Interpretasi Bentuk Pada Arsitektur Graha Maria Annai Velangkanni

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bentuk Dalam Arsitektur
Dalam arsitektur bentuk merupakan sebuah istilah inklusif yang memiliki
beberapa pengertian. Bentuk dapat dihubungkan pada penampilan luar yang dapat
dikenali seperti sebuah kursi atau tubuh seseorang yang mendudukinya (Ching,
1999). Hal ini juga menjelaskan kondisi tertentu dimana sesuatu dapat
mewujudkan keberadaanya, misalnya bila kita bicara mengenai air dalam bentuk
es atau uap. Dalam seni dan perancangan seringkali dipergunakan istilah tadi
untuk menggambarkan struktur formal sebuah pekerjaan cara dalam menyusun
dan mengkoordinasi unsur – unsur dan bagian – bagian dari suatu komposisi
untuk mengasilkan suatu gambaran nyata (Ayudhia, 2015).
Namun bentuk dapat dihubungkan baik dengan struktur internal maupun
garis eksternal serta prinsip yang memberikan kesatuan secara menyeluruh. Jika
bentuk lebih dimaksudkan sebagai pengertian massa atau isi – dimensi, maka
wujud secara khusus lebih mengarah pada aspek penting bentuk yang
mewujudkan penampilannya, konfigurasi atau peletakan garis atau kontur yang
membatasi suatu bentuk (Ayudhia, 2015).
Ciri-ciri pokok yang menunjukan suatu bentuk dipengaruhi oleh keadaan
bagaimana cara kita memandangnya. Selain itu, bentuk juga merupakan sarana

pokok yang memungkinkan kita mengenal dan melihat latar belakang, persepsi
kita terhadap satu dan yang lain, sangat tergantung dari derajat ketajaman visual

6

dalam arsitektur. Bentuk dapat dikenali karena ia memiliki ciri-ciri visual (Ching,
1979). Ciri-ciri visual tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Ciri-Ciri Visual Bentuk
No.

1.

Ciri-Ciri
Bentuk

Definisi

Wujud

hasil konfigurasi

tertentu dari
permukaan-permukaan
dan sisi-sisi bentuk.

2.

Dimensi

3.

Warna

Gambar

dimensi suatu bentuk
adalah panjang, lebar
dan tinggi.
Dimensidimensi ini
menentukan
proporsinya. Adapun

skalanya ditentukan
oleh perbandingan
ukuran relatifnya
terhadap bentukbentuk lain
disekelilingnya.
corak, intensitas dan
nada pada permukaan
suatu bentuk. Warna
adalah atribut yang
paling mencolok yang
membedakan suatu
bentuk terhadap
lingkungannya. Warna
juga mempengaruhi
bobot visual suatu
bentuk.

7

karakter permukaan

suatu bentuk. Tekstur
mempengaruhi
perasaan kita pada
waktu menyentuh, juga
4.
Tekstur
pada saat kualitas
pemantulan cahaya
menimpa permukaan
bentuk tersebut.
letak relatif suatu
bentuk terhadap suatu
5.
Posisi
lingkungan atau medan
visual.
posisi relatif suatu
bentuk terhadap bidang
dasar, arah mata angin
6.

Orientasi
atau terhadap
pandangan seseorang
yang melihatnya.
derajad konsentrasi dan
stabilitas suatu bentuk.
Inersia suatu bentuk
Inersia
tergantung pada
7.
Visual
geometri dan orientasi
relatifnya terhadap
bidang dasar dan garis
pandangan kita.
Proporsi tertentu yang
digunakan untuk
8
Skala
menetapkan

pengukuran dan
dimensi-dimensi.
Sumber : Ching, 1979

8

2.2 Tinjauan Bentuk Arsitektur Pada Bangunan Graha Maria Annai
Velangkanni
2.2.1

Sejarah Graha Maria Annai Velangkanni
Menurut sejarahnya, “Gua Maria’ ini meniru aslinya di India, yang

mengingatkan akan penampakan Bunda Maria pada abad ke-16, ketika seorang
ibu (Annai) yang disembuhkan penyakitnya oleh Bunda Maria di desa
Velangkanni yang terletak di pesisir selatan India. Oleh karena itu, Gua Maria di
India tersebut dinamakan Lourdes Timur. Annai Maria Velangkanni adalah
tempat ziarah untuk mengingat Bunda Maria yang sangat dihormati. Tempat
ziarah tersebut terletak di Chennai Pantai Teluk Benggala, bagian tenggara India,
di sebelah selatan dari kota Madras. Penampakan Bunda Maria yang terjadi di sini

sudah mendapat pengakuan dari Gereja Katolik. (https://.wordpress.com)
Masyarakat India yang beragama Katolik ini, sebagian menetap di
Velangkani. Namun di antara mereka ada pula yang migrasi ke berbagai tempat di
dunia ini, termasuk Medan Indonesia. Mereka migrasi dengan berbagai alasan. Di
antaranya adalah untuk kepetingan ekonomi, yaitu menaikkan taraf hidupnya. Ada
pula alasan untuk mengembangkan agama. (https://.wordpress.com)
Sebagian dari masyarakat India yang beragama Katolik dan bermigrasi ke
Indonesia khususnya medan tersebut melatarbelakangi di bangunnya Graha Maria
Annai Velangkanni ini.
Di Tanjung Selamat Medan, sejak tahun 2001, yang disebut juga tahun
Yubileum Agung, telah mulai dibangun suatu tempat suci untuk menghormati Ibu
Maria Bunda Penyembuh yang lazimnya disebut Annai Maria Velangkanni.

9

Tempat suci di Tanjung Selamat didirikan untuk menghormati Ibu Maria dengan
gelar yang sama yaitu Bunda Penyembuh, atau dalam bahasa Inggris Our Lady of
Good Health. Terbangunnya tempat peribadatan Katolik ini, selain dari dukungan

umat, juga tidak dapat dilepaskan dari usaha Pastor James Bharataputra, SJ

seorang Yesuit asli India yang sudah lebih dari 30 tahun berkarya di Keuskupan
Agung Medan. Pastor James Bharataputra, SJ adalah penggagas sekaligus
pelaksana pembangunan Graha Maria Annai Velangkanni. (Sumber : Facebook
Maria Annai Velangkanni Medan)
Gereja ini memberikan pengabdiannya kepada Bunda Maria yang telah
lama menampakkan dirinya di pesisir desa Velangkanni, Tami Nadu, India sekitar
abad 17. Nama Annai Velangkani diambil dari bahasa India. Annai yang berarti
bunda dan Velangkanni adalah desa di mana Bunda Maria menampakkan diri.
Penampakan ini menjadi latar belakang dibangunnya Gereja Katolik berarsitektur
Mogul, ciri khas kuil-kuil di India. Saat masuk ke dalam gereja, pengunjung akan
terkesima dengan arsitektur yang dibuat begitu indahnya, gambar-gambar dan
lukisan

berwarna-warni

yang

memberikan

kesan


indah

dan

damai.

