadjir, 2001:69).
Ada lima acuan filosofis dasar yang penting dipahami peneliti untuk implementasi
metodologis pada penelitian kualitatif dengan pendekatan positivisme, yaitu 1) acuan hasil
penelitian terdahulu, 2) pilah antara analisis dan sintesis, 3) tunduk pada fakta objektif, 4)
argumentasi empirik, dan 5) realitas (h. 37-39). Pertama, positivisme tunduk kepada bukti
kebenaran empirik, maka sumber pustaka yang dicari adalah bukti empiric hasil-hasil
penelitian terdahulu. Kedua, bahwa positivisme berfikir analistis: mengurai segala sesuatu
6

sampai unit sekecil apapun. Berfikir analitis menjadi sifat dominan dalam berfikir
positivistik, dipilah atau dipisah secara jelas dengan sistesisnya. Tuntutan analisis yang
rasional objektif berdasar empirik menjadi penting dalam positivisme. Ketiga, positivisme
hanya mengakui kebenaran fakta objektif sebagaimana indra menangkapnya, fakta objektif
itu received view (h.38). Keempat, semua karya ilmiah dituntut disajikan dengan
argumentasi rasional empirik. Ada argumentasi atau pertanggungjawaban yang mempunyai
keruntutan logik dan ada bukti empirisnya. Bukti-bukti empiris objektif dalam positivisme
perlu ditata dalam keruntutan logik, konsistensi alur pikir yang digunakan, dianalisis,
barulah dibuat kesimpulan. Kelima, fakta atau data merupakan raw materials yang dalam
himpunan tertentu menjadi realitas. Realitas menjadi kebenaran-kebenaran empirik yang
perlu dicari maknanya (h.39).
Terdapat ragam metodologis positivisme kualitatif diuraikan lebih lanjut sebagai
berikut:
a. Studi Cross Sectional
Studi cross sectional adalah studi yagn sifatnya mengambil sampel waktu, sampel
perilaku, sampel kejadian pada suatu saat tertentu saja (Muhadjir, 2016:43).
Kebalikannya adalah studi longitudinal di mana studi yang sifatnya berkelanjutan untuk
jangka waktu relatif panjang, mengikuti proses interaktif beragam variabel.
Variabel adalah satuan terkecil objek penelitian, contohnya adalah minat,
intelegensi, status sosial, dan sebagainya. Variabel terbagi atas 1) variabel yang relevan,
2) variabel yang mungkin relevan, 3) variabel yang tidak relevan. Metodologi penelitian
positivistik menuntut yang teramati-terukur maka variabel juga dapat dipilah menjadi 1)
variabel yang dapat diamati secara langsung, 2) variabel yang tidak dapat diamati lewat
gejala-gejalanya. Berdasarkan tata pikir logik yang dominan dalam metodologi
penelitian positivistik adalah kausalitas, tiada akibat tanpa sebab, dan tiada sebab tanpa
akibat maka variabel dibedakan menjadi 1) variabel independen dan 2) variabel
dependen. Tata pikir realisonal (korespondensi, kausal, dan interaktif) menjadi sentra
pola pikir positivistik yang akan tampil dalam desain penelitian dan ragam analisis data.
Lebih lanjut dijelaskan Muhadjir (2016) bahwa tidak semua variabel dapat dimanipulasi,
dapat dikontrol atau dipengaruhi oleh peneliti, sehingga variabel juga dapat dipilah

7

menjadi 1) variabel statis (umur, jenis kelamin), 2) variabel dinamik (kesehatan, prestasi)
(h. 44). Dengan demikian jenis variabel dapat dipilih berdasarkan tipe studinya.
Ada sejumlah unsur yang perlu diperhatikan untuk menyusun desain penelitian,
yaitu 1) tata konstruksi variabel penelitian, 2) populasi sampel, 3) instrumentasi
pengumpulan data atau teknik perekaman data, 4) teknik analisis, 5) uji instrument atau
uji kualitas rekaman, 6) makna internal hasil penelitian, 7) makna eksternal hasil
penelitian (h. 46). Pada poin tata konstruksi variabel perlu sinkron dengan
konseptualisasinya. Ragamnya adalah korespondensi, kausalitas, atau interaktif. Suatu
argumen yang kuat atau bukti empirik lain diperlukan bila hendak mengkonstruksi
hubungan interaktif yang mendeskripsikan variabel. Setelah menyusun kerangka
konseptual maka merumuskan permasalahan-permasalahan penelitian.
Terdapat beberapa deskripsi tentang istilah masalah, yaitu 1) sesuatu menjadi
masalah ketika dijumpai kesenjangan antara kenyataan dan harapan, 2) sesuatu menjadi
masalak ketika dijumpai kontradiksi antar empiri yang relevan, 3) sesuatu menjadi
masalah ketika dijumpai tidak cocoknya teori dengan realitas, 4) sesuatu menjadi
masalah

