Filosofi Pendidikan dan Iwan Fals SKRIPS

Filosofi Pendidikan dan Iwan Fals
segala hal tentang pendidikan dan filosofi iwan fals serta seluk beluknya ada disini

Sabtu, 31 Juli 2010

SKRIPSI TENTANG LAGU IWAN FALS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Perkembangan karya
sastra selalu berdampingan dengan lembaga sosial tertentu dalam masyarakat karena sastra tidak dapat
dilepaskan dengan keadaan yang ada di masyarakat. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan
itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial yang mencakup hubungan antar manusia, antar peristiwa yang terjadi
dalam batin seeorang (Damono, 1987: 1). Karya sastra adalah intansi sosial dan sastra dalam penelitian dapat
dikaitkan dalam situasi tertentu (Semi, 1988: 109).
Menciptakan sebuah karya sastra, pengarang atau sastrawan sebenarnya tidak bisa lepas dari keadaan sosial
yang ada pada saat ia menciptakan karyanya. Dengan demikian, sebuah karya sastra amat dipengaruhi oleh
keadaan sosial baik masyarakat setempat maupun keadaan sosial pengarang itu sendiri yang beperan sebagai
pencipta karya sastra itu. Hubungan antara pengarang dengan masyarakat itu sangat erat karena suatu
masyarakat tertentu yang menghidupi seorang pengarang dengan sendirinya akan melahirkan suatu jenis karya
tertentu. Dengan sendirinya masyarakat merupakan faktor yang menentukan apa yang harus ditulis pengarang,

bagaimana menulisnya, untuk siapa karya sastra itu ditulis, dan apa tujuan menulis hal itu. Oleh sebab itulah,
sebuah hasil karya sastra merupakan cerminan masyarakat pada saat karya sastra itu di ciptakan.
Iwan Fals yang bernama lengkap Virgiawan Listanto lahir di Jakarta, 3 september 1961 adalah seorang penyanyi
beraliran balada yang menjadi legenda hidup Indonesia. Lewat lagu-lagunya Iwan Fals berusaha menyuarakan
apa yang selama ini terjadi di masyarakat Indonesia. Lewat lagu-lagunya ia juga banyak mengkritik atas
perilaku sekelompok orang seperti wakil rakyat, empati bagi kelompok marginal misalnya lagu siang seberang
istana, lonteku atau tentang bencana yang terjadi di Indonesia. Kadang-kadang diluar Indonesia pun dikritik
misalkan Ethiopia mendominasi tema lagu-lagu yang dibawakannya
Kesenian, khususnya seni musik, merupakan bagian dari kebudayaan. Melalui musik, manusia mengekspresikan
perasaan, harapan, aspirasi, dan cita-cita, yang me-representasikan pandangan hidup dan semangat zamannya.
Oleh karena itu, melalui kesenian, kita juga bisa menangkap ide-ide dan semangat yang mewarnai pergulatan
zaman bersangkutan. Indonesia sendiri adalah suatu negeri yang kaya dengan berbagai karya seni, khususnya
seni musik, yang mewakili pandangan hidup dan semangat zamannya. Salah satu era yang penting dalam
perjalanan bangsa ini adalah era Orde Baru yang dimulai dengan naiknya Jenderal Soeharto ke tampuk
pimpinan pemerintahan pada penghujung 1960-an sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada
penghujung 1990-an. Salah satu grup musik yang sempat mewarnai era Orde Baru adalah Swami, dengan
ikonnya Iwan Fals. Mereka telah menelurkan sejumlah album dan salah satu yang menonjol adalah album
Swami I. Lirik-lirik lagu dalam album Swami I ini me-wakili pandangan hidup mereka, sekaligus
mengekspresikan semangat zamannya. Untuk memahami lirik-lirik lagu yang ditampilkan dalam album Swami
I, kita perlu meninjau konteks kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia pada era tersebut.

Perkembangan sastra Indonesia pasca 1965 tidak terlepas dari faktor situasi sosial politik pada masa awal
kelahiran Orde Baru. Pada periode tersebut terjadilah peristiwa penting baik pada bidang sosial, politik, maupun
kebudayaan. Dalam bidang kebudayaan termasuk di dalamnya kesusastraan, peristiwa yang cukup penting dan
menentukan bagi kehidupan kesusastraan untuk masa berikutnya adalah kemenangan kubu Manikebu dengan
paham humanisme universalnya dan kekalahan kubu Lekra dengan paham realisme sosialnya. Teeuw (1986: 43)
mencatat bahwa di bidang kebudayaan, segala macam kelompok dan perorangan, yang praktis tutup mulut sejak
8 Mei 1964, menjadi kembali bergerak dan mulai memperdengarkan suara mereka. Koran-koran dan majalah
yang pernah dilarang pada masa Orde Lama, memulai kembali penerbitannya. Juga terbit majalah baru, yakni
Horison sebagai majalah sastra. Keith Foulcher (Prisma, 1988: 20) mengatakan bahwa sebagian dari karya
sastra terpenting awal periode Orde Baru dapat dilihat sebagai pemekaran energi yang kemungkinan tampak
tidak mempunyai tempat dalam iklim sekitar tahun 1965, ketika pendefisian kesetiaan politik mendominasi
sebagian kerja dan hasil kreatif orang Indonesia.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah munculnya pembaruan dan eksperimen penciptaan karya sastra
yang lebih bebas. Berkaitan dengan munculnya pembaruan dan eksperimen penciptaan karya sastra, Jakob

Surmadjo (1984: 6-7) membuat analisis sosiologis dengan menyebut tiga faktor sebagai titik tolak. Latar
belakang sosiologis munculnya pembaruan dan inovasi tersebut, selain karena situasi sosial politik awal Orde
Baru, Jakob Sumardjo menambahkan dengan faktor maecenas Dewan Kesenian Jakarta dan faktor pergantian
generasi sastra. Dengan adanya Dewan Kesenian Jakarta, aktivitas kesenian memperoleh subsidi dari
pemerintah DKI. Dewan ini memberikan kesempatan kepada para seniman untuk berkreasi secara merdeka.

