Hubungan Perilaku Keluarga dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013

(1)

HUBUNGAN PERILAKU KELUARGA DENGAN KEPATUHAN PENGOBATAN PENDERITA TB PARU

DI KABUPATEN LABUHAN BATU TAHUN 2013

TESIS

Oleh

SITI RAHMAYATI TAMBUNAN 117032155/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HUBUNGAN PERILAKU KELUARGA DENGAN KEPATUHAN PENGOBATAN PENDERITA TB PARU KABUPATEN LABUHANBATU

TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SITI RAHMAYATI TAMBUNAN 117032155/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN PERILAKU KELUARGA DENGAN KEPATUHAN PENGOBATAN PENDERITA TB PARU DI KABUPATEN LABUHANBATU TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Siti Rahmayati Tambunan Nomor Induk Mahasiswa : 117032155

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H)

Ketua Anggota

(Drs. Tukiman, M.K.M)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 29 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. Drs. Tukiman, M.K.M

2. dr.Taufik Ashar, M.K.M


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN PERILAKU KELUARGA DENGAN KEPATUHAN PENGOBATAN PENDERITA TB PARU DI

KABUPATEN LABUHANBATU TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2013

Siti Rahmayati Tambunan 117032155/IKM


(6)

ABSTRAK

Tuberkulosis sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan perilaku keluarga dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru di Kabupaten Labuhanbatu tahun 2013. Jenis penelitian adalah observasional dengan metode cross sectional. Populasi adalah salah satu anggota keluarga penderita TB Paru yang sudah selesai pengobatan selama 6 bulan dalam pengobatan TB paru kategori I dan paling lama 3 bulan telah selesai di Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2013 yaitu sebanyak 738 orang dengan jumlah sampel akhir berjumlah 105 orang. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara sikap (p=0,014 ; PR=1,754) dan tindakan (p=0,019 ; PR=1,715) dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru. Keluarga yang bersikap kurang berisiko untuk tidak patuh dibanding keluarga yang bersikap baik, sedangkan keluarga yang tindakan kurang berisiko untuk tidak patuh dibanding dengan keluarga yang tindakannya baik.

Diharapkan Puskesmas Kabupaten Labuhanbatu agar meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit TB paru dan cara pengobatannya serta akibat yang mungkin terjadi bila tidak patuh dalam menjalankan pengobatan, melalui penyuluhan secara berkala setiap kali pasien mengambil obat. Penderita juga hendaknya menelan Obat Anti Tuberkulosis secara teratur sesuai petunjuk dan jangan berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai. Serta peneliti selanjutnya agar meneliti obat yang lebih singkat untuk pengobatan penderita TB paru.


(7)

ABSTRACT

Up to the present, tuberculosis (TB) has become the people’s health problem throughout the world, especially in the developing countries, including Indonesia. This disease is a big threat for human resources development so that more attention from all parties is needed.

The objective of the research was to analyze the correlation between family behavior and compliance in the treatment of lung tuberculosis patients in Labuhanbatu District, in 2013. The type of the research was observational with cross sectional method. The population was 738 family members who suffered from lung tuberculosis and who had been treated for six months with the category 1 and the treatment was done within three months in Labuhanbatu District, in 2013, and 105 of them were used as the samples. The data were analyzed by using univatriate, bivatriate, and multivatriate analysis.

The result of the research showed that there was significant correlation between attitude (p=0.014 : PR=1.754) and action (p=0..19 : PR=1.715) and compliance in the treatment of lung tuberculosis patients. The families with good attitude had good opportunity times in their compliance in the treatment, compared to the families with bad attitude. The families with good action had good opportunity times in their compliance in the treatment, compared to the families with bad action.

It is recommended that the management of Puskesmas in Labuhanbatu District should increase families’ knowledge in lung tuberculosis and its treatment and the consequence for not complying with the treatment by conducting counseling regularly, especially when the patients take their medicine at Puskesmas. It is also recommended that lung tuberculosis patients should take medicine for anti-tuberculosis regularly according to the direction, and not quit taking the medicine during the treatment in order that there will be no medicine resistance.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Hubungan Perilaku Keluarga dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2013.”

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc.(CTM)., Sp.A, (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua dan Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah


(9)

membimbing kami dan memberikan masukan serta saran dalam penyelesaian tesis ini.

4. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H selaku ketua komisi pembimbing dan Drs. Tukiman, M.K.M selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. dr. Taufik Ashar, M.K.M dan Teguh Supriadi, S.K.M, M.P.H, selaku Komisi Penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. dr. Alwi Mujahid Hasibuan, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu, beserta seluruh staf pegawai yang telah membantu melakukan pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian.

7. Para Dosen dan Staf di Lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Secara khusus terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan atas perhatian, dukungan baik moral maupun materil dan doa kepada ayahanda Rahman Tambunan dan Ibunda tercinta Suminarti yang selalu memberikan motivasi dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 9. Teristimewa buat suami Edi Syahri Pasaribu beserta anak-anakku M.Andre,


(10)

Pasaribu yang selalu memberi doa, kasih sayang, motivasi dan berkorban baik moril maupun materil kepada penulis.

10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan angkatan 2011 Universitas Sumatera Utara atas dukungan, semangat dan kebersamaan yang diberikan selama ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.

Akhir kata, semoga Tuhan melimpahkan berkat dan kasihNya bagi kita semua dan penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian selanjutnya.

Medan, Juli 2013 Penulis

Siti Rahmayati Tambunan 117032155/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Siti Rahmayati Tambunan lahir di Palia, Kabupaten Labuhanbatu pada tanggal 12 Mei 1974, anak pertama dari 8 bersaudara dan beragama islam. Pada saat ini bertempat tinggal di Rantauprapat Kabupaten Labuhanbatu.

Memulai pendidikan SD Negeri 114345 Gunung Melayu dan lulus tahun 1987, melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Aek Kanopan tamat tahun 1990, kemudiaan melanjutkan pendidikan sekolah di SMA Negeri 1 Aek Kanopan lulus tahun 1993, dan melanjutkan pendidikan DIII keperawatan di AKPER DEPKES RI Medan tamat tahun 1996, dan telah menyelesaikan pendidikan DIV Perawat Pendidik di Fakultas Kedokteran Sumatera Utara di Medan tamat tahun 2004.

Penulis menikah pada tahun 1997 dan dikaruniai 3 orang anak dan penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu mulai tahun 1998, dan mulai bulan Juli 2013 bekerja pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Labuhanbatu.