ketika

konsekuensi

logisnya

belum

diketahui

atau

belum

dapat

dipertanggungjawabkan (h.47).
Pada langkah pengambilan sampel atau subjek penelitian, dalam berfikir
positivistik dikenal teknik random atau acak dan purposive. Teknik purposive sampling
digunakan bila peneliti menduga bahwa populasinya (dilihat dari objek studi yang
dipilih) tidak homogen. Unit sampel tidak terbatas dalam arti individual namun dapat
dapat berdasarkan kelompok atau wilayah atau tingkat. Sampel penelitian kualitatif
umumnya mengambil sampel lebih kecil dan pemilihannya cenderung menggunakan
purposive daripada random. Penelitian kualitatif lebih mengarah ke penelitian proses

daripada produk, dan biasanya membatasi pada satu kasus. Namun sejumlah peneliti
berusaha memperluas dengan pengambilan kasus sekaligus banyak. Multiple case
research bukan hanya menetapkan siapa yang akan diobservasi atau diwawancarai

namun menetapkan konteks, kejadian, dan prosesnya (h. 49).
Pada langkah penyusunan instrumen dan atau perekaman data memerlukan
berfikir reduktif-representatif. Data kualitatif adalah data yang disajikan dalam bentuk
kata verbal, bukan dalam bentuk angka. Data kata verbal yang beragam perlu diolah agar
8

menjadi ringkas dan sistematis. Olahan tersebut mulai dari menuliskan hasil observasi,
dokumentasi, wawancara, atau rekaman, mengedit, mengklasifikasi, mereduksi, dan
menyajikan.
Sejumlah langkah analisis selama pengumpulan data menurut Miles dan
Huberman (1984) adalah:
1) meringkaskan data kontak langsung dengan orang, kejadian, situasi di lokasi
penelitian. Pada langkah ini termasuk memilih dan meringkas dokumen yang
relevan,
2) pengkodean dengan simbol atau ringkasan, terstruktur, rinci, terintegrasi dalam
sistem,
3) pembuatan catatan objektif
4) membuat catatan reflektif
5) membuat catatan marjinal
6) penyimpanan data
7) analisis selama pengumpulan data
8) analisis antarlokasi
9) pembuatan ringkasan
Penyajian data menurut Miles dan Huberman (dalam Muhadjir, 2016:53)
disajikan dalam 9 model, yaitu:
1) model 1, untuk mendeskripsikan model penelitian, dapat berupa sosiogram,
2) model 2, dipakai untuk memantau komponen atau dimensi penelitian, disebut check
list matrix,
3) model 3, mendeskripskan perkembangan antar waktu, menggunakan deskripsi verbal
berupa kata, frasa.
4) Model 4, matriks tata peran, mendeskripsikan pendapat, sikap, kemampuan, misal
siswa-guru-kepala sekolah,
5) Model 5, matriks konsep terklaster,
6) Model 6, tentang efek atau pengaruh,
7) Model 7, dinamika lokasi,
8) Model 8 menyusun daftar kejadian,
9) Model 9, jaringan klausal dari sejumlah kejadian.
9

Pada tahap kesimpulan, terdapat 12 siasat melalui telaah sajian matriks, grafik,
dan semacamnya sebagaimana dinyatakan Miles dan Huberman (dalam Muhadjir,
2016:56-57), yaitu 1) menghitung, 2) temukan pola atau tema, 3) tampak cukup
beralasan, 4) mengklasterkan, 5) membuat metaphor, 6) memecah variabel, 7) dari yang
spesifik cari ide generalisasinya, 8) memfaktorkan, 9) cari relasi antarvariabel, 10) cari
intervening variabel, 11) konstruksikan mata rantai logic antara berbagai evidence, 12)
susunlah konsep atau teori yang koheren.

b. Studi Kasus Pendekatan Klinik dan Genetik
Studi kasus dilihat dari dimensi tertentu dapat disebut sebagai studi longitudinal, yang
diperlawankan dengan studi cross sectional. Studi kasus sebagai studi longitudinal
dibedakan menjadi retrospektif dan prospektif (Harton & Hunt, 1976, dalam Muhadjir,
2016:59). Studi kasus retrospektif digunakan untuk kepentingan klinis. Objek studi ini
adalah penyimpangan yang terkait dnegan broken home, lingkungan miskin, perilaku
sosial atau antisosial, dan lain-lain. Desainnya selalu mengarah ke keperluan kuratif.
Studi kasus prospektif mengambil objek perkembangan normal, digunakan untuk
keperluan penelitian, mencari kesimpulan, diharapkan dapat ditemukan pola,
kecenderungan, arah , dan lainnya. Studi kasus itu merupakan studi yang mendalam
tentang individu dan berjangka waktu relatif lama. Dalam studi kasus yang cross
sectional merupakan studi yang singkat namun menjangkau populasi yang relatif lebih

luas.
Terdapat teknik studi ex post facto, merupakan model studi yang prosesnya telah
selesai. Sedangkan tracer study diterjemahkan sebagai studi penelusuran. Dalam arti
sekarang menjadi studi longitudinal dan mengobservasi objek untuk diungkap pola, arah,
kecenderungan dalam jangka waktu lama, berkelanjutan, dan terus menerus (h.61).
Secara umum dapat disimpulkan bahwa studi kasus lebih banyak menggunakan
pendekatan informal, metode penelitian berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Kesimpulannya bersifat deskriptif.