Dengan demikian, kebebasan yang dimiliki ditambah dengan penyediaan fasilitas menyebabkan kegairahan
mencipta semakin semarak. Sedangkan faktor pergantian generasi sastra menekankan pada munculnya
kecenderungan untuk bereksperimen pada sastrawan yang baru mulai karier kesastraannya pada dekade 70-an,
seperti Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Budi Darma dan Putu Wijaya.
Sebagai hasil olah pikir atau kreativitas seseorang seniman, karya sastra memancarkan hal-hal yang tersangkut
pada proses sosio budaya dimana karya sastra itu berada. Hal-hal yang terpancarkan oleh karya sastra
disebabkan keterlibatan seseorang seniman dalam memandang, menghayati, dan menginterpretasikan suatu
yang sedang terjadi dalam masyarakatnya hal ini bisa berupa pola berpikir, ekonomi, sosial, politik, agama
maupun seni.
Dengan pandangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa penulis berusaha meneliti tentang analisis unsur
ekstrinsik kumpulan lagu Iwan Fals. Selain tertarik atau suka dengan lagu-lagu Iwan Fals penulis juga ingin
mengetahui lebih jauh tentang lirik lagu iwan fals yang berhubungan kritik sosial.
1.2 Identifikasi Masalah
Mengapresiasi sastra dapat dilakukan dengan meninjau unsur-unsur didalamnya yang meliputi unsure intrinsik
dan unsure ekstrinsik. Didalam penelitian, penulis mengkaji diluar yang membentuk karya sastra itu sendiri.
Unsur diluar itu meliputi sosiologi yang dalam hal ini membahas tentang unsur sosial politik dan sosial ekonomi
yang pada kumpulan lagu Iwan Fals.
Masalah-masalah yang dibahas dalam skripsi ini terangkum dalam lingkup sosiologi yang berhubungan dengan
sastra. Sedangkan masalah sosiologi ini mencangkup masalah kompleks dan beragam. Banyaknya definisi yang
diberikan oleh para ahli sebagian besar mempunyai inti yang sama yaitu proses sosial dalam masyarakat. Untuk

memperjelas penulis kutipan dua buah pendapat sosiologi dari para ahli.
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk didalamnya
perubahan sosial. Sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan masyarakat yang katagoris, murni, abstrak,
berusaha memberikan pengertian-pengertian umum (Soekanto. 1982: 50)
Sedangkan menurut Drs.Atar Semi (1985: 50) mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu telaah yang objektif
dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang
bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang.
Berdasarkan dari latar belakang permasalahan di atas maka penulis berusaha membahas tentang unsur ekstrinsik
yang di sini mencangkup tentang kritik sosial ekonomi dan sosial politik yang ada pada lagu-lagu Iwan Fals.
1.3 Batasan Masalah
Mengingat permasalahan sosial yang ada dalam lagu-lagu Iwan Fals sangat luas dan kompleks, maka
permasalahan di atas perlu dibatasi dengan maksud untuk mempermudah pembahasan yang memfokuskan pada
masalah-masalah yang akan kami kemukakan dibawah ini .
Adapun masalah-masalah tersebut penulis batasi pada :
1. Mengetahui unsur sosial ekonomi dalam lagu-lagu Iwan Fals
2. Mengetahu unsur sosial politik dalam lagu-lagu Iwan Fals
1.4 Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dirumuskan berdasarkan pembatasan masalah yang diambil dari jangkauan
masalah sehingga penulis dapat membuat rumusan-rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah unsur sosial ekonomi pada analisis unsur ekstrinsik kumpulan lagu Iwan Fals pada saat itu?

2. Bagaimanakah unsur sosial politik pada analis unsur ekstrinsik kumpulan lagu Iwan Fals pada saat itu?
1.5 Tujuan Penelitian
Langkah penelaah sastra tidak lepas dari suatu tujuan, sedangkan tujuan dari penelitian tersebut meliputi tujuan
umum dan tujuan khusus.
1.5.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui unsur sosial yang terdapat dalam lagu-lagu Iwan Fals
1.5.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui unsur kritik sosial ekonomi yang ada pada lagu-lagu Iwan Falas
2. Mengetahui unsur kritik sosial politik yang ada pada lagu-lagu Iwan Fals
1.6 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan keterkaitan antara pengarang dan masyarakat dalam
menciptakan sebuah karya sastra dalam hal ini menciptakan sebuah lagu, karena lagu merupakan produk dari
seorang pengarang yang ingin mencurahkan segala pikiran dan perasaan yang terjadi di masyarakat.

2. Manfaat Praktis
Dari segi kemanfaatan maka sejauh manakah kopetensi ilmu yang penulis kuasai dan penulis dapatkan selama
penulis menjadi mahasiswa dapat diterapkan. Disamping itu diharapkan dari hasil penelitian ini dapat membantu
pembaca/peminat. Dalam persoalan pemahaman tentang dunia kesastraan Indonesia pada umumnya dan

mengetahui kritik sosial yang ada pada lagu Iwan Fals pada khususnya.
1.7 Asumsi
Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau budaya
serta peradapan yang telah menghasilkannya. Harus dipelajari dalam kontek seluas-luasnya, dan tidak dirinya
sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari faktor-faktor dan cultural yang rumit.
Dengan demikian juga dengan lagu-lagu Iwan Fals , tidak dapat dipahami maknanya apabila dipisahkan dengan
lingkungan sosial yang terciptanya lagu-lagu itu. Oleh sebab itu seorang Iwan Fals didalam menciptakan
karyanya ytidak lepas dari keadaan masyarakat dan tak lepas juga dari situasi pada saat ia menciptakan lagulagunya.
Sehubungan dengan latar belakang tersebut, kritik sosial dalam kumpulan lagu Iwan Fals, ini mengandung unsur
yang kompleks yang meliputi unsure sosial ekonomi, sosial politik, sosial budaya, sosial religi bahkan unsur
percintaan juga ada didalam lagu-lagu Iwan Fals. Didalam menganalisis lagu-lagu Iwan Fals ini penulis
menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan menggunakan metode dialektik yang mana metode dialektik ini
sumber datanya adalah masyarakat sedangkan data penelitiannya adalah tindakan-tindakan. Dalam ilmu sastra,
sumber datanya adalah karya sedangkan data penelitiannya adalah teks.
Pendekatan sosiologi ini bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan dari kehidupan
masyarakat. Melalui sastra pengarang berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka
ketahui dengan sejelas-jelasnya. Oleh karena itu kritik sastra banyak mengandung unsur-unsur sosial yang mana
berpedoman pada kehidupan masyarakat.
1.8 Metode sekilas
1.8.1 Metode Penelitian

