Pengaruh Larutan Kulit Buah Tanaman Jengkol (Phitecellobium lobatum (Jack) Prain) terhadap Tingkat Konsumsi Makan Tikus Sawah (Rattus argentiventer (Rob & Kloss)) di Laboratorium

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Tikus Sawah(Rattus argentiventer (Rob & Kloss))
Kedudukan taksonomi tikus sawah menurut Nugroho, et al(2009) adalah
sebagai berikut:
Kingdom

:Animalia

Filum

:Chordata

Sub-Filum

:Vertebrata

Kelas

:Mammalia


Ordo

:Rodentia

Famili

:Muridae

Genus

:Rattus

Spesies

:Rattus argentiventer(Rob & Kloss)

Gambar 1 : Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob & Kloss)

4
Universitas Sumatera Utara


Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob & Kloss) merupakan hama utama
tanamanpadi dari golongan mammalia (binatang menyusui), yang mempunyai
sifat-sifat yang sangatberbeda dibandingkan jenis hama utama padi lainnya
(Sudarmaji, 2010).Tikus sawah dapat berkembang biak mulai umur 1,5-5 bulan.
Setelah kawin, masa bunting memerlukan waktu 21 hari. Seekor tikus betina
melahirkan rata-rata 8 ekor anak setiap kali melahirkan, dan mampu kawin lagi
dalam tempo 48 jam setelah melahirkan serta mampu hamil sambil menyusui
dalam waktu yang bersamaan. Selama satu tahun seekor betina dapat melahirkan
4 kali, sehingga dalam satu tahun dapat dilahirkan 32 ekor anak, dan populasi dari
satu pasang tikus tersebut dapat mencapai + 1200 ekor turunan (Diperta, 2013 dan
Ni, 2014).
Tikus memiliki indra pencium yang baik sehingga dapatmencium bau pakan yang
disukai, tikus lainataupun predator. Indra peraba juga berkembang sangat baik,
yang terdiri atasrambut panjang di antara bulu-bulu halusdi seluruh tubuh dan
kumis untuk mengenali musuhnya dan dapat bergerak aktifpada malam hari.
Indra pendengar tikusdapat menangkap getaran suara melampaui kemampuan
indra pendengar manusia.Indra pendengar tikus memberi responsterbaik pada 40
KHz dan mampu menangkap suara pada frekuensi 100 KHz,meskipun spesies
Rattus argentiventertidakterpengaruh aktivitas makan dan geraknyaapabila diberi

sinyal pada frekuensi tersebut dari jarak 4 m. Indra perasa tikus jugaberkembang
dengan baik, dan mampumendeteksi bahan-bahan bersifat toksik,rasa pahit, dan
rasa tidak enak (Baco, 2011)
Indra penciuman tikus memiliki dua jenis reseptor yang berbeda. Ketikakondisi
normal

reseptor

berfungsi

mengidentifikasi

bau.

Reseptor

kemudian

5
Universitas Sumatera Utara


mengirimkaninformasi ke otak untuk mengsosialisasikan bau dengan bahaya
seperti bau yang tidakmenyenangkan, bau busuk yang artinya makanan tidak
layak untuk dikonsumsi atau adabahaya yang mengancam kehidupannya karena
potensi perkembangbiakan tikus sangatdipengaruhi oleh jumlah dan kualitas
makanan

yang

tersedia

dan

lingkungan

yang

dianggap

berbahaya


(Ivakdalam, 2014) .
Salah satu ciri terpenting dari tikus sebagai ordo rodentia (hewan pengerat)adalah
kemampuannya untuk mengerat benda-benda keras. Supaya dapatmengurangi
pertumbuhan gigi serinya yang tumbuh secara terus-menerus.Aktivitas mengerat
berlangsung selama hidupnya, tetapi hasil pengeratan masihkalah cepat
dibandingkan pertumbuhan gigi serinya (Januarsi, 2010).
Kemampuan alat indra tikus antara lain:
Menyentuh; sangat membantu dalam orientasi dan kewaspadaan terhadap ada atau
tidaknya rintangan di depannya., Mendengar; tikus sangat sensitive terhadap suara
yang mendadak disamping itu tikus dapat mendengar suaa ultra., Melihat; mata
tikus khusus untuk melihat pada malam hari., Mengecap; rasa mengecap pada
tikus sangat berkembang dengan baik, tikus dapat mendeteksi dan menolak air
minum yang mengandung senyawa racun (Kandun, 2008).
Sebagai mamalia omnivora tikus sawah tetap selektif dalam memilih
pakan yang dikonsumsi. Gizi yang seimbang dengan komposisi material hewani
dan nabati selalu dikonsumsi untuk mempertahankan status gizi yang baik.
Material hewani dan nabati tersebut dipilih secara selektif dan selalu waspada
terhadap sumber pakan yang baru dikenal (sifat neophobia) (Karyanto, 2005).