10

Berikut ini dijelaskan studi kasus dengan pendekatan klinis dan genetik.
1) Studi kasus pendekatan klinik

Desain studi kasus untuk tujuan klinik memuat lima komponen, yaitu 1) identifikasi
status situasi bagi perlakukan kuratif, 2) pengumpulan data, pengujian kemampuan
indra, kesehatan, pendidikan, dan mental, serta mengadakan penelaahan biografinya,
3) membuat diagnosis dan identifikasi faktor penyebab, 4) penyesuaian, perlakuan,
dan terapi (program rehabilitasi), dan 5) program tindak lanjut (revalidasi) (h.61).
Tahap pertama, identifikasi status situasi mencakup upaya-upaya 1) menajamkan
objeknya, 2) menajamkan wawasan teoritis dan mampu memilih teknik studi yang
tepat. Tahap kedua berupa pengumpulan data perlu diarahkan pada mencari factor
penyebab penyimpangan untuk membuat landasan dalam membuat diagnosis serta
membuat terapinya. Tahap ketiga adalah membuat diagnosa. Subjek yang
membutuhkannya adalah 1) kelompok tuna mental dan tuna daksa, 2) kelompok tuna
sosial, moral, dan emosional, 3) mereka yang belajar di bawah rata-rata, 4) mereka
yang bakat latennya tidak tersalur. Teknik diagnosisnya meliputi 1) tes kemampuan
dasar, 2) hasil belajar, 3) kepribadian, 4) observasi kebiasaan, sikap, dan reaksinya,
5) pekerjaan tertulis klien, 6) jawaban dan reaksi oral, 7) wawancara, dan lainnya (h.
62). Langkah keempat adalah melakukan penyesuaian, memberikan perlakuan,
membuat terapi. Langkah kelima adalah tindak lanjut, yaitu upaya menjadikan
subjek valid, dapat diterima.
2) Studi kasus pendekatan genetik

Studi kasus pendekatan genetik berupaya mencari kebenaran ilmiah dengan cara
mempelajari secara mendalam dan dalam jangka waktu lama. Studi kasus genetik
berusaha memahami perkembangan pribadi, kelompok, lembaga, bahkan
perkembangan masalahnya. Studi kasus lebih bersifat penjelajahan dan
kesimpulannya lebih bersifat deskriptif. Desain yang paling sederhana adalah studi
kasus tunggal yang dapat dipelajari secara longitudinal atau simultaneous cross
sectional. Analisis studi kasus menyangkut objek-objek seperti karakteristik pribadi,

telaah sifat khasnya, masa lampaunya. Simultaneous cross sectional dapat berupa
perkembangan bahasa pada anak dengan mengambil objek anak usia balita, usia SD,
usia SMP, dan usia SMA (h.64).
11

c. Survei
Survei bertujuan untu membuat generalisasi, sebagian untuk membuat prediksi.
Generalisasi yang dimaksud adalah terbatas pada kasus lain yang memiliki karakteristik
dan tipe sama. Generalisasinya bersifat mother population, bukan generalisasi dari
sampel yang representatif terhadap populasinya. Sampel survei dibandingkan dengan
studi kasus lebih luas (h.65). Survei lebih bersifat cross sectional. Pengumpulan datanya
paling banyak menggunakan kuesioner dengan pendekatan formal. Sedangkan
kesimpulan dibangun dari inferensial.
Terdapat dua jenis survei, 1) survei untuk mengetahui data dasar, mengungkap
fakta, gambaran umum, yang bermanfaat untuk membuat perencanaan kebijakan publik,
contohnya sensus, 2) survei untuk memprediksi suara pemilih, dasarnya adalah suka dan
tidak suka. Dasar pengambilan sampel dalam survei adalah representatif terhadap
populasinya. Ada empat metode yaitu 1) pengambilan sampel sistematik, 2) secara acak,
3) dengan kuota, 4) secara purposive (h. 65).
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab dalam menyusun desain survei adalah 1)
berapa banyak sampel yang akan diambil. Pengambilan sampel yang direkomendasikan
adalah pertimbangan yang mengarah dari acak ke berstrata, jenjang ganda, sistematik,
atau multipurpose; 2) pengambilan distribusi sampel pada populasi. Hal praktis yang
perlu dipertimbangkan adalah mudahnya mendapatkan asisten peneliti di lokasi
penelitian, kemampuan menyupervisi kegiatan di lapangan, kelompok analisa sekaligus
penyusun laporan final, pembiayaan, keragaman sampel; 3) penetapan unit sampel,
menampilan sampel dalam beberapa jenjang/tahap/strata; 4) teknik seleksi responden, 5)
estimasi, disarankan menggunakan self-weighting, argumentasi (h. 67-68).
Empat hal yang perlu dirancangkan dan dimasukkan dalam desain penelitian survei
adalah 1) merancang dan menguji kuesioner, 2) merancang ketenagaan, 3) merancang
agar diperoleh dan dijaga kerjasama dengan responden, 4) memilih waktu yang tepat.
Pertama, dalam merancang kuesioner perlu memperhatikan bagaimana responden dapat
dijangkau (wawancara langsung, lewat pos, dan lainnya) dan spesifikasi data yang
diinginkan. Kedua, dalam merancang ketenagaan, perlu mempertimbangkan tingkat
keterlibatan dan kualifikasinya. Ketiga, menjaga hubungan kerjasama dengan responden
dapat dilakukan dengan adanya kata pengantar kuesioner, adanya prangko balasan,
12

merahasiakan identitas responden, pemberian souvenir kenangan dan terimakasih.
Keempat, memilih waktu yang tepat dalam hal situasi dan kondisi subjeknya, atau
objeknya, misal mewawancarai pembinaan olahraga saat prestasinya menurun (h. 68).

2. Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Pendekatan Rasionalistik
a. Rasionalisme mengkounter positivisme
Menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empiri,
sedangkan menurut rasionalisme ilmu yang valid merupakan abstrak, simplifikasi, atau
idealism dari realitas, dan terbukti koheren dengan sistem logikanya. Rasionalisme
menghayati kebenaran karena ketajaman pikir manusia dalam memberi makna atau
indikasi empiri. Artinya, kebenaran tidak dibatasi oleh ukuran indrawi karena
kebenaran dapat ditangkap dari pemaknaan manusia terhadap empiri sensual. Proses
berpikir reflektif dalam rasionalisme tidak terbatas pada proses linear antara sebab dan
akibat, bukan dalam makna induksi dan deduksi, namun sejumlah proses mondarmandir dalam tata pikir logik lainnya, seperti konvergensi-divergensi, instrumentalsubstansial, sentral-perifer, lateral sekuensial-vertikal, dan lain-lain (Muhadjir,
1996:10-11). Pada rasionalisme terdapat dua generalisasi: generalisasi dari objek
spesifik atau hasil uji-makna-empirik, dan pemaknaan hasil uji-reflektif kerangka
teoritik dengan pemaknaan indikasi empirik.
Countering rasionalisme terhadap positivisme menyangkut 1) peran dalam

mengembangkan teori, 2) proses analisis-sintesis, 3) fakta, 4) argumentasi, dan 5)
realitas (Muhadjir, 2016:77-78), diuraikan sebagai berikut:
1) Rasionalisme sebagai bagian dari logika rasional empirik objektif dengan
kemampuan berfikir deduktifnya diharapkan dapat membuat ilmuwan menjadi lebih
produktif dalam membangun (kritik terhadap filsafat positivisme yang memiskinkan
teori).
2) Proses analisis-sintesis perlu dikembangkan dalam telaah reflektif yang mendudukkn
pentingnya rasio. Dalam rasionalitas, tuntutan rasional dibangun dari berpikir kritis
cerdas dengan menggunakan imajinasi rasional teoritis. Maknanya bahwa, dengan
tingkat pengetahuan sekarang secara reflektif dapat menampilkan implementasi atau
implikasi masa depan sesuai teori yang masih sulit dibuktikan. Harapannya,
13

terbangun imajinasi rasional teoritis untuk menkonstruksi teori sehingga teori ilmu
berkembang.
3) Fakta teramati atau observed fact bagi rasionalisme sudah theory laden, sudah momot
karena kemampuan berpikir reflektif kita tentang imajinasi rasiona teoritis (kritik
terhadap filsafat positivisme bahwa kebenaran tunduk pada bukti empiric).
4) Argumentasi rasional objektif dalam konteks teleologis yang dibangun berdasar
imajinasi rasional teoritis-dalam Bahasa merancang sebabnya agar sesuai dengan
akibat yang diharapkan (kritik terhadap positivisme yang argumentasi dibangun dari
sebab-akibat). Imajinasi dibangun dengan landasan ilmiah yang benar meskipun baru
sampai dataran teoritis).
5) Realitas itu lebih dari sekedar inderawi. Menurut rasionalisme semua ilmu berasal
dari pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara
logik.
b. Mengembangkan grand-concepts
Imajinasi merupakan kekuatan kreatif manusia, kemampuan formal yang merupakann
landasan rasionalisme. Terdapat tiga jenis imajinasi 1) imajinasi sebagai khayalan (liar),
2) imajinasi rasional (tertuntun), dan 3) imajinasi moral. Dengan imajinasi rasional
diharapkan menuntun manusia membangun grand concepts melalui 1) kemampuan
teoritis, 2) invensi (penemuan),3) inovasi dan adopsi, dan 4) berangkat dari asumsi
(Muhadjir, 2016:79). Dengan inspirasi dari pola pikir rasional, ahli terbantu untuk
menghasilkan hasil kerja empiri eksperimental, seperti penelitian tentang genetikakromosom. Berangkat dari idealism Plato, idealism Kant, dan implikasinya dalam
filsafat ilmu rasionalisme menjadi dasar acuan mengembangkan grand-concepts yang
mungkin sudah merupakan grand theory.
Konstruksi teori dibangun dari konseptualisasi teoritik sebagai hasil dari
pemaknaan empiri dalam arti sensual, logik, atau etik. Proposisi atau pendapat
dikonstruksikan dari sejumlah konsep. Konsep mendeskripsikan esensi dari sejumlah
sesuatu. Hipotesis, tesis, teori, dan juga asumsi, postulat, dan aksioma adalah proposisiproposisi bentuk lanjut yang dikonstruksikan dari banyak konsep dengan tata pikir
tertentu (Muhadjir, 1996:58-59).