Metode berasal dari kata “metodos” dan “logos”. Metodos metode atau cara-cara untuk melakukan pekerjaan,
sedangkan logos berarti ilmu. Jadi metodologi itu berarti suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
bagaimana cara-cara melakukan pekerjaan dengan jalan bagaimana suatu tujuan dapat tercapai.
Dalam karya ilmiah skripsi, selalu dipergunakan satu atau beberapa metode yang dipakai untuk memperoleh
data-data yang dibutuhkan demi kelengkapan karya ilmiah tersebut. Demikian juga dengan penulis, dalam
menyusun skripsi yang membahas tentang kritik sosial menggunakan metode penelitian yang sesuai dengan
proses, tujuan, sifat dan teori yang penulis anut. Sedangkan metode yang baik adalah metode yang dipilih secara
tepat, yang umumnya berupa metode yang bersifat enklitik atau camputan atau gabungan dari dua atau lebih
metode, hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih lengkap (Udin, Syahrul, 1988:23).
Untuk menyesuaikan dengan judul yang penulis sajikan maka metode penelitian yang sesuai dengan tujuan dan
prosesnya adalah metode dialektik. Alasan pemilihan metode dialektik adalah bahwa metode ini berangkat dari
pandangan bahwa karya sastra adalah cerminan kehidupan masyarakat atau cerminan kehidupan manusia dan
alam. Dengan demikian metode ini merupaya mengaitkan sejauh mana karya sastra mampu merefleksi realita
sosial tertentu (Udin, 1988 : 25)
Mekanisme kerja metode dialektik ini adalah tesis, antitesis, dan sintesis. Prinsip dasarnya adalah unsur yang
satu tidak harus lebur ke dalam unsur lainnya. Individualitas dipertahankan di samping interdependensinya.
Kontradiksi tidak dimaksudkan untuk menguntungkan secara sepihak. Sintesis bukanlah hasil yang pasti tetapi
justru merupakan awal penelusuran gejala berikutnya. Prinsip-prinsip dialektik hampir sama dengan hermeutik
yaitu gerak spiral eksplorasi makna yang mengarah kepada penelusuran unsur ke dalam totalitas dan sebaliknya.
Pada metode ini, kontinuitas operasionalisasi tidak berhenti pada level tertulis tetapi diteruskan pada jaringan

kategori sosial sebagai penjaringan makna secara lengkap. Kontradiksi dalam dialektik dianggap sebagai energi
pemahaman obyek (Asep, 2007: 8).

1.8.2 Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis berusaha menggunakan pendekatan yang pas sesuai dengan apa yang penulis ingin
teliti, maka dari itu penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh
peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan mayarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian
sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu
lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya
(Suwandi, 1994: 77).
Dalam pandangan Wolff (Faruk, 1994: 3) sosiologi sasra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak
terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang

agak lebih general. Yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan
dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
Wellek dan Werren (1956: 84) membuat klsifikasi masalah sosiologi sastra sebagai berikut: Pertama, sosiologi
pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai
penghasil sastra. Kedua, sosiologi sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok
penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Yang ketiga, sosiologi

sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
1.8.3 Jenis Dan Sumber Data
1.8.3.1 Jenis Data
Menurut Sutrisno Hadi (1989: 66) pada prinsipnya dalam suatu penelitian ada dua jenis data, yaitu data
kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang hanya dapat diukur secara tidak langsung
sedangkan data kuantitatif adalah data yang dapat diukur secara langsung atau secara tepatnya dapat dihitung.
Dari kedua jenis data tersebut, jenis data dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif. Karena data yang
dikumpulkan diungkapkan dengan kata-kata atau kalimat yang berhubungan dengan kategori, karakter, sifat,
fenomena, atau gejala sesuatu.
1.8.3.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah kumpulan album iwan fals dari tahun 1983 – 2007, yang mana album
tersebut sudah diambil beberapa lagu yang cocok untuk dijadikan sampel penelitian sesuai dengan judul analis
unsur ekstinsik kumpulan lagu Iwan Fals yang ingin diteliti penulis.
1.8.4 Populasi Dan Sampel
1.8.4.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah kumpulan album Iwan Fals dari tahun 1983 -2007 yang diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Sumbang (1983)
2. Barang Antik (1984)
3. Sore Tugu Pancoran (1985)

4. Aku Sayang Kamu (1986)
5. Lancar (1987)
6. Wakil Rakyat (1988)
7. Mata Dewa (1989)
8. Kantata Takwa (1990)
9. Swami II (1992)
10. Hijau (1993)
11. Dalbo (1994)
12. Kantata Samsara (1998)
13. Best Of The Best (2000)
14. In Collaboration with (2003)
15. Manusia ½ Dewa (2005)
16. Iwan Fals In Love (2006)
17. 50 : 50 (2007)
1.8.4.2 Sampel
Untuk kepentingan penelitian ini diambil 25 lagu yang dijadikan sampel, lagu-lagu tersebut meliputi :
1. Surat Buat Wakil Rakyat
2. Oemar Bakrie
3. Oh ya
4. Galang Rambu Anarki

5. Tikus-tikus Kantor
6. Bongkar
7. Sore Tugu Pancoran
8. Belalang Tua
9. Desa
10. Kembang Pete
11. Contrasmu Bisu
12. Bangunlah Putra Putri Ibu Pertiwi
13. Potret
14. Bento
15. Siang Seberang Istana
16. Besar dan Kecil

