Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Kelainan Kulit (Dermatosis) pada Pekerja Pencuci Mobil di Kelurahan Pangkalan Masyhur Kota Medan Tahun 2015
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kesehatan Kerja
Menurut Undang-Undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960, BAB I
pasal 2, Kesehatan kerja adalah suatu kondisi kesehatan yang bertujuan agar
masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik
jasmani, rohani, maupun sosial, dengan usaha pencegahan dan pengobatan
terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan dan
lingkungan kerja maupun penyakit umum.
2.2
Penyakit Akibat Kerja
Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja. PAK dapat dicegah, dan berat ringannya
penyakit yang disebabkan pekerjaan tergantung dari jenis dan tingkat penyakitnya
(Effendy, 1998).
Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor-faktor
yang berhubungan dengan pekerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
status kesehatan kerja dari masyarakat pekerja bukan hanya dipengaruhi oleh
bahaya-bahaya kesehatan ditempat kerja dan lingkungan kerja, tetapi juga faktorfaktor pelayanan kesehatan kerja, perilaku kerja serta faktor-faktor lainnya
(Depkes RI, 1992).
Pada prinsipnya penyebab terjadinya PAK sama dengan penyebab
penyakit lainnya yaitu tidak adanya keseimbangan antara host (manusia), agent
(penyebab), dengan environment (lingkungan).
7
Universitas Sumatera Utara
8
2.3
Penyakit Kulit Akibat Kerja
Penyakit kulit akibat kerja atau Occupational Dermatitis adalah segala
kelainan pada kulit yang diakibatkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
Penyakit ini merupakan 50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja, sebagian besar
disebabkan karena pekerja kontak dengan bahan-bahan yang dipergunakan, diolah
atau dihasilkan oleh pekerjaan itu (Suma’mur, 2014).
Penyebabnya dapat digolongkan atas:
a.
Faktor Mekanik
Gesekan, tekanan trauma, menyebabkan hilangnya barrier sehingga
memudahkan terjadinya sekunder infeksi. Penekanan kronis menimbulkan
penebalan kulit seperti pada kuli-kuli bangunan dan pelabuhan.
b.
Faktor Fisik
1. Suhu tinggi di tempat kerja dapat menyebabkan miliara, combustion.
2. Suhu rendah menyebabkan chillblains, trenchfoot, frostbite.
3. Kelembaban terlalu rendah menyebabkan kulit dan selaput lendir saluran
pernafasan menjadi kering dan pecah-pecah sehingga dapat terjadi
perdarahan pada kulit dan selaput lendir.
4. Radiasi elektromagnetik non ionisasi seperti ultraviolet dan infra merah.
5. Kelembaban yang menyebabkan kulit menjadi basah, hal ini dapat
menyebabkan malerasi, paronychia dan penyakit jamur.
6. Kecepatan aliran udara yang lambat menyebabkan kemungkinan kontak
dengan bahan kimia dalam bentuk gas, uap, asap, kabut menjadi lebih
besar.
Universitas Sumatera Utara
9
c.
Faktor Biologi
Bakteri, virus, jamur, serangga, kutu, cacing menyebabkan penyakit pada
karyawan pelabuhan, rumah potong, pertambangan, peternakan, tukang cuci dan
lain-lain.
d.
Faktor Kimia (penyebab terbanyak)
Apabila kulit terpapar dengan bahan kimia dapat terjadi kelainan kulit
berupa dermatitis kontak iritasi atau dermatitis kontak alergi.
Faktor penyebab terbanyak adalah agen kimia yang terdiri dari 4 kategori:
1.
Iritan primer-asam, basa, pelarut lemak, deterjen, garam-garam logam
(arsen, air raksa, dan lain-lain).
2.
Sensitizer ; logam dan garam-garamnya (kromium, nikel, kobal, dan lain-
lain).
3.
Agen-agen aknegenik-naftalen dan bifenil klor, minyak mineral, dan lainlain.
4.
Photosensitizer -antrasen, pitch, devirate asam benzoate, hidrokarbon
aromatic, pewarna akridin, dan lain-lain.
2.4
Dermatosis Akibat Kerja
2.4.1 Definisi
Dermatosis akibat kerja adalah kelainan kulit yang disebabkan oleh
pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Istilah lain untuk dermatosis akibat kerja
adalah dermatosiss atau penyakit kulit yang timbul karena hubungan kerja.
Penyakit tersebut timbul pada waktu tenaga kerja bekerja melakukan pekerjaan
atau disebabkan oleh faktor-faktor yang berada pada lingkungan kerja.
Universitas Sumatera Utara
10
Terminologi dermatosis lebih tepat dari pada penggunaan kata dermatitis, sebab
kelainan kulit akibat kerja tidak selalu berupa suatu peradangan (infeksi),
melainkan juga tumor atau alergi atau rangsangan fisik dan lainnya dapat menjadi
penyebab penyakit tersebut. Jadi penamaannya yang benar bukan dermatitis
akibat kerja, karena dermatitis akibat kerja hanya merupakan salah satu aspek saja
dari dermatosis akibat kerja. Selain itu dapat pula dipergunakan istilah kelainan
kulit akibat kerja. Persentasi dermatosis akibat kerja dari seluruh penyakit akibat
kerja menduduki porsi tertinggi sekitar 50-60 %, maka dari itu penyakit ini pada
tempatnya mendapat perhatian yang proporsional. Selain prevalensi yang tinggi,
dermatosis akibat kerja yang kelainannya biasanya terdapat pada lengan, tangan
dan jari sangat mengganggu penderita melakukan pekerjaan sehingga sangat
berpengaruh negatif terhadap produktivitas kerjanya. Berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, terdapat 2 (dua) jenis kelompok penyakit kulit
akibat kerja, yaitu: 1.) Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab
fisis, kimiawi atau biologis, dan 2.) Penyakit kulit epitelioma primer yang
disebabkan
oleh
ter,
pic,
bitumen,
minyak
mineral,
antrasen
atau
persenyawaannya, produk atau residu dari zat tersebut.
2.4.2
Faktor Penyebab
Penyebab dermatosis akibat kerja dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Faktor fisis, yaitu tekanan, tegangan, gesekan, kelembaban, panas, suhu
dingin, sinar matahari, sinar X, dan sinar elektromagnetis lainnya;
2. Bahan yang berasal dari tanaman atau tumbuhan, yaitu daun, ranting,
kayu, akar, umbi, bunga, getah, debu dan lainnya;
Universitas Sumatera Utara
11
3. Mahluk hidup, yaitu bakteri, virus, jamur, cacing, serangga, dan kutu dan
sejenisnya serta hewan lain dan bahan yang berasal dari padanya;
4. Zat atau bahan kimia, yaitu asam dan garam zat kimia anorganis,
persenyawaan kimia organis hidrokarbon, oli, ter, zat pewarna dan lainnya.
Dari semua penyebab itu faktor kimiawi adalah yang terpenting, oleh
karena zat dan bahan kimia banyak digunakan pada proses produksi dalam
berbagai industri. Ada dua mekanisme zat atau bahan kimia menimbulkan
dermatosis, yaitu, pertama, dengan jalan perangsangan primer (primary irritant),
penyebabnya disebut iritan primer, dan, kedua, melalui sensitisasi dan
penyebabnya disebut pemeka (sensitizer ). Iritan primer mengadakan rangsangan
kepada kulit, dengan jalan melarutkan lemak kulit, mengambil air dari lapisan
kulit, mengoksidasi dan atau mereduksi susunan kimia kulit, sehingga
keseimbangan kulit terganggu dan akibatnya timbul dermatosis. Sensitisasi oleh
zat kimia pemeka biasanya disebabkan oleh zat kimia organis dengan struktur
molekul sedemikian rupa sehingga dapat bergabung dengan zat putih telur untuk
membentuk antigen.