(https://.wordpress.com)

2.2.2

Atap Kubah
Pengertian kubah adalah separuh bola berongga yang menghiasi atap atau

bagian atas sebuah bangunan. Bentuk kubah telah dikembangkan selama ratusan
tahun oleh banyak kelompok masyarakat di berbagai belahan dunia. Garis sejarah
mengenai perkembangan dari bentuk kubah beserta fungsinya sangat luas dan

10


kaya makna bahkan telah menjadi simbol semiotik yang khas bagi berbagai
agama, budaya dan peradaban tertentu (Ayudhia, 2015).

2.2.2.1 Sejarah Kubah
Seperti yang dijelaskan oleh Sopandi dalam buku Sejarah Arsitektur,
Perkembangan arsitektur di Eropa Timur dan Timur Tengah banyak mewarisi
beragam inovasi yang dikembangkan pada masa kejayaan Romawi. Selain karena
perkembangan teknologi membangunnya, Romawi sangat berpengaruh dalam
peradaban dunia karena kekuasaan politiknya yang sangat luas, mencakup daratan
yang mengelilingi Laut Mediterania yakni Italia, Yunani, semenanjung Eropa
Barat, sebagian Britania, delta muara Sungai Nil, semenanjung Arab, dan Asia
kecil. Pada puncak kejayaannya, yang dimulai dari abad ke- 4 SM sampai dengan
400 M, bahkan Roma juga sempat melakukan pengembangan dalam infrastruktur
kota yang sangat canggih di daerah – daerah kekuasaannya (Ayudhia, 2015).
Setelah Roma mengalami banyak masalah yang menyebabkannya ketidak
kondusifan Roma sebagai ibukota, maka ibukota kekaisaran dipindahkan ke
bagian Timur, yakni ke Kota Bizantium. Kaisar Konstantin merupakan Kaisar
pertama yang memeluk agama Kristen pada tahun 313 M, bahkan beliau telah
menjadikan Agama Kristen menjadi sebuah agama yang resmi pada Kekaisaran
Romawi.


Kekaisaran

Romawi

Timur

(Kekaisaran

Bizantium)

telah

mengembangkan peradaban yang maju di Eropa Timur dan sebagiannya di Timur
Tengah. Bagi sejarah perkembangan arsitektur Eropa, perpecahan ini penting

11

karena menentukan tradisi dalam perkembangan monument – monument
arsitektur, terutama pada bangunan peribadatan (Ayudhia, 2015).
Arsitektur religius di Bizantium sangat identik dengan menggunakan
elemen kubah dan bentuk denah yang terpusat. Hagia Sophia merupakan sebuah
karya agung Bizantium yang di bangun pada kurun waktu sekitar 532-537 M.
Inovasi geometri yang dihasilkan pada Hagia Sophia adalah bidang segitiga
melengkung yang disebut dengan pendentive. Kebanyakan interpretasi sejarah
arsitektur menghubungkan arsitektur Bizantium sebagai pengembangan lanjut dari
yang telah dicapai oleh monumen Patheon, yaitu berusaha menciptakan ruang
simbolis yang merepresentasikan cakrawala dan semesta lewat konstruksi kubah
(Ayudhia, 2015).

Gambar 2.1 Hagia Sophia
Sumber : www. Wikipedia.com

Arsitektur zaman Bizantium (330-1453) bersamaan dengan jaman Kristen
Awal dan Islam Awal, keduanya banyak menggunakan kubah. Struktur kubah
yang kekuatannya justru karna bentuk, mulanya berfungsi untuk memenuhi

12

kebutuhan ruang lebar tanpa kolom, dan dapat mendengungkan suara sebagai
pengeras suara. Namun karena keindahannya kemudian banyak diambil hanya
pada elemen bentuknya saja. Pada zaman Bizantium banyak pula dibangun Gereja
dengan kubah sebagai mahkota di bagian atas bangunan, kadang – kadang hanya
majemuk seperti antara lain Gereja S. Marko (1063-85) (Ayudhia, 2015).

Gambar 2.2 Gereja S. Marko
Sumber : www. Wikipedia.com

Era Renaissance merupakan masa peralihan dari zaman pertengahan ke
zaman modern. Arsitektur Renaissance menggambarkan perjuangan lepas dari
doktrin Gereja. Ornamen-ornamen organis muncul sebagai bagian dari keindahan
bangunan. Cahaya masih menjadi bagian dari keindahan bangunan, namun unsur
unsur duniawi juga muncul dalam bentuk detail-detail yang indah. Detail yang
bersifat duniawi pada era pertengahan sangat dibatasi. Kemunculan detail ini
dilandasi oleh ideologi untuk melepaskan diri dari doktrin Gereja. Kubah pada
Gereja ini biasanya tidak lebar, menggunakan kerangka kayu. Tidak sedikit
Gereja lain sejaman memakai “kubah palsu” majemuk, bahkan memodifikasi

13

menjadi bentuk bawang, yaitu kubah yang runcing di atas, menggelembung di
tengah seperti bawang (onion) (Ayudhia, 2015).

2.2.2.2 Ciri-Ciri Kubah Gereja Katolik
Bentuk kubah pada Gereja Katolik mempunyai ciri-ciri tersendiri. Ciri-ciri
kubah pada Gereja Katolik terdiri dari 4 bagian (Ayudhia, 2015).:
1. Kubah gereja2 Katolik memiliki lantern (hiasan pada pucuk kubah)
yang tidak dimiliki kubah dalam arsitektur Islam maupun Ortodoks.
Lantern selain berguna untuk menambah estetika kubah, juga
berfungsi untuk menambah pencahayaan. Di atas lantern, umumnya
diberikan kubah tambahan yang berukuran kecil yang disebut cupola.
2. Kubah Gereja Katolik dan Ortodoks umumnya memiliki bagian
penyangga yang berbentuk silinder yang disebut drum atau tholobate
yang sangat jelas kentara.
3. Kubah Gereja Katolik umumnya memiliki lubang-lubang yang disebut
oculus (bulls-eye) pada tepi2nya untuk menambah pencahayaan.
4. Kubah Gereja Katolik umumnya berbentuk bulat.

14

Gambar 2.3 Bentuk Kubah Gereja Katolik
Sumber: www.google.com

Pada gambar di atas, 1 adalah cupola, 2 adalah lantern, 3 adalah kubah,
dan 4 adalah drum (tholobate).