17. Sumbang
18. Mereka Ada Di Jalan
19. Pesawat Tempur
20. Barang Antik
21. Manusia ½ Dewa
22. Asyik Gak asyik
23. Negeriku
24. O Ea Eo (Orang Pinggiran)
25. Sugali
Alasan penulis menggunakan 25 sampel pada kumpulan lagu Iwan Fals yaitu selain mempermudah penulis
dalam penulisannya, lagu-lagu tersebut juga telah mewakili karakter dari seorang Iwan Fals.
1.9 Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan pengumpulan data yaitu dengan teknik observasi (pengamtan) dan teknik dokumentasi.
Secara rinci teknik observasi dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan terhadap obyek secara tidak
langsung (Indirect Observation), yaitu pengamatan yang dilakukan melalui perantara suatu alat atau cara,
misalnya dengan membaca dan memahami isi yang ada didalam kumpulan lagu Iwan Fals, sehingga diperoleh
gambaran yang jelas mengenai apa yang menjadi obyek pengamatan. Teknik dokumentasi suatu cara
pengumpulan data melalui dokumen-dokumen. Dalam pelaksanaan teknik dokumen ini, penulis mengumpulkan
dokumen-dokumen berupa pengumpulan lagu-lagu Iwan Fals yang telah beredar dipasaran. Hal ini sangat
membantu sekali di dalam pengadaan penelitian.
1.9.1 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data sesuai dengan judul “Analisis Unsur Ekstrinsik Kumpulan Lagu Iwan Fals” penulis
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan data yaitu kumpulan lagu Iwan Fals
2. menyeleksi data, yaitu memilih dan memilah data yang perlu dianalisis
3. Mengorganisasi dan mengurutkan data
4. Mendeskripsikan data, yaitu menguraikan data disertai penjelasan dan pembahasannya.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Lagu
Manusia dizaman sekarang ini memerlukan sebuah hiburan salah satunya adalah melalui lagu, dengan lagu
manusia akan menjadi tenang menjadi frees dalam berfikir sehingga dapat memulai aktifitas keseharian dengan
baik.
Setiap lagu pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pendengarnya.
Lagu berisi barisan kata-kata yang dirangkai secara baik dengan gaya bahasa yang menarik oleh komposer dan
dibawakan dengan suara indah penyanyi.
2.1.1 Pengertian Lagu
Lagu adalah salah satu cabang seni yang sangat dekat dengan kehidupan kita. Bahkan sejak kita masih bayi,
mugkin kita sudah dikenalkan dengan seni musik oleh ibu kita, yaitu lewat nyanyian-nyanyian sederhana
misalnya: lagu Nina Bobo, Pelangi, Pak Pos, dan banyak lagi. Nyanyian-nyanyian itu juga menyemarakkan
hidup kita hingga memasuki masa pendidikan prasekolah maupun awal-awal sekolah. Selama pendidikan
sekolah formal maupun di lingkungan kita masing-masing, kita pun selalu dikenalkan nyanyian-nyanyian yang
makin lama makin rumit seiring dengan makin bertambahnya tingkat pendidikan kita. Lagu yang kita kenal pun
bukan lagi hanya sekedar musik vokal, tapi lebih dari itu kita pun mengenal instrumen-instrumen lagu baik itu
instrumen ritmis maupun melodis. Dan lagu akan selalu mengiringi hidup kita hingga kita dewasa bahkan
hinggga kita kembali kepangkuan-Nya.
Lagu yang kita kenal pun tidak terbatas sebagai sarana hiburan saja melainkan juga lagu sebagai salah satu
bagian dari sebuah kebudayaan dari suatu bangsa, lagu sebagai salah satu bagian dari ritual keagamaan, lagu
sebagai sarana peluap emosi, dan sebagainya. Lebih dari semua hal di atas, lagu adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari suatu kebudayaan. Jadi sekali lagi dapat disimpulkan bahwa manusia tidak akan lepas dari lagu.
Kesenian, khususnya lagu, merupakan bagian dari kebudayaan. Melalui lagu, manusia mengekspresikan
perasaan, harapan, aspirasi, dan cita-cita, yang me-representasikan pandangan hidup dan semangat zamannya.
Oleh karena itu, melalui kesenian, kita juga bisa menangkap ide-ide dan semangat yang mewarnai pergulatan
zaman bersangkutan. Indonesia sendiri adalah suatu negeri yang kaya dengan berbagai karya seni, khususnya

seni musik, yang mewakili pandangan hidup dan semangat zamannya.
2.1.2 Fungsi Lagu
Lagu secara umum sangat penting bagi kehidupan masyarakat, tanpa lagu masyarakat tidak akan pernah
merasakan suatu kenyamanan di dalam menjalankan suatu aktifitas, berikut ini fungsi lagu antara lain sebagai
berikut :
1. Media Hiburan
Masyarakat secara umum memahami lagu sebagai media hiburan. Radio, musik rekaman, film, telivisi dan
internet memberikan arah yang jelas terhadap citra lagu sebagai media hiburan.
2. Media Pengobatan (therapy)
Beberapa tabib muslim pada abad ke-9 dan ke-10 telah menggunakan lagu sebagai sarana penyembuh penyakit,
baik jasmani maupun rohani. Seorang filusuf Al-farabi, telah menulis risalah tentang pengobatan melalui lagu.
Beethoven, tanpa disadarinya juga membuktikan bahwa lagunya telah menjadi alat penyembuh penyakit jiwa.
3. Media Peningkatan Kecerdasan (Intelegensi)
Otak manusia terbagi menjadi otak kanan dan otak kiri. Keseimbangan dua bagian otak tersebut dapat
mempengaruhi kecerdasan manusia. Otak kiri merupakan pengendali fungsi intelektual, sedangkan otak kanan
pengendali fungsi spontanitas dan mental. Lagu dapat dijadikan sebagai alat penyeimbangan otak kiri. Daya
estetis lagu dapat dimanfaatkan sebagai penambah intelegensi.
4. Suasana Upacara Keagamaan
Lagu keagamaan dapat mengilhami penganut suatu agama untuk selalu mengingatnya, baik dalam upacara adat,
upacara pernikahan, maupun upacara kematian.
Unsur-unsur yang Membangun Lagu
2.2.1 Unsur-unsur Intrinsik
Banyaknya para ahli sastra memberikan pendapatnya tentang adanya unsur-unsur intrinsik yang membangun
karya sastra memberika gambaran kepada kita bahwa penyikapan yang diambil oleh para ahli sastra itu berbedabeda. Misalnya, Sudjiman (1988:5-7) dalam bukunya memahami cerita rekaan menyebutkan adanya unsurunsur intrinsik yang membangun karya sastra yaitu : (1) Tokoh caracterzation, (2) Alur dan plot, (3) Latar atau
setting, (5) Sudut pandang atau point of view, (6) Tehnik.
Sedangkan menurut Aminuddin, (1991 : 67-91) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Apresiasi Karya Sastra
menyebutkan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra adalah : (1) Penokohan atau perwatakan, (2)
Alur, (3) Tema, (4) Setting, (5) Titik pandang, (6) Gaya.
Ahli sastra lain yang juga memberikan pendapatnya tentang unsur-unsur intrinsik karya sastra yaitu Jakob
Sumardjo dan Saini K.M. dalam bukunya Apresiasi Kesusastraan, mengemukakan unsur-unsur intrinsik tersebut
meliputi : (1) Karakter, (2) Plot, (3) Tema, (4) setting, (5) Point of view, (6) Gaya, (7) Suasana (1988 : 48-109)
Menilik pendapat-pendapat ahli sastra mengenai unsur-unsur intrinsik yang membangun sebuah karya sastra,
penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya unsur-unsur pokok dalam karya sastra itu adalah : (1)
Tokoh, (2) Tema, (3) setting, (4) Plot, (5) Sudut pandang.
Sedangkan unsur-unsur tambahan yang kadang-kadang tiap pendapat memberikan definisi yang berbeda
mengenai ketiga unsur tambahan yaitu : (1) gaya, (2) Tema, (3) Suasana.
Sebenarnya masih banyak pendapat yang mengemukakan tentang unsur-unsur intrinsik yang membangun karya
sastra, tetapi apabila penulis mengutip semua pendapat itu, maka tulisan ini hanya akan berisi pendapatpendapat tentang unsur-unsur intrinsik saja, padahal tujuan sebenarnya dari tulisan ini buakn semata-mata
menitik beratkan pada unsur intrinsik tetapi bahkan sebaliknya, tulisan ini akan mengangkat salah satu dari
unsur ekstrinsik yang turut membangun sebuah karya sastra. Uraian tentang unsur-unsur intrinsik akan penulis
kupas di bawah ini.
2.2.1.1 Alur
Alur atau plot dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin,
1991:83).
Ada pula yang mengatakan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa atau kejadian yang membangun cerita secara
utuh dan saling mengait (Syahrul, 1988:46).
Sedangkan menurut Sunardjo dan Saini (1988:48) dalam bukunya yang diberi judul Apresiasi Kesusastraan
bahwa apa yang disebut plot atau alur dalam cerita memang sulit dicari ia tersembunyi dibalik jalannya cerita.
Namun jalannya cerita bukanlah plot, jalan cerita hanyalah manifestasi, bentuk wadah, bentuk jasmaniah dari
plot cerita. Disebutkan pula intisari plot adalah konflik.
Dari ketiga pendapat yang dikemukakan oleh para ahli sastra itu dapat ditarik kesimpulan bahwa alur adalah
rangkaian dalam suatu cerita tetapi bukan semata-mata jalan cerita, melainkan manifestasi cerita.
Dalam cerita fiksi urutan tahapan peristiwa beraneka ragam tergantung dari pengarang dalam menekankan cerita
atau pengertiannya. Menurut Loban dkk, dalam prosa fiksi tahapan alur terdiri atas (1) eksposisi/pernapasan (2)
okomplikasi/mulai timbulnya konflik (3) klimaks/konfliks memuncak (4) revelasi/perpecahan konfliks (5)
denoument/penyelesaian yang membahagiakan (happy ending), atau catastrophe (penyelesaian yang