14

c. Ragam tata pikir logik
Tata pikir logik pada pendekatan rasionalisme dapat diklaster, diuraikan sebagai
berikut.
1) Klaster A: Pola pikir genetik
Secara umum pola pikir ini memandang bahwa manusia sering mengikuti pola pikir
proses perkembangan, pola pikir sejarah yang selanjutnya disebut pola pikir
genetik. Pola pikir ini berusaha memaknai sesuatu berdasarkan asumsi bahwa
segala sesuatu itu berkembang. Telaah perbandingan agama-agama Semitik
termasuk pada pola pikir ini.
Lebih lanjut macam tata pikir genetik meliputi:
a) pola pikir evolusioner, memaknai segala sesuatu itu berkembang, dan melalui
proses panjang dalam arti waktu. Di dalamnya ada proses tumbuh, adaptasi,
seleksi, dan persaingan dalam telaah makro. Dalam arti perkembangan ontogenesis mengikuti perkembangan filogenesisnya, dalam arti mikro evolusioner
adalah perkembangan fungsi intern dalam ontogenesisnya. Contoh dalam
terapan adalah lahirnya teori Darwin tentang evolusi, dan teori genetik
Mendel.
b) pola pikir historik, pemaknaan perkembangan waktu lampau lebih dominan.
Contoh dalam terapan adalah teori perkembangan sejarah dari Toynbee yang
sekaligus mengikuti pola pikir evolusioner. Arnold J. Toynbee adalah seorang
sarjana inggris yang mampu menggambarkan sejarah dengan tulisannnya yang
berjudul “ A Study Of History” berisi 12 jilid dan merupakan hasil penyelidikan
dari 21 kebudayaan yang sudah sempurna seperti Yunani-Romawi, Maya
(Amerika Serikat) dan lainnya. Toynbee merupakan penulis besar,
menghasilkan karya yang tidak terhitung jumlahnya tentang agama, sejarah
kuno dan modern, peristiwa kontemporer, dan hakekat sejarah. Setelah
menamatkan studinya pada tahun 1912, Toynbee menjelajahi situs-situs sejarah
di Yunani dan Itali. Menurut Toynbee, bahwa seluruh kebudayaan itu sama
dengan civilization yang artinya wujud dari seluruh kehidupan. Sedang gerak
sejarah berjalan melalui tingkatan-tingkatan yaitu; lahirnya kebudayaan,
perkembangan kebudayaan dan runtuhnya kebudayaan.
15

c) pola pikir prediktif Haler, memperkirakan perkembangan berikutnya
mengikuti perkembangan linier yang lampau, pola pikir masyarakat untuk mau
merubah perilakunya menjadi perilaku yang sesuai dengan budayanya,

d) pola pikir antisipatif, mengakui perkembangan linier terduga dan tak terduga.
Dalam memprediksi masa depan memasukkan unsur idealisme, menciptakan
kondisi agar perkembangan masa depan sesuai harapan. Tokohnya adalah
Alvin Toffler dan Daniel Bell. Alvin Toffler adalah seorang penulis Amerika
dan futuris, dikenal karena karya-karyanya membahas teknologi modern,
termasuk revolusi digital dan revolusi komunikasi, dengan penekanan pada
efek mereka pada budaya di seluruh dunia. Melalui karyanya (the Third Wave,
1980), ia meramalkan kemajuan teknologi seperti kloning, komputer pribadi,
internet, televisi kabel dan komunikasi mobile. Fokusnya kemudian, melalui
judul Powershift (1990), tentang kekuatan peningkatan perangkat keras militer
abad ke-21 dan proliferasi teknologi baru. Sedangkan Daniel Bell adalah
seorang sosiolog Harvard University, dengan karyanya In The Coming of PostIndustrial Society: A Venture in Social Forecasting (1973) menjelaskan

munculnya masyarakat pasca-industri yang sekarang digunakan secara luas
tentang prinsip-prinsip baru inovasi, mode baru organisasi sosial, dan kelaskelas baru dalam masyarakat, di mana manusia tidak lagi bekerja menghasilkan
barang dan jasa namun akan dipimpin oleh informasi dan berorientasi layanan.
Ada tiga komponen untuk masyarakat pasca-industri, yaitu pergeseran dari
manufaktur ke jasa, sentralitas industri berbasis ilmu pengetahuan baru,
munculnya elit teknis baru dan munculnya sebuah prinsip baru stratifikasi. Bell
juga membedakan tiga aspek dari masyarakat pasca-industri: data, atau
informasi yang menggambarkan dunia empiris, informasi, atau organisasi yang
data ke sistem yang berarti dan pola seperti analisis statistik, dan pengetahuan,
yang dikonsep Bell sebagai penggunaan informasi untuk membuat penilaian.
e) pola pikir kontekstual, melihat adanya keterkaitan antara perkembangan masa
lampau-kini-mendatang,