Gambar 2.4 Kubah Katedral St. Paul di London
Sumber: www.google.com

15

2.2.3

Arsitektur Hindu
Agama Hindu dibawa oleh para pedagang dari India sekkitar abad ke-4 ke

kepulauan Indonesia pada umumnya dan ke pulau Jawa pada khusunya.
Permulaan inilah yang mengakhiri zaman prasejarah di Jawa. Bukti-bukti
mengenai keberadaan kerajaan Hindu-Jawa berupa prasasti-prasarti dari batu yang
ditemukan di pantai utara Jawa Barat, kurang lebih 60 kilometer sebelah timur
Kota Jakarta di lembah sungai Cisedane (Mangunwijaya, 1995).
Pada prasasti tersebut dapat dilihat bentuk dan gaya huruf India Selatan.
Dari Prasasti tersebut dapat dilihat mengenai beberapa upacara yang dilakukan
oleh seorang raja yang merayakan peresmian bangunan irigasi dan bangunan
keagamaan. Jawa Tengah merupakan salah satu daerah yang budayanya
dipengaruhi oleh budaya Hindu. Pada daerah ini pula ditemukan beberapa candi
Hindu. Salah satu candi Hindu yang terkenal dan cukup besar adalah candi
Larajonggrang. Sejarah kebudayaan Jawa hingga abad ke-15 yang sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan India, pada periode inilah sejarah Jawa dimasukkan
kedalan periode Hindu Jawa (Mangunwijaya, 1995).

2.2.3.1 Kebudayaan Hindu
Masyarakat India menganggap bahwa alam semesta merupakan benua
berbentuk lingkaran, yang dikelilingi oleh beberapa samudera dengan pulau pulau
besar di empat penjuru yang merupakan tempat tinggal keempat penjaganya yang
keramat. Di pusat terletak Gunung Mahameru yakni gunung para Dewa
(Mangunwijaya, 1995).

16

Alam semesta yang bermacam-macam itu pada hakikatnya hanyalah semu
atau tipuan belaka. Mereka memandang segala yang ia lihat dan yang mereka
alami sebagai sesuatu yang kosmos atau yang agung. Dengan kata lain manusia
menurut pandangan orang India harus melakukan perjalanan penuh perjuangan
dan pengekangan diri untuk pergi dari keadaan maya yang semu ini dan semakin
membersihkan diri, semakin menghening, sehingga bersih bebas tanpa rupa tanpa
nafsu ataupun hasrat, meniadakan diri. Jalan peniadaan diri (dari yang maya)
kedalam keheningan mumi mutlak (nirvana) itulah hakikat pandangan India
beserta ungkapan-ungkapan kebudayaannya (Mangunwijaya, 1995).

2.2.3.2 Ciri-Ciri Arsitektur Hindu
Banyak peninggalan-peninggalan yang ditinggalkan pada jaman Hindu antara
lain berupa satu kota dimana terdapat Istana Kerajaan, mempunyai beberapa
kompleks candi yang didirikan untuk berbagai aspek kehidupan. Candi
merupakan salah satu peninggalan Hindu yang bersifat arsitektural yang masih
dapat kita lihat sampai saat ini (Ayudhia, 2015).
Candi berfungsi sebagai tempat tinggal dewa-dewa yang terbuat dari batu.
Bangunan batu yang tinggi itu melambangkan kekuasaan dan sifat abadi dari
dewa yang bersangkutan. Untuk Candi Hindu dan Candi Budha mempunyai
persamaan dan perbedaan dalam pemakaian bentuk, pola dan orientasinya tetapi
pada dasarnya adalah sama dengan memandang alam semesta (Ayudhia, 2015).
Penggunaan bentuk-bentuk dasar dari candi menggunakan citra dasar
“gunung”. Gunung dalam penghayatan religius masyarakat kuno di India (dapat

17

juga ditemukan pada daerah daerah lain di dunia, misalnya Olimpia) dihayati
sebagai tanah yang tinggi, tempat yang paling dekat dengan dunia atas, yang
dikaitkan dengan segala yang mulia, yang ningrat, yang aman (Ayudhia, 2015).
A. Tata Bentuk
Pada puncak-puncak gunung itulah dibayangkan para dewata hidup. Hal ini
sangat mempengaruhi bentuk-bentuk arsitektur Hindu. Bentuk candi terbagi
menjadi beberapa tipe. Pembagian tipologi candi ini dapat dilihat dari jumlah
ruang pada candi, yaitu (Ayudhia, 2015) :
1. Bangunan candi dengan satu ruang

Gambar 2.5 Candi satu ruangan
Sumber: www.wikipedia.com

2. Bangunan candi dengan tiga ruang

Gambar 2.6 Candi tiga ruangan
Sumber: www.wikipedia.com

18

3. Bangunan candi bertingkat dua dengan enam ruang

Gambar 2.7 Candi senam ruangan
Sumber: www.wikipedia.com

4. Bangunan candi massif tanpa ruang.
Pembagian candi secara vertikal terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu:
a. Kaki (Bhurloka)
Pada bagian ini disebut juga sebagai dasar atau base dari sebuah candi.
Bagian ini merupakan bagian yang paling luas dari keseluruhan candi. Pada tahap
ini menunjukkan makna dimana manusia masih dipenuhi oleh hawa nafsu.
b. Badan (Bhuvarloka)
Menggambarkan keadaan manusia di dunia fana ini. Sadar tetapi masih
sadar semu. Pada bagian ini merupakan bagian dimana manusia sudah mulai sadar
untuk meninggalkan nafsu duniawi. Biasanya terdapat patung yang mempunyai
makna sebagai perantara atau petunjuk jalan untuk mencapai tahap kesempurnaan
hidup. Ukuran pintu sengaja dibuat kecil agar orang yang masuk merundukkan
kepala sebagai tanda penghormatan dewa yang berada didalamnya. Bagian atas
pintu biasanya terdapat kepala kala yang dipercaya sebagai penjaga pintu candi.

19

Pada bagian atas dari badan (body) terdapat molding (upper molding) yang
membatasi antara badan dan kepala (roof).
c. Kepala (roof)
Merupakan bagian dimana manusia memasuki tahap kesempurnaan hidup
dan meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Pada bagian atap terdapat 3
tingkatan yang terdiri dari:
 Tingkatan 1 merupakan tingkatan paling bawah dari bagian kepala. Bagian
ini merupakan tahap awal manusia memasuki tahap kesempurnaan.
 Tingkatan 2 mempunyai skala yang lebih kecl dari tingkatan pertama yang
menandakan manusia sudah berada pada tahapan yang semakin tunggi dan
semakin kecil.
 Tingkatan 3 merupakan tahap dimana manusia akan memasuki
kesempurnaan hidup. Semakin kecil dan semakin suci.
 Puncak dari kepala merupakan tahap puncak dimana manusia menjadi
sempurna dan suci. Pada tingkatan ini yang paling atas merupakan tahap
keberhasilan manusia melewati paradaksina (perjalanan) hidup hingga
mencapai kesempurnaan hidup (Mangunwijaya, 1995).