menyedihkan, dan solution yakni penyelesaian yang masih tertunda), (Udin, 1988:46).
Plot sering juga dikupas menjadi elemen-elemen yaitu :
(1) Pengenalan
(2) Timbulnya konflik
(3) Konflik memuncak
(4) Klimaks
(5) Pemecahan soal (Sunardjo, 1988:49).
Montage dan Hen Shaw menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam plot tersusun dalam tahapan eksposition,
yaitu tahapan awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku
yang mendukung cerita, tahap inciting force, yaitu tahap ketika timbul kekuatan, kehendak maupun perilaku
yang bertentangan dari pelaku, ricing iction, yaitu situasi panas karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai
berkonfliks, crisis, yaitu situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh pengarangnya,
klimax, yaitu situasi puncak ketika konflik berada pada kadar yang paling tinggi hingga para pelaku itu
mendapat kadar nasibnya sendiri-sendiri, falling action, yaitu kadar konflik sudah menuntun sehingga
ketegangan dalam cerita sudah mulai mereda sampai menuju conclusion atau penyelesaian cerita.
2.2.1.2 Tema
Istilah tema menurut Scharbach berasal dari bahasa latin yang berarti ”tempat meletakkan suatu perangkat”.
Disebut tema adalah merupakan ide yang mendasari suatu cerita, sehingga berpesan juga sebagai pangkal tolak
pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya (Aminuddin, 1991:91)
Dalam buku Apresiasi Kesusastraan yang dikarang oleh Jacob Sumardjo dan Saini mengungkap tema sebagai
ide sebuah cerita, tema tidak selalu berwujud moral.
Sedangkan menurut Udin menyebutkan tema adalah ide dasar yang mendasari keseluruan cerita secara utuh.
Sedang tema diperoleh setelah pembaca atau kritikus memahami pokok persoalan (subject matter) yang ada
dalam cerita (1988:48). Pada dasarnya tema merupakan ide cerita yang menjadi dasar dalam memaparkan karya
fiksi yang diciptakan pengarang.
2.2.1.3 Penokohan
Masalah penokohan ini merupakan salah satu hal yang kehadirannya dalam sebuah karya fiksi amat penting dan
bahkan menentukan, karena tidak akan mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan
tanpa adanya tokoh yang bergerak dan akhirnya membentuk alur cerita. Pelaku yang mengemban peristiwa
dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita yang disebut dengan tokoh. Sedangkan
cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut penokohan (Semi, 1988:37).
Lain lagi menurut Syahrul Udin dalam bukunya yang berjudul Pra Pengantar Belajar Sastra menyebutkan yang
dimaksud perwatakan atau penokohan adalah semua pelaku-pelaku yang terlibat dalam cerita dengan segala
perwatakannya yang saling mengait. Ditinjau dari frekuensi kemunculannya dan tindakan/lakuan yang
dilakukan, dikenal tokoh tambahan dan tokoh utama. Sedangkan ditinjau dari perwatakannya, dikenal tokoh
protagonis, yaitu tokoh yang memiliki watak baik dan menimbulkan rasa simpati bagi pembaca, dan tokoh
antagonis, yaitu tokoh yang memiliki watak buruk yang biasanya tidak disenangi oleh pembaca atau tidak
menimbulkan rasa simpati bagi pembaca (1988:47).
Dalam memperkenalkan tokoh dan watak tokoh pada fiksi ada dua macam cara yaitu : (1) secara analitik, yaitu
pengarang langsung memaparkan tentang watak/karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut
keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya; (2) secara dramatis, yaitu pengarang menggambarkan
watak yang tidak diceritakan secara langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui (1) pilihan nama tokoh, (2)
penggambaran fisik/postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan dan
sebagainya,(3) dialog, baik dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain (Semi,
1988:41).
2.2.1.4 Latar
Menurut Semi, yang dimaksud dengan latar atau landas tumpu adalah cerita tentang lingkungan tempat
peristiwa terjadi (1988:46).
Pendapat di atas sejalan dengan yang dikemukakan oleh Drs. Aminuddin dalam bukunya Pengantar Apresiasi
Karya Sastra yang memberikan pengertian setting adalah latar peristiwa dalam karya sastra baik berupa tempat,
waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi psikologis (1991:66).
Sedangkan menurut Drs. Syahrul Udin, yang dimaksud dengan latar adalah tempat, waktu, peristiwa kejadian
yang melatarbelakangi cerita sehingga cerita tampak hidup dan berjalan lancar serta wajar (1988:45). Setting
yang di dalam fiksi bukan hanya sekedar background, artinya bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan
kapan terjadinya. Pemilihan setting dapat membentuk tema tertentu dan plot tertentu (Sumarjo, 1988:75-76).
Uraian mengenai latar/setting yang dikemukakan sekian banyak oleh para ahli di atas pada hakekatnya sama
yaitu menekankan pada tempat cerita atau peristiwa sebuah cerita terjadi baik waktu, maupun kejadian-kejadian
lain yang melatarbelakanginya.
2.2.1.5 Sudut Pandang
Yang dimaksud sudut pandang adalah cara pengarang memaparkan peristiwa atau kejadian dan tokoh-tokoh