Faktor kimiawi sebagai penyebab dermatosis akibat kerja dapat berupa zat
atau bahan kimia perangsang primer (iritan) atau pemeka (sensitizer ). Perangsang
primer adalah zat atau bahan kimia yang menimbulkan dermatosis oleh efeknya
yang langsung kepada kulit normal di tempat terjadinya kontak zat atau bahan
tersebut dengan kulit untuk kuantitas dan kadar zat atau bahan dimaksud yang
cukup serta untuk waktu yang cukup lama pula. Pemeka kulit adalah zat atau
bahan kimia yang tidak usah menimbulkan perubahan pada kulit ketika
Universitas Sumatera Utara
12
berlangsungnya kontak pertama dengan kulit, tetapi menyebabkan efek khas di
kulit tempat terjadinya kontak maupun pada tempat lain setelah selang waktu 5
atau 7 hari sejak kontak yang pertama.
Faktor
penyebab
fisis-mekanis
tekanan,
tegangan
atau
gesekan
menimbulkan dermatosis akibat kerja dengan terjadinya kerusakan langsung
kepada kulit. Kerusakan demikian adalah kelainan sel atau jaringan kulit.
Dermatosis akibat kerja yang berupa kanker kulit timbul melalui patogenesis
(proses terjadinya sakit) penyakit kanker yaitu rangsangan kronis dan sifat
karsinogenisitas suatu zat atau bahan kimia. Bakteri, virus, jamur, dll
menyebabkan dermatosis akibat kerja melalui mekanisme peradangan (infeksi)
yang tanda-tandanya meliputi warna merah di kulit (rubor ), panas (color ), sakit
(dolor ), dan kelainan fungsi (functio laesa ). Infestasi parasit adalah hidup atau
menembusnya parasit di kulit yang menyebabkan iritasi dan kerusakan kulit.
2.4.3
Jenis Menurut Pekerjaan
Sebagaimana penyakit akibat kerja pada umumnya, dermatosis akibat
kerja pun sering sangat khas menurut jenis pekerjaan dan lingkungan kerja.
Penyakit kulit karena antraks (anthrax) sering terdapat pada pekerja yang
mengolah bahan dari hewan misalnya pada penyamakan kulit. Penyakit jamur
sporotrikhosis ditemukan khusus pada pekerja pemelihara tanaman bunga, oleh
karena jamur penyebab sakit tersebut biasanya hidup pada rumpun bunga. Pekerja
bengkel badannya selalu berlumur oli dan gemuk biasanya menderita dermatitisoli (oil dermatitis) yang sebetulnya penamaan penyakit seperti itu tidak tepat oleh
karena etiologi penyakitnya bukan infeksi melainkan akibat pengaruh oli dan
Universitas Sumatera Utara
13
gemuk. Tenaga kerja yang selalu kontak dengan hasil pertanian dan perkebunan
yang menjadi tempat bersarangnya kutu, misalnya kopra atau biji-bijian, akan
menderita dermatosis yang penyebabnya adalah kutu. Pembalsem mayat yang
menggunakan formaldehida untuk keperluan pekerjaannya sering menderita
dermatosis sebagai akibat formaldehida yang merupakan zat kimia organis sangat
reaktif. Pekerja pabrik semen atau pekerja bangunan yang lengan, tangan dan
jarinya sering kontak dengan semen dapat menderita dermatosis akibat kerja
dengan kulit lengan, tangan dan jari yang keriput kering, selaput tanduk kulit
menipis dan di sana-sini terlihat infeksi sekunder. Selain itu pekerja yang kulitnya
sering kontak dengan semen mungkin pula peka terhadap senyawa krom
heksavalen kandungan semen, sehingga menderita dermatosis akibat kerja yang
patogenesisnya adalah sensitisasi. Borok krom terjadi pada pekerja yang
menggunakan kromat dalam melakukan pekerjaannya. Ter, pic, bitumen, minyak
mineral, antrasen atau persenyawaannya, produk atau residu dari zat tersebut
menyebabkan penyakit epitelioma primer yaitu tumor jinak kulit pada tenaga
kerja yang terpapar kepada zat-zat kimia karsinogenis tersebut. Jadi sesungguhnya
tidak sulit untuk memperkirakan penyakit kulit apa yang mungkin timbul pada
pekerja jika diketahui jenis pekerjaan dan keadaan lingkungan kerjanya.
2.4.4
Pencegahan
Sebagaimana berlaku bagi penyakit akibat kerja pada umumnya, maka
bagi dermatosis akibat kerja pun pencegahan merupakan upaya yang paling
penting dan jauh lebih berarti dari pada pengobatan. Benar bahwa terapi
simptomatis cukup membantu, namun faedahnya hanya bersifat sementara dan
Universitas Sumatera Utara
14
tidak mungkin meraih kesembuhan sepenuhnya, maka dari itu satu-satunya upaya
yang akan berhasil adalah meniadakan faktor penyebab dermatosis akibat kerja
dari pekerjaan dan lingkungan kerja dan menghilangkan seluruh risiko tenaga
kerja kontak kulit dengan faktor penyebab yang bersangkutan. Penggunaan
pakaian kerja dan alat pelindung diri adalah salah satu bentuk upaya preventif.
Demikian pula adanya kepatuhan menjalankan prosedur kerja melalui pendidikan
dan pelatihan juga merupakan suatu pendekatan yang baik. Memindahkan
penderita dari pekerjaan dan lingkungan kerja lain yang tidak berbahaya bagi kulit
yang bersangkutan merupakan upaya terakhir dan hal itu biasanya tidak mudah
dilaksanakan dan seringkali menimbulkan problema lain.
Dermatosis akibat kerja selalu dapat dicegah dengan memakai cara-cara
pencegahan yang telah diuraikan. Selain cara-cara umum itu, perlu diperhatikan
masalah kebersihan perseorangan (higiene pribadi) dan sanitasi lingkungan kerja
serta pemeliharaan ketatarumahtanggaan perusahaan yang baik. Kebersihan
perseorangan misalnya cuci tangan, mandi sebelum pulang kerja, pakaian bersih
dan berganti pakaian tiap hari, alat pelindung diri yang bersih dan lain-lain.
Kebersihan lingkungan dan pemeliharaan ketatarumahtanggan perusahaan
meliputi pembuangan air bekas dan sampah industri yang memenuhi syarat
higiene, keselamatan dan kesehatan, pembersihan debu, penerapan proses
produksi yang tidak menimbulkan pencemaran udara dan juga permukaan, cara
sehat dan selamat penimbunan dan penyimpanan barang dan lainnya.
Diagnosis dini sangat perlu dalam upaya penanggulangan dermatosis
akibat kerja, sebab dengan melakukan diagnosis dermatosis akibat kerja seawal
Universitas Sumatera Utara
15
mungkin dapat dilaksanakan upaya preventif yang cepat dan tepat serta
perlindungan kesehatan pada penderita dapat sesegera mungkin diselenggarakan.
2.5
Dermatitis Kontak
2.5.1
Definisi Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/subtansi
yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis
kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun
kronis. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi
kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya,
dermatitis kontak alergik terjadi pada seorang yang telah mengalami sensitisasi
terhadap suatu alergen. Menetapkan penyebab dermatitis kontak tidak selalu
mudah dikarenakan banyak sekali kemungkinan yang ada. Selain itu banyak yang
tidak tahu atau menyadari seluruh zat-zat kimia yang bersentuhan dengan kulit
mereka (Djuanda dan Sularsito, 2011).
Smeltzer dan Bare dalam Astrianda (2012) juga mengatakan dermatitis
kontak merupakan reaksi inflamasi kulit terhadap unsur-unsur fisik, kimia yang
berulang-ulang. Dermatitis kontak bisa berupa tipe iritan-primer dimana reaksi
non-alergik akibat pajanan terhadap substansi iritatif, atau tipe alergik (dermatitis
kontak alergik) yang disebabkan oleh pajanan orang yang sensitif terhadap
alergen kontak. Reaksi pertama dari dermatitis kontak mencakup rasa gatal,
terbakar, eritema (kemerahan) yang segera diikuti oleh gejala edema (bengkak),
papula, vesikel serta perembasan cairan atau secret. Sedangkan pada fase subakut,
perubahan vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi dan berubah menjadi
Universitas Sumatera Utara
16
pembentukan krusta, pengeringan, pembentukan fisura, serta pengelupasan kulit.
