Hubungan Kejadian Limfadenitis TB pada Anak dengan Riwayat TB Paru pada Keluarga di Sentra Diagnostik Patologi Anatomi FK USU Mei-September 2013

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Definisi
Menurut Dorland (2002), tuberkulosis adalah setiap penyakit menular pada
manusia dan hewan yang disebabkan oleh Mycobacterium sp. dan ditandai dengan
pembentukan tuberkel dan nekrosis kaseosa pada jaringan-jaringan.
Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam

sehingga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali
ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk
mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit
TB pada paru kadang-kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (Amin, 2006).
Terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui dalam memahami penyakit
tuberkulosis. Infeksi Mycobacterium tuberculosis yang masih dapat ditahan oleh
sistem imun tubuh sehingga tidak menimbulkan manifestasi klinis disebut infeksi
tuberkulosis laten, sementara jika sudah menimbulkan manifestasi klinis dengan

konfirmasi isolasi organisme Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan
disebut tuberkulosis aktif (Weinberger, 2008).
Tuberkulosis primer merupakan hasil dari kontak pertama dengan basil
tuberkulosis sementara tuberkulosis postprimer merupakan hasil dari infeksi laten
yang mengalami reaktivasi (Weinberger, 2008).

2.1.2. Epidemiologi
Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit
terparah pada manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih
merupakan penyebab kematian tersering. WHO memprediksikan insidensi
penyakit tuberkulosis ini akan terus meningkat, dimana akan terdapat 12 juta
kasus baru dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun.
Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru ditemukan oleh epidemi HIV,

Universitas Sumatera Utara

6

dimana tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang
yang menderita AIDS (Ioachim, 2009).

Laporan WHO tahun 2010 menyebutkan bahwa pada tahun 2008, dari
9.369.038 kasus TB di seluruh dunia, penderita TB paling banyak terdapat pada
Asia Tenggara yaitu 34%, 30% dari Afrika, 21% dari Pasifik Barat, 7% Timur
Tengah, 5% dari Eropa, dan 3% dari Amerika. Asia Tenggara membawa lebih
dari beban TB global dengan 3,2 juta pasien TB baru per tahun (WHO, 2010).
Indonesia sendiri pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara
dengan insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,62,4 juta), China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,370,55 juta) (WHO, 2010). Dimana pada tahun 2006 yang lalu menurut WHO
Indonesia sempat menempati peringkat ketiga di dunia setelah India dan China
dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 (Depkes, 2007).
Di Provinsi Sumatera Utara, jumlah cakupan penemuan semua kasus TB
Paru meningkat dari 17.133 kasus pada tahun 2008 menjadi 19.673 kasus pada
tahun 2010, dengan jumlah penderita TB Paru BTA positif sebesar 16.078 kasus
dan sisanya didapatkan dengan pemeriksaan diagnostik lainnya.

(Depkes RI,

2011).

2.1.3. Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.

Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobactericeae dan termasuk dalam ordo
Actinomyceales. Dari keseluruhan kompleks Mycobacterium, yang merupakan

agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium
tuberculosis. Mikroorganisme lain dalam kompleks Mycobacterium adalah : 1. M.
tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5. M. microti, 6. M.
pinnipedii, 7. M. canettii. Pembagian tersebut berdasarkan epidemiologi

(Raviglione, 2010).
Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus
berukuran sekitar 0,4 x 3 µm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk
kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain.

Universitas Sumatera Utara

7

Mycobacteria termasuk M. tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan

Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus serta sangat kuat

mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun
menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahan asam (Raviglione,
2010; Jawetz, 2004). M. tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen
atau karbol fuksin (Kumar, 2004)
Dinding bakteri Mycobacterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam
mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan
asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang
bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri Mycobacterium. Penghilangan
lipid dengan menggunakan asam yang panas menghancurkan sifat tahan asam
bakteri ini (Brooks, 2005).
Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon
sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia
tidak khas dan laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri.
Waktu replikasi basil tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung
tumbuh lebih cepat, berproliferasi dengan baik pada temperatur 22-23 °C, dan
tidak terlalu bersifat tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk
patogennya (Brooks, 2005).
Manusia adalah satu-satunya reservoir bagi M.tuberculosis. Bakteri ini
menyebar melalui udara tepatnya melalui droplet dari manusia yang terinfeksi.
Droplet ini berukuran 1-5 µm , saat satu kali batuk dapat menghasilkan 3000

droplet, dan hanya 10 basil yang diperlukan untuk menginisiasi infeksi
(Herchline, 2011).