yang terlibat dalam cerita (Udin, 1988:49).
Semi menyebutkan pusat pengisahan sebagai sudut pandang atau titik pandang yaitu posisi dan penempatan diri
pengarang dalam seritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa yang terdapat dalam cerita itu (1988:57).
Sedangkan Jakob Sumardjo dan saini K.M. dalam bukunya, Apresiasi Kesusastraan mengemukakan pengertian
point of view pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil pengarang untuk
melihat suatu kejadian cerita (1988:82).
Titik kisah ini umumnya dapat dibedakan menjadi; (1) pengisah atau pengarang sebagai pelaku atau narrator
omniscient; (2) pengarang sebagai observer; (3) pengarang sebagai pengamat yang serba tabu segala perilaku
batiniah pelaku-pelaku lainnya atau narrator observer omniscient; (4) pengarang sebagai pelaku tambahan atau
ketiga atau sebagai orang pertama narrator the thirdperson omniscient.
2.2.1.6 Gaya
Istilah gaya berasal dari istilah Style yang berasal dari bahasa latin stilus dan mengandung arti leksikal alat
untuk menulis. Dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara orang atau pengarang
menyampaikan gagasan dengan menggunakan medium bahasa yang indah dan harmonis serta mampu
memuaskan maknanya, serta suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin,
1991:72).
Menurut Atar Semi dalam bukunya Anatoni Sastra menyebutkan gaya penceritaan adalah tingkah laku
pengarang dalam menggunakan bahasa. Tingkah laku berbahasa ini merupakan suatu sarana sastra yang amat
penting tanpa bahasa, tanpa gaya bahasa, sastra tidak ada (1988:47).
Gaya adalah cara khas pengungkapan pengarang, cara bagaimana seseorang pengarang memilih tema,
persoalan, meninjau persoalan dan menceritakan dalam sebuah cerita, itulah gaya seorang pengarang. Dengan
kata lain, gaya adalah pribadi pengarang itu sendiri (Sumardjo, 1988:92).
Pendapat jacob Sumardjo hampir sama yang di kemukakan oleh Udin yang mengemukakan gaya merupakan
cara pengarang mengungkapkan pribadinya lewat kata atau kalimat yang menimbulkan efek-efek tertentu bagi
pembaca (Udin, 1988:48).
2.2.2 unsur-unsur Ekstrinsik
Dalam menciptakan sebuah karya sastra tidak hanya ditentukan oleh unsur-unsur yang secara utuh membangun
sebuah karya sastra, tetapi dibangun unsur-unsur luar yang turut menentukan bentuk maupun isi sebuah karya
sastra.
Menurut Wellek dan waren, bahwa unsur-unsur ekstrinsik yang membangun sebuah karya sastra adalah: (1)
Biografi/ psikologi pengarang, (2) Kemasyarakatan dan kesejarahan, (3) ideologi, filsafat, teologi, (4) Semangat
zaman, atmosfer, atau iklim intelektual (Udin, 1988:45).
Lain lagi menurut (Putu wijaya, 1985:50-51). Dalam bukunya yang berjudul Teori Sastra yang di dalamnya
disebutkan adanya unsur-unsur ekstrinsik karya sastra dalam bentuk pertanyaan yang tersusun menjadi enam
pertanyaan sebagai berikut: (1) Siapa pegarangnya, (2) Dalam keadaan bagaimana ia mengarang, (3) Mengapa
dan kapan ia mengarang, (4) Mengapa karya itu disenangi pembaca, (5) Bagaimana isi cerita dengan selera
masyarakat, (6) adakah hubungan dengan baris, penerbit, mutu, atau kadar sastra.
Antara dua pendapat yang penulis kemukakan dalam uraian mengenai unsur-unsur ekstrinsik karya sastra yaitu
Wellek dan Werren dan Putu Wijaya yang masing-masing memberikan rincian unsur-unsur ekstrinsik yang turut
membangun sebuah karya sastra. Walaupun kelihatannya berbeda, karena dua pendapat itu yang pertama
menampilkan pertanyaan, yang kedua berupa pertanyaan, tetapi sebenarnya kedua pendapat itu tidak jauh
berbeda bahkan hampir sama antara yang satu dengan yang lain. Misalnya pada biografi atau psikologis
pengarang dengan siapa pengarangnya, kedua sama-sama membahas tentang seputar keadaan pengarang dan
segala segala sesuatu yang berkenaan dengan hidup dan kehidupan pengarang.
Mengenai uraian dari masing-masing unsur ekstrinsik yang dikemukakan dari dua ahli sastra itu akan penulis
ambil dari pendapat Wellek dan Werren, hal itu karena menurut pendapat penulis lebih ringkas dan mudah
dipahami.
2.2.2.1 Sosial
2.2.2.1.1 Pengertian Nilai Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang
dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menanggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan
mencuri bernilai buruk. Woods mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung
lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menentukan sesuatu
itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan
masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih
menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara pada
masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu
keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.

Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di antaranya
nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan
bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi
peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan
peranannya. Contohnya ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan pertimbangan
nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok
masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga
berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar
orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.
2.2.2.1.2 Jenis Sosial
Menurut Emile Durkheim (1858-1917), sosiologi meneliti lembaga-lembaga dalam masyarakat dan prosesproses sosial. Adapun jenis-jenis sosial meliputi: (a) sosial politik, (b) sosial ekonomi, (c) sosial budaya, (d)
sosial agama, (e) sosial hukum dsb.
2.2.2.2 Sosial Ekonomi
Sosiologi ekonomi mempelajari berbagai macam kegiatan yang sifatnya kompleks dan melibatkan produksi,
distribusi, pertukaran dan konsumen barang dan jasa yang bersifat langka dalam masyarakat.
Baik ekonomi maupun sosiologi merupakan disiplin ilmu dengan tradisi ilmu yang mapan. Munculnya ekonomi
sebagai disiplin ilmu dapat terlihat dari fenomena ekonomi sebagai suatu gejala bagaimana cara orang atau
masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap jasa dan barang langka yang diawali oleh proses
produksi, konsumsi dan pertukaran.
Dengan sendirinya dalam pemenuhan kebutuhannya atau dalam melakukan tindakan ekonomi, seseorang akan
berhubungan dengan institusi-institusi sosial seperti pasar, rumah sakit, keluarga dan lainnya. Smelser kemudian
mendefinisikan ilmu ekonomi: “Studi mengenai cara manusia dan masyarakat memilih, dengan atau tanpa
memakai uang, untuk menggunakan sumber daya produktif yang dapat mempunyai alternatif untuk
menghasilkan berbagai komoditi dan mendistribusikannya untuk konsumsi, sekarang atau masa depan, di antara
berbagai orang dan kelompok orang dalam masyarakat.
2.2.2.3 Sosial Politik
Perkembangan sosiologi politik salah satunya dapat ditelusuri melalui penyimakan dinamika yang melekat
dalam sejarah atau asal mula lahirnya disiplin ilmu tersebut. Berbicara tentang sejarahnya, sosiologi politik
sebetulnya lahir dari dinamika tradisi logika dialektik dalam perkembangan scientific, yakni tesis, antitesis, dan
sintesis. Sosiologi politik merupakan disiplin ilmu yang muncul dari sintesis ilmu sosiologi dan ilmu politik
yang telah berkembang sebelumnya. Bahkan proses sintesis ilmu, seperti penggabungan sosiologi dan politik
menjadi sosiologi politik telah menggejala dikalangan ilmuan. Mereka banyak memikirkan cara melihat sesuatu
realitas dengan analisis perspektif penggabungan disiplin ilmu. Misalnya, psikologi politik, politik ekonomi,
sosiologi ekonomi, komunikasi politik, sosiologi komunikasi, dan sebagainya (Sahid, 2007:41).
2.2.2.4 Pendekatan Sosiologis
Hampir semua manusia pada awalnya merupakan anggota kelompok sosial yang dinamakan keluarga. Walaupun
anggota-anggota keluarga tadi selalu menyebar, pada waktu-waktu tertentu mereka pasti akan berkumpul seperti
misalnya pada makan pagi, siang dan malam. Setiap anggota mempunyai pengalaman-pengalaman masingmasing dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok sosial lainnya di luar rumah. Bila mereka berkumpul,
terjadilah tukar menukar pengalaman diantara mereka. Pada saat-saat demikian, yang terjadi bukanlah
pertukaran pengalaman semata, tetapi para anggota tersebut mungkin telah mengalami perubaan-perubahan,
walaupun sama sekali tidak disadari (Soerjono, 2006:102)
2.2.2.5 Kemasyarakatan dan Kesejarahan
Kehidupan sosial masyarakat baik secara individu maupun kelompok dapat menjadi bahan penciptaan suatu
hasil sastra. Comik kehidupan sosial masyarakat yang dapat diangkat menjadi bahan penciptaan itu dapat
beraneka ragam. Mungkin berupa adat kebiasaan, pandangan hidup, maupun perilaku suatu masyarakat yang
tidak ada hubungannya dengan masalah politik tetapi berhubungan dengan masalah kehidupan sosial
(Aminnudin, 1991:188).
2.2.2.6 Ideologi, Filsafat, dan Teologi
Pada dasarnya karya sastra merupakan ideologi, filsafat, dan teologi pengarang yang dituangkan dalam tulisan
yang berbentuk karya sastra. Ideologi yang dianutnya ia jabarkan melalui tokoh-tokoh dalam cerita maupun
tema yang dipilih. Filsafat dan teologi tentang dirinya dapat lihat melalui karya yang diciptakannya.
2.2.2.4 Semangat zaman, Atmosfer, Iklim Intelektual
Penciptaan suatu karya sastra sering kali dipengaruhi oleh pandangan tentang kesastraan pada suatu zaman yang
dapat dibuktikan dengan adanya perbedaan antara karya sastra yang diciptakan oleh angkatan yang
dikelompokkan dan dinamakan Angkatan Pujangga Baru dengan karya sastra dari pengarang yang
dikelompokkan dalam angkatan ’45.
Pandangan tentang kesastraan itu bukan hanya berpengaruh dalam perwujudan atau pemilihan gagasan yang