Tahun 2011 penulis mengikuti pendidikan lanjutan pada program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Hipotesis ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Penyakit Tuberkulosis ... 11

2.1.1 Pengertian ... 11

2.1.2 Etiologi ... 11

2.1.3 Cara Penularan ... 11

2.1.4 Risiko Penularan ... 12

2.1.5 Riwayat terjadinya Tuberkulosis Paru ... 12

2.1.6 Gejala dan Tanda ... 13

2.1.7 Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru ... 13

2.1.8 Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru ... 14

2.1.9 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien ... 14

2.2 Pengobatan Tuberkulosis Paru (TBC) ... 17

2.2.1 Pengobatan TB pada Orang Dewasa... 17

2.2.2 Pengobatan Tuberkulosis Ekstra Paru ... 23

2.3 Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru ... 23

2.3.1 Jangka Panjang ... 23

2.3.2 Jangka Pendek ... 24

2.4 Faktor-Faktor Risiko ... 24

2.4.1 Umur ... 24

2.4.2 Jenis Kelamin ... 25

2.5 Kepatuhan ... 26


(13)

2.5.2 Faktor-Fktor Yang Memengaruhi Ketidakpatuhan ... 28

2.5.3 Strategi Untuk Meningkatkan Kepatuhan ... 28

2.6 Keluarga ... 30

2.6.1 Definisi Keluarga ... 30

2.6.2 Bentuk Keluarga ... 31

2.6.3 Fungsi Keluarga ... 32

2.7 Perilaku ... 33

2.8 Landasan Teori ... 41

2.9 Kerangka Konsep ... 45

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 46

3.1 Jenis Penelitian ... 46

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

3.3 Populasi dan Sampel ... 46

3.3.1 Populasi ... 46

3.3.2 Sampel ... 46

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 49

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 52

3.5.1 Variabel Penelitian ... 52

3.5.2 Definisi Operasional ... 52

3.6 Aspek Pengukuran ... 53

3.6.1 Kepatuhan Pengobatan Pasien TB Paru ... 53

3.6.2 Pengetahuan... 53

3.6.3 Sikap ... 54

3.6.4 Tindakan Keluarga... 54

3.7 Metode Analisis Data ... 55

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... ....57

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... ....57

4.1.1 Sejarah Singkat Kabupaten Labuhan Batu ... 57

4.1.2 Isu-Isu Strategis Kabupaten Labuhan Batu ... 59

4.2 Analisis Univariat ... 60

4.2.1 Karaktersitik Responden ... 60

4.2.2 Pengetahuan Responden ... 61

4.2.3 Sikap Responden ... 63

4.2.4 Tindakan Responden ... 64

4.2.5 Kepatuhan ... 66

4.3 Hubungan Pengetahuan Responden dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 66

4.4 Hubungan Sikap Responden dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 67

4.5 Hubungan Tindakan Responden dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 68


(14)

4.6 Analisis Multivariat ... 69

BAB 5 PEMBAHASAN ... ....72

5.1 Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru ... ....72

5.2 Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 74

5.3 Hubungan Sikap Keluarga dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 78

5.4 Hubungan Tindakan Keluarga dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 80

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... ....83

6.1 Kesimpulan ... .83

6.2 Saran ... .84

DAFTAR PUSTAKA ... ....85 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Dosis Obat Antituberkulosis (OAT) ... 18

2.2 Dosis untuk Panduan Oat KDT untuk Kategori 1 ... 18

2.3 Dosis Panduan OAT-Kombipak untuk ategori 1 ... 19

2.4 Tingkat Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak... 20

2.5 Dosis untuk Panduan OAT KDT Kategori 2 ... 22

2.6 Dosis Panduan OAT Kombipak untuk Kategori 2 ... 22

3.1 Perhitungan Besar Sampel Penelitian di Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2013 ... 48

3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Variabel Pengetahuan ... 50

3.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Variabel Sikap... 51

3.4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Variabel Tindakan ... 51

3.2 Metode Pengukuran Variabel Penelitian ... 55

4.1 Distribusi Proporsi Karakteristik Responden (Jenis Kelamin, Umur, Pendidikan, Pekerjaan dan Pengahsilan) di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 60

4.2 Distribusi Proporsi Berdasarkan Pengetahuan Responden di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 61

4.3 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 62

4.4 Distribusi Proporsi Jawaban Responden Variabel Sikap di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 63

4.5 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Kategori Sikap di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 64


(16)

4.6 Distribusi Proporsi Jawaban Responden Variabel Tindakan di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 64 4.7 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Kategori Tindakan di

Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 65 4.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepatuhan dalam

Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013... 66 4.9 Hubungan Variabel Pengetahuan dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita

TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 67 4.10 Hubungan Variabel Sikap dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB

Paru Tahun 2013 ... 68 4.11 Hubungan Variabel Tindakan dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB

Paru Tahun 2013 ... 69 4.12 Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Berganda Hubungan Perilaku Keluarga

dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013 ... 70


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Landasan Teori Lawrence Green ... 45

2.2 Kerangka Konsep Penelitian... 45

tasi Penelitian ... 154

6. Surat Izin Penelitian dari Pascasarjana USU ... 155


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner ... 88

2 Kartu Pengobatan TBC... 92

3 Master Data ... 94

4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 96

5 Hasil Statistik ... 100

6 Jadwal Penelitian ... 115


(19)

ABSTRAK

Tuberkulosis sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan perilaku keluarga dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru di Kabupaten Labuhanbatu tahun 2013. Jenis penelitian adalah observasional dengan metode cross sectional. Populasi adalah salah satu anggota keluarga penderita TB Paru yang sudah selesai pengobatan selama 6 bulan dalam pengobatan TB paru kategori I dan paling lama 3 bulan telah selesai di Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2013 yaitu sebanyak 738 orang dengan jumlah sampel akhir berjumlah 105 orang. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara sikap (p=0,014 ; PR=1,754) dan tindakan (p=0,019 ; PR=1,715) dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru. Keluarga yang bersikap kurang berisiko untuk tidak patuh dibanding keluarga yang bersikap baik, sedangkan keluarga yang tindakan kurang berisiko untuk tidak patuh dibanding dengan keluarga yang tindakannya baik.

Diharapkan Puskesmas Kabupaten Labuhanbatu agar meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit TB paru dan cara pengobatannya serta akibat yang mungkin terjadi bila tidak patuh dalam menjalankan pengobatan, melalui penyuluhan secara berkala setiap kali pasien mengambil obat. Penderita juga hendaknya menelan Obat Anti Tuberkulosis secara teratur sesuai petunjuk dan jangan berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai. Serta peneliti selanjutnya agar meneliti obat yang lebih singkat untuk pengobatan penderita TB paru.


(20)

ABSTRACT

Up to the present, tuberculosis (TB) has become the people’s health problem throughout the world, especially in the developing countries, including Indonesia. This disease is a big threat for human resources development so that more attention from all parties is needed.

The objective of the research was to analyze the correlation between family behavior and compliance in the treatment of lung tuberculosis patients in Labuhanbatu District, in 2013. The type of the research was observational with cross sectional method. The population was 738 family members who suffered from lung tuberculosis and who had been treated for six months with the category 1 and the treatment was done within three months in Labuhanbatu District, in 2013, and 105 of them were used as the samples. The data were analyzed by using univatriate, bivatriate, and multivatriate analysis.

The result of the research showed that there was significant correlation between attitude (p=0.014 : PR=1.754) and action (p=0..19 : PR=1.715) and compliance in the treatment of lung tuberculosis patients. The families with good attitude had good opportunity times in their compliance in the treatment, compared to the families with bad attitude. The families with good action had good opportunity times in their compliance in the treatment, compared to the families with bad action.

It is recommended that the management of Puskesmas in Labuhanbatu District should increase families’ knowledge in lung tuberculosis and its treatment and the consequence for not complying with the treatment by conducting counseling regularly, especially when the patients take their medicine at Puskesmas. It is also recommended that lung tuberculosis patients should take medicine for anti-tuberculosis regularly according to the direction, and not quit taking the medicine during the treatment in order that there will be no medicine resistance.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis atau yang sering disebut TB Paru adalah infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tubercolusis. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Bersama dengan HIV/AIDS, Malaria dan TB Paru merupakan penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam program MDGs. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis (Global Report, 2009).

Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak (Budiman, 2010).

WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terdapat 550.000 kasus TB Paru. Sedangkan data Departemen Kesehatan pada tahun 2001 di Indonesia terdapat 50.443 penderita TB Paru dengan BTA Positif yang diobati. Tiga perempat dari kasus berusia 15-49 tahun dan baru 20 % yang tercakup dalam program pemberantasan TB yang dilaksanakan oleh pemerintah. Guna strategi DOTS (Direcly Observed Treatment Short Course) yang mengandung lima komponen yaitu perlu


(22)

komitmen politik penentu kebijakan, diagnosis mikroskopik yang baik, jaminan ketersediaan obat, serta pencatatan dan pelaporan dalam mengawasi penderita menelan obat secara teratur dan benar oleh PMO. DOTS merupakan strategi WHO yang paling efektif untuk memastikan kepatuhan berobat dan kelengkapan pengobatan, dapat mengurangi biaya pengobatan TB Paru, mengurangi frekuensi resistensi MDR (Multi Drugs Resistensi) TB, kasus kambuh, kasus gagal pengobatan dan meningkatkan kesembuhan (Depkes RI, 2007).

WHO dalam global tuberculosis control tahun 2009 melaporkan bahwa Indonesia masih menempati urutan ketiga sebagai Negara yang memiliki jumlah kasus TB Paru terbesar setelah India dan Cina sampai akhir periode tahun 2007. Adapun lima Negara dengan jumlah pasien TB paru terbanyak dengan urutan sebagai berikut: India terdapat 2 juta orang, Cina 1,3 juta orang, Indonesia 0,53 juta orang, Nigeria 0,46 juta orang, dan Afrika Selatan 0,45 juta orang (WHO, 2009 ).Hampir 10 tahun Indonesia menempati urutan ke – 3 sedunia dalam jumlah hal penderita TB.Baru pada tahun ini turun ke peringkat ke-4 dan masuk dalam Milestone atau pencapaian kinerja 1 tahun kementrian Kesehatan.

WHO pada Global Report (2010), didapat data TB Indonesia, total seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak 294.731 kasus, dimana 169.213 adalah kasus TB baru BTA+, 108.616 adalah kasus TB BTA negatif, 11.215 adalah TB ekstra paru, 3.709 adalah kasus TB kambuh dan 1.978 adalah kasus pengobatan ulang di luar kasus kambuh.


(23)

Secara Nasional dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan (DepKes) tahun 2004 didapatkan Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit Kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran pernafasan serta peyebab kematian nomor 1 pada semua golongan umur dari golongan penyakit infeksi. WHO (1998) memperkirakan terdapat 450.000 penderita baru TB paru dengan ditemukan BTA pada dahaknya (BTA (+)) di Indonesia serta terdapat 175.000 kematian karena TB setiap tahunnya.

Sepanjang tahun 2010 sebanyak 73,8% TB Paru BTA Positif terdapat di Sumatera Utara yaitu 15.614 orang penderita TB Paru BTA+ (Dinkes Sumut, 2010). Secara nasional Sumatera Utara berada di urutan ke 6 setelah Sulawasi Utara, DKI, Jakarta, Maluku, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat (Profil Kes. Indonesia, 2011).

Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara melalui Ka.Bid Penanggulangan masalah Kesehatan (PKM), mengatakan bahwa TB Paru menduduki peringkat keempat penyebab kematian di Sumut (). Menurut profil Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu kasus TB merupakan penyakit menular terbanyak setelah ISPA yaitu berjumlah 4.095 orang.

Kepatuhan minum obat anti tuberkulosis (OAT) akan berpengaruh terhadap proses penyembuhan dari infeksi tuberkulosis. Kepatuhan pasien dilihat dari keteraturan, waktu dan cara minum obat. Petunjuk dalam mengkonsumsi OAT perlu diperhatikan untuk mencegah resistensi terhadap obat. Obat anti tuberkulosis seperti Isoniazid dan Rifampin lebih baik diminum pada saat perut kosong, minimal setengah jam sebelum makan, tujuannya selain untuk mencegah mual juga untuk


(24)

meningkatkan penyerapan obat di dalam tubuh dan menghindari interaksi dengan makanan (Schwenk et al, 2004). Penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar responden (57,6%) patuh terhadap anjuran minum obat. Penelitian ini menunjukan ketidakpatuhan penderita pada anjuran minum obat terletak pada ketidakteraturan minum obat. Penelitian ini menemukan beberapa penderita lupa minum obat karena masing-masing obat dikonsumsi dalam waktu yang berbeda. Pada beberapa penderita, obat yang diberikan seringkali tidak tertelan karena dimuntahkan oleh sang anak. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan diduga dapat menyebabkan kekebalan bakteri terhadap obat-obatan yang dikonsumsi (Multiple Drugs Resistance/MDR). Hal tersebut akan mengakibatkan pengobatan menjadi lebih lama (Bello, 2010).

Kondisi di lapangan masih terdapat penderita TB Paru yang gagal menjalani pengobatan secara lengkap dan teratur. Keadaan ini disebabkan oleh banyak faktor, tetapi yang paling banyak memainkan perannya adalah ketidakpatuhan penderita dalam menjalani pengobatan (Sukana dkk, 2003). Kepatuhan adalah hal yang sangat penting dalam perilaku hidup sehat. Kepatuhan minum OAT adalah mengkonsumsi obat-obatan yang diresepkan dokter pada waktu dan dosis yang tepat. Pengobatan hanya akan efektif apabila pasien mematuhi aturan dalam penggunaan obat (Laban, 2008). Selain itu masalah lainnya adalah pengobatan penyakit TB Paru memerlukan jangka waktu yang lama dan rutin yaitu 6-8 bulan. Dengan demikian, apabila penderita meminum obat secara tidak teratur atau tidak selesai, justru akan mengakibatkan terjadinya kekebalan ganda kuman TB Paru terhadap obat Anti-Tuberkulosis (OAT), yang akhirnya untuk pengobatannya penderita harus


(25)

mengeluarkan biaya yang tinggi/ mahal serta dalam jangka waktu yang relatif lebih lama (Handhayani, 2011).

Oleh karena itu dalam standar Internasional penatalaksanaan TB (ISTC) standar 14 perlu dilakukan penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasar riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Standar 15 ISTC mengisyaratkan bahwa pasien gagal pengobatan dan kasus kronik selalu dipantau kemungkinan terjadi resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin dan etambutol seharusnya dilakukan segera. Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paling tidak harus digunakan empat obat yg masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR-TB harus dilakukan (Hudoyo, 2012).

Sudah banyak penelitian yang berkaitan dengan Tuberkulosis. Hasil penelitian yang dilakukan Pemerintah Kab. Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2000 menyimpulkan ada 8 variabel yang memengaruhi kegagalan konversi pada penderita TB Paru yang telah berobat yakni status gizi, lantai rumah, jendela rumah, merokok, peran keluarga dalam pengobatan, ketersediaan PMO, penyuluhan paramedis, dan kepatuhan berobat penderita (Akbar, 2008).


(26)

Menurut penelitian Simamora (2004) yang dilakukan di Puskesmas Kota Binjai, ada beberapa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB paru yaitu : pengetahuan penderita tentang pengobatan TB paru, ada tidaknya Pengawas Minum Obat (PMO), efek samping obat, perilaku petugas pelayanan kesehatan, persepsi pasien terhadap penyuluhan kesehatan, dan jarak antara rumah pasien ke puskesmas. Analisa hasil penelitiannya menyimpulkan penderita TB paru yang pengetahuannya kurang baik terhadap pengobatan TB paru mempunyai kemungkinan 6,097 kali lebih besar teratur berobat dibandingkan pada penderita yang pengetahuannya baik terhadap pengobatan TB paru. Selain itu juga menurut hasil penelitian Zuliana (2009) di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan terdapat pengaruh yang bermakna antara variabel pengetahuan dan peran PMO terhadap kepatuhan berobat penderita TB Paru.