2.1.4. Cara Penularan
Tuberkulosis biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan
bakteri M. tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita TB batuk, dan pada
anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB dewasa. Bakteri ini
bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak
menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan

Universitas Sumatera Utara

8

dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab
itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti : paruparu, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain.
Meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru
(Siswanto, 2007).
Saat M. tuberculosis berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera
akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui

serangkaian reaksi imunologis bakteri TB ini akan berusaha dihambat melalui
pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme
pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut
dan bakteri TB akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah
yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto roentgen
(Siswanto, 2007).
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap
dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan
sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk
sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber
produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat
diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif
terinfeksi TB (Siswanto, 2007).
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak
dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial
ekonomi,

belum


optimalnya

fasilitas

pelayanan

kesehatan

masyarakat,

meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya
epidemi dari infeksi TB. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun,
virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting
dalam terjadinya infeksi TB (Siswanto, 2007).

Universitas Sumatera Utara

9

2.1.5. Faktor Risiko

Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan terjadinya infeksi basil TB
adalah:


Harus ada sumber penularan
Kasus terbuka dengan dahak yang menunjukkan adanya basil TB atau



binatang yang menderita TB (jarang).
Usia
TB pada anak paling sering terjadi pada usia 0-4 tahun. Sumber penularan
TB pada anak biasanya orang dewasa dengan BTA positif (Dudeng, 2005).
Sedangkan pada orang dewasa TB paling sering terjadi pada usia 25-35
tahun. Hal ini karena pada usia tersebut individu menjadi lebih
independen, banyak aktivitas di luar rumah dan lebih bergaul dalam



masyarakat.




terus-menerus.



Jumlah basil yang mempunyai kemampuan menginfeksi cukup banyak dan

Virulensi (keganasan) basil.
Daya tahan tubuh
Imunitas tubuh yang menurun memudahkan basil TB berkembang biak.
Keadaan ini sangat berhubungan erat dengan faktor genetika, faktor faal,
jenis kelamin, usia, faktor lingkungan seperti nutrisi, perumahan, dan



pekerjaan.
Jenis kelamin
Pada abad pertengahan, kasus TB lebih tinggi pada perempuan

dibandingkan dengan laki-laki pada kelompok usia muda tetapi pada
kelompok usia yang lebih tua laki-laki menunjukkan kasus TB paru yang
lebih tingi dibandingkan dengan perempuan. Ini karena laki-laki banyak
yang merokok dimana faktor ini merupakan resiko untuk infeksi TB paru.
Hasil penelitian di UK menunjukkan kasus TB pada laki-laki pada usia
yang lebih tua adalah 3 kali lipat berbanding pada perempuan (Davis,
2005).

Universitas Sumatera Utara

10

Gambar 2.1. Faktor risiko TB
(Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2007)

2.1.6. Patogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi
TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering
terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan

TB post-primer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering
terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada
orang dewasa (Raviglione, 2010).
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang
disebut TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner
yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura,
saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.

Universitas Sumatera Utara

11

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada
tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana
lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan (Amin,
2006).
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis (Raviglione, 2010). Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh
makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati
difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara
limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB
ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana
penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang
saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang
yang mempunyai imunitas baik, 3-4 minggu setelah infeksi akan terbentuk
imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan
cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus primer
yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan
limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon
mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh
seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua,
fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB
dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa
teraktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).
Apabila terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah
memiliki imunitas seluler, maka ini disebut dengan TB post-primer (sekunder).
TB post-primer terjadi karena penurunan imunitas seperti malnutrisi, alkohol,
penyakit maligna, DM, AIDS, dan gagal ginjal. Sama seperti pada TB primer,
basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe
menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus,

Universitas Sumatera Utara

12

mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi
TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009).
Menurut Datta (2004) basil TB juga dapat langsung menginfeksi kelenjar
limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di
mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Kemudian
basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan
dibawa ke kelenjar limfe di leher.