Jika terjadi reaksi yang berulang-ulang atau bila pasien terus-menerus menggaruk
kulitnya, penebalan kulit (likenifikasi) dan pigmentasi (perubahan warna) akan
terjadi.
2.5.2
Jenis Dermatitis Kontak
Terdapat dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan
dermatitis kontak alergik. Perbedaan prinsip antar keduanya yaitu dermatitis
kontak iritan terjadi karena adanya penurunan kemampuan kulit dalam melakukan
regenerasi sehingga mudah teriritasi oleh bahan-bahan tertentu. Penurunan
kemampuan ini dipengaruhi oleh selaput tanduk dan kandungan air pada sel
tanduk tersebut. Sementara pada dermatitis kontak alergik, paparan bahan kimia
menimbulkan rangsangan tertentu pada imunitas tubuh. Rangsangan ini akan
menyebabkan reaksi hipersensitivitas dan peradangan kulit disini hanya terjadi
pada seseorang yang mempunyai sifat hipersensitif (mudah terkena alergi). Kedua
bentuk dermatitis ini sulit dibedakan satu sama lain, sehingga memerlukan
pemeriksaan medis yang spesifik untuk membedakan keduanya.
1.
Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan merupakan peradangan kulit akibat kontak
lansung dengan bahan yang menyebabkan iritasi. Dermatitis jenis ini merupakan
hasil reaksi non-imunologis. Dermatitis yang disebabkan oleh substansi iritan
yang kuat, seperti asam dan basa konsentrasi tinggi, dapat menyebabkan
dermatitis kontak iritan akut, tetapi bila disebabkan oleh substansi iritan yang
lemah seperti deterjen dan air, manifestasinya sebagai dermatitis iritan kronis.
Universitas Sumatera Utara
17
Dermatitis kontak akibat iritasi merupakan jenis yang paling umum dijumpai
diantara penyakit kulit akibat kerja lainnya, meliputi kira-kira dua pertiga kasus
penyakit kulit akibat kerja (Harrianto, 2013).
Hampir tiga perempat dermatitis akibat kerja tergolong jenis ini, iritan
menghasilkan efek langsung pada kulit yang kontak dengannya dan efek akan
lebih bergantung pada dosis dan lama pajanan dibandingkan dengan reaksi apapun
dari seseorang (Harrington, 2003).
Penyebab munculnya dermatitis ini ialah bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan
kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi
bahan tersebut, dan vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor lain yang
dimaksud yaitu: lama kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang, adanya
oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma
fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan (Djuanda dan Sularsito,
2011).
Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan
ketebalan kulit diberbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia
(anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi); ras (kulit hitam
lebih tahan daripada kulit putih); jenis kelamin (insidens DKI lebih banyak pada
wanita); penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang
terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik (Djuanda dan
Sularsito, 2011).
Universitas Sumatera Utara
18
2.
Dermatitis Kontak Alergik
Dermatitis kontak alergi adalah suatu proses peradangan kulit akibat
kontak dengan substansi eksternal, tetapi berbeda dengan dermatitis kontak akibat
iritasi, kelainan kulit ini diakibatkan oleh suatu proses immunologis. Tidak seperti
dermatitis kontak akibat iritasi, kelainan kulit ini tidak menyebabkan kerusakan
langsung pada lapisan korneum kulit. Sebelum individu menjadi sensitif pada
suatu alergen, ia harus mengalami beberapa kali kontak dengan substansi alergen
tersebut terlebih dahulu (Harrianto, 2013).
Dermatitis kontak alergik merupakan 15-20% dari semua dermatitis akibat
kerja. Respon biasanya spesifik untuk satu bahan, tetapi biasanya tertunda satu
minggu atau lebih setelah kontak. Episode sensitisasi pertama mungkin
memerlukan waktu beberapa jam, tetapi reaksi berikutnya dapat tercetus oleh
pemajanan yang sangat singkat (Harrington, 2005).
Djuanda dan Sularsito (2011) mengemukakan berbagai faktor yang
berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis
perunit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, suhu dan kelembaban
lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit
pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status
imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari).
2.5.3
Gambaran Klinis Dermatitis Kontak
Penderita umumnya mengeluh gatal, kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Dermatitis kontak alergik umumnya
mempunyai gambaran klinis dermatitis, yaitu terdapat efloresensi kulit yang
Universitas Sumatera Utara
19
bersifat polimorf dan berbatas tegas. Dermatitis iritan umumnya mempunyai ruam
kulit yang lebih bersifat monomorf dan berbatas lebih tegas dibandingkan
dermatitis kontak alergik.
1.
Fase Akut
Pada dermatitis kontak iritan akut, satu kali kontak yang pendek dengan
suatu bahan kimiawi kadang-kadang sudah cukup untuk mencetuskan reaksi
iritan. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh zat alkali atau asam ataupun oleh
deterjen. Jika lemah maka reaksinya akan menghilang secara spontan dalam
waktu singkat. Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan yang terutama terjadi
ketika bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat iritan dalam konsentrasi yang
cukup tinggi.
Pada dermatitis kontak alergik akut, kelainan kulit umumnya muncul 2448 jam setelah melalui proses sensitisasi. Derajat kelainan kulit yang timbul
bervariasi, ada yang ringan dan ada pula yang berat. Pada yang ringan hanya
berupa eritema (kemerahan) dan edema (bengkak), sedangkan pada yang berat
selain eritema dan edema disertai pula vesikel atau bula (tonjolan berisi cairan)
yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi cairan. Lesi cenderung menyebar
dan batasnya kurang jelas. Dalam fase ini keluhan subyektif berupa gatal
(Djuanda dan Sularsito, 2011).
2.
Fase Kronis
Pada dermatitis kontak iritan kronis, disebabkan oleh kontak dengan iritan
lemah yang berulang-ulang, dan bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai
macam faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
20
dermatitis kontak iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu
untuk menyebabkan dermatitis kontak iritan.
Pada dermatitis kontak alergik kronis merupakan fase kelanjutan dari fase
akut yang akan hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung
simetris, batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenfikasi, papula, skuama,
terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau eksklorias, krusta serta eritema
ringan. Walaupun bahan yang dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis ini
sulit tumbuh spontan oleh karena umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang
tidak dikenal (Djuanda dan Sularsito, 2011).
Berbagai lokasi terjadinya dermatitis kontak menurut Djuanda dan
Sularsito (2011)
1.
Tangan
Kejadian dermatitis kontak iritan maupun alergik paling sering di tangan,
mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan
untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Penyakit kulit akibat kerja, sepertiga atau
lebih mengenai tangan. Tidak jarang ditemukan riwayat atopi pada penderita.
Pada pekerjaan yang basah, misalnya memasak makanan, mencuci pakaian,
pengatur rambut di salon, angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi.
Contoh bahan yang dapat menimbulkan dermatitis tangan, misalnya
deterjen, antiseptik, getah sayuran, semen, dan pestisida.
Universitas Sumatera Utara
21
2.
Lengan
Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan
(nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di ketiak dapat
disebabkan oleh deodoran, anti perspiran, formaldehid yang ada dipakaian.
3.
Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik,
spons (karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata), semua alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka,
kelopak mata, dan leher pada waktu menyeka keringat. Bila di bibir atau
sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstick, pasta gigi, getah buah-buahan.
Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, maskara,
eye shadow, obat tetes mata, salap mata.
4.
Telinga
Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak
pada telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kacamata, cat rambut,
hearing-aids, gagang telepon.
5.
Leher
Penyebab kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari),
parfum, alergen di udara, zat warna pakaian.
6.
Badan
Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna,
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian.
Universitas Sumatera Utara
22
7.
Genitalia
Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, pembalut wanita,
alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Bila mengenai
daerah anal, mungkin disebabkan oleh obat antihemoroid.
8.
Paha dan tungkai bawah
Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci
(nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada kaki dapat
disebabkan oleh deterjen, bahan pembersih lantai.
9.
Dermatitis kontak sistemik
Terjadi pada individu yang telah tersensitisasi secara topikal oleh suatu
alergen, selanjutnya terpajan secara sistemik, kemudian timbul reaksi terbatas
pada tempat tersebut. Walaupun jarang terjadi, reaksi dapat meluas bahkan sampai
eritroderma. Penyebabnya, misalnya nikel, formaldehid, balsam peru.