20

2.3 Bentuk Arsitektur Gereja Katolik
Dalam kajian teori arsitektur, Capon (1999) dan Salura (2012)
menempatkan aspek fungsi, bentuk dan makna sebagai aspek yang utama dalam
arsitektur. Setiap bentukan arsitektur selalu diawali dengan adanya aktivitas
manusia yang menjadi penggerak lahirnya wadah aktivitas tersebut. Hubungan
antara satu aktivitas dengan aktivitas lainnya, atau antara satu kelompok aktivitas
dengan kelompok aktivitas lainnya terstruktur dalam satu tatanan ruang. Tatanan
ini, secara tiga dimensional merupakan aspek bentuk arsitektur (Laurens, 2014).
Meskipun tidak ada teori koheren yang menjelaskan dengan gamblang
sumber pemberi bentuk arsitektur, namun secara umum dapat dikatakan bahwa
terdapat tiga kelompok teori bentuk. Pertama, teori deterministik yang
menekankan pentingnya kekuatan informasi eksternal yang ditangkap oleh
perancang. Di sini perancang berperan pasif dalam menemukan kekuatan tersebut.
Dalam pandangan ini sebuah bangunan arsitektur dibentuk oleh berbagai tuntutan
fungsi

fisik,

sosial,

psikologis,

maupun

fungsi

simbolik

yang

harus

diakomodasikannya, seperti kekuatan nilai-nilai sosial budaya, ekonomi setempat,
atau bahkan ditentukan oleh prinsip tatanan yang sudah ada berdasarkan logika
geometris. Kelompok kedua adalah kelompok behavioristik yang menekankan
pentingnya kondisi transpersonal perancang, di mana perancang berperan secara
aktif mengekspresikan imajinasinya untuk kemudian membentuk kesesuaian
dengan kondisi lingkungan di luar dirinya. Penganut paham strukturalis
mempunyai pandangan yang berlawanan dengan kelompok pertama yang lebih
deterministik maupun kelompok behavioristik. Mereka berpendapat bahwa

21

perancang tidak secara pasif menerima informasi eksternal tetapi secara aktif
mengolah informasi eksternal tersebut untuk mendapatkan solusi bagi tuntutan
desain dalam tatanan ruang (Laurens, 2014).
Bentuk arsitektur Gereja Katolik selalu dilandasi gagasan teologis agama
Katolik, yang juga menjadi dasar penerimaan dan penolakan teori atau
pemahaman tertentu lainnya. Dalam perwujudannya, arsitektur Gereja Katolik
selalu merupakan pencampuran antara hal-hal orthodoxies, yang terkait dengan
konsep teologis agama Katolik tersebut, dan hal-hal praktis yang berperan sebagai
kekuatan pembentuk perwujudan fisik bangunan Gereja (Laurens, 2014).
Mengacu kepada sejarah arsitektur Gereja Katolik, Secara umum terdapat
tiga karakteristik utama pada gaya arsitektur Renaissance. Karakteristik yang
pertama merupakan atap kubah dengan stuktur cangkang dengan detail-detailnya
yang rumit. Karakter yang kedua adalah denah bangunan yang berbentuk salib.
Serta karakter ketiga adalah skala bangunan yang monumental (Malino, 2012).

2.4 Fungsi Arsitektur Gereja Katolik
2.4.1

Fungsi Liturgial
Liturgi adalah kegiatan dari Kristus Paripurna, dalam bahasa Latin

Christus totus, atau Kristus seluruhnya, yaitu Kristus di surga sebagai kepala dan
seluruh jemaatNya yang masih ada di dunia, yaitu Gereja yang merupakan Tubuh
Kristus, dalam korban pujian dan syukur kepada Allah (Konsili Vatikan II,
Konstitusi Liturgi).

22

Liturgi dirayakan dengan menggunakan berbagai tanda dan lambang, baik
yang berasal dari pengalaman manusia, tanda-tanda "Perjanjian" antara Allah dan
umatNya, tanda-tanda yang diangkat oleh Kristus, dan tanda-tanda sakramental,
yang semuanya merujuk pada keselamatan yang berasal dari Kristus,
menggambarkan dan mencicipi pada masa sekarang kemuliaan surga. Juga
dengan menggunakan perkataan (terutama dalam Liturgi Sabda di mana Kitab
Suci dibacakan dan direnungkan) dan Tindakan (terkait dengan masing-masing
Sakramen: misalnya pembaptisan, pengurapan minyak, Liturgi Ekaristi,
penumpangan tangan). Dengan nyanyian dan musik, dan gambar-gambar kudus,
misalnya ikon (Konsili Vatikan II, Konstitusi Liturgi).
Setiap bentukan arsitektur selalu diawali dengan adanya aktivitas manusia
yang menjadi penggerak lahirnya wadah aktivitas tersebut. Hubungan antara satu
aktivitas dengan aktivitas lainnya, atau antara satu kelompok aktivitas dengan
kelompok aktivitas lainnya terstruktur dalam satu organisasi ruang atau tatanan
ruang. Pelingkup tatanan ruang ini, secara tiga dimensional merupakan aspek
bentuk arsitektur (Laurens, 2013).
Aktivitas utama yang harus diakomodasi dalam sebuah bangunan Gereja
Katolik adalah aktivitas perayaan liturgis, sebagai perayaan iman umat Kristen.
Gereja Katolik menekankan dasar teologis dalam setiap pendirian bangunan
gereja; fungsi liturgial menjadi landasan utama penataan ruang dan bentuk
arsitektur Gereja Katolik, baik di masa sebelum maupun sesudah Konsili Vatikan
II (Laurens, 2013).

23

Melalui ritual Gereja lah terjadi pembentukan ruang-ruang sakral.
Berbagai aktivitas ritual umat baik yang diwadahi di pelataran bangunan Gereja,
atau di ruang luar gedung gereja, mendukung pembentukan hirarki ruang sakral.
Dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Laurens, 2013).