2.1.7. Klasifikasi
Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2007),
tuberkulosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi atau organ tubuh yang
terkena (paru-paru atau ekstra paru), berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara
mikroskopis (BTA positif atau BTA negatif), berdasarkan tingkat keparahan
penyakit, dan riwayat pengobatan sebelumnya.
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan parenkim
paru, tidak termasuk TB pada selaput paru (pleura) atau TB pada kelenjar
hilus.
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, persendian,
limfa, kulit, tulang, ginjal, usus, dan lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis, yaitu
pada TB paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif, penegakkan diagnosisnya berdasarkan
hasil :
a. Setidaknya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (sewaktu-pagi-sewaktu)
hasilnya BTA positif.

Universitas Sumatera Utara

13

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan pemeriksaan foto
toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (obat-antituberkulosis).
2. Tuberkulosis paru BTA negatif, yaitu kasus yang tidak memenuhi definisi
pada TB paru BTA positif. Kriterianya adalah sebagai berikut :
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit:
1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk.
2. TB ekstraparu dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu :
a. TB ekstraparu ringan, misalnya TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar
adrenal.
b. TB ekstraparu berat, misalnya meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus,
TB saluran kemih dan alat kelamin.
Catatan :

Universitas Sumatera Utara

14

1. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstraparu, maka
untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai
pasien TB paru.
2. Bila seorang pasien dengan TB ekstraparu pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai TB ekstraparu pada organ yang penyakitnya paling
berat.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya :
1. Kasus baru yaitu pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps) yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi
didiagnosis kembali dengan BTA positif (kultur atau apusan).
3. Kasus setelah putus berobat (default ) yaitu pasien yang telah berobat dan
putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure) yaitu pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan.
5. Kasus pindahan (transfer in) yaitu pasien yang dipindahkan dari Unit
Pelayanan Kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6. Kasus lain yaitu semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,
dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan
(Depkes RI, 2006).

2.1.8. Penatalaksanaan
Pengobatan

tuberkulosis

bertujuan

untuk

menyembuhkan

pasien,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mycobacterium merupakan

Universitas Sumatera Utara

15

kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya
sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat.
Pengobatan TB dilakukan selama 6 bulan. Tetapi, dalam keadaan tertentu,
misalnya pada pasien diabetes melitus, pengobatan tersebut dilakukan lebih dari 6
bulan. Obat anti tuberkulosis yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3. Pengobatan TB (PDPI, 2006)
Kategori

Kasus

Paduan obat yang

Keterangan

diajurkan
I

II

TB paru BTA

2 RHZE / 4 RH atau

+, BTA - , lesi

2 RHZE / 6 HE

luas

*2RHZE / 4R3H3

- Kambuh

-RHZES / 1RHZE / sesuai

Bila alergi

- Gagal

hasil uji resistensi atau

terhadap

pengobatan

2RHZES / 1RHZE / 5 RHE

streptomisin,

-3-6 kanamisin, ofloksasin,

dapat diganti

etionamid, sikloserin / 15-

dengan

18 ofloksasin, etionamid,

kanamisin

sikloserin atau 2RHZES /
1RHZE / 5RHE
II

- TB paru putus

Sesuai lama pengobatan

berobat

sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan
klinis, bakteriologi dan
radiologi saat ini (lihat
uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3

III

-TB paru BTA

2 RHZE / 4 RH atau

Universitas Sumatera Utara

16

IV

negatif lesi

6 RHE atau

minimal

*2RHZE /4 R3H3

- Kronik

RHZES / sesuai hasil uji
resistensi (minimal OAT
yang sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal 18
bulan)

IV

- MDR TB

Sesuai uji resistensi + OAT
lini 2 atau H seumur hidup

2.1.9. Komplikasi
Penyakit tuberkulosis

paru bila tidak ditangani dengan benar akan

menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi
lanjut.
a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus,
Poncet’s arthropathy.
b. Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas (Sindroma Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat (fibrosis paru), kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, sindom gagal napas dewasa (Amin, 2006).

2.2. Tuberkulosis Paru
2.2.1. Definisi
Menurut Dorland (2002) tuberkulosis paru adalah infeksi paru oleh
Mycobacterium tuberculosis.

Tuberkulosis paru (TB) merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang
sudah sangat lama dikenal manusia. Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri
kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, ditandai dengan
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan hipersensitivitas yang
diperantarai oleh sel (ceIl-mediated hypersensitivity). Penyakit ini biasanya
terletak di paru, tetapi dapat mengenai organ lain. Jika tidak diberikan pengobatan

Universitas Sumatera Utara

17

yang efektif untuk penyakit yang aktif, maka dapat terjadi perjalanan penyakit
yang kronik, dan berakhir dengan kematian (Raviglione, 2008).