2.6
Pencucian Mobil
Kegiatan cuci-mencuci merupakan hal yang tidak bisa lepas dari
kehidupan sehari-hari. Namun, akibat perubahan gaya hidup masyarakat yang
lebih menyukai segala sesuatunya menjadi praktis, akhirnya masyarakat saat ini
lebih memilih mencucikan kendaraan mereka di tempat pencucian khusus
kendaraan. Selain banyak diminati oleh masyarakat dengan ritme kegiatan yang
tinggi dan masyarakat menengah keatas, ternyata banyak alasan mengapa lebih
memilih menggunakan jasa pencucian mobil, selain karena tidak punya waktu
lebih, keterbatasan tempat mencuci dan ketersediaan air yang tidak menentu,
ternyata juga turut mempengaruhi keputusan menggunakan jasa pencucian mobil.
Universitas Sumatera Utara
23
Apalagi di dukung oleh kecepatan pelayanan dan harga yang terjangkau membuat
masyarakat semakin tertarik (Kesuma, 2012).
Hal-hal tadi yang membuat peluang usaha pencucian mobil sangat
diminati. Bahkan saat ini banyak pelaku usaha yang sudah mengembangkan
potensi bisnis tersebut menjadi bisnis franchise. Mengingat minat konsumen akan
jasa car wash, menunjukan peningkatan yang cukup baik setiap tahunnya,
sehingga semakin terbukanya peluang bagi pengusaha baru untuk memulai usaha
pencucian mobil. Hasilnya, jasa pencucian mobil pun saat ini ada dimana-mana,
bahkan bisa dikatakan tiap keluruhan dapat ditemui jasa pencucian mobil
(Kesuma, 2012). Dengan banyaknya pengusaha jasa pencucian mobil, maka
semakin banyak masyarakat yang bekerja di pencucian mobil. Padahal dengan
menjadi pegawai pencucian mobil, maka orang tersebut memiliki risiko tinggi
terkena dermatitis kontak akibat kontak dengan bahan-bahan kimia yang
digunakan. Apalagi ditambah dengan tingginya jumlah konsumen, sehingga
intensitas kontak dengan paparan bahan kimia semakin sering terjadi, risiko pun
meningkat (Pratiwi, 2013).
Bahan-Bahan baku yang terdapat di dalam deterjen sabun pencuci mobil
(Kesuma, 2012)
1.
Bahan Aktif
Bahan aktif ini merupakan bahan inti dari deterjen sehingga bahan ini
harus ada dalam pembuatan deterjen. Secara kimia bahan kimia ini dapat berupa
Sodium Lauryl Sulfate (SLS). SLS dengan beberapa nama dagang dengan nama
texapone, Emal, luthensol, dan neopelex. Secara fungsional bahan mempunyai
Universitas Sumatera Utara
24
andil dalam meningkatkan daya bersih karena bekerja dengan cara menurukan
tegangan permukaan larutan sehingga dapat melarutkan minyak serta membentuk
mikro emulsi yang bisa menimbulkan busa. Ciri dari bahan aktif ini mempunyai
busa banyak dan bentuknya gel (pasta). Penggunaan SLS dalam jumlah berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya iritasi epidermis dan denaturasi rantai polipeptida
suatu molekul protein sehingga merubah dari suatu struktur rantai protein
(Winarno, 2002)
2.
Bahan pengisi
Bahan ini berfungsi sebagai bahan pengisi dari keseluruhan bahan baku.
Pemberian
bahan
pengisi
ini
dimaksudkan
untuk
memperbesar
atau
memperbanyak volume. Keberadaan bahan ini dalam deterjen semata-mata dilihat
dari aspek ekonomis. Bahan pengisi deterjen disini menggunakan sodium sulfate
(Na2SO4). Bahan lain sebagai pengisi deterjen dapat mengguanakan tetra sodium
pyroposphate dan sodium sitrat. Bahan ini berbentuk serbuk, berwarna putih dan
mudah larut dalam air.
3.
Bahan penunjang
Salah satu contoh bahan penunjang deterjen adalah soda abu (Na2CO3)
yang berbentuk serbuk putih. Bahan penunjang ini berfungsi sebagai
meningkatkan daya bersih. Keberadaan bahan ini dalam deterjen tidak boleh
terlalu banyak, sebab dapat menimbulkan efek panas pada tangan saat mencuci
pakaian. Bahan penunjang lainnya adalah Sodium Tripolyphosphate (STPP) yang
juga penyubur tanaman. Hal ini disebabkan oleh kandungan fosfat yang
merupakan salah satu unsur dalam jenis pupuk tertentu.
Universitas Sumatera Utara
25
4.
Bahan Tambahan (aditif)
Bahan tambahan ini sebenarnya tidak harus ada didalam pembuatan
deterjen. Namun demikian, produsen mencari hal-hal baru untuk mengangkat nilai
dari deterjen itu sendiri. Salah satu contoh bahan tambahan ini adalah
Carboxymethyl Cellulose (CMC). Bahan ini berbentuk serbuk putih yang
berfungsi mencegah kotoran kembali.
5.
Bahan Wangi
Keberadaan bahan wangi ini sangat penting keberadaannya. Parfum untuk
deterjen bentuknya cair kekuning-kuningan.
2.7
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Dermatosis Akibat
Kerja
1.
Usia
Usia merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari
individu. Usia secara epidemiologi merupakan bagian dari karakteristik host.
Menurut Cohen dalam Septiani (2012) kulit manusia mengalami degenerasi
seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan
menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini memudahkan bahan kimia untuk
menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi lebih mudah terkena dermatitis.
Djuanda dan Sularsito (2011) menyatakan bahwa pada anak usia dibawah 8 tahun
dan usia lanjut lebih mudah teriritasi bahan iritan.
Akan tetapi berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari
dan Utomo (2007) di PT Inti Pantja Press Industri yaitu dari 43 orang pekerja
terdapat 26 orang (60,5%) yang berusia ≤30 tahun terkena dermatitis kontak, hal
Universitas Sumatera Utara
26
ini menyimpulkan bahwa pekerja yang usianya lebih muda lebih rentan terkena
dermatitis kontak.
2.
Masa Kerja
Masa kerja penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang telah
terpajan dengan bahan kimia. Masa kerja mempengaruhi kejadian dermatitis
kontak akibat kerja, semakin lama masa kerja seseorang semakin sering terpajan
dan berkontak dengan bahan kimia (Erliana, 2008)
Menurut teori Cohen (1999) pekerja dengan masa kerja panjang dapat
dimungkinkan telah mengalami resistensi terhadap bahan kimia yang digunakan.
Resisitensi ini dikenal sebagai proses hardening yaitu kemampuan kulit yang
menjadi lebih tahan terhadap bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang terusmenerus. Pekerja dengan pengalaman akan lebih berhati-hati sehingga
kemungkinan terpajan bahan kimia lebih sedikit. Berbeda dengan pekerja dengan
masa kerja pendek, pekerja belum memiliki pengalaman yang cukup dalam
melakukan pekerjaannya dan masih rentan terhadap berbagai macam zat kimia.
Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Erliana (2008)
menunjukkan bahwa proporsi pekerja dengan masa kerja 6-9 tahun sebanyak
61,5% menderita dermatitis kontak dan masa kerja 1-5 tahun hanya 18,8% dan
hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan dengan masa kerja dengan
kejadian dermatitis kontak pada pekerja.
3.
Lama Kerja
Lama kerja merupakan jangka waktu pekerja berkontak dengan bahan
kimia dalam hitungan jam/hari. Menurut Cohen (1999), lama kerja mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
27
kejadian dermatitis kontak, karena semakin lama kontak dengan bahan kimia
maka akan semakin merusak sel kulit hingga kelapisan yang lebih dalam dan
resiko terjadinya dermatitis kontak akan semakin tinggi.