6
Universitas Sumatera Utara

Perilaku Tikus Sawah
Tikus termasuk hama kedua terpenting pada tanaman padi di Indonesia.Ini perlu
mendapat perhatian khusus di samping hama lainnya.Karena kehilangan hasil
produksi akibat serangan hama tikus cukup tinggi. Usaha untuk mengendalikan
tikus ini sudah banyak dilakukan oleh para petani,mulai dari sanitasi,kultur
teknik,fisik,cara hayati,mekanik dan kimia.Namun diakui,bahwa cara-cara
pengendalian tersebut belum dilakukan secara terpadu,sehingga harapan untuk
menekan populasi tikus pada tingkat yang tidak merugikan ternyata sulit dicapai
(Dinpertan, 2014).
Perilaku sosial tikus sawah mencakup perilaku menjaga wilayah kekuasaannya
(territorial) dan tingkatan sosial. Pada kerapatan populasi rendah hingga sedang,
seekor jantan dominan paling berkuasa atas sumber pakan, jalur jalan, lokasi
bersarang, dan tikus betina dalam kelompoknya (Dewi, 2010).
Seperti halnya makhluk hidup lain, tikus memiliki indera yang mendukung
segala aktivitas kehidupannya. Diantara kelima indera yang dimiliki oleh tikus
hanya indera penglihatan yang kurang berkembang dengan baik. Indera yang
paling berkembang dengan baik dan menjadi andalan bagi tikus dalam mendeteksi

lingkungan sekitarnya adalah indera penciuman dan pendengaran(Purwanto, 2009)
Kondisi yang menguntungkan bagi tikus adalah areal dengan banyak
pematang,tanggul-tanggul,tumpukan

jerami,

semak-semak

dan

gulma.

Tikus hidup dalam liang yang dibuat disekitar pertanaman.Liang berfungsi
sebagai tempat berlindung dan berkembang biak.Liang tikus biasannya
mempunyai pintu masuk utama yang berakhir dengan satu atau dua jalan keluar
yang disamarkan. Pada keadan tertentu seperti banjir,persediaan makanan

7
Universitas Sumatera Utara


berkurang, tikus akan mengembara ke tempat lain. Pada umumnya liang yang
ditinggalkan oleh tikus, tidak digunakan lagi oleh tikus lainnnya (Ni, 2014)
Tikus sawah hidup berkelompok dan berdomisili dikawasan yang cukup memberi
perlindungan sumber makanan. Dalam kelompok terdapat ajang kekuasaan,
biasanya tikus jantan yang kuat diantara jantan dewasa adalah yang sangat
berkuasa. Tikus penguasa tersebut akan melindungi selurh anggota kelompoknya
pada kawasan teritorialnya. Kawasan tersebut dipertahankan oleh anggota
kelompokuntuk tidak dimasuki oleh pendatang. Demikian juga tikus betina yang
bunting atau yang sedang memelihara anaknya dapat bertindak sebagai pelindung
sarang dan kawasan di sekitar sarang tersebut (Hamdan, 2013).
Tikus menyerang padi pada malam hari. Pada siang harinya, tikus bersembunyi di
dalam lubang pada tanggul-tanggul irigasi, jalan sawah, pematang, dan daerah
perkampungan dekat sawah. Pada periode bera, sebagian besar tikus bermigrasi ke
daerah perkampungan dekat sawah dan akan kembali lagi ke sawah setelah
pertanaman padi menjelang generatif (Master, 2013).
Tikus tergolong dalam hewan omnivora yang memanfaatkan berbagai jenis
makanan untuk bertahan hidup. Komposisi pakan yang dikonsumsinya tergantung
pada kondisi lingkungan dan pertanaman padi (Nugroho, 2009)
Pola umum kerusakan (serangan) tikus di areal persawahan biasa ditemukan
menyerupai stadion sepakbola dengan bagian tengah lebih pendek karena rusak

terserang dan sering menyisakan bagian pinggir saja yang tidak terserang. Pola
tersebut tampaknya tidak hanya berlaku (bisa terjadi) pada varietas padi yang
disukai tikus, tetapi juga pada varietas padi yang kurang disukai tikus, dengan