Penelitian lainnya yang berkaitan dengan TB Paru yaitu yang dilakukan oleh Susanti (2008) di Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya, diketahui bahwa ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan motivasi pasien tuberkulosis paru dengan keteraturan berobat di wilayah kerja puskesmas. Lamanya waktu pengobatan TB paru yang harus dilakukan selama 6 bulan, dapat saja dijadikan beban oleh penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Adapun bagi penderita yang memiliki keinginan atau motivasi yang kuat akan terhindar dan sembuh dari penyakit dan tetap akan melakukan pengobatan secara teratur. Namun Susanti kurang menjelaskan tentang deskripsi dari motivasi tersebut. Oleh karena itu, maka dirasa perlu untuk dilaksanakan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor motivasi yang


(27)

memengaruhi kepatuhan berobat di suatu Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang melayani pengobatan TB Paru.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Isa & Nafika (2003) tentang efektifitas penggunaan kartu berobat terhadap keteraturan berobat di wilayah kotamadya Banjarmasin menunjukkan bahwa 85,4% sampel patuh terhadap pengobatan dan 14,6% tidak patuh terhadap pengobatan. Menurut Isa presentasi tersebut di dukung dengan faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan kartu berobat seperti tingkat pendapatan, tingkat pengetahuan dan kemudahan dalam menjangkau pelayanan kesehatan.

Salah satu penyebab utama tidak berhasilnya pengobatan pasien Tuberkulosis paru bermula pada perilaku berobat pasien misalnya, keteraturan minum obat, kepatuhan pengambilan obat, dan (pemeriksaan ulang dahak). Sehingga masih banyak pasien yang terlambat mencapai konversi pada akhir fase intensif pengobatan, dengan demikian dalam pengobatan pasien Tuberkulosis perlu kepastian bahwa seorang pasien memakan obatnya dan menyelesaikan jadwal pengobatan secara benar (Aditama, 1994). Suatu harapan baru yang lebih baik dalam penanggulangan TB Paru dengan dilaksanakannya cara pengobatan strategi DOTS dan diketahui hal-hal yang memengaruhi keberhasilan pengobatan serta perkembangan baru obat-obatan anti tuberkulosis, sehingga cakupan dan keberhasilan pengobatan akan meningkat.

Faktor yang memengaruhi perilaku kepatuhan pasien dalam minum obat adalah faktor predisposing meliputi pengetahuan, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, sikap; faktor enabling meliputi ketersediaan sarana atau fasilitas kesehatan; dan faktor


(28)

reinforcing yaitu dukungan keluarga dan sikap petugas kesehatan. selanjutnya tentang pengetahuan dalam ranah kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu: tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synteshsis) dan evaluasi (evaluation). Sikap juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Dukungan keluarga merupakan bagian dari pasien yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Sehingga dari faktor pengetahuan, sikap dan dukungan keluarga sangat berpengaruh dalam meningkatnya kepatuhan minum obat TB Paru (Ariani dkk, 2011).

Dukungan keluarga sangat berperan dalam rangka meningkatkan kepatuhan minum obat. Keluarga adalah unit terdekat dengan pasien dan merupakan motivator terbesar dalam perilaku berobat penderita TB Paru. Pada saat ini belum ada data yang pasti tentang bobot pengaruh dukungan keluarga yang diperlukan pasien Tb Paru dalam hal ini adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit. Menurut Friedman (1998), keluarga memandang selalu siap memberikan dukungan agar pasien rutin dalam pengobatan. Adanya perhatian dan dukungan keluarga dalam mengawasi dan mengingatkan penderita untuk minum obat dapat memperbaiki derajat kepatuhan penderita.

Menurut Kelman yang dikutip dalam Sarwono (1997) perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi, kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin


(29)

menghindari hukuman atau sanksi jika tidak patuh, atau memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut. Tahap ini disebut tahap kepatuhan. Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan. Salah satu aspek yang turut menentukan perilaku individu dalam hal ini kepatuhan adalah motivasi.

Berdasarkan hasil survei pendahuluan di Kabupaten Labuhanbatu khususnya di desa Sri dua, bahwa terdapat 10 orang pasien TB Paru yang telah diwawancarai, hanya 8 orang yang terus melanjutkan pengobatannya karena belum sembuh dan 4 orang yang selalu didukung keluarganya. Ditemukan 6 pasien yang dibiarkan oleh keluarganya dalam pengobatan karena kebutuhan ekonomi. Berdasarkan keadaan di atas peneliti ingin mengetahui hubungan perilaku keluarga dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru di Kabupaten Labuhanbatu tahun 2013.

1.2Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian adalah bagaimana hubungan perilaku keluarga dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru di Kabupaten Labuhanbatu tahun 2013.


(30)

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan perilaku keluarga dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru di Kabupaten Labuhanbatu tahun 2013.

1.4Hipotesis

Ada hubungan perilaku keluarga dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru di Kabupaten LabuhanBatu tahun 2013.

1.5Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

1. Dinas Kesehatan Labuhan Batu agar dapat memberikan masukan untuk pengembangan program pengobatan TB Paru.

2. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan untuk dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan perilaku keluarga dalam kepatuhan pengobatan TB paru pasien.

3. Bagi Peneliti untuk mendapat pengalaman dan wawasan yang menunjang aplikasi nyata ilmu Promosi Kesehatan.


(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Tuberkulosis 2.1.1 Pengertian

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium Tuberkulosis, sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya(Depkes, 2002).

2.1.2 Etiologi

Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat

dormant, tertidur lama selama beberapa hari (Depkes, 2002). 2.1.3 Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita TBC BTA Positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang


(32)

dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut, bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes, 2002).

2.1.4 Risiko Penularan

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk terdapat 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TBC, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TBC (Depkes, 2002).

Dari keterangan di atas dapat diperkirakan pada daerah dengan ARTI 1% maka di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, di mana 50 penderita adalah BTA Positif.

2.1.5 Riwayat terjadinya Tuberkulosis Paru

Penyakit ini diawali oleh infeksi primer pada seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB Paru. Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru sehingga mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe di sekitar hilus paru, hal ini berlangsung sekitar 4-6 minggu. Setelah infeksi primer terjadi, perkembangan penyakit tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respons daya tahan tubuh. Ada kuman


(33)

persisten atau dormant (tidur) dan akan aktif ketika daya tahan tubuh tidak mampu melawan kuman tersebut, sehingga terjadilah penderita TB Paru, waktu yang diperlukan untuk proses ini diperkirakan sekitar 6 bulan (Depkes, 2002).

2.1.6 Gejala dan Tanda a. Gejala utama

Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih. b. Gejala tambahan, yang sering dijumpai :

1) Dahak bercampur darah 2) Batuk darah

3) Sesak nafas dan rasa nyeri dada

4) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Depkes, 2002).

2.1.7 Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru

Diagnosis tuberkulosis pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya Positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TBC maka penderita didiagnosis sebagai penderita TBC BTA positif, kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi (Depkes, 2002).


(34)

2.1.8 Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru

Penemuan penderita dilakukan secara pasif artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case dinding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif). Selain itu, semua kontak penderita TBC Paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya (Depkes, 2002).

2.1.9 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:

a. lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru

b. bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif

c. Riwayat pengobatan TB sebelumnya, pasien baru atau sudah pernah diobati d. Status HIV pasien

a. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh (Anatomical Site) yang terkena: 1) Tuberkulosis paru

Tuberkulosis pru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.