Gambar 2.8 Hirarki Ruang Sakral Arsitektur Gereja Katolik
Sumber : Laurens 2013

2.4.2

Fungsi Simbolisasi
Simbol berasal dari bahasa Yunani symbolon, kata kerja: symbalein yang

berarti tanda pengenal yang menjelaskan dan mengaktualisasikan suatu
perjumpaan dan kebersamaan yang didasarkan oleh suatu kewajiban atau
perjanjian. Dapat juga dikatakan bahwa simbol adalah tanda indrawi, barang atau
tindakan, yang menyatakan realita lain di luar dirinya. Simbol memiliki lingkup
makna dan kandungan isi yang amat luas, karena itu merupakan sarana ulung
untuk mengungkapkan sesuatu tentang Tuhan. Simbol berbeda dengan tanda.
Simbol melibatkan emosi individu, gairah, keterlibatan dan kebersamaan. Selain

24

itu, simbol juga terbuka terhadap berbagai arti dan tafsiran, tergantung bagaimana
setiap individu memaknai simbol itu sendiri (Martasudjita, 1998).
Simbolisasi kekristenan ini tidak selalu ditampilkan dengan cara yang
sama di setiap bangunan Gereja Katolik. Transformasi simbolis terjadi melalui
adanya

pengalaman

yang

sejalan

dengan

sosial-budaya

masyarakat

pendukungnya/setempat dan pada periode tertentu. Di dalamnya terdapat
pembentukan simbol-simbol ekspresif yang sesuai dengan perjalanan waktu dan
perkembangan budaya, namun tidak menyimpang dari kaidah-kaidah gerejani.
Simbol-simbol keagamaan berbeda dari simbol yang lain, oleh kenyataan bahwa
simbol keagamaan merupakan representasi dari sesuatu yang sama sekali ada di
luar bidang konseptual. menunjuk pada realitas tertinggi yang tersirat dalam
tindak keagamaan. Dengan demikian, simbol keagamaan pada arsitektur Gereja
Katolik tergantung pada tuntutan liturgi Gereja. Misalnya, perwujudan sanctuary
sebagai ruang tersakral. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini (Laurens,
2013).

Gambar 2.9 Contoh Simbol Keagamaan dan Tuntutan Liturgi Gereja
Sumber: Laurens, 2013

25

Hakekat agama Katolik untuk menciptakan komunitas dan rasa
kebersamaan, kesatuan dan kerukunan membuat bangunan Gereja harus mampu
membentuk keterbukaan untuk menampung setiap orang. Arsitektur Gereja juga
dapat berperan sebagai media, katekisasi-tanpa-kata, melalui simbolisasi yang
menjelaskan berbagai peristiwa dalam Ekaristi Kudus, misalnya tata letak ruang
menggambarkan

perjalanan

hidup

orang

Kristen,

yaitu

lahir

lewat

pembaptisan/penempatan kolam baptis di bagian depan Gereja, menikah lewat
sakramen perkawinan, dan meninggal yang tergambarkan peletaka makam di
belakang Gereja. Katekisasi juga dapat diekspresikan melalui patra di lantai, atau
ornamen Gereja (Laurens, 2013).

2.5 Arsitektur Gereja Katolik
2.5.1

Sejarah Arsitektur Gereja Katolik
Keberadaan arsitektur Gereja mulai berkembang ketika bangsa Romawi

mencapai kejayaannya. Kejayaan bangsa Romawi pada abad 15 tidak terlepas
pada munculnya kebudayaan baru yaitu kebudayaan Renaissance yang memiiki
arti kelahiran kembali. Hal ini mengacu pada lahirnya kembali budaya-budaya
klasik pada jaman Yunani kuno dan Romawi kuno. Langgam arsitektur gaya-gaya
Yunani serta Romawi kuno bermunculan kembali seperti kolom-kolom dorik,
ionic dan korintians (Malino, 2012).
Pada masa Renaissance, gaya arsitektur merupakan hasil karya para
seniman Roma. Proporsi yang harmonis menguasai perhatian arsitek pada masa
tersebut. Mereka berusaha menghubungkan matra tiap bagian utama bangunan

26

dengan satu modul, atau satuan panjang yang menjadi dasar. Bentuk-bentuk denah
yang dikembangkan adalah bentuk simetris. Menara-menara bangunan bentuknya
lebih sederhana serta jumlahnya yang tidak banyak. Arsitektur ditangani dengan
menggunakan daya nalar atau pikiran yang rasional. Perlakuan yang
menggunakan daya nalar ini sekaligus menjadi titik penting perjalanan arsitektur
Barat mengingat sebelumnya arsitektur sepenuhnya diperlakukan hanya dengan
menggunakan daya rasa seni bangunan (Malino, 2012).
Secara umum terdapat tiga karakteristik utama pada gaya arsitektur
Renaissance. Karakteristik yang pertama merupakan atap kubah dengan stuktur
cangkang dengan detail-detailnya yang rumit. Karakter yang kedua adalah denah
bangunan yang berbentuk salib. Serta karakter ketiga adalah skala bangunan yang
monumental (Malino, 2012).
Konsili Vatikan II merumuskan bahwa “membangun gedung Gereja
haruslah direncanakan dengan baik, agar cocok untuk perayaan liturgi dan
partisipasi aktif umat beriman”. Prinsip ini dijabarkan oleh Kongregasi, dengan
menjelaskan bahwa pada bagian dalam Gereja terdapat (Malino, 2012):
a. Altar Utama

Merupakan pusat seluruh gedung Gereja. Altar berdiri sendiri
supaya para Imam dapat bergerak bebas disekitarnya dan dipasang
sedemikian rupa sehingga Imam menghadap umat dalam perayaan
liturgis.

27

b. Mimbar

Adalah tempat membacakan bacaan Kitab suci, Mazmur, Homily,
dan Doa umat. Mimbar haruslah ditempatkan sedimikian rupa,
sehingga Imam dan para petugas liturgi dapat terlihat dan suara mereka
terdengar jelas oleh umat.

c. Tabernakel

Tempat menyimpan Sakramen Mahakudus adalah sebuah kapel
khusus yang cocok untuk devosi pribadi; jika tidak memungkinkan
dapat juga digunakan altar samping atau tempat lain yang terhormat.
Sakramen maha kudus harus disimpan dalam sebuah tabernakel, yaitu
lemari kecil dari bahan yang kuat dan pantas sebagai tempat sakramen
mahakudus.

d. Lilin

Sebagai lambang kristus cahaya dunia.

e. Patung

Patung orang kudus ditempatkan untuk merangsang penghormatan
kepada Allah melalui tokoh tersebut.

f. Babtisterium

Tempat menerima sakramen babtis.

28

g. Bejana Air Suci

Berisi air yang sudah diberkati, ditempatkan dekat pintu untuk
digunakan umat saat masuk atau keluar Gereja.
h. Kamar Pengakuan

Tempat menerima sakramen tobat. Terbagi atas dua ruang bersekat
kasa, masing-masing untuk Imam dan pengaku dosa.

4

3

2

5

1

6
10

9
7

11
12

8

Gambar 2.10 Tatanan Gereja Katolik dari Dalam
Sumber : Heuken, 1991

Keterangan :
3. Kamar penerimaan sakramen pengakuan, 2. Patung orang kudus, 3. Salib,
4. Salib dan jago di atas gedung gereja, 5. Tabernakel, 6. Lampu Tuhan, 7.
Sedilia, 8. Tempat putera/I altar, 9. Altar dengan lilin, 10. Mimbar, 11
Bangku-bangku umat, 12. Sirkulasi utama, biasanya untuk penerimaan
komuni umat.