Penelitian Azhar dan Hananto (2011) pada petani rumput laut dapat
disimpulkan bahwa waktu kerja >8 jam perhari lebih berisiko dibanding dengan
waktu kerja
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kesehatan Kerja
Menurut Undang-Undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960, BAB I
pasal 2, Kesehatan kerja adalah suatu kondisi kesehatan yang bertujuan agar
masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik
jasmani, rohani, maupun sosial, dengan usaha pencegahan dan pengobatan
terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan dan
lingkungan kerja maupun penyakit umum.
2.2
Penyakit Akibat Kerja
Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja. PAK dapat dicegah, dan berat ringannya
penyakit yang disebabkan pekerjaan tergantung dari jenis dan tingkat penyakitnya
(Effendy, 1998).
Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor-faktor
yang berhubungan dengan pekerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
status kesehatan kerja dari masyarakat pekerja bukan hanya dipengaruhi oleh
bahaya-bahaya kesehatan ditempat kerja dan lingkungan kerja, tetapi juga faktorfaktor pelayanan kesehatan kerja, perilaku kerja serta faktor-faktor lainnya
(Depkes RI, 1992).
Pada prinsipnya penyebab terjadinya PAK sama dengan penyebab
penyakit lainnya yaitu tidak adanya keseimbangan antara host (manusia), agent
(penyebab), dengan environment (lingkungan).
7
Universitas Sumatera Utara
8
2.3
Penyakit Kulit Akibat Kerja
Penyakit kulit akibat kerja atau Occupational Dermatitis adalah segala
kelainan pada kulit yang diakibatkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
Penyakit ini merupakan 50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja, sebagian besar
disebabkan karena pekerja kontak dengan bahan-bahan yang dipergunakan, diolah
atau dihasilkan oleh pekerjaan itu (Suma’mur, 2014).
Penyebabnya dapat digolongkan atas:
a.
Faktor Mekanik
Gesekan, tekanan trauma, menyebabkan hilangnya barrier sehingga
memudahkan terjadinya sekunder infeksi. Penekanan kronis menimbulkan
penebalan kulit seperti pada kuli-kuli bangunan dan pelabuhan.
b.
Faktor Fisik
1. Suhu tinggi di tempat kerja dapat menyebabkan miliara, combustion.
2. Suhu rendah menyebabkan chillblains, trenchfoot, frostbite.
3. Kelembaban terlalu rendah menyebabkan kulit dan selaput lendir saluran
pernafasan menjadi kering dan pecah-pecah sehingga dapat terjadi
perdarahan pada kulit dan selaput lendir.
4. Radiasi elektromagnetik non ionisasi seperti ultraviolet dan infra merah.
5. Kelembaban yang menyebabkan kulit menjadi basah, hal ini dapat
menyebabkan malerasi, paronychia dan penyakit jamur.
6. Kecepatan aliran udara yang lambat menyebabkan kemungkinan kontak
dengan bahan kimia dalam bentuk gas, uap, asap, kabut menjadi lebih
besar.
Universitas Sumatera Utara
9
c.
Faktor Biologi
Bakteri, virus, jamur, serangga, kutu, cacing menyebabkan penyakit pada
karyawan pelabuhan, rumah potong, pertambangan, peternakan, tukang cuci dan
lain-lain.
d.
Faktor Kimia (penyebab terbanyak)
Apabila kulit terpapar dengan bahan kimia dapat terjadi kelainan kulit
berupa dermatitis kontak iritasi atau dermatitis kontak alergi.
Faktor penyebab terbanyak adalah agen kimia yang terdiri dari 4 kategori:
1.
Iritan primer-asam, basa, pelarut lemak, deterjen, garam-garam logam
(arsen, air raksa, dan lain-lain).
2.
Sensitizer ; logam dan garam-garamnya (kromium, nikel, kobal, dan lain-
lain).
3.
Agen-agen aknegenik-naftalen dan bifenil klor, minyak mineral, dan lainlain.
4.
Photosensitizer -antrasen, pitch, devirate asam benzoate, hidrokarbon
aromatic, pewarna akridin, dan lain-lain.
2.4
Dermatosis Akibat Kerja
2.4.1 Definisi
Dermatosis akibat kerja adalah kelainan kulit yang disebabkan oleh
pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Istilah lain untuk dermatosis akibat kerja
adalah dermatosiss atau penyakit kulit yang timbul karena hubungan kerja.
Penyakit tersebut timbul pada waktu tenaga kerja bekerja melakukan pekerjaan
atau disebabkan oleh faktor-faktor yang berada pada lingkungan kerja.
Universitas Sumatera Utara
10
Terminologi dermatosis lebih tepat dari pada penggunaan kata dermatitis, sebab
kelainan kulit akibat kerja tidak selalu berupa suatu peradangan (infeksi),
melainkan juga tumor atau alergi atau rangsangan fisik dan lainnya dapat menjadi
penyebab penyakit tersebut. Jadi penamaannya yang benar bukan dermatitis
akibat kerja, karena dermatitis akibat kerja hanya merupakan salah satu aspek saja
dari dermatosis akibat kerja. Selain itu dapat pula dipergunakan istilah kelainan
kulit akibat kerja. Persentasi dermatosis akibat kerja dari seluruh penyakit akibat
kerja menduduki porsi tertinggi sekitar 50-60 %, maka dari itu penyakit ini pada
tempatnya mendapat perhatian yang proporsional. Selain prevalensi yang tinggi,
dermatosis akibat kerja yang kelainannya biasanya terdapat pada lengan, tangan
dan jari sangat mengganggu penderita melakukan pekerjaan sehingga sangat
berpengaruh negatif terhadap produktivitas kerjanya. Berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, terdapat 2 (dua) jenis kelompok penyakit kulit
akibat kerja, yaitu: 1.) Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab
fisis, kimiawi atau biologis, dan 2.) Penyakit kulit epitelioma primer yang
disebabkan
oleh
ter,
pic,
bitumen,
minyak
mineral,
antrasen
atau
persenyawaannya, produk atau residu dari zat tersebut.
2.4.2
Faktor Penyebab
Penyebab dermatosis akibat kerja dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Faktor fisis, yaitu tekanan, tegangan, gesekan, kelembaban, panas, suhu
dingin, sinar matahari, sinar X, dan sinar elektromagnetis lainnya;
2. Bahan yang berasal dari tanaman atau tumbuhan, yaitu daun, ranting,
kayu, akar, umbi, bunga, getah, debu dan lainnya;
Universitas Sumatera Utara
11
3. Mahluk hidup, yaitu bakteri, virus, jamur, cacing, serangga, dan kutu dan
sejenisnya serta hewan lain dan bahan yang berasal dari padanya;
4. Zat atau bahan kimia, yaitu asam dan garam zat kimia anorganis,
persenyawaan kimia organis hidrokarbon, oli, ter, zat pewarna dan lainnya.
Dari semua penyebab itu faktor kimiawi adalah yang terpenting, oleh
karena zat dan bahan kimia banyak digunakan pada proses produksi dalam
berbagai industri. Ada dua mekanisme zat atau bahan kimia menimbulkan
dermatosis, yaitu, pertama, dengan jalan perangsangan primer (primary irritant),
penyebabnya disebut iritan primer, dan, kedua, melalui sensitisasi dan
penyebabnya disebut pemeka (sensitizer ). Iritan primer mengadakan rangsangan
kepada kulit, dengan jalan melarutkan lemak kulit, mengambil air dari lapisan
kulit, mengoksidasi dan atau mereduksi susunan kimia kulit, sehingga
keseimbangan kulit terganggu dan akibatnya timbul dermatosis. Sensitisasi oleh
zat kimia pemeka biasanya disebabkan oleh zat kimia organis dengan struktur
molekul sedemikian rupa sehingga dapat bergabung dengan zat putih telur untuk
membentuk antigen.