(35)

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Pasien dengan TB paru dan TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB paru. b. Kalsifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis,

Keadaan ini terutama ditujukan pada TB paru: 1) Tuberkulosis paru BTA positif

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biarkan kuman TB positif.

d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan HIV negatif.


(36)

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. c. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu:

1) Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.

2) Kasus yang sebelumnya diobati a) Kasus sembuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). b) Kasus setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

c) Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.


(37)

3) Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan pengobatannya.

4) Kasus lain:

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang i. tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,

ii. pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, iii. kembali diobati dengan BTA negatif

2.2 Pengobatan Tuberkulosis Paru (TBC)

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

2.2.1 Pengobatan TB pada Orang Dewasa

Pengobatan TBC Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TBC) dan II (Terinfeksi TBC/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.

Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu : a. Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.

Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.


(38)

b. Obat sekunder : Exionamid, Paraminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.

Tabel 2.1 Dosis Obat Antituberkulosis (OAT) Obat Dosis harian

(mg/kgbb/hari)

D Dosis 2x/minggu (mg/kgbb/hari)

Dosis 3x/minggu (mg/kgbb/hari) INH 5-15 (maks 300 mg) 15-40 (maks. 900 mg) 15-40 (maks. 900 mg) Rifampisin 10-20 (maks. 600 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-20 (maks. 600 mg) Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g) Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g) Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

Pengobatan TBC pada orang dewasa a. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan).

Diberikan kepada:

oPenderita baru TBC paru BTA positif.

oPenderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.

Tabel 2.2 Dosis untuk Panduan OAT KDT untuk Kategori 1

Berat Badan

Tahap Intensive Tiap hari selama 56 hari

RHZE(150/75/400/275)

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16

minggu RH (150/150) 30 - 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT 38 - 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT 55 - 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT .> 75 75 kg 5 tablet 5 KDT 5 tablet 2 KDT


(39)

Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT – Kombipak untuk Kategori 1

Tahap pengobatan

Lama pengobatan

Tablet isoniazd

@ 300 mgr

Kaplet rifampisin

@ 450 mgr

Tablet pirazinamid

@ 500 mgr

Tablet Ethambutol

@ 250 mgr

Jumlah hari/kali menelan

obat

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

b. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskop is. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.

Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak m ikroskopis dapat dilihat pada tabel dibawah ini.


(40)

Tabel 2.4 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak Tipe Pasien Tahap Pengobatan Hasil

Pemeriksaan Dahak

Tindak Lanjut

Akhir Tahap Intensif Negatif Tahap lanjut dimulai

Pasien baru dengan kategori I

Positif Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif:

•Tahap lanjut tetap diberikan

•Jika memungkinkan, lakukan niakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Pada bulan ke-5

pengobatan

Negatif Pengobatan dilanjutkan

Positif Pengobatan diganti dengan OAT kategori 2 mulai dari awal.

Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Akhir Pengobatan

(AP)

Negatif Pengobatan dilanjutkan Positif Pengobatan diganti

dengan OAT kategori 2 mulai dari awal.

Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR


(41)

Tabel 2.4 (Lanjutan) Tipe Pasien Tahap Pengobatan Hasil

Pemeriksaan Dahak Tindak Lanjut Pasien paru BTA positif dengan pengobatan ulang kategori 2

Akhir Intensif Negatif Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan Positif Beri sisipan 1 bulan. Jika

setelah sisipan masih tetap positif, tersukan pengobatan tahap lanjutan. Jika setelah sisipan masih tetap positif:

•Tahap lanjut tetap diberikan

•Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Pada bulan ke-5

pengobatan

Negatif Pengobatan diselesaikan Positif Pengobatan dihentikan,

rujuk ke layanan TB-MDR

Akhir pengobatan (AP)

Negatif Pengobatan diselesaikan Positif Pengobatan dihentikan,

rujuk ke layanan TB-MDR. Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB-MDR. Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB-MDR.

c. Sembuh

Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.


(42)

d. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada:

o Penderita kambuh. o Penderita gagal terapi.

o Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat. Tabel 2.4 Dosis untuk Panduan OAT KDT Kategori 2

Berat badan

Tahap Intensif tiap hari

RHZE ( 150/75/400/275)+ S Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150)+etambutol Selama 56 hari Selama 28

hari 30 – 37 kg 2 tab 4 KDT

+ 500 mg

Streptomicin inj.

2 tab 4 KDT 2 tab 2 KDT + 2 tab etambutol 38 – 54 kg + 750 mg

Streptomicin inj.

3 tab KDT 3 tab 2 KDT + 3 tab etambutol 55– 70 kg 4 tab KDT

+ 1000 mg

4 tb 4 KDT 4 tab 2 KDT + 4 tab Etambutol Streptomicin inj.

>71 kg 5 tab 4 KDT + 1000 mg Streptomicin inj.

5tab 4 KDT 5 tab 2 KDT + 5 tab etambutol

Tabel 2.5 Dosis Panduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

Tahap pengoba tan Lama pengoba tan Tablet isonia zid @ 300 mgr Kaplet rifamfi sin @ 450 mgr Tablet Pirazina mid @ 500 mgr Etambutol Streptomi cin injeksi Jumlah ari / kali menela n obat Etambu tol @ 250 mgr Etambu tol @ 400 mgr Tahap intensif dosis harian 2 bulan 4 bulan 1 1 1 1 3 3 3 3 -

- 0,5 gr

56 28 Tahap lanjutan 2 kali semingg u


(43)

2.2.2 Multi Drugs Resistensi Obat TB (MDR) TB Paru

Kebanyakan MDR TB terjadi karena kurang patuhnya pasien dalam pengobatan Tb.Resistensi yang terjadi dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Deteksi awal MDR Tb dan memulai terapi sedini mungkin merupakan faktor penting untuk tercapainya keberhasilan terapi pada penyakit Paru tersebut. Pengobatan tidak lengkap dan adekuat menyebabkan Multi Drugs Resistensi.

Multidrug resistant tuberculosis (MDR TB) adalah yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (M. TB) resisten terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya.

Kepatuhan pengobatan sangatlah penting untuk penatalaksanaan pengobatan Penderita TB Paru yang mempengaruhi kesembuhan pasien tersebut.Apabila pasien tidak patuh dapat menyebabkan Multi Drugs Resistensi terhadap satu atau beberapa obat anti tuberculosis (OAT) Paru, yang akan berdampak pada lamanya kesembuhan pasien dan akan memerlukan biaya yang semakin mahal.

2.3 Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru

Program pemberantasan penyakit menular mempunyai peranan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian adapun tujuan penanggulangan Tuberkulosis paru adalah :

2.3.1 Jangka Panjang

Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB dengan cara memutuskan mata rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia.


(44)

2.3.2 Jangka Pendek

Tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru BTA positif yang ditemukan dengan menggunakan strategi DOTS dan tercapainya cakupan penemuan penderita sesuai dengan target CDR yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar 70% secara bertahap (Depkes, 2002).