29

3.1.1

Tata Ruang Gereja Katolik
Ruang ibadat umat ditata dalam beberapa tahap yang diatur melalui

penataan ruang Gereja (Malino, 2012).
1. Gerbang
Gerbang adalah penanda peralihan dari luar area Gereja ke dalam
area Gereja (Malino, 2012).
2. Halaman
Halaman Gereja sebagai tempat bersosialisasi antar umat, sekaligus
sebagai peralihan suasana ramai ke suasana tenang. Biasanya dihalaman
terdapat taman, patung, gua Maria, kolam pembaptisan, dan perhentian
jalan Salib (Malino, 2012).
3. Gedung Gereja
Pada area gedung Gereja sendiri terdapat 3 tahapan yaitu ruangan
persiapan, ruang berhimpun, dan ruang mahakudus. Di sebelah kiri pintu
masuk adalah kapel pembabtisan dan sebelah kanan adalah sakristi, tempat
petugas mempersiapkan diri secara fisik menjelang ibadat. Memasuki
ruang berhimpun, terdapat tempat duduk jemaat yang ditata sedemikian
rupa sehingga menampakkan seluruh jemaat sebagai satu himpunan.
Setiap jemaat harus dapat melihat dengan baik apa yang terjadi di ruang
mahakudus dan mendengar pewartaan di sana.

Paling ujung dari bangunan Gereja adalah ruang mahakudus, sebagai pusat
kegiatan ibadat. Dalam ruang mahakudus perlu diperhatikan hubungan antara

30

sabda dan ekaristi. Perayaan ekaristi terdiri dari dua bagian, yaitu liturgi sabda dan
liturgi ekaristi. Keduannya berhubungan erat sebagai satu tindakan ibadat. Dalam
perayaan ekaristi, sabda dimaksudkan sebagai pengajaran bagi orang-orang
beriman dan tubuh Kristus, yaitu perjamuaan, sebagai santapan mereka. Dengan
demikian, terdapat dua meja dalam perayaan ekaristi, yaitu meja sabda dan meja
ekaristi. Diantara kedua meja ini terdapat kursi pemimpin sebagai salah satu
pusat ibadat. Jadi, terdapat tiga pusat kegiatan dalam ruang mahakudus, yaitu
kursi-kursi pemimpin, mimbar, dan altar. Mimbar adalah pusat kegiatan selama
liturgi sabda, altar adalah pusat kegiatan selama liturgi ekaristi dan kursi
pemimpin sebagai pusat kegiatan pembukaan dan penutup ibadat, di luar liturgi
sabda dan liturgi ekaristi. (Komisi Liturgi KW 53-56 dalam Malino, 2012).
Bentuk-bentuk denah Gereja dan tatanan ruang Gereja pada umumnya
dapat di lihat pada tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Bentuk-Bentuk Denah Gereja
No

Denah

Bentuk
1.
2.
3.
4.
5.

1.
11
11
10

12

9

6

5

5

8

5

7
3
5

5

2

5

5
5

5

Ruang

Central

Entry
Worship Room
Altar
Baptismal Font
Sanctuary
Seating
6. Lecturn
7. Sanctuary
8. Choir Seating
9. Organ
10. Vesting Room
11. Toilet
12. Lounge

4
1

31

1.
2.
3.

2.
15
1

1
3

6
7
5

9

1

4

5
7

Parallel
Seating

4.
5.
6.
7.
8.
9.

Entry
Worship Room
Sanctuary
Seating
Lecturn
Sanctuary
Toilet
Office
Lounge
Bema

6

3
2
8

1.
2.
3.
4.

3.
4

5
4

7

3

6

1
2
9

1

Multi Form

9
8

4

8

8

1.
2.
3.
4.
5.

4.
13
11

5

5
5

10

13

13

14

5.
6.
7.
8.
9.

12

1
1

4
5

L Shope

2
3
7
5

6
8
9

5

6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Entry
Worship Room
Altar
Sanctuary
Seating
Lecturn
Choir Seating
Organ
Vesting Room
Toilet

Entry
Worship Room
Altar
Baptismal Font
Sanctuary
Seating
Lecturn
Sanctuary
Choir Seating
Organ
Vesting Room
Work Sacristy
Storage
Toilet
Office

32

5.

1.
2.
3.
4.

9
4
4

9

4
6
1

2

3

Rectangle
8

5

8

4

4

7
10

1.
2.
3.
4.
5.

6.
5
8

9
7

6

3

5

5

4
1

5
11

Worship Room
Altar
Baptismal Font
Sanctuary
Seating
5. Lecturn
6. Sanctuary
7. Choir Seating
8. Organ
9. Work Sacristy
10. Storage

1

2
5

10

Crucform

Entry
Worship Room
Altar
Baptismal Font
Sanctuary
Seating
6. Lecturn
7. Sanctuary
8. Choir Seating
9. Organ
10. Vesting Room
11. Toilet

Sumber : de Chiarra, 2007

3.1.2

Liturgi Pada Interior Gereja Katolik
Desain interior Gereja Katolik adalah proses penataan interior suatu

tempat ibadah dengan mengacu pada liturgi Katolik serta bertujuan untuk
mendukung aktivitas umat dalam berliturgi. Fungsi liturgi dalam Gereja tersebut
adalah untuk memfokuskan ibadat dengan menggunakan simbol-simbol untuk
membantu umat beriman menghayati imannya, baik secara pribadi maupun
bersama-sama sebagai „Gereja‟ (Komisi Liturgi KWI,2000:9). Sebagai contoh,
dalam liturgi abu mempunyai makna mengingatkan kefanaan yang akan dihadapi
oleh semua orang. Makna tanda liturgi Katolik dapat diwujudkan dalam pola serta
penataan dalam interior Gereja Katolik. Menurut Mariyanto unsur-unsur desain
interior dalam Gereja Katolik yang mempunyai pola serta penataan terkait dengan

33

makna tanda liturgi adalah lay out, elemen pembentuk ruang, perabot, dan warna.
Seluruh unsur di atas yang menjadi perwujudan tanda liturgi akan ditelusuri
maknanya berdasarkan acuan liturgi. Dan diuraikan seluruh unsur fisik ruang
yang dapat dijelaskan kesesuaiannya sebagai tanda yang menyimbolkan ketiga
makna tersebut dan dengan nilai-nilai tanda sesuai dengan perwujudan-nya, yaitu
perwujudan sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam unsur-unsur nirmana
(Mayangsari dkk, 2008).
Sebuah Gereja Katolik memiliki zoning yang dibagi berdasarkan kegiatan
dari pemimpin liturgi yaitu Imam dengan umat yang beribadah. Tempat Imam
merupakan tempat mahakudus dimana umat tidak bisa seenaknya masuk. Bahkan
saat umat melewati panti Imam ini, umat harus berlutut menghormati tanda
kehadiran tubuh Kristus dalam bentuk roti (hosti) yang terdapat dalam tabernakel
(Malino, 2012).