Faktor kimiawi sebagai penyebab dermatosis akibat kerja dapat berupa zat
atau bahan kimia perangsang primer (iritan) atau pemeka (sensitizer ). Perangsang
primer adalah zat atau bahan kimia yang menimbulkan dermatosis oleh efeknya
yang langsung kepada kulit normal di tempat terjadinya kontak zat atau bahan
tersebut dengan kulit untuk kuantitas dan kadar zat atau bahan dimaksud yang
cukup serta untuk waktu yang cukup lama pula. Pemeka kulit adalah zat atau
bahan kimia yang tidak usah menimbulkan perubahan pada kulit ketika
Universitas Sumatera Utara
12
berlangsungnya kontak pertama dengan kulit, tetapi menyebabkan efek khas di
kulit tempat terjadinya kontak maupun pada tempat lain setelah selang waktu 5
atau 7 hari sejak kontak yang pertama.
Faktor
penyebab
fisis-mekanis
tekanan,
tegangan
atau
gesekan
menimbulkan dermatosis akibat kerja dengan terjadinya kerusakan langsung
kepada kulit. Kerusakan demikian adalah kelainan sel atau jaringan kulit.
Dermatosis akibat kerja yang berupa kanker kulit timbul melalui patogenesis
(proses terjadinya sakit) penyakit kanker yaitu rangsangan kronis dan sifat
karsinogenisitas suatu zat atau bahan kimia. Bakteri, virus, jamur, dll
menyebabkan dermatosis akibat kerja melalui mekanisme peradangan (infeksi)
yang tanda-tandanya meliputi warna merah di kulit (rubor ), panas (color ), sakit
(dolor ), dan kelainan fungsi (functio laesa ). Infestasi parasit adalah hidup atau
menembusnya parasit di kulit yang menyebabkan iritasi dan kerusakan kulit.
2.4.3
Jenis Menurut Pekerjaan
Sebagaimana penyakit akibat kerja pada umumnya, dermatosis akibat
kerja pun sering sangat khas menurut jenis pekerjaan dan lingkungan kerja.
Penyakit kulit karena antraks (anthrax) sering terdapat pada pekerja yang
mengolah bahan dari hewan misalnya pada penyamakan kulit. Penyakit jamur
sporotrikhosis ditemukan khusus pada pekerja pemelihara tanaman bunga, oleh
karena jamur penyebab sakit tersebut biasanya hidup pada rumpun bunga. Pekerja
bengkel badannya selalu berlumur oli dan gemuk biasanya menderita dermatitisoli (oil dermatitis) yang sebetulnya penamaan penyakit seperti itu tidak tepat oleh
karena etiologi penyakitnya bukan infeksi melainkan akibat pengaruh oli dan
Universitas Sumatera Utara
13
gemuk. Tenaga kerja yang selalu kontak dengan hasil pertanian dan perkebunan
yang menjadi tempat bersarangnya kutu, misalnya kopra atau biji-bijian, akan
menderita dermatosis yang penyebabnya adalah kutu. Pembalsem mayat yang
menggunakan formaldehida untuk keperluan pekerjaannya sering menderita
dermatosis sebagai akibat formaldehida yang merupakan zat kimia organis sangat
reaktif. Pekerja pabrik semen atau pekerja bangunan yang lengan, tangan dan
jarinya sering kontak dengan semen dapat menderita dermatosis akibat kerja
dengan kulit lengan, tangan dan jari yang keriput kering, selaput tanduk kulit
menipis dan di sana-sini terlihat infeksi sekunder. Selain itu pekerja yang kulitnya
sering kontak dengan semen mungkin pula peka terhadap senyawa krom
heksavalen kandungan semen, sehingga menderita dermatosis akibat kerja yang
patogenesisnya adalah sensitisasi. Borok krom terjadi pada pekerja yang
menggunakan kromat dalam melakukan pekerjaannya. Ter, pic, bitumen, minyak
mineral, antrasen atau persenyawaannya, produk atau residu dari zat tersebut
menyebabkan penyakit epitelioma primer yaitu tumor jinak kulit pada tenaga
kerja yang terpapar kepada zat-zat kimia karsinogenis tersebut. Jadi sesungguhnya
tidak sulit untuk memperkirakan penyakit kulit apa yang mungkin timbul pada
pekerja jika diketahui jenis pekerjaan dan keadaan lingkungan kerjanya.
2.4.4
Pencegahan
Sebagaimana berlaku bagi penyakit akibat kerja pada umumnya, maka
bagi dermatosis akibat kerja pun pencegahan merupakan upaya yang paling
penting dan jauh lebih berarti dari pada pengobatan. Benar bahwa terapi
simptomatis cukup membantu, namun faedahnya hanya bersifat sementara dan
Universitas Sumatera Utara
14
tidak mungkin meraih kesembuhan sepenuhnya, maka dari itu satu-satunya upaya
yang akan berhasil adalah meniadakan faktor penyebab dermatosis akibat kerja
dari pekerjaan dan lingkungan kerja dan menghilangkan seluruh risiko tenaga
kerja kontak kulit dengan faktor penyebab yang bersangkutan. Penggunaan
pakaian kerja dan alat pelindung diri adalah salah satu bentuk upaya preventif.
Demikian pula adanya kepatuhan menjalankan prosedur kerja melalui pendidikan
dan pelatihan juga merupakan suatu pendekatan yang baik. Memindahkan
penderita dari pekerjaan dan lingkungan kerja lain yang tidak berbahaya bagi kulit
yang bersangkutan merupakan upaya terakhir dan hal itu biasanya tidak mudah
dilaksanakan dan seringkali menimbulkan problema lain.
Dermatosis akibat kerja selalu dapat dicegah dengan memakai cara-cara
pencegahan yang telah diuraikan. Selain cara-cara umum itu, perlu diperhatikan
masalah kebersihan perseorangan (higiene pribadi) dan sanitasi lingkungan kerja
serta pemeliharaan ketatarumahtanggaan perusahaan yang baik. Kebersihan
perseorangan misalnya cuci tangan, mandi sebelum pulang kerja, pakaian bersih
dan berganti pakaian tiap hari, alat pelindung diri yang bersih dan lain-lain.
Kebersihan lingkungan dan pemeliharaan ketatarumahtanggan perusahaan
meliputi pembuangan air bekas dan sampah industri yang memenuhi syarat
higiene, keselamatan dan kesehatan, pembersihan debu, penerapan proses
produksi yang tidak menimbulkan pencemaran udara dan juga permukaan, cara
sehat dan selamat penimbunan dan penyimpanan barang dan lainnya.
Diagnosis dini sangat perlu dalam upaya penanggulangan dermatosis
akibat kerja, sebab dengan melakukan diagnosis dermatosis akibat kerja seawal
Universitas Sumatera Utara
15
mungkin dapat dilaksanakan upaya preventif yang cepat dan tepat serta
perlindungan kesehatan pada penderita dapat sesegera mungkin diselenggarakan.
2.5
Dermatitis Kontak
2.5.1
Definisi Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/subtansi
yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis
kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun
kronis. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi
kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya,
dermatitis kontak alergik terjadi pada seorang yang telah mengalami sensitisasi
terhadap suatu alergen. Menetapkan penyebab dermatitis kontak tidak selalu
mudah dikarenakan banyak sekali kemungkinan yang ada. Selain itu banyak yang
tidak tahu atau menyadari seluruh zat-zat kimia yang bersentuhan dengan kulit
mereka (Djuanda dan Sularsito, 2011).
Smeltzer dan Bare dalam Astrianda (2012) juga mengatakan dermatitis
kontak merupakan reaksi inflamasi kulit terhadap unsur-unsur fisik, kimia yang
berulang-ulang. Dermatitis kontak bisa berupa tipe iritan-primer dimana reaksi
non-alergik akibat pajanan terhadap substansi iritatif, atau tipe alergik (dermatitis
kontak alergik) yang disebabkan oleh pajanan orang yang sensitif terhadap
alergen kontak. Reaksi pertama dari dermatitis kontak mencakup rasa gatal,
terbakar, eritema (kemerahan) yang segera diikuti oleh gejala edema (bengkak),
papula, vesikel serta perembasan cairan atau secret. Sedangkan pada fase subakut,
perubahan vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi dan berubah menjadi
Universitas Sumatera Utara
16
pembentukan krusta, pengeringan, pembentukan fisura, serta pengelupasan kulit.
Jika terjadi reaksi yang berulang-ulang atau bila pasien terus-menerus menggaruk
kulitnya, penebalan kulit (likenifikasi) dan pigmentasi (perubahan warna) akan
terjadi.