2.2.2. Manifestasi Klinis
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam- macam atau
banyak juga pederita TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan
kesehatan.
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, napsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih
dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut dapat juga dijumpai pada penyakit paru
selain TB, seperti bronkiektasi, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang
datang ke UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut, dianggap
sebagai tersangka (suspek) pasien TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskospis langsung (Depkes, 2008).
Tanda dan gejala untuk tuberkulosis paru adalah batuk > 2 minggu,
peningkatan produksi sputum dan batuk, dan terdapat gejala penurunan berat
badan, anoreksia, fatigue, demam, dan keringat malam. Tanda yang spesifik pada
tuberkulosis paru adalah hemoptisis atau adanya darah pada sputum (Varaine, et
al, 2010)

2.2.3. Diagnosis
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA positif). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks

Universitas Sumatera Utara

18

saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak
selalu menunjukkan aktifitas penyakit (Depkes, 2007).

2.2.3.1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit, umumnya
tidak (atau sulit sekali) ditemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak
di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) ,
serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum (PDPI, 2006).

2.2.3.2. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
Pemeriksaan dahak digunakan untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa SPS:
-

S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

-

P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
UPK.

-

S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
Menurut PPDI (2002), bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat

berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses, dan
jaringan biosi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Cara pembuatan dan

Universitas Sumatera Utara

19

pengirimannya yaitu bahan pemeriksaan/spesimen dikumpulkan dalam pot yang
bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat
sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas
objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapatditambahkan NaCl
0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam
pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim
ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan
formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium
berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim
dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak
dengan kertas saring:
1. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya.
2. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah
dari kertas saring sebanyak lebih kurang 1 ml.
3. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu
ujung yang tidak mengandung bahan dahak.
4. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus.
5. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong
plastik kecil.
6. Kantong

plastik kemudian ditutup

rapat

(kedap udara) dengan

melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
7. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan
dahak, dan dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke
alamat laboratorium.
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD
(International Union Against Tuberculosis and Lung Disease ) yang merupakan
rekomendasi WHO :

Universitas Sumatera Utara

20

1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.
3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + (1+).
4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
5. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst (BR) :
1. BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.
2. BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3. BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4. BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5. BRV : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

2.2.3.3. Pemeriksaan Kultur
Peran biakan dan identifikasi M. tuberculosis pada penanggulangan TB
khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka
terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan
identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam
beberapa situasi :
1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis.
2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.

2.2.3.4. Uji Resistensi
Pemeriksaan ini hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu
melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standard
internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh
laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut
memberikan simpulan yang benar sehingga kemungkinan kesalahan dalam
pengobatan MDR (multiple drug resistance) dapat dicegah.

Universitas Sumatera Utara

21

2.2.3.5. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:
foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi
yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah :
-

Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah

-

Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular

-

Bayangan bercak milier

-

Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:

-

Fibrotik

-

Kalsifikasi

-

Schwarte atau penebalan pleura (PDPI, 2006).
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan

dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di
atas chondrosternal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak
dijumpai kavitas.
2. Lesi luas yaitu bila proses lebih luas dari lesi minimal.

2.2.3.6. Pemeriksaan Patologi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB
paru. Bahkan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
1. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope, dan
Veen Silverman).
2. Biopsi jaringan paru (trans-bronchial lung biopsy / TBLB) dengan
bronkoskopi, trans-thoracal biopsy / TTB, biopsi paru terbuka.

Universitas Sumatera Utara

22

3. Otopsi.
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan patologi.

2.2.3.7. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (tes Mantoux) dilakukan untuk menunjukkan
adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada
seseorang. Reagen yang digunakan adalah berupa protein purified derivative
(PPD). Hasil tes positif jika pemeriksaan dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi.
Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila
indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra, 2009).

Gambar 2.2. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa
Sumber: Depkes RI, 2007

Universitas Sumatera Utara

23

2.3. Limfadenitis Tuberkulosis
2.3.1. Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar
limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009).

2.3.2. Epidemiologi
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun
TB pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan
salah satu masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada
tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-paru. Berdasarkan epidemiologi TB
ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIVnegatif, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua
TB

ekstrapulmoner).