16

f) pola pikir morfogenetis, mengakui bahwa perkembangan berlangsung
kualitatif, kuantitatif, dan berkelanjutan,
2) Klaster B: Pola pikir sistemasisasi
Klaster ini menjadi pola sistemasisasi pengetahuan, meliputi:
a) pola pikir sistematik, terapannya muncul dalam taksonomi, juga dari ekonomi
mikro (teori harga) menjadi makro (analisis pendapatan nasional), ilmu
pendidikan diklasisikasi menjadi subjek didik, pendidik, tujuan, dan konteks
pendidikan.
b) pola pikir fungsional, fokus perhatian pada fungsi, peran, bukan substansi,
c) pola pikir pragmatik, bahwa sesuatu menjadi berguna jika ada kegunaannya
atau peran tujuannya,
d) pola pikir kontekstual, mementingkan kekinian,
e) pola pikir eklektik, memilih semua yang terbaik misal memenuhi kriteria dapat
diintregasikan, dapat dioperasionalisasikan, dan diakui validitas konsep
multidisiplin,
f) pola pikir utopis,sesuatu yang diharapkan, dicita-citakan namun mungkintidak
terjangkau
3) Klaster C: Pola pikir statik & dinamik
Klaster ini memiliki ciri sentral yang bergerak dari kutub statika ke kutub lain
dinamika
a) pola pikir struktural
b) pola pikir mekanistik
c) pola pikir organisk
d) pola pikir psiko dinamik atau sosio dinamik
e) pola pikir interaktif
f) pola pikir sistemik
g) pola pikir sinergis
4) Klaster D: Pola pikir pernyataan realitas
Klaster ini menyajikan ragam istilah yang mendeskripsikan kedudukan
pernyataan-pernyataan yang dibuat orang, meliputi
a) pola pikir perseptif
17

b) pola pikir deskripsi
c) pola pikir penafsiran
d) pola pikir pemaknaan
5) Klaster E: Pola pikir perwujudan realitas
Pada klaster ini realitas dilihat dari perwujudannya, terbagi atas pola pikir:
a) Wujud aksidental
b) Wujud aktual
c) Wujud esensial
6) Klaster F: Pola pikir instrumental substantif
Klaster ini dilihat dari segi tujuan, realitas dipilah menjadi:
a) Instrumental
b) substansial
7) Klaster G: Pola pikir empat empiri
Dunia ilmu mengenal empat empiri, yaitu, a) empiri sensual, b) empiri logik, 3)
empiri etik, 4) empiri transedental
8) Klaster H: Pola pikir prosedur cari kebenaran
Klaster ini menjadi ciri esensial epistemologis dari semua metodologi penelitian
dan pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu
a) Pola pikir deduktif,
b) Pola pikir induktif,
c) Pola pikir reflektif
9) Klaster I: Pola pikir cari hasil kebenaran
Klaster ini juga menjadi ciri esensial epistemologis dari semua metodologi
penelitian khususnya dalam arti produk yang hendak dihasilkan, meliputi:
a) Pola pikir kategoris,
b) Pola pikir ideografis,
c) Pola pikir tipologis,
d) Pola pikir generalisasi,
e) Pola pikir nomotetis

18

10) Klaster J: Pola pikir cari hubungan beragam pemrosesan
Klaster ini berasumsi bahwa sesuatu mempunyai keterkaitan dengan sesuatu yang
lain termasuk pemaknaanya, terdiri dari
a) Pola pikir linear,
b) Pola pikir interdependen,
c) Pola pikir multilinear,
d) Pola pikir vertical,
e) Pola pikir hierarkis,
f) Pola pikir horizontal,
g) Pola pikir divergen,
h) Pola pikir heterarkis,
i) Pola pikir sekuensial,
j) Pola pikir antisipatif,
k) Pola pikir kontekstual,
11) Klaster K: Pola pikir idealisasi integrasi
Pola pikir klaster ini merujuk pada pola mencari bersatunya berbagai sesuatu, yaitu:
a) Pola pikir korespondensi,
b) Pola pikir relevansi,
c) Pola pikir konvergensi,
d) Pola pikir Gestalt,
e) Pola pikir integrasi,
f) Pola pikir termostatis,
g) Pola pikir triangulasi,
h) Pola pikir sinkronisasi,
i) Pola pikir kongruensi,
j) Pola pikir konkurensi,
k) Pola pikir harmoni,
l) Pola pikir konformitas,
m) Pola pikir koherensi,
n) Pola pikir morfogenetis