2.5.2
Jenis Dermatitis Kontak
Terdapat dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan
dermatitis kontak alergik. Perbedaan prinsip antar keduanya yaitu dermatitis
kontak iritan terjadi karena adanya penurunan kemampuan kulit dalam melakukan
regenerasi sehingga mudah teriritasi oleh bahan-bahan tertentu. Penurunan
kemampuan ini dipengaruhi oleh selaput tanduk dan kandungan air pada sel
tanduk tersebut. Sementara pada dermatitis kontak alergik, paparan bahan kimia
menimbulkan rangsangan tertentu pada imunitas tubuh. Rangsangan ini akan
menyebabkan reaksi hipersensitivitas dan peradangan kulit disini hanya terjadi
pada seseorang yang mempunyai sifat hipersensitif (mudah terkena alergi). Kedua
bentuk dermatitis ini sulit dibedakan satu sama lain, sehingga memerlukan
pemeriksaan medis yang spesifik untuk membedakan keduanya.
1.
Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan merupakan peradangan kulit akibat kontak
lansung dengan bahan yang menyebabkan iritasi. Dermatitis jenis ini merupakan
hasil reaksi non-imunologis. Dermatitis yang disebabkan oleh substansi iritan
yang kuat, seperti asam dan basa konsentrasi tinggi, dapat menyebabkan
dermatitis kontak iritan akut, tetapi bila disebabkan oleh substansi iritan yang
lemah seperti deterjen dan air, manifestasinya sebagai dermatitis iritan kronis.
Universitas Sumatera Utara
17
Dermatitis kontak akibat iritasi merupakan jenis yang paling umum dijumpai
diantara penyakit kulit akibat kerja lainnya, meliputi kira-kira dua pertiga kasus
penyakit kulit akibat kerja (Harrianto, 2013).
Hampir tiga perempat dermatitis akibat kerja tergolong jenis ini, iritan
menghasilkan efek langsung pada kulit yang kontak dengannya dan efek akan
lebih bergantung pada dosis dan lama pajanan dibandingkan dengan reaksi apapun
dari seseorang (Harrington, 2003).
Penyebab munculnya dermatitis ini ialah bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan
kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi
bahan tersebut, dan vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor lain yang
dimaksud yaitu: lama kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang, adanya
oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma
fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan (Djuanda dan Sularsito,
2011).
Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan
ketebalan kulit diberbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia
(anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi); ras (kulit hitam
lebih tahan daripada kulit putih); jenis kelamin (insidens DKI lebih banyak pada
wanita); penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang
terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik (Djuanda dan
Sularsito, 2011).
Universitas Sumatera Utara
18
2.
Dermatitis Kontak Alergik
Dermatitis kontak alergi adalah suatu proses peradangan kulit akibat
kontak dengan substansi eksternal, tetapi berbeda dengan dermatitis kontak akibat
iritasi, kelainan kulit ini diakibatkan oleh suatu proses immunologis. Tidak seperti
dermatitis kontak akibat iritasi, kelainan kulit ini tidak menyebabkan kerusakan
langsung pada lapisan korneum kulit. Sebelum individu menjadi sensitif pada
suatu alergen, ia harus mengalami beberapa kali kontak dengan substansi alergen
tersebut terlebih dahulu (Harrianto, 2013).
Dermatitis kontak alergik merupakan 15-20% dari semua dermatitis akibat
kerja. Respon biasanya spesifik untuk satu bahan, tetapi biasanya tertunda satu
minggu atau lebih setelah kontak. Episode sensitisasi pertama mungkin
memerlukan waktu beberapa jam, tetapi reaksi berikutnya dapat tercetus oleh
pemajanan yang sangat singkat (Harrington, 2005).
Djuanda dan Sularsito (2011) mengemukakan berbagai faktor yang
berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis
perunit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, suhu dan kelembaban
lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit
pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status
imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari).
2.5.3
Gambaran Klinis Dermatitis Kontak
Penderita umumnya mengeluh gatal, kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Dermatitis kontak alergik umumnya
mempunyai gambaran klinis dermatitis, yaitu terdapat efloresensi kulit yang
Universitas Sumatera Utara
19
bersifat polimorf dan berbatas tegas. Dermatitis iritan umumnya mempunyai ruam
kulit yang lebih bersifat monomorf dan berbatas lebih tegas dibandingkan
dermatitis kontak alergik.
1.
Fase Akut
Pada dermatitis kontak iritan akut, satu kali kontak yang pendek dengan
suatu bahan kimiawi kadang-kadang sudah cukup untuk mencetuskan reaksi
iritan. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh zat alkali atau asam ataupun oleh
deterjen. Jika lemah maka reaksinya akan menghilang secara spontan dalam
waktu singkat. Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan yang terutama terjadi
ketika bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat iritan dalam konsentrasi yang
cukup tinggi.
Pada dermatitis kontak alergik akut, kelainan kulit umumnya muncul 2448 jam setelah melalui proses sensitisasi. Derajat kelainan kulit yang timbul
bervariasi, ada yang ringan dan ada pula yang berat. Pada yang ringan hanya
berupa eritema (kemerahan) dan edema (bengkak), sedangkan pada yang berat
selain eritema dan edema disertai pula vesikel atau bula (tonjolan berisi cairan)
yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi cairan. Lesi cenderung menyebar
dan batasnya kurang jelas. Dalam fase ini keluhan subyektif berupa gatal
(Djuanda dan Sularsito, 2011).
2.
Fase Kronis
Pada dermatitis kontak iritan kronis, disebabkan oleh kontak dengan iritan
lemah yang berulang-ulang, dan bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai
macam faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
20
dermatitis kontak iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu
untuk menyebabkan dermatitis kontak iritan.
Pada dermatitis kontak alergik kronis merupakan fase kelanjutan dari fase
akut yang akan hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung
simetris, batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenfikasi, papula, skuama,
terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau eksklorias, krusta serta eritema
ringan. Walaupun bahan yang dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis ini
sulit tumbuh spontan oleh karena umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang
tidak dikenal (Djuanda dan Sularsito, 2011).
Berbagai lokasi terjadinya dermatitis kontak menurut Djuanda dan
Sularsito (2011)
1.
Tangan
Kejadian dermatitis kontak iritan maupun alergik paling sering di tangan,
mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan
untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Penyakit kulit akibat kerja, sepertiga atau
lebih mengenai tangan. Tidak jarang ditemukan riwayat atopi pada penderita.
Pada pekerjaan yang basah, misalnya memasak makanan, mencuci pakaian,
pengatur rambut di salon, angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi.
Contoh bahan yang dapat menimbulkan dermatitis tangan, misalnya
deterjen, antiseptik, getah sayuran, semen, dan pestisida.
Universitas Sumatera Utara
21
2.
Lengan
Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan
(nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di ketiak dapat
disebabkan oleh deodoran, anti perspiran, formaldehid yang ada dipakaian.
3.
Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik,
spons (karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata), semua alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka,
kelopak mata, dan leher pada waktu menyeka keringat. Bila di bibir atau
sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstick, pasta gigi, getah buah-buahan.
Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, maskara,
eye shadow, obat tetes mata, salap mata.
4.
Telinga
Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak
pada telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kacamata, cat rambut,
hearing-aids, gagang telepon.
5.
Leher
Penyebab kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari),
parfum, alergen di udara, zat warna pakaian.
6.
Badan
Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna,
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian.
Universitas Sumatera Utara
22
7.
Genitalia
Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, pembalut wanita,
alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Bila mengenai
daerah anal, mungkin disebabkan oleh obat antihemoroid.
8.
Paha dan tungkai bawah
Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci
(nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada kaki dapat
disebabkan oleh deterjen, bahan pembersih lantai.
9.
Dermatitis kontak sistemik
Terjadi pada individu yang telah tersensitisasi secara topikal oleh suatu
alergen, selanjutnya terpajan secara sistemik, kemudian timbul reaksi terbatas
pada tempat tersebut. Walaupun jarang terjadi, reaksi dapat meluas bahkan sampai
eritroderma. Penyebabnya, misalnya nikel, formaldehid, balsam peru.