2.4 Faktor-Faktor Risiko

Faktor risiko adalah suatu determinan yang diperlukan sehingga dapat mengurangi kemungkinan timbulnya masalah kesehatan atau penyakit. Karakteristik tertentu dari golongan penduduk yang mempunyai resiko untuk terjangkitnya penyakit TB lebih besar bila dibandingkan dengan golongan lain (Depkes, 2007), faktor resiko tersebut adalah :

2.4.1 Umur

Sampai pada usia pubertas antara anak laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan kejadian TB Paru. Namun setelah melewati usia pubertas hingga dewasa terdapat perbedaan yang beragam di berbagai negara. Penyakit TB sebagian besar (± 75%) menyerang kelompok usia produktif, kelompok ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah. Hal tersebut juga di temukan pada penelitian kasus kontak TB yang dilakukan oleh Chandra Wibowo dkk di RSUP Manado di mana dari 15 orang penderita, 14 orang (93,33%) berusia produktif (19-55 tahun) dan hanya 1 orang (6,67%)berusia 56 tahun. Rentang usia TB pada kasus kontak adalah 28-46 tahun pada laki-laki dan 20-56 tahun pada perempuan (Depkes, 2007).


(45)

2.4.2 Jenis Kelamin

Di Eropa dan Amerika Utara insiden tertinggi TB Paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Angka pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui usia subur. Wanita sering mendapat TB Paru sesudah bersalin.

Sementara di Afrika dan India tampaknya menunjukkan pola yang sedikit berbeda. Prevalensi TB Paru tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia pada jenis kelamin. Pada wanita prevalensi menyeluruh lebih rendah dan peningkatan seiring dengan usia adalah kurang tajam di bandingkan dengan pria. Pada wanita prevalensi maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang. Pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai 60 tahun.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chandra Wibowo di RSUP Manado menemukan bahwa pada laki-laki mendapatkan TB Paru Pada kasus kontak 0, 36 kali pada perempuan. Menurut Ismen MD 2000 dalam Chandra Wibowo dkk 2004 bahwa penelitian di negara maju didapatkan laki-laki memiliki resiko tertular akibat kontak lebih besar dari pada perempuan. Sebaliknya di negara berkembang diperkirakan sama, bahkan perempuan sedikit lebih banyak karena berbagai alasan sosial budaya. Peran perempuan di sini cukup penting, karena selain merawat penderita TB Paru di rumah, suka melakukan aktivitas rumah tangga untuk anak, suami dan anggota keluarga lain sehingga penularan dapat dengan mudah dan cepat menular ke anggota keluarga lain.


(46)

2.5 Kepatuhan

Kepatuhan (compliance) berasal dari kata patuh yang berarti suka menurut, taat pada perintah, aturan, dan disiplin. Selanjutnya, kepatuhan adalah taat atau tidak taat pada perintah, aturan atau disiplin (Ridwan, 2012). Menurut Sacket dalam Niven (2000) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

Kelman dalam Sarwono (1997) mengemukakan bahwa perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi, kemudian internalisasi. Kepatuhan dapat didasarkan karena ingin menghindari hukuman/sangsi, atau ingin memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran. Kepatuhan seperti ini adalah kepatuhan sementara. Sedangkan kepatuhan yang diharapkan adalah kepatuhan dimana seseorang memahami makna, dan mengerti akan pentingnya suatu tindakan atau suatu keadaan.

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,makanan serta lingkungan. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan merupakan respon seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan. Perilaku ini menyangkut respon terhadap fasilitas pelayanan, petugas kesehatan dan obat-obatannya (Notoatmojo, 2007).

Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Gejala kejiwaan yang yang dimaksud dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain


(47)

pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosial budaya, masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

Perilaku mengonsumsi obat merupakan perilaku peran sakit yaitu tindakan atau kegiatan yang dilakukan penderita agar dapat sembuh. Kepatuhan menjalankan aturan pengobatan sangat penting untuk mencapai kesehatan secara optimal. Perilaku kepatuhan dapat berupa perilaku patuh dan tidak patuh yang dapat diukur melalui dimensi kemudahan, lama pengobatan, mutu, jarak dan keteraturan pengobatan. Kepatuhan akan meningkat bila instruksi pengobatan jelas, hubungan obat terhadap Universitas Sumatera Utarapenyakit jelas dan pengobatan teratur serta adanya keyakinan bahwa kesehatan akan pulih, petugas kesehatan yang menyenangkan dan berwibawa, dukungan sosial keluarga pasien dan lain sebagainya (Medicastore, 2007).

2.5.1 Variabel Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan

Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut Suddart dan Brunner (2002) adalah:

1. Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosio ekonomi dan pendidikan.

2. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi. 3. Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping

yang tidak menyenangkan.

4. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya


(48)

dan biaya financial dan lainnya yang termasuk dalam mengikuti regimen hal tersebut diatas juga ditemukan oleh Bart Smet dalam psikologi kesehatan.

2.5.2 Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan

Faktor - faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian menurut Niven (2002) antara lain :

1. Pemahaman tentang intruksi

Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang intruksi yang diberikan kepadanya.

2. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.

3. Isolasi sosial dan keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

4. Keyakinan, sikap dan kepribadian

Becker et al (1979) dalam Niven (2002) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan.

2.5.3 Strategi Untuk Meningkatkan Kepatuhan

Menurut Smet (1994) berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan adalah :


(49)

1) Dukungan Profesional Kesehatan

Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik Dokter/ perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.

2) Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi.

3) Perilaku Sehat

Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan hipertensi diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur atau minum obat anti hipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi. 4) Pemberian Informasi

Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.


(50)

2.6 Keluarga

2.6.1 Definisi Keluarga

Beberapa ahli mempunyai kesamaan dalam mengemukakan pendapatnya tentang pengertian keluarga. Bailon dan Maglaya (1976) mendefinisikan keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi yang saling berinteraksi satu sama lain, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya. Pendapat Friedman, Bowden, dan Jones (2003) keluarga adalah sebuah sistem kecil yang terbuka yang terdiri atas suatu rangkaian bagian yang saling ketergantungan dan dipengaruhi baik oleh struktur lingkungan eksternal dan interna.

Beberapa definisi keluarga yang sering dipakai anatara lain (Lubis, 2008) : a. Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil

masyarakat yang terdiri dari suami, isteri, atau suami isteri dan anaknya atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya.

b. Menurut Tinkham dan Voorlies keluarga adalah persekutuan dua atau lebih individu yang terikat oleh darah, perkawinan, atau adopsi yang membentuk satu rumah tangga, berhubungan dalam peraturan keluarga, serta menciptakan dan memelihara budaya yang sama.

c. Goldenberg mendefinisikan keluarga sebagai sekumpulan individu yang bertempat tinggal dalam satu fisik dan psikis yang sama saja, tetapi merupakan sistem sosial alamiah yang memiliki kekayaan bersama, mematuhi peraturan, peranan, struktur kekuasaan, bentuk komunikasi, tatacara negosiasi, sera tata cara penyelesaian


(51)

masalah bersama, yang memungkinkan pelbagai tugas dapat dilaksanakan secara efektif.

2.6.2 Bentuk Keluarga

Ada berbagai macam bentuk keluarga, menurut Goldenberg (1980, dalam Lubis, 2008) membedakan bentuk keluarga menjadi sembilan macam, yaitu:

a. Keluarga inti (nuclear family). Keluarga yang terdiri dari suami, istri serta anak-anak kandung.

b. Keluarga besar (extended family) Keluarga yang disamping terdiri dari suami, istri, dan anak-anak kandung, juga sanak saudara lainnya, baik menurut garis vertikal (ibu, bapak, kakek, nenek, mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar) yang berasal dari pihak suami atau pihak isteri. c. Keluarga campuran (blended family) Keluarga yang terdiri dari suami, istri,

anak-anak kandung serta anak-anak tiri.

d. Keluarga menurut hukum umum (common law family) Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan sah serta anak-anak mereka yang tinggal bersama.

e. Keluarga orang tua tunggal (single parent family) Keluarga yang terdiri dari pria atau wanita, mungkin karena bercerai, berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak pernah menikah, serta anak-anak mereka tinggal bersama. f. Keluarga hidup bersama (commune family) Keluarga yang terdiri dari pria,

wanita dan anak-anak yang tinggal bersama, berbagi hak, dan tanggung jawab serta memiliki kekayaan bersama.