Sedangkan

pada

pasien

dengan

HIV-positif

TB

ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang
terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma, 2004).
Epidemiologi limfadenitis TB bervariasi tergantung pada angka kejadian
TB dan tingginya infeksi HIV di suatu negara, misalnya di daerah Afrika dimana
insidensi infeksi HIV sangat tinggi, angka kejadian TB pulmoner dan
ekstrapulmoner juga sangat tinggi (Clevenbergh, 2010).
Berdasarkan

penelitian

Dandapat

(1990)

terhadap

192

pasien

limfadenopati perifer dimana 80 pasien dengan limfadenitis TB didapatkan pada
usia penderita berkisar 1 sampai 65 tahun, dimana kebanyakan berusia dibawah
30 tahun dan sedikit lebih banyak didapat pada wanita (1,2:1). Tujuh puluh persen
pasien adalah dengan status sosioekonomi rendah. Dari 80 pasien, 56 pasien
melibatkan kelenjar limfe servikal, 7 pasien kelenjar limfe inguinal, 5 pasien
kelenjar limfe aksilaris dan 12 pasien melibatkan kelenjar limfe multipel.
Berdasarkan penelitian dari Maharjan (2009) dari 155 kasus dengan
pembesaran kelenjar limfe servikal, 83 kasus (54%) adalah limfadenitis TB, 52
kasus (33%) adalah limfadenitis reaktif dan 17 (11%) kasus adalah metastasis.

Universitas Sumatera Utara

24

2.3.3. Patogenesis
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang
disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ
ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah
bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.
Limfadenitis tuberkulosis adalah manifestasi lokal dari penyakit sistemik
ataupun sebagai manifestasi klinis yang tersendiri dan terlokalisasi di leher
(Bayazit, 2004). Limfadenitis tuberkulosis dapat terjadi sebagai manifestasi
tuberkulosis primer ataupun reaktivasi fokus Gohn yang dorman atau sebagai
kelanjutan fokus Gohn yang aktif (Mohapatra, 2009).
Supraclavicular lymphadenitis terjadi akibat penyebaran melalui saluran

limfatik paru. Cervical lymphadenitis merupakan manifestasi penyebaran dari
kompleks primer pada infeksi di tonsil, sinonasal adenoid, dan osteomyelitis pada
tulang etmoid (Mohapatra, 2009).
Pada tahap awal multiplikasi M. tuberculosis di kelenjar getah bening
superfisial, permulaan hipersensitivitas tipe lambat ditandai dengan gambaran
hiperemia, pembengkakan, nekrosis, dan pembentukan kaseosa di tengah nodus.
Hal ini dapat diikuti inflamasi, pembengkakan yang progresif, dan penyatuan
dengan nodus-nodus lain (matting). Adhesi dengan kulit dapat menyebabkan
indurasi dan berwarna keunguan. Bagian tengah kelenjar yang membesar dapat
melunak dan materi kaseosa dapat ruptur ke jaringan sekitar atau menembus kulit
dengan pembentukan sinus (Mohapatra, 2009). LTB mediastinum dapat
membesar dan menyebabkan penekanan pembuluh-pembuluh darah besar, nervus
frenikus, dan laringeus atau menyebabkan erosi pada bronkus.
Menurut Sharma (2004) LTB terbagi atas 5 stadium :
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.

Universitas Sumatera Utara

25

5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.

2.3.4. Manifestasi Klinis
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,
kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris,
mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra,
2009). Berdasarkan penelitian oleh Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe
yang terlibat yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe servikalis, 26,7% kelenjar
mediastinal, dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada 35% pasien
pembengkakan terjadi pada lebih dari satu tempat. Menurut Sharma (2004), pada
pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah
yang paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral,
tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan
berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling
sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio
supraklavikular (Mohapatra, 2009).
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala
sistemik yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam.
Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik (Mohapatra, 2009).
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit.
Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi
sekunder bakteri, (ii) pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan
infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang
dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus.
Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis TB servikalis (Mohapatra,
2009). Berdasarkan penelitian oleh Jniene (2010) dari 69 pasien limfadenitis TB
didapat 11 orang dengan pembengkakan kelenjar yang nyeri dan 6 orang dengan
adanya pembentukan fistula. Terdapat juga 10 orang dengan pembengkakan
kelenjar yang disertai adanya tanda-tanda inflamasi tetapi tidak disertai oleh
adanya fistula. Secara klasik, sinus tuberkulosis mempunyai pinggir yang tipis,

Universitas Sumatera Utara

26

kebiru-biruan, dan rapuh dengan pus cair yang sedikit. Skrofuloderma adalah
infeksi mikobakterial pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung infeksi TB
ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh paparan langsung terhadap basil TB
(Mohapatra, 2009).
Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada
dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang
jarang terjadi pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk
disfagia,

fistula

oesophagomediastinal,

dan

fistula

tracheo-oesophageal.

Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga dapat
menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan chylothorax, chylous ascites
ataupun chyluria . Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran
kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung juga
pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal (Mohapatra, 2009).
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm biasanya
disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya
disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan
pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis (Narang, 2005).

2.3.5. Diagnosis
Menurut Sharma (2004) diagnosis tuberkulosis ekstrapulmonal diperoleh
dari pemeriksaan histopatologi, sitologi, dan mikrobiologi dari jaringan yang
mudah diperoleh.

2.3.5.1. Pemeriksaan Mikroskopis Mikrobiologi
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.
Spesimen diambil dari cairan sinus atau dengan FNAB (fine needle aspiration
biopsy). Sensitivitas dan spesifisitas sitologi FNAB untuk diagnosis LTB adalah

88% dan 96% (Mohapatra, 2009). Karakteristik bakteri tahan asam (BTA) dalam
pewarnaan Ziehl Neelsen adalah menyerap warna kemerahan (carbol fuchsin) dan
warna tersebut tahan terhadap asam dan alkohol. Pemeriksaan mikroskopis dapat

Universitas Sumatera Utara

27

juga dilakukan dengan teknik fluorosensi yaitu dengan pewarnaan AuramineRhodamine (Varaine et al, 2010).

2.3.5.2. Pemeriksaan Kultur
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah
dengan cara Egg base media yaitu Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa,
Kudoh atau Agar base media yaitu Middle brook. Spesimen dapat diambil dari
cairan sinus atau dengan FNAB. Melakukan biakan dimaksudkan untuk
mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi M. tuberculosis dan juga
Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT) (PDPI, 2002).

Menurut Bayazit (2004) berbagai media dapat digunakan seperti L-J,
Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB. Diperlukan waktu beberapa
minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa, M.
tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti ole M.bovis (Bayazit, 2004).

Kultur dapat dilakukan dengan menggunakan spesimen yang sama untuk
pewarnaan. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif.
Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus (Mohapatra, 2009).

2.3.5.3. Pemeriksaan Sitologi
Fine needle aspirate cytology (FNAC) telah menjadi pilihan utama untuk

pemeriksaan non-invasif alternatif daripada biopsi eksisi. Sensitivitas FNAC
bervariasi dari 67% hingga 100% dan spesifisitas 80% hingga 100%. Komplikasi
akibat tindakan FNAC juga jauh lebih minimal dibandingkan dengan biopsi eksisi
konvensional (Sarwar, 2004).
Menurut Metre dan Jayaram (1987), secara makroskopis hasil biopsi
aspirasi dari LTB dapat bercampur darah, purulen, dan seperti keju (Das et al,
2000). Ditemukannya sel epiteloid, datia langhans (langhans giant cell) ataupun
massa nekrosis perkejuan maka pemeriksaan sitologi dikatakan positif (Kesuma,
2010).
Kriteria diagnostik untuk diagnosa LTB adalah gambaran sel granuloma
epiteloid dengan atau tanpa sel giant multinuclear (langhans giant cell) dan

Universitas Sumatera Utara

28

nekrosis kaseosa (Sarwar, 2004). Das et al (2000), membagi hasil pemeriksaan
sitologi menjadi 3 kelompok utama. Tipe I yaitu granuloma epiteloid tanpa
nekrosis, tipe II yaitu granuloma dengan nekrosis, tipe III yaitu nekrosis tanpa
granuloma epiteloid.
Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila gambaran konvensional
seperti sel epiteloid atau Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak
gelap dengan materi eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik
tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan Langhans giant cell. Didapati bahwa
aspirat dengan gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat
memberikan hasil positif tuberkulosis apabila dikultur.

2.3.5.4. Pemeriksaan Histopatologi
Pada pasien dengan LTB, biopsi eksisi dari kelenjar getah bening perifer
umumnya dapat mengkonfirmasi diagnosis. Penggunaan CT scan untuk
membantu menemukan lokasi limfadenopati intratorakal maupun intraabdominal.
Jika ada, dapat digunakan Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) untuk
memperoleh jaringan yang representatif pada pasien dengan limfadenopati
intratorakal. Spesimen dapat diletakkan dalam media Kirschner untuk transport
spesimen (Sharma, 2004).
Gambaran

Langhans

giant

cell,

nekrosis

kaseosa,

inflamasi

granulomatosa, dan kalsifikasi dapat dijumpai pada pemeriksaan histopatologi.
Adanya mikroabses, granuloma berbatas tidak tegas, granuloma non-kaseosa, dan
jumlah giant cell yang sedikit adalah lebih mengarah pada adenitis nontuberkulosa (Mohapatra, 2009).