8
Universitas Sumatera Utara

syarat jika areal tersebut ditanami varietas yang seragam (Solikhin dan Purnomo,
2008)

Pengendalian Tikus Sawah
Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan salah satu hama penting padi di
lndonesia yang relatif sulit dikendalikan. Hama tersebut menyerang persawahan
maupun perkebunan dengan luas dan intensitas serangan tinggi, sehingga
menimbulkan kerusakan dan kerugian yang tinggi. Tingkat kesulitan yang tinggi
tersebut berhubungan dengan banyak faktor, salah satunya adalah dengan sifat
konsumsinya yang mampu beradaptasi terhadap setiap jenis pakan yang dijumpai.
Secara umum tikus sawah tersebut merupakan binatang omnivora (Karyanto,
2005).
Pengendalian tikus sawah dilakukan dengan pendekatan yang sangat berbeda

dengan pengendalian untuk hama padi lainnya. Pengendalian hama tikus
dilakukan dengan pendekatan pengendalian hama tikus terpadu (PHTT) yaitu
pengendalian tikus yang didasarkan pada pemahaman ekologi tikus, dilakukan
secara dini, intensif dan berkelanjutan dengan memanfaatkan teknologi
pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan pengendalian dilakukan
oleh petani secara bersama-sama (berkelompok) dan terkoordinir dengan cakupan
sasaran pengendalian dalam skala luas (Litbang, 2013 dan Sudarmaji dan
Herawati, 2011).
Teknologi pengendalian dengan tanam dan panen serempak. Dalam satu
hamparan, diusahakan selisih waktu tanam dan panen tidak lebih dari 2 minggu.
Hal tersebut untuk membatasi tersedianya pakan padi generatif, sehingga tidak
terjadi perkembang biakan tikus yang terus menerus (Nurbani, 2011).

9
Universitas Sumatera Utara

Pemanfaatan musuh alami yang merupakan cara termudah yaitu dengan tidak
mengganggu atau membunuh musuh alami tikus sawah khususnya pemangsa
seperti burung hantu, burung elang, kucing, anjing, ular tikus, dll (Nurbani, 2011).
Pengendalian tikus dengan tanaman perangkap yaitu melakukan penanaman padi

lebih awal atau menanam varietas yang berumur pendek dan paling disukai
sehingga tanaman tersebut mencapai stadium generative pada saat tanaman
disekitarnya stadium vegetatif. Populasi tikus akan berkunjung dan terakumulasi
pada tanaman perangkap tersebut sehingga pengendaliannya dapat difokuskan di
lokasi tersebut (Natawigena dan Bari, 2006).
Pemberian umpan kepada tikus dilakukan berdasarkan sifat tikus yang dapat
memakan tumbuhan dan memakan hewan atau bersifat omnivora.Umpan yang
diberikan adalah hewan yang berada di sawah dan biasanya dimakan oleh
tikus.Umpan tersebut diletakkan di wadah yang aman agar tidak mencemari
lingkungan.Wadah yang berisi umpan tersebut lalau diletakkan di tempat yang
dilewati tikus atau dekat dengan tempat tikus berkumpul atau bersembunyi. Ada
dua jenis umpan yang dapat diberikan ke tikus yaitu keong mas atau gondang dan
belalang yang tubuhnya berukuran besar (Irsan, et al, 2014).
Penggunaan repelen merupakan salah satu alternatif pengendalian tikusyang
memanfaatkan

indera

penciuman

dan/atau

indera

pendengaran

tikus

denganmetode tanpa mematikan (non lethal). Bau yang khas serta hawa panas
yangdihasilkan oleh suatu bahan repelen dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangandigunakannya suatu bahan sebagai repelen. Diantara berbagai bahan
repelen,rempah-rempah dapat dijadikan salah satu bahan repelen karena
menghasilkanbau khas dan menyengat serta hawa panas (Purwanto, 2009)

10
Universitas Sumatera Utara

Penggunaan rodentisida sebagai salah satu cara penanggulangan hama tikus
memang akan memberikan hasil yang cepat serta sangat mudah dalam
penerapannya, akan tetapi apabila penggunaan rodentisida yang tidak terkendali
akan menyebabkan terjadinya salah sasaran yang akan merugikan organisme lain
bukan sasaran. Cara pengendalian lain yang dapat dilakukan adalah dengan barrier
mekanis, sanitasi, pemerangkapan (Purwanto, 2009).