(52)

g. Keluarga serial (serial family) Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah dan mungkin telah punya anak, tetapi kemudian bercerai dan masing-masing menikah lagi serta memiliki anak-anak dengan pasangan masing-masing, tetapi semuanya menganggap sebagai satu keluarga.

h. Keluarga gabungan/komposit (composite family) Keluarga terdiri dari suami dengan beberapa istri dan anak-anaknya (poliandri) atau istri dengan beberapa suami dan anak-anaknya (poligini) yang hidup bersama.

i. Keluarga tinggal bersama (cohabitation family) Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ada ikatan perkawinan yang sah.

2.6.3 Fungsi Keluarga

Menurut Friedman (2004) keluarga diharapkan mampu melakukan fungsi dan tugas kesehatan keluarga yang meliputi :

a. Fungsi Afektif

Fungsi keluarga dalam pembentukan kepribadian anak, pemantapan kepribadian orang dewasa, serta pemenuhan kebutuhan psikologis para anggota keluarga. Terpenuhinya fungsi afektif,keluarga meningkatkan kualitas, stabilitas, perilaku dalam hubungan keluargaserta harga diri keluarganya (Friedman, Bowden, dan Jones, 2003).

b. Fungsi Sosialisasi

Fungsi keluarga mempersiapkan anak-anak sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang produktif dalam masyarakatnya. Menurut Fiedman, Bowden, dan Jones (2003) mendefinisikan sosialisasi dalam istilah peran adalah proses


(53)

perkembangan atau perubahan yang dijalani seseorang sebagai hasil dari interaksi sosial dan pembelajaran sosial.

c. Fungsi Reproduksi

Fungsi menjaga kelangsungan garis keturunan dan menambah anggota keluarga yang kelak akan menjadi anggota masyarakat.

d. Fungsi Mengatasi Masalah Keluarga

Fungsi keluarga memelihara peraturan dan kemapanan keluarga pada waktu berinteraksi dengan lingkungan dalam dan lingkungan luar keluarga.

e. Fungsi Ekonomi

Fungsi keluarga menyediakan sumber ekonomi secara cukup serta mengatur pemakaiannya secara efektif. Kondisi ekonomi akan mempengaruhi keluarga secara signifikan. Ketika ekonomi keluaarga dalam keadaan sulit maka struktur, fungsi, dan proses keluarga akan terganggu, oleh sebab itu seseorang akan memutuskan apakah tetap bekerja dan kapan harus pension (Kaankien, 2010).

f. Fungsi Pemenuhan Kebutuhan Fisik

Fungsi keluarga memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, perumahan, dan kesehatan.

2.7 Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Skiner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku


(54)

merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu :

a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Perilaku dibedakan atas pengetahuan, sikap dan tindakan (Notoatmodjo, 2003) :

a. Pengetahuan

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan dibagi atas 6 tingkatan :

1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari


(55)

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (Aplication)

Apikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintensis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek.

b. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok :


(56)

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek

3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total

atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

Menurut Purwanto (1999) sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecendrungan untuk bertindak terhadap suatu obyek. Ciri - ciri sikap adalah :

a. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungannya dengan obyeknya. Sifat ini membedakannya dengan sifat-sifat biogenetis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat.

b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu obyek. Dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu yang dirumuskan dengan jelas. Obyek sikap itu dapat merupakan suatu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.


(57)

d. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sikap inilah yang membedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.

e. Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu (Purwanto, 1999).

Sikap dibedakan atas beberapa tingkatan : a. Menerima (Receiving )

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulasi yang diberikan (objek).

b. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

c. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang tinggi.


(58)

c. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan.

Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan : 1. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

2. Respon terpimpin (Guided Response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

3. Mekanisme (Mecanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

4. Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

Menurut Notoatmodjo (2003) ada beberapa faktor yang memengaruhi pengetahuan seseorang yaitu :


(59)

a. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk menggembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah berlangsung seumur hidup. Pendidikan memengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Degan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pegetahuan yang didapat tenaga kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat dperoleh pada pendidikan non formal. Konselig merupakan salah satu kegiatan pendidikan non formal yang dapat dilakukan dengan berbagai metode. Metode yang digunakan dalam pelaksanaan konseling memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pengetahuan sasaran.

b. Media Massa/Informasi

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga meghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang apa memengaruhi pengetahuan masyarakat tenang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar,


(60)

majaah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa mebawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat megarahkan opini seseorang. Adanya infomsi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.

c. Sosial Budaya dan Ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demkian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga aka menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlakukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status ekonomi in akan memengaruhi pengetahuan seseorang.

d. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik lingkungan fisik, fiologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses tidak masukknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbale balik ataupun tidak akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu

e. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan


(61)

keterampilan professional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan menifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.

f. Umur

Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola piker seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat.

2.8 Landasan Teori

Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh mahluk hidup, baik yang diamati secara langsung atau tidak langsung perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek yaitu: aspek fisik, psikis dan sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak kejiwaan seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya, yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya masyarakat. Bahkan kegiatan internal seperti berpikir, berpersepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia.

Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skinner maka Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Upaya kesehatan yang dilakukan untuk mewujudkan kesehatan


(62)

seseorang diselenggarakan dengan empat macam pendekatan yaitu pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit (preventive), penyembuhan penyakit (curative) dan pemulihan kesehatan (rehabilitative).

Respon atau reaksi manusia dibedakan menjadi dua kelompok yaitu yang bersifat pasif dan bersifat aktif. Bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice). Perilaku terhadap pelayanan kesehatan adalah respon seseorang terhadap pelayanan kesehatan baik pelayanan kesehatan yang modern maupun pelayanan kesehatan yang tradisional. Perilaku ini menyakut respon terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan, dan obat-obatannya, yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan pengguna fasilitas, petugas, dan obat-obatan. Perilaku seseorang di pengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain ; susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, proses belajar, lingkungan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan, kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu :

a. Faktor perilaku (behavioral causes)

b. Faktor diluar perilaku (non behavioral causes)

Selanjutnya faktor perilaku di pengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor-faktor penguat (reinforcing factors), yaitu :


(1)

minum obat secara teratur di depan PMO. Oleh sebab itu, PMO perlu mendapatkan penyuluhan bersama dengan penderita sehingga pengobatan dapat mencapai target yang ditetapkan. PMO yang baik adalah yang paling dekat dengan penderita, dihormati dan disegani oleh penderita. PMO seharusnya memberikan penyuluhan, mendorong, mengingatkan dan mengawasi penderita TB Paru menelan obat (Depkes RI, 2007).


(2)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Tidak ada hubungan pengetahuan keluarga dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru di Kabupaten Labuhanbatu (p.>0,05).

2. Ada hubungan sikap keluarga dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru di Kabupaten Labuhanbatu (p.<0,05).

3. Ada hubungan tindakan keluarga dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru di Kabupaten Labuhanbatu (p.<0,05).

4. Variabel yang paling dominan memengaruhi kepatuhan pengobatan penderita TB paru adalah sikap dengan nilai koefisien regresi = 0,953. Hal ini mengindikasikan bahwa sikap keluarga sangat memengaruhi kepatuhan berobat penderita TB paru.