2.3.5.5. Pemeriksaam Radiologis
Radiologi paru, USG (ultrasonography), CT (computed-tomography), dan
MRI (magnetic resonance imaging) dapat dilakukan untuk membantu diagnosis
LTB. Lesi abnormal radiologi paru terlihat lebih sering pada anak anak. Pada

Universitas Sumatera Utara

29

orang dewasa, hanya 15% yang memiliki lesi abnormal pada foto paru
(Mohapatra, 2009).
USG leher dapat menunjukkan lesi tunggal atau multipel yang hipoekoik
dan kista multiokulasi yang dikelilingi oleh kapsul yang padat (Mohapatra, 2009).
Pada CT scan, keberadaan massa konglumerasi kelenjar getah bening
dengan lusensi sentral, peningkatan kontras membentuk batas yang tebal dan
ireguler disertai dengan nodularitas dalam. Dijumpai tanda-tanda inflamasi pada
dermis dan subkutis yaitu dijumpai penebalan kulit, pelebaran saluran limfa, dan
penebalan otot-otot disekitarnya menandakan kemungkinan infeksi LTB
(Mohapatra, 2009).
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan
konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer
dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak
membedakannya dengan kelenjar metastatik (Mohapatra, 2009).

2.4. Hubungan Limfadenitis TB pada Anak dengan Riwayat TB Paru pada
Keluarga
Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman M. tuberculosis
(Atmosukarto, 2000). Kuman tuberkulosis menular melalui droplet nuclei.
Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan (1991) menunjukkan tingkat
penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam
rumahnya.
Menurut penelitian Atmosukarto dari

Litbang kesehatan (2000),

didapatkan data bahwa :
1. Rumah tangga yang penderitanya mempunyai kebiasaan tidur dengan
balita mempunyai resiko 2,8 kali terkena tuberkulosis dibandingkan
dengan yang tidur berpisah.
2. Tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup
tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3
orang di dalam rumahnya.

Universitas Sumatera Utara

30

3. Besar resiko terjadinya penularan untuk rumah tangga dengan penderita
lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibandingakan dengan rumah tangga yang
hanya mempunyai 1 orang penderita tuberkulosis.
Usia anak merupakan usia yang sangat rawan terhadap penularan penyakit
tuberkulosis (Samallo dalam FKUI, 1998). Tuberkulosis pada anak dapat
menyerang paru maupun ekstra paru. Jenis TB ekstrapulmonar yang paling sering
dijumpai adalah TB kelenjar (Kreider & Rossmann, 2008).
Samallo mendapatkan angka penularan dan bahaya penularan yang tinggi
terdapat pada golongan umur 0-6 tahun dan golongan umur 7-14 tahun. Apabila
angka kejadian tuberkulosis dewasa tinggi, diperkirakan kejadian tuberkulosis
pada anak akan tinggi pula. Hal ini dikarenakan faktor risiko utama yang dapat
menimbulkan penyakit TB pada anak adalah kontak dengan penderita TB dewasa
(Sinta, 2008).
Frekuensi anak mengalami TB tergantung pada banyaknya jumlah sumber
penularan, kedekatan dengan sumber penular, lama kontak dengan sumber penular
dan umur anak. Setiap orang dewasa dengan BTA positif dalam satu tahun akan
menularkan 10 orang di lingkungannya, terutama anak-anak. Hal ini didukung
dari hasil penelitian Dudeng (2005), yang menunjukkan bahwa anak dengan
riwayat kontak dengan penderita TB memiliki peluang 3,87 mengalami TB
dibandingkan anak yang tidak mempunyai riwayat kontak penderita TB.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prevalens infeksi TB pada anak
yang tinggal dengan pasien TB dewasa lebih tinggi daripada infeksi TB pada anak
di populasi umum, dan mempunyai risiko mendapat infeksi lebih tinggi apabila
pasien TB dewasa tersebut mempunyai sputum BTA positif (Singh M, Mynak
ML, Kumar L, Mathew JL, Jindal SK, 2005).

Universitas Sumatera Utara