Gambar 2.11 Layout Secara Umum Gereja Katolik
Sumber : cit Herz, 1970

34

3.1.3

Prinsip-Prinsip dan Perabot Pada Gereja Katolik
Prinsip-prinsip ruang dan perabot dalam Geraja Katolik telah ditentukan

oleh kongregasi dalam Institutio Generalis Missalis Romawi abad V pada tahun
1969, yang menetapkan bahwa dalam sebuah Gereja Katolik harus terdapat
fasilitas ibadah yang berupa peralatan dan perabot. Dalam sebuah Gereja Katolik
memiliki pembagian ruang dengan fasilitas-fasilitas sebagai berikut (Windhu,
1997 dalam Malino, 2012).
A. Panti Imam
Panti Imam adalah tempat Imam memimpin perayaan liturgi. Di Panti
Imam terdapat altar, mimbar, kredes, tempat duduk imam serta para
pembantunya (prodiakon paroki, misdinar, dan petugas lainnya), tebernakel,
dan lampu Tuhan. (Windhu, 1997).

Gambar 2.12 Susunan Panti Imam
Sumber : Windhu, 1997

Tinggi panti Imam dari lantai panti umat untuk gereja yang memiliki
jemaat antara 800 sampai 1000 orang adalah kira-kira 90 cm (Suptandar 130).

35

Upaya peninggian lantai ini dilakukan dengan tujuan dapat menunjang fungsi
atau kegiatan yang terjadi dalam ruang dan dapat member karakter yang
dapat memperjelas sifat ruang. Dengan adanya perbedaan ketinggian lantai
panti Imam ini serta material pada bangunan Gereja dapat memberi pesan
khidmat. Sedangkan untuk menjadikan ruangan tampak agung dapat
menggunakan warna formal (Malino, 2012).

 Altar
Dalam Gereja lama, kata altar dipakai untuk menunjuk pada meja ekaristi
Perjamuan Kudus (Wellem 25). Altar utama merupakan pusat seluruh gedung
Gereja, berupa meja besar untuk mengadakan perayaan Ekaristi dan kegiatan
liturgi yang lain. Altar harus lebih tinggi dari panti umat karena selain untuk
memudahkan umat melihat dan mengikuti jalannya perayaan, juga
mengingatkan umat kepada bukit Kalvari tempat Yesus disalibkan. Sehingga
daerah panti Imam ini memiliki anak tangga berjumlah tiga yang
melambangkan Allah Tritunggal. Altar sebagai meja perjamuan juga untuk
mengingatkan kepada perjamuan terakhir Yesus dengan murid murid- Nya.
Altar sebagai meja perjamuan ditutup dengan kain putih seperti meja makan
(Windhu, 1997). Meja altar memiliki panjang maksimum 3,6 m dan tinggi
97,5 cm (Sleeper, 1995 dalam Malino, 2012).

36

Gambar 2.13 Dimensi Altar
Sumber : de Chiarra, 2007

 Tabernakel
Tempat terbaik untuk menyimpan Sakramen Mahakudus yaitu sebuah
lemari kecil dari bahan yang kuat dan pantas. Biasanya Sakramen Mahakudus
sudah dimasukkan dalam sibori yang ditudungi kain kuning atau kuning
keemasan (Malino, 2012).

Gambar 2.14 Tabernakel
Sumber : http:/google.com/gambar/tabernakel/html

37

 Lampu Tuhan
Disebut juga lampu suci, merupakan lampu merah yang terus menyala
dekat tabernakel sebagai tanda bahwa di dalamnya tersimpan Sakramen
Mahakudus. Sebutan Lampu Tuhan menunjukkan bahwa Tuhan hadir dalam
sakramen Mahakudus tersebut. Dulu lampu harus berasal dari minyak zaitun
namun sekarang tidak diharuskan karena sulit mendapatkannya, bahkan
banyak Gereja menggunakan listrik (Malino, 2012).

Gambar 2.15 Lampu Tuhan
Sumber : http:/google.com/gambar/lampu/tuhan/html

 Sedilia
Sedilia merupakan tempat duduk Imam dan para pembantunya (para

prodiakon misdinar dan konselebran) (Malino, 2012).

Gambar 2.16 Dimensi selidia
Sumber : de Chiarra, 2007

38

 Mimbar
Merupakan tempat untuk membacakan bacaan kitab suci (perjanjian lama,
surat rasul, atau epistola, dan injil), berkotbah, pembacaan mazmur,
pembacaan doa umat, dan pengumuman (Malino, 2012).

Gambar 2.17 Dimensi Mimbar Kecil dan Mimbar Besar
 Kredens

Sumber : de Chiarra, 2007

Merupakan meja kecil tempat diletakkannya piala, purificatorium, palla,
corporal, patena, sibori, monstrans, ampul berisi air dan anggur, serta lavabo

(Malino, 2012).

Gambar 2.18 Dimensi Kredens
Sumber : Sleeper, 1995

39

B. Panti Umat
Panti umat adalah tempat beribadah umat, karena itu pada daerah ini
disediakan banyak fasilitas tempat duduk, yang biasanya dilengkapi tempat untuk
berlutut supaya umat dapat mengikuti tata cara liturgi ibadah yang sudah
ditetapkan (Malino, 2012).

Gambar 2.19 Dimensi Kursi Umat
Sumber : de Chiarra, 2007

Lebar kursi 45 cm untuk ukuran minimum (tidak direkomendasikan). 50 cm
untuk ukuran yang baik, sedangkan 55 cm untuk ukuran yan terbaik (Sleeper
299). Jarak sirkulasi yang baik antara kursi dengan dinding 1,2m sedangkan untuk
sirkulasi utama menuju ke altar adalah 1,8m.

C. Tempat Koor
Tempat khusus bagi para petugas yang membawakan lagu-lagu selama
perayaan liturgi Dulu tempat koor berada di balkon supaya suaranya dapat
terdengar kuat dan bagus, namun sekarang bisa berada di samping kiri atau kanan

40

altar bahkan ada yang menjadi satu dengan umat dengan maksud lebih
menggiatkan partisispasi umat dalam bernyanyi (Malino, 2012).

Gambar 2.20 Tempat Koor
Sumber : Windhu, 1997

D. Kamar Pengakuan
Kamar pengakuan adalah tempat menerima Sakramen Tobat. Ruang ini
terbagi atas dua ruang bersekat kasa, masing-masing untuk Imam dan pengakuan
dosa. Di dalamnya biasanya terdapat salib dan bangku untuk berlutut. Kamar
pengakuan ini biasanya terletak di sayap kanan dan kiri bagian dalam Gereja.
Biasanya ada lebih dari satu kamar (Malino, 2012).