19

12) Klaster L: Pola pikir kontradiksi intern
Klaster ini memiliki ciri esensi adanya kontradiksi intern, meliputi a) kontradiksi,
kontradiksi netral; b) kontroversi; c) paradox; d) dilemma; 5) dialektika
d. Desain penelitian, penarikan kesimpulan, dan pemaknaan dengan pendekatan
rasionalisme
Pola pikir pendekatan kualitatif pada pembahasan ini bertolak dari logika reflektif.
Relevansi dengan empiri penting, tetapi yang lebih penting adalah tertangkapnya makna
dibalik yang empiri. Desain penelitian rasionalistik dari kerangka teoritik yang
dibangun dari pemaknaan hasil penelitian terdahulu, teori-teori yang dikenal, pikiran
para pakar, dan dikonstruksikan menjadi sesuatu yang mengandung sejumlah
problematik yang perlu diteliti lebih lanjut. Ini berangkat dari pendekatan holistik yang
berupa grand-concept, diteliti pada objek spesifik, dan didudukkna kembali hasil
penelitianya pada grand-concept nya. Kerangka teoritik tersebut perlu momot tiga
komponen (Muhadjir, 1996:75), yaitu:
1) Ada grand-concept, yang melandasi seluruh pemikiran teoritik,
2) Teori substantif,
3) Hipotesis/ tesis yang hendak diuji kebenarannya secara empiric
Membuat kesimpulan bagi rasionalisme perlu mengarah ke membangun suatu
teori baru. Bagi rasionalisme mencari makna secara ontologik bergerak antara yang
empiric sensual yang logic dan yang etik, secara epistemologik menggunakan berfikir
reflektif, pola pikir divergen, kreatif, inovatif untuk mendapatkan makna yang lebih
jauh dari sekedar signifikansi (kritik terhadap positivistik kuantitatif).

C. Realisme Baru Kualitatif
1. Pengantar
Menurut Muhadjir (2016:100), metodologi keilmuan kualitatif potensial dan prospektif
untuk dikembangkan. Tradisi keilmuan rasional empirik objektif yang value free (bebas
nilai), perlu dikembangkan lebih lanjut dengan tradisi baru keilmuan rasional empirik
interpretif fenomenologik. Ini agar yang kualitatif objektif tidak terhenti sampai pola sebabakibat. Realisme baru dibangun oleh tuntutan adanya saling mendukung antara rasio dengan

20

empiri dalam membangun kebenaran, atau menggabungkan antara tuntutan positivisme
kualitatif dan rasionalisme kualitatif menjadi realisme baru kualitatif (h.101).
2. Arti kebenaran

Masa depan menuntut bukti kebenaran dalam konstruk, kebenaran dalam
constructed fashion di mana objek dianalisis tentang peran banyak variabel signifikan

dalam suatu totalitas, bukan sekedar membuktikan kebenaran parsial analitis. Kebenaran
realisme baru menuntut adanya constructed facts, kumpulan fakta yang totalitas memberi
bukti empirik sesuatu kebenaran. Kebenaran realisme baru menuntut constructed theory,
bangunan teori yang mengetengahkan banyak unsur teori khusus atau substantif, dan
banyak middle range theory atau teori formal, menjadi satu konstruk yang bermakna.
Dengan demikian constructed fashion potensial menjadi grand-theory.

D. Kesimpulan Komparatif
Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan kesimpulan komparatif bahwa pola pikir
penelitian kualitatif menggunakan first order of logic. Makna kebenaran pada penelitian
kualitatif berlandaskan pada filsafat yang diacu. Secara filosofis, penelitian kualitatif yang
berlandaskan pada filsafat positivisme sama seperti penelitian kuantitatif. Pertama , filsafat
positivisme memandang realitas/gejala/fenomena itu dapat diklasifikasikan, relatif tetap,
konkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Cara pandang ini berkaitan
dengan sifat deduktif. Logika deduktif menguji kebenaran kasus dengan mencermati pada
premis mayornya atau aksiomanya. Jika penelitian kualitatif menggunakan filsafat positivisme
maka teori metodologi yang berlaku sama dengan teori metodologi pada penelitian kuantitatif,
seperti objek studinya terukur dan mudah diamati, bedanya pada rekaman data dan analisis.
Kedua , metodologi penelitian dengan pendekatan positivistik mendudukkan tata pikir relasi

menjadi dominan (korelasi, sebab-akibat atau kausalitas, interdependensi, relasi timbal balik
atau interaktif). Sedangkan pendekatan rasionalistik mengenal tata pikir logik lain, alternatif
penalaran disamping tata pikir relasi, secara terbuka, dapat dikombinasikan untuk
mengkonstruksikan sejumlah konsep menjadi proposisi, hipotesis, postulat, aksioma, asumsi,
atau emengkonstruksi teori. Ketiga , positivistik menspesifikkan objek penelitian dengan
mengeliminasikan dari variabel atau faktor lain, yang rasionalistik mendudukkan objek
spesifikdalam totalitas holistic. Keempat, positivistik membatasi hasil penelitian sampai
21

pembuatan

kesimpulan,

rasionalistik

dilanjutkan

dengan

pemaknaan.

Kelima ,

jika

menggunakan filsafat rasionalisme maka tidak berdasarkan frekuensi dan variansi namun
berlandaskan pada ditemukannya hal yang esensial, secara intrinsik benar. Kebenaran dicari
melalui sumber terpercaya sehingga hal yang hakiki, instrinsik, essensial ditemukan.
Menggunakan rasionalisme dalam menyusun kerangka teori dan memberikan pemaknaan hasil
penelitian dan menggunakan positivisme dalam menguji empirik objek spesifiknya disebut
postpositivisme.
Persamaan antara metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan filsafat
positivisme dengan rasionalisme adalah 1) epistemologik, ada kesaman untuk memilah antara
subjek peneliti dengan objeknya, 2) produk ilmu sama, menjangkau ilmu yang nomothetik,
membuat prediksi dan hukum-hukum. Secara umum ada tiga argumen kesimpulan komparatif
cara pandang metodologi penelitian kualitatif berdasarkan landasan filosofisnya:
1. Secara ontologik, positivisme lemah dalam hal membangun konsep teoritik (positivisme
dianggap memiskinkan teori), karena dianggap tiada urunan dalam membangun teori, tidak
ada teori baru yang mendasar muncul. Rasionalitas diharapkan
2. Secara