Permasalahan Di lapangan
Di Indonesia, perkembangbiakan tikus sawah yang cepat terjadi pada saat
tanaman padi mulai memasuki fase generatif sampai dengan dipanen.
Perkembangbiakan tikus sawah banyak dipengaruhi oleh faktor makanan terutama
nutrisi pada stadia pertumbuhan tanaman padi dan secara tidak langsung
dipengaruhi pula oleh lingkungannya. Pada musim hujan atau bila makanan cukup
tersedia, frekuensi kelahiran dan jumlah anak akan tinggi dan banyak, sebaliknya
di musim kemarau perkembangbiakannya agak terhambat (Sitepu, 2008)
Tikus sawah tergolong hewan nokturnal.Pada siang harinya, tikus bersembunyi di
dalam lubang pada tanggul-tanggul irigasi, jalan sawah, pematang, dan daerah
perkampungan dekat sawahdan melakukan aktivitas harian yang teratur, yang
bertujuan untuk mencari pakan, minum, pasangan, dan orientasi kawasan. Tikus
menyenangi tempat-tempat yang gelap karena di tempat ini tikus merasa aman
dan terlindung. Pada umumnya tikus sawah menempati liang atau tempat
persembunyian lainnya (Dewi, 2010 dan Master, 2013).
Pada umumnya pengendalian tikus di tingkat petani dilakukan setelah terjadi
serangan karena lemahnya monitoring, sehingga penanganan hama tikus menjadi
lambat. Pemahaman petani yang masih kurang mengenai informasi aspek

11
Universitas Sumatera Utara

dinamika populasi tikus menjadi dasar dalam pengendalian. Petani masih kurang
peduli dalam menyediakan sarana pengendalian tikus, organisasi pengendalian
yang masih lemah dan pelaksanaan pengendalian yang tidak berkelanjutan. Masih
banyak petani mempunyai “persepsi mistis” atau meyakini mitos tikus yang pada
hakekatnya menghambat dalam usaha pengendalian (Sudarmaji, 2011).

Repelan Nabati
Alternatif pengendalian tikus umumnya dilakukan dengan memanfaatkanbiologi
tikus yang berkembang sangat baik. Salah satu alternatif pengendalianyang dapat
dilakukan yaitu dengan repelen. Repelan adalah suatu zat yangdigunakan untuk
mengusir kehadiran tikus dengan memanfaatkan indera tikusyang sensitif. Zat
repelan umumnya dibuat dengan menghasilkan bau-bauan yangmenyengat dan
mengganggu penciuman tikus sehingga diharapkan tikus menjaditidak betah dan
pergi dari suatu areal. Selain dengan bau-bauan, repelan ada jugayang dibuat
dengan menghasilkan hawa panas bagi tikus(Purwanto, 2009).

Gambar 2 : Jengkol., Keterangan a. Kulit jengkol (yang digunakan dalam
penelitian b. Biji jengkol
Sumber : http://www.litbang.pertanian.go.id

12
Universitas Sumatera Utara

Kulit jengkol merupakan salah satu limbah pertanian.Salah satu prospek yangbisa
dikembangkan adalah pemanfaatan limbah,khususnya limbah nabati. Pemanfaatan
limbah nabatimemberi keuntungan yaitu mudah mencari bahanmentahnya, murah,
dan juga membantu dalampenanggulangan sampah. Buah jengkol sudah
lamadikenal oleh masyarakat sebagai bahan konsumsi. Kulitkeras buah jengkol
sampai saat ini masih merupakanlimbah yang tidak termanfaatkan dan tidak
mempunyainilai ekonomi (Ambarningrum, et al, 2007).
Senyawa kimia yang khas dalam tanamanjengkol adalah asam jengkolat. Senyawa
ini merupakanasam amino alifatik yang mengandung sulfur danbersifat toksik.
Selain asam jengkolat di dalam tanamanjengkol terdapat minyak atsiri, saponin,
alkaloid,terpenoid, steroid, tannin, glikosida, protein, karbohidrat,kalsium, fosfor,
serta vitamin A dan B17. Ekstrak etanol kulitjengkol mengakibatkan kematian
pada tikus biladiberikan secara oral dengan dosis 2 g/kg berat badan
(Ambarningrum, et al, 207).
Pemanfaatan tumbuhan dalam pengendalian hama sudah banyak dilakukan,
terutama di bidang pertanian dan perkebunan dan hasilnya efektif. Penggunaan
suatu bahan nabati akan lebih baik hasilnya atau lebih efektif apabila dipadukan
dengan pestisida nabati lainnya. Penggunaan bahan nabati juga dapat dipadukan
dengan musuh alami bila bahan pestisida nabati tersebut tidak beracun bagi
musuh alami (Asmaliyah, et al, 2010).
Berbeda dengan racun atau perangkap, kulit jengkol tidak membunuh tikus.
Aroma yang dikeluarkan kulit jengkol membuat tikus tidak betah. Maka ketika
lubang tikus di sawah diletakkan kulit jengkol, mereka menghindar dari area
tersebut. Cara lain dengan menghancurkan kulit jengkol, melarutkannya dalam