2.6
Pencucian Mobil
Kegiatan cuci-mencuci merupakan hal yang tidak bisa lepas dari
kehidupan sehari-hari. Namun, akibat perubahan gaya hidup masyarakat yang
lebih menyukai segala sesuatunya menjadi praktis, akhirnya masyarakat saat ini
lebih memilih mencucikan kendaraan mereka di tempat pencucian khusus
kendaraan. Selain banyak diminati oleh masyarakat dengan ritme kegiatan yang
tinggi dan masyarakat menengah keatas, ternyata banyak alasan mengapa lebih
memilih menggunakan jasa pencucian mobil, selain karena tidak punya waktu
lebih, keterbatasan tempat mencuci dan ketersediaan air yang tidak menentu,
ternyata juga turut mempengaruhi keputusan menggunakan jasa pencucian mobil.
Universitas Sumatera Utara
23
Apalagi di dukung oleh kecepatan pelayanan dan harga yang terjangkau membuat
masyarakat semakin tertarik (Kesuma, 2012).
Hal-hal tadi yang membuat peluang usaha pencucian mobil sangat
diminati. Bahkan saat ini banyak pelaku usaha yang sudah mengembangkan
potensi bisnis tersebut menjadi bisnis franchise. Mengingat minat konsumen akan
jasa car wash, menunjukan peningkatan yang cukup baik setiap tahunnya,
sehingga semakin terbukanya peluang bagi pengusaha baru untuk memulai usaha
pencucian mobil. Hasilnya, jasa pencucian mobil pun saat ini ada dimana-mana,
bahkan bisa dikatakan tiap keluruhan dapat ditemui jasa pencucian mobil
(Kesuma, 2012). Dengan banyaknya pengusaha jasa pencucian mobil, maka
semakin banyak masyarakat yang bekerja di pencucian mobil. Padahal dengan
menjadi pegawai pencucian mobil, maka orang tersebut memiliki risiko tinggi
terkena dermatitis kontak akibat kontak dengan bahan-bahan kimia yang
digunakan. Apalagi ditambah dengan tingginya jumlah konsumen, sehingga
intensitas kontak dengan paparan bahan kimia semakin sering terjadi, risiko pun
meningkat (Pratiwi, 2013).
Bahan-Bahan baku yang terdapat di dalam deterjen sabun pencuci mobil
(Kesuma, 2012)
1.
Bahan Aktif
Bahan aktif ini merupakan bahan inti dari deterjen sehingga bahan ini
harus ada dalam pembuatan deterjen. Secara kimia bahan kimia ini dapat berupa
Sodium Lauryl Sulfate (SLS). SLS dengan beberapa nama dagang dengan nama
texapone, Emal, luthensol, dan neopelex. Secara fungsional bahan mempunyai
Universitas Sumatera Utara
24
andil dalam meningkatkan daya bersih karena bekerja dengan cara menurukan
tegangan permukaan larutan sehingga dapat melarutkan minyak serta membentuk
mikro emulsi yang bisa menimbulkan busa. Ciri dari bahan aktif ini mempunyai
busa banyak dan bentuknya gel (pasta). Penggunaan SLS dalam jumlah berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya iritasi epidermis dan denaturasi rantai polipeptida
suatu molekul protein sehingga merubah dari suatu struktur rantai protein
(Winarno, 2002)
2.
Bahan pengisi
Bahan ini berfungsi sebagai bahan pengisi dari keseluruhan bahan baku.
Pemberian
bahan
pengisi
ini
dimaksudkan
untuk
memperbesar
atau
memperbanyak volume. Keberadaan bahan ini dalam deterjen semata-mata dilihat
dari aspek ekonomis. Bahan pengisi deterjen disini menggunakan sodium sulfate
(Na2SO4). Bahan lain sebagai pengisi deterjen dapat mengguanakan tetra sodium
pyroposphate dan sodium sitrat. Bahan ini berbentuk serbuk, berwarna putih dan
mudah larut dalam air.
3.
Bahan penunjang
Salah satu contoh bahan penunjang deterjen adalah soda abu (Na2CO3)
yang berbentuk serbuk putih. Bahan penunjang ini berfungsi sebagai
meningkatkan daya bersih. Keberadaan bahan ini dalam deterjen tidak boleh
terlalu banyak, sebab dapat menimbulkan efek panas pada tangan saat mencuci
pakaian. Bahan penunjang lainnya adalah Sodium Tripolyphosphate (STPP) yang
juga penyubur tanaman. Hal ini disebabkan oleh kandungan fosfat yang
merupakan salah satu unsur dalam jenis pupuk tertentu.
Universitas Sumatera Utara
25
4.
Bahan Tambahan (aditif)
Bahan tambahan ini sebenarnya tidak harus ada didalam pembuatan
deterjen. Namun demikian, produsen mencari hal-hal baru untuk mengangkat nilai
dari deterjen itu sendiri. Salah satu contoh bahan tambahan ini adalah
Carboxymethyl Cellulose (CMC). Bahan ini berbentuk serbuk putih yang
berfungsi mencegah kotoran kembali.
5.
Bahan Wangi
Keberadaan bahan wangi ini sangat penting keberadaannya. Parfum untuk
deterjen bentuknya cair kekuning-kuningan.
2.7
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Dermatosis Akibat
Kerja
1.
Usia
Usia merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari
individu. Usia secara epidemiologi merupakan bagian dari karakteristik host.
Menurut Cohen dalam Septiani (2012) kulit manusia mengalami degenerasi
seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan
menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini memudahkan bahan kimia untuk
menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi lebih mudah terkena dermatitis.
Djuanda dan Sularsito (2011) menyatakan bahwa pada anak usia dibawah 8 tahun
dan usia lanjut lebih mudah teriritasi bahan iritan.
Akan tetapi berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari
dan Utomo (2007) di PT Inti Pantja Press Industri yaitu dari 43 orang pekerja
terdapat 26 orang (60,5%) yang berusia ≤30 tahun terkena dermatitis kontak, hal
Universitas Sumatera Utara
26
ini menyimpulkan bahwa pekerja yang usianya lebih muda lebih rentan terkena
dermatitis kontak.
2.
Masa Kerja
Masa kerja penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang telah
terpajan dengan bahan kimia. Masa kerja mempengaruhi kejadian dermatitis
kontak akibat kerja, semakin lama masa kerja seseorang semakin sering terpajan
dan berkontak dengan bahan kimia (Erliana, 2008)
Menurut teori Cohen (1999) pekerja dengan masa kerja panjang dapat
dimungkinkan telah mengalami resistensi terhadap bahan kimia yang digunakan.
Resisitensi ini dikenal sebagai proses hardening yaitu kemampuan kulit yang
menjadi lebih tahan terhadap bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang terusmenerus. Pekerja dengan pengalaman akan lebih berhati-hati sehingga
kemungkinan terpajan bahan kimia lebih sedikit. Berbeda dengan pekerja dengan
masa kerja pendek, pekerja belum memiliki pengalaman yang cukup dalam
melakukan pekerjaannya dan masih rentan terhadap berbagai macam zat kimia.
Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Erliana (2008)
menunjukkan bahwa proporsi pekerja dengan masa kerja 6-9 tahun sebanyak
61,5% menderita dermatitis kontak dan masa kerja 1-5 tahun hanya 18,8% dan
hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan dengan masa kerja dengan
kejadian dermatitis kontak pada pekerja.
3.
Lama Kerja
Lama kerja merupakan jangka waktu pekerja berkontak dengan bahan
kimia dalam hitungan jam/hari. Menurut Cohen (1999), lama kerja mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
27
kejadian dermatitis kontak, karena semakin lama kontak dengan bahan kimia
maka akan semakin merusak sel kulit hingga kelapisan yang lebih dalam dan
resiko terjadinya dermatitis kontak akan semakin tinggi.
Penelitian Azhar dan Hananto (2011) pada petani rumput laut dapat
disimpulkan bahwa waktu kerja >8 jam perhari lebih berisiko dibanding dengan
waktu kerja