aksiologi,

kebenaran

empirik

yang diagungkan pada positivisme telah

mendegradasikan harkat manusia karena kebenaran tidak hanya dapat ditentukan oleh
inderawi. Kemampuan akal budi manusia lebih memberi arti daripada empiri sensual, seperti
empiri logik, etik, estetik.
3. Upaya membuat generalisasi pada positivisme berpangkal dari objek spesifik dan berakhir
pada hasil analisis dari objek ke spesifik juga, sedangkan pada rasionalisme terdapat dua
generalisasi: generalisasi dari objek spesifik atau hasil uji-makna-empirik, dan pemaknaan
hasil uji-reflektif kerangka teoritik dengan pemaknaan indikasi empirik.

22

BAB III
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, kesimpulan yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Metodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang metoda-metoda penelitian,
ilmu tentang alat-alat dalam penelitian. Di lingkungan filsafat, logika dikenal sebagai ilmu
tentang alat untuk mencari kebenaran, kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi,
kebenaran performatif, kebenaran pragmatik, kebenaran proposisi serta kebenaran paradigmatik
atau konstruktif. Untuk menjawab permasalahan maka membutuhkan cara berfikir yang
sistematis, objektif, menggunakan ilmu pengetahuan tertentu. Filsafat ilmu bertugas memberi
landasan filosofik untuk minimal memahami berbagai konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu,
sampai membekalkan kemampuan untuk membangun teori ilmiah.
2. Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan faktafakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Ada lima acuan filosofis dasar
yang penting dipahami peneliti untuk implementasi metodologis pada penelitian kualitatif
dengan pendekatan positivisme, yaitu 1) acuan hasil penelitian terdahulu, 2) pilah antara analisis
dan sintesis, 3) tunduk pada fakta objektif, 4) argumentasi empirik, dan 5) realitas. Terdapat
ragam metodologis positivisme kualitatif, yaitu studi cross sectional, studi kasus pendekatan
klinik dan genetik, dan survei. Ada sejumlah unsur yang perlu diperhatikan untuk menyusun
desain penelitian, yaitu 1) tata konstruksi variabel penelitian, 2) populasi sampel, 3)
instrumentasi pengumpulan data atau teknik perekaman data, 4) teknik analisis, 5) uji instrument
atau uji kualitas rekaman, 6) makna internal hasil penelitian, 7) makna eksternal hasil penelitian.
Rasionalisme menghayati kebenaran karena ketajaman pikir manusia dalam memberi makna
atau indikasi empiri. Artinya, kebenaran tidak dibatasi oleh ukuran indrawi karena kebenaran
dapat ditangkap dari pemaknaan manusia terhadap empiri sensual. Tata pikir logik pada
pendekatan rasionalisme dapat diklaster menjadi 12 klaster pola pikir. Desain penelitian
rasionalistik berangkat dari kerangka teoritik yang dibangun dari pemaknaan hasil penelitian
terdahulu, teori-teori yang dikenal, pikiran para pakar, dan dikonstruksikan menjadi sesuatu
yang mengandung sejumlah problematik yang perlu diteliti lebih lanjut.
3. Realisme baru dibangun oleh tuntutan adanya saling mendukung antara rasio dengan empiri
dalam membangun kebenaran, atau menggabungkan antara tuntutan positivisme kualitatif dan
23

rasionalisme kualitatif menjadi realisme baru kualitatif. Kebenaran realisme baru menuntut
adanya constructed facts, kumpulan fakta yang totalitas memberi bukti empirik sesuatu
kebenaran. Kebenaran realisme baru menuntut constructed theory, bangunan teori yang
mengetengahkan banyak unsur teori khusus atau substantif, dan banyak middle range theory
atau teori formal, menjadi satu konstruk yang bermakna.
4. Pola pikir penelitian kualitatif menggunakan first order of logic. Makna kebenaran pada
penelitian kualitatif berlandaskan pada filsafat yang diacu. Countering rasionalisme terhadap
positivisme menyangkut 1) peran dalam mengembangkan teori, 2) proses analisis-sintesis, 3)
fakta, 4) argumentasi, dan 5) realitas.

24

DAFTAR PUSTAKA

Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi III. Yogyakarta: PT Bayu Indra
Grafika
______________. 2001. Filsafat Ilmu: Positivisme, Postpositivisme, dan Postmodernisme. Edisi
III. Yogyakarta: Rake Sarasin
______________. 2016. Metodologi Penelitian: Paradigma Positivisme Objektif, Phenomenologic
Interpretif, Logika Bahasa Platonis, Chomskyst, Hegelian & Hermeneutik, Paradigma Studi
Islam, Matematik Recursion-, Set Theory & Structural Equation Modeling dan Mixed. Edisi
VI Pengembangan Cetak Ulang 2016. Yogyakarta: Rake Sarasin

25