13
Universitas Sumatera Utara

air, lalu menyemprotkan larutan kulit jengkol ke lahan. Dengan cara itu tikus
menghindar dari sawah (Nursyamsi, et al, 2013).
Penyebab bau jengkol adalah asam amino yang terkandung didalam biji jengkol.
Asam amino itu didominasi oleh asam amino yang mengandung unsur Sulfur (S).
Ketika terdegradasi akan terpecah-pecah menjadi komponen yang lebih kecil,
asam amino itu akan menghasilkan berbagai komponen flavor yang sangat bau,
karena pengaruh sulfur tersebut. Salah satu gas yang terbentuk dengan unsur itu
adalah gas H2S yang terkenal sangat bau (Sakinah, 2010).
H2S ini mempunyai bau yang tidak sedapdan hasil oksidasinya menghasilkan gas
sulfur dioksida (SO3) dan gas sulfur trioksida (Lastella, et al, 2002).Gas hidrogen
sulfida Di udara kemudian bersenyawa dengan oksigen membentuk sulfur
dioksida (Sobsey dan Frederic, 2002). SO2 ataupun SO3 ketika dibebaskan
keatmosfer bereaksi cepat dengan OH untuk membentuk HSO3 yang tidak
beraroma dan tidak berwarna (Cahyono, 2011).

14
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Efektivitas Sarcocystis Singaporensis Terhadap Mortalitas Tikus Sawah Rattus Rattus Argentiventer Rob & Kloss (Rodentia : Muridae) Di Laboratorium

2 53 47

Pengaruh Larutan Kulit Buah Tanaman Jengkol (Phitecellobium lobatum (Jack) Prain) terhadap Tingkat Konsumsi Makan Tikus Sawah (Rattus argentiventer (Rob & Kloss)) di Laboratorium

1 22 75

Efektivitas Beberapa Rodentisida Nabati terhadap Tikus Sawah (Rattus argentiventer Robb and Kloss) di Laboratorium

3 22 79

Repelensi Minyak Cendana, Nilam dan Akar Wangi Terhadap Tikus (Rattus argentiventer Rob & Kloss) di Laboratorium.

0 0 10

Pengaruh Larutan Kulit Buah Tanaman Jengkol (Phitecellobium lobatum (Jack) Prain) terhadap Tingkat Konsumsi Makan Tikus Sawah (Rattus argentiventer (Rob & Kloss)) di Laboratorium

0 0 12

Pengaruh Larutan Kulit Buah Tanaman Jengkol (Phitecellobium lobatum (Jack) Prain) terhadap Tingkat Konsumsi Makan Tikus Sawah (Rattus argentiventer (Rob & Kloss)) di Laboratorium

0 1 2

Pengaruh Larutan Kulit Buah Tanaman Jengkol (Phitecellobium lobatum (Jack) Prain) terhadap Tingkat Konsumsi Makan Tikus Sawah (Rattus argentiventer (Rob & Kloss)) di Laboratorium

0 0 3

Pengaruh Larutan Kulit Buah Tanaman Jengkol (Phitecellobium lobatum (Jack) Prain) terhadap Tingkat Konsumsi Makan Tikus Sawah (Rattus argentiventer (Rob & Kloss)) di Laboratorium

0 2 4

Pengaruh Larutan Kulit Buah Tanaman Jengkol (Phitecellobium lobatum (Jack) Prain) terhadap Tingkat Konsumsi Makan Tikus Sawah (Rattus argentiventer (Rob & Kloss)) di Laboratorium

0 0 26

Efektivitas Beberapa Rodentisida Nabati terhadap Tikus Sawah (Rattus argentiventer Robb and Kloss) di Laboratorium

0 1 12