BOOK I Wayan S, Eka Putri P Komunikasi Ritual

KOMUNIKASI RITUAL PERANG TOPAT
SEBAGAI MEDIA PEMERSATU KEBHINEKAAN
DI LOMBOK
Oleh:
I Wayan Suadnya
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi dan Prodi Agribisnis Universitas Mataram)

Eka Putri Paramita
(Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mataram)

Pendahuluan
Arus komunikasi global saat ini telah membawa perubahan dalam
berbagai aspek kehidupan umat manusia di seluruh penjuru dunia.
Masyarakat global telah berbaur dalam komunikasi dunia maya.
Media sosial menjadi pilihan komunikasi, dimana masyarakat dapat
berekspresi secara bebas dan sering tanpa memperhatikan ramburambu etika yang diatur dalam perundang-undangan maupun bingkai
agama dan