Gambar 2.21 Ruang Pengakuan
Sumber : Windhu, 1997

41

E. Balkon
Merupakan ruang di bagian depan Gereja. Dahulu, balkon digunakan untuk
tempat koor supaya suara lantang memenuhi gedung Gereja. Balkon yang tidak
digunakan untuk koor, dipakai untuk tempat duduk umat (Malino, 2012).

Gambar 2.22 Balkon Pada Gereja
Sumber : Windhu, 1997

F. Portal dan Bejana Air Suci
Portal atau gerbang adalah sekat papan atau pertisi yang terdapat setelah
memasuki pintu utama gereja, sehingga umat tidak terlihat dari luar (Windhu,
1997, 22). Bejana air suci berisi air yang sudah diberkati, biasanya di letakkan
dekat pintu supaya dapat digunakan waktu masuk atau keluar Gereja (Malino,
2012).

42

Gambar 2.23 Portal dan Tempat Air Suci
Sumber : Windhu, 1997

G. Perlengkapan Gereja
 Salib
Salib adalah perlengkapan Gereja yang tidak pernah dilupakan. Setiap
umat mengadakan kegiatan liturgi dan ibadah yang lain, salib selalu hadir di
sana. Salib biasanya didampingi lilin-lilin yang sudah dinyalakan dan
diletakkan di atas meja altar atau dipasang di dekat altar yang dikenak dengan
salib duduk. Salib duduk memiliki ukuran tinggi 18cm-30cm . Ada juga salib
yang besar di belakang altar menempel pada dinding dengan ukuran tinggi
60cm-200cm Perbandingan antara tinggi dan lebar Salib adalah 2:1. (Windhu,
1997).

43

Gambar 2.24 Salib Duduk
 Patung Yesus

Sumber : Windhu, 1997

Patung Yesus biasanya berukuran cukup besar ( tinggi rata-rata 60cm200cm) sehingga bisa dengan mudah dilihat umat yang hadir di gereja. Patung
Yesus biasanya diletakkan di samping kanan altar ( Windhu, 1997).

Gambar 2.25 Patung Yesus
 Patung Maria

Sumber : Windhu, 1997

Patung Maria juga berukuran besar (tinggi rata-rata 60cm-200cm) dan
biasanya diletakkan di samping kiri altar. Di sekitar patung Maria biasanya
disediakan tempat bagi umat yang ingin mempersembahkan lilin supaya
permohonannya dikabulkan. Baik patung Yesus maupun Maria berfungsi

44

sebagai sarana pembantu umat untuk berjumpa dengan Tuhan sendiri
(Windhu, 1997).

Gambar 2.26 Patung Maria
Sumber : Windhu, 1997

 Gambar dan Relief Jalan Salib
Gambar dan relief jalan salib dapat dipastikan ada di setiap Gereja.
Jumlahnya sebanyak 14 buah. Pada saat tertentu umat mengadakan kebaktian
jalan salib di gereja dengan bantuan gambar atau relief tersebut. Biasanya
gambar atau relief jalan salib dipasang pada dinding-dinding Gereja. Yang
berupa gambar biasanya merupakan lukisan, sedangkan yang berupa relief
merupakan pahatan dari batu ataupun kayu. ( Windhu, 1997).

Gambar 2.27 Jalan Salib
Sumber : Windhu, 1997

45

 Patung Santo/Santa
Biasanya paroki memakai nama pelindung seorang Santo atau Santa.
Gambar atau Patung Santo / Santa pelindung di letakkan di depan Gereja.
Kadang –kadang gambarnya diwujudkan dalam lukisan pada dinding kaca di
bagian depan Gereja. Maksud penggunaan nama Santo / Santa pelindung
supaya umat paroki mendapat perlindungan dan dapat mewarisi semangat
hidup yang suci, karena Santo / Santa menjadi teladan hidup suci (Windhu,
1997).

Gambar 2.28 Patung Santo/Santa
Sumber : Windhu, 1997

 Organ
Organ merupakan alat musik tekan yang digunakan untuk mengiringi koor
atau setiap lagu yang dinyanyikan saat ibadah (Malino, 2012).

 Gong dan Kelinting
Gong merupakan salah satu alat bunyi gemelan yang di pasang dekat altar.
Bersama bel atau kelinting, gong dipakai untuk memberi tanda konserkrasi.

46

Maksud menggunakan bunyian-bunyian adalah untuk menciptakan suasana
hening khusyuk dan penuh perhatian di beberapa Gereja gong atau kelinting
dibunyikan untuk mengawali dan mengakhiri Doa Syukur Agung (Windhu,
1997).

Gambar 2.29 Gong dan Kelinting
Sumber : Windhu, 1997

 Lonceng
Lonceng adalah alat bunyi yang biasa digunakan untuk mengiringi ibadat
sebagai tanda kegembiraan. Lonceng dibunyikan pada saat-saat tertentu untuk
mengundang umat mengadakan ibadah, maka perlu suaranya nyaring dan
meluas sampai jauh. Lonceng dianggap benda keramat yang tidak boleh
dibunyikan sembarangan (Windhu, 1997).

Gambar 2.30 Lonceng
Sumber : http:/google.com/gambar/lonceng/gereja.html

47

3.1.4

Warna-Warna Dalam Interior Gereja Katolik
Penggunaan warna liturgi berkembang bersama pakaian liturgi dalam

sejarah liturgi itu sendiri. Dalam liturgi warna melambangkan sifat dasar misteri
iman yang dirayakan dan menegaskan perjalanan hidup Kristiani sepanjang tahun
liturgi (Windhu 50). Gereja Katolik menggunakan warna-warna liturgi dalam
beribadah. Warna liturgi sering digunakan sesuai dengan kalender liturgi, di
bawah ini merupakan warna liturgi beserta maknanya (Windhu, 1997).
1) Kuning : mengungkapkan kemuliaan, kemenangan, dan kegembiraan,
biasanya bisa dipertemukan dengan warna putih dan digunakan pada hari
natal, paskah dll.
2) Merah : lambang dari roh kudus, darah, api, cinta kasih, pengorbanan, dan
kekuatan. Warna ini dipakai pada hari raya Jumat Agung, Minggu Palma,
Pentakosta, dan pesta para martir.
3) Putih : mengungkapkan kegembiraan dan kesuciaan, biasanya bisa
dipertemukan dengan warna kuning dan digunakan pada hari natal,
paskah, dan kamis putih.
4) Unggu : mengungkapkan tobat, duka, dan matiraga, di pakai pada masa
advent, paskah, dan misa pemakaman.
5) Hijau : melambangkan harapan, syukur, dan kesuburan, dan dipakai pada
hari-hari dalam misa biasa.
6) Hitam : hitam mengungkapkan kesedihan atau berkabung, dipakai saat
misa arwah atau pemakaman. Biasanya dapat diganti dengan warna ungu
(Windhu, 1997).

48