dituangkan pengarang serta pada cara menyampaikan gagasan, tapi juga akan menentukan bagaimana bentuk
karya sastra itu.
Pengertian Sosiologi dan Sosiologi Sastra
Bila ditinjau secara harfiah sosiologi dari kata ” Sozius”, bahasa latin, yang berarti ”kawan” dan ”Logos” yang
berarti ”Ilmu menurut aturan dan sistematis”. Menurut pengertian umum sosiologi yaitu ilmu yang mempelajari
tentang struktur sosial, ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang dikategorikan murni dan absah serta berusaha
memberikan pengertian-pengertian yang berkaitan dengan masyarakat.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi berusaha mencari tahu bagaimana masyarakat
dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga
sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemua itu merupakan
struktur sosial. Kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di
tempatnya masing-masing.
Ditinjau dari segi kemasyarakatan, sosiologi yaitu usaha mempertahankan sistem sosial dan penyesuaian diri
terhadap lingkungannya. Ini terlihat pada tataran yang dibentuk kemudian muncul sebagai lembaga hukum yang
di dalamnya terdapat norma-norma yang telah disepakati dan harus ditaati oleh masyarakat.
Secara singkat obyek sosiologi adalah masyarakat secara keseluruan, serta hubungan antara orang-orang di
dalam kelompok. Obyek dan materi itu meliputi gejala dan proses kehidupan dalam kelompok, proses
pembentukan masyarakat, dan perkembangan masyarakat, maksudnya karya sastra berarti ciptaan, tindakan
sosial masyarakat yang dilahirkan dari hasil pikiran pengarang yang selanjutnya dikomunikasikan kepada orang
lain.
Meskipun sudah jelas, bahwa objek utama studi sastra adalah karya sastra, persoalan yang muncul kemudian
adalah karya sastra yang mana dan seperti apa yang menjadi obyek studi sastra. Mengenai hal ini, levefere
dalam Suwondo (2003:5) menyatakan bahwa karya sastra yang dapat menjadi obyek studi sastra adalah karya
yang bernilai, artinya karya tersebut meskipun sederhana, tetapi mampu menguraikan berbagai pengalaman
manusia baik dalam dimensi perseorangan maupun dimensi sosial. Selain itu, Budi Darma (1995:59)
menjelaskan bahwa karya sastra yang pantas menjadi obyek studi sastra adalah karya sastra yang baik, dalam
arti bahwa karya tersebut inspiratif, sublim, menyodorkan pemikiran, membuka kesadaran, menambah wawasan
dan mempunyai daya gugah yang tinggi. Menurutnya, karya-karya yang demikian itu mampu menggugah
kritikus untuk menulis karangan yang lebih baik.
Satu hal yang menjadi persoalan dalam kaitannya dengan obyek studi sastra adalah sifat karya sastra itu sendiri.
Karya sastra adalah hasil kegiatan kreatifitas manusia yang berkaitan dengan imajinasi, intuisi, dan abstaksi
kehidupan, karya sastra mempergunakan bahasa sebagai mediumnya sehingga studi sastra dan linguistik
berkaitan erat (Culler, 1982:2) tetapi studi utama dari studi sastra bukan medium ekspresi bahasanya, melainkan
kehidupan yang sudah terabstraksikan dalam karya sastra. Oleh karena itu, dalam studi ilmiah sastra, karya
sastra sebagai studi memiliki karakteristik tersendiri yang khas berbeda dengan obyek ilmu-ilmu lain.
Dari uraian di atas, jelas bahwa lagu dan hasil kesusastraan lainya erat hubungannya dengan kehidupan sosial
yang dipelajari dalam sosiologi. Dalam hubungan tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiologi merupakan
penjelasan yang bermanfaat terhadap sastra. Dengan kata lain pemahaman tentang sastra belum lengkap dan
sempurna, yang masih perlu dijelaskan melalui dimensi-dimensi lain, termasuk dimensi sosial yang terdapat
dalam sosiologi.
Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, berikut ini dikemukakan beberapa pandangan dan pendapat tentang
sosiologi dan sosiologi sastra menurut para ahli dan tokoh sastra. Menurut Soekanto (1990:16) secara singkat
dikemukakan bahwa sosiologi mempelajari masyarakat dan keseluruhannya dan hubungan-hubungan antara
orang-orang dalam masyarakat. Sedangkan menurut Pitirim Sorokin (dalam Soekanto, 1990:20) bahwa
sosiologi sastra adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara gejala-gejala sosial (misalnya,
antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat
dengan politik), hubungan timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non sosial, dan ciri-ciri umum semua
jenis gejala sosial.
Soemardjo dan Sumardi (1964:13) mengatakan sosiologi adalah ilmu yang mempelajri stuktur sosial yaitu
keselutuhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma sosial), lembaga
sosial, kelompok-kelompok serta lapisan sosial. Sedangkan proses sosial yaitu pengaruh timbal balik antar
berbagai segi kehidupan dalam masyarakat, misalnya antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan politik,
hukum dengan agama dan sebagainya. Sedangkan Swngewood (dalam Farux, 1994:1) mendefinisikan sosiologi
sebagai study ilmiah dan obyektif mengenai manusia dalam masyarakat, study mengenai lembaga-lembaga dan
proses sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana
masyarakat itu bertahan hidup. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa sosiologi adalah telaah objektif dan
ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah lembaga masyarakat dan proses sosial (Damono, 1978:6).

Menurut Damono (1978:2) sosiologi adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah
tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga masyarakat dan proses sosial. Hardjana (1994:74)
berpendapat bahwa pembahasan secara sosiologis dapat mengembangkan ruangan yang lebih jauh lagi yakni
kecenderunganuntuk menafsirkan tokoh-tokoh khayal dengan lingkungannya sebagai identik tidak lain dan tidak
bukan adalah mewakili tokoh dalam suatu kelompok sosial tertentu dan lingkungan hidup kelompok tersebut.
Menurut Semi (1989:52) yang dimaksud dengan sosiologi sastra adalah suatu telaah yang obyektif dan ilmiah
tentang manusia dalam masyarakat dan tentang kehidupan sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang
bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang sedangkan menurut Prof Awang Saleh (dalam Semi,
1989:53) bahwa sosiologi bersifat kognitif sedangkan sastra bersifat afektif. Berbeda halnya dengan pendapat
Wellek dan Werren (dalam Semi,1989:53) yang menyatakat bahwa sosiologi sastra adalah telaah sosiologis
terhadap karya sastra. Telaah ini meliputi tiga klasifikasi yaitu: (a) Sosiologi pengarang yakni
mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi, politik dan sebagainya yang menyangkut pengarang, (b)
Sosiologi karya sastra, yakni memasalahkan tentang suatu karya yang menjadi pokok sastra tersebut dan apa
tujuan atau amanat yang hendak disampaikan, (c) Sosiologi sastra, yang memasalahkan tentang pembaca dan
pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Ian Watt (dalam Farux, 1994:4) mengemukakan tiga pendekatan sosiologi sastra yang berbeda, yakni: pertam
konteks pengarang, yang berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan
masyarakat pembaca, kedua sastra sebagai cermin masyarakat, sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat
pada waktu karya sastra itu ditulis, sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat.
Ketiga, fungsi sosial sastra, dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian: (a) Sejauh mana sastra
dapat berfungsi sebagai perombak masyarakat, (b) sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja
dan (c) sejauh mana terjadi sintesis antara kenungkinan a dan b di atas.
Secara epistimologi dapat dikatakan bahwa tidak mungkin membangun suatu sosiologi sastra sebagai
pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan yang mempunyai lingkup
yang luas, beragam dan rumit yang menyangkut tentang pengarang, hasil karya dan pembacanya (Semi,
1989:54).
Suatu masyarakat tertentu yang menghidupi seorang pengarang, dengan sendirinya akan melahirkan jenis sastra
dan jenis karya tertentu pula. Kecenderungan ini didasarkan atas adanya suatu asumsi bahwa tata
kemasyarakatan bersifat normative, maksudnya mengandung unsur-unsur pengaruh yang mau tidak mau harus
dipatuhi, sehingga hubungan antar manusia ditentukan atau paling sedikit dipengaruhi oleh tata kemasyarakatan
tersebut. Dengan demikian, pandangan hidup, sikap, dan niali-nilai termasuk kebutuhan-kebutuhan seseorang,
termasuk pengarang ditinjau dari sumber tata k