6.1Saran

1. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhan Batu agar bekerja sama dengan lintas program untuk pemberdayaan keluarga dengan penderita TB Paru guna meningkatkan pelaksanaan program TB Paru yang lebih optimal.

2. Kepada pihak Puskesmas Kabupaten Labuhan Batu agar meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit TB paru dan cara pengobatannya serta akibat yang mungkin terjadi bila tidak patuh dalam menjalankan pengobatan,


(3)

melalui penyuluhan secara berkala setiap kali pasien mengambil obat ke puskesmas.

3. Kepada petugas kesehatan untuk merubah sikap keluarga sebaiknya menggunakan saluran telekomunikasi untuk memantau kepatuhan pengobatan pasien setiap hari.

4. Pihak keluarga agar meningkatkan pengetahuan tentang TB paru bahwasanya penyakit TB Paru dapat disembuhkan dan keluarga juga perlu mendapat konseling dalam pengawasan minum obat tidak hanya pada saat awal diagnosis namun juga pada saat pengambilan obat . Serta menekankan kepada penderita TB paru hendaknya menelan Obat Anti Tuberkulosis secara teratur sesuai petunjuk dan jangan berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai agar tidak terjadi resistensi obat dan selama masa pengobatan hendaknya berobat secara teratur sampai dinyatakan sembuh dan tidak menular.

5. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik mengkaji hubungan perilaku keluarga (pengetahuan, sikap dan tindakan) dengan kepatuhan pengobatan penderita TB paru agar di teliti obat yang lebih singkat untuk pengobatan penderita TB paru serta perlu mengikutsertakan variabel-variabel lain yang lebih spesifik yang dapat mengukur kepatuhan seperti niat, motivasi dan dukungan dari keluarga


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, F., 2008. Tuberkulosis

Arikunto, 2010. Metodologi Penelitian. Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Bello SI, Itiola OA. Drug adherence amongst tuberkulosis patients in the University

of Ilorin Teaching Hospital. Alfr J Pharm Pharmacol. 2010;4(3):109-114. Departemen Kesehatan RI, 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.

Jakarta

__________, 2007a. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2006, Jakarta.

__________, 2007b. Strategi Penanggulangan Tuberkulosis Indonesia 2006-2010. Jakarta

Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat, 2009. Profil Kesehatan Sumatera Barat 2008. Sumatera Barat

Friedman, Marlyn M. 1998. Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktik/ Marilyn M. Friedman; alih bahasa, Ina Debora R.L.,Yoakim Asy; Editor, Yasmin Asih, Setiawan, Monica Ester.Ed 3.-Jakarta : EGC

_________., (2003). Family Nursing: Research, Theory, & Practice. (5th ed), New Jersey: Prentice Hall

_________., (2004). Family Nursing: Theory &Practice. Appleton &Lange

Hidayat,A., 2010. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Health Books Publishing. Surabaya.

Hudoyo, A., 2012. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta. ISSN 1829-5118. Vol.8 – Maret 2012.

Hutabarat, Bisaria. 2008. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta di Kabupaten Asahan Tahun 2007. Tesis, Pascasarjana USU. Medan.

Isa & Nafika. 2003. Efektivitas pengawasan pengobatan melalui program pengobatan perseorangan tuberkulosis dengan kartu berobat terhadap keteraturan berobat penderita di wilayah kotamadya banjarmasin: jurnal kedokteran yarsi 11.


(5)

Ivanti, R., 2010. Pengaruh Karakteristik dan Motivasi Penderita Tuberkulosis Paru Terhadap Kepatuhan Berobat di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan tahun 2010. Skripsi FKM USU. Medan

Kaankinen, J.R., et al, (2010). Family Health Care Nursing. (4th). Philadelphia: Davis Company

Lubis, F. 2008. Perbandingan sistem pelayanan dan pembinaan berbagai Negara. Jakarta: Departemen IKK FKUI.

Notoatmodjo, S, 2003, Pengantar Pendidikan dan Ilmu Perilaku Kesehatan, Andi Offset, Yogyakarta

__________, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta

Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta.

Pasaribu, M., 2012. Hubungan Dukungan Keluarga dan Karakteristik Penderita TB Paru dengan Kesembuhan pada Pengobatan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan. Tesis FKM USU. Medan

Purwanto, H. 1999. Pengantar Perilaku Manusia untuk Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Riyanto, A, 2009. Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Jaza Mulia, Yogyakarta. Salim, 2002, Hubungan Persepsi Pasien terhadap Peran Pengawas Menelan Obat dengan Kepatuhan Pasien TB Paru Berobat di kota Padang Tahun 2001, Tesis, FKM – UI

Sari, C.N., 2011. Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Pelayanan Kesehatan dan Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2011. Skripsi FKM USU. Medan Sastroasmoro, S., 2002. Dasar-Dasar Metode Penelitian Klinis. Edisi ke-2. Penerbit

CV Sangung Seto. Jakarta

Sidabutar B, Soedibyo S, Tumbelaka A. Nutritional status of under five pulmonary tuberkulosis patiens before and after six month therapy. Pediatrica Indonesia. 2004; 44(2) p: 21-24.


(6)

Simamora, Jojor. 2004. Faktor yang Memengaruhi Ketidakteraturan Berobat Penderita TB Paru di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2004. Tesis, Pascasarjana USU. Medan.

Schwenk A, Hodgson L, Wright A, Ward LC, Rayner CFJ, Grubnic S, et al. Nutrient partitioning in pulmonary tuberkulosis. Am J Clin Nutr 2004;79:1006 –12. Susanti, Rani. 2008. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Motivasi Pasien

Tuberkulosis Paru Dengan Keteraturan Berobat di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya. Skripsi. Stikes Muhamaddiyah Tasikmalaya. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Administrasi. Penerrbit Alfa Beta. Bandung. Suryabrata, 2005. Psikologi Kepribadian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Syahrial, 2004, Analisis Kepatuhan Pasien TBC Paru BTA Positif Dalam Menelan Obat Di RS Khusus Paru – Paru Propinsi Sumatera Selatan tahun 2002, Tesis, FKM – UI

WHO. 2009. Country Profile Indonesia. A Report, Ganeva. Diambil tanggal 7 Januari 2013 dari http://tbcindonesia.or.id.

Zuliana, I., 2009. Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan dan Faktor Peran Pengawas Minum Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru Dalam Pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009. Skripsi FKM USU. Medan.


Dokumen yang terkait

Tingkat Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberculosis Paru Di Poli Paru Rumah Sakit Haji Medan 2012

4 85 65

Hubungan Dukungan Keluarga Dan Karakteristik Penderita Tb Paru Dengan Kesembuhan Pada Pengobatan Tb Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan

3 51 102

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TB PARU DENGAN KEPATUHAN MENJALANI PROGRAM PENGOBATAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 0 15

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 1 4

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TB PARU DENGAN KEPATUHAN MENJALANI PROGRAM PENGOBATAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Tuberkulosis 2.1.1 Pengertian - Hubungan Perilaku Keluarga dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013

0 0 35

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Perilaku Keluarga dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013

0 0 10

Faktor Risiko Kepatuhan Pengobatan pada Penderita Tb Paru BTA Positif

0 0 10

HUBUNGAN PERAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KESEMBUHAN PADA PENDERITA TB PARU DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU UNIT MINGGIRAN YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Peran Keluarga dengan Tingkat Kesembuhan pada Penderita TB Paru di Balai Pengobatan Penya

0 0 11

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT TB PARU PADA PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANARAGAN JAYA KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT TAHUN 2013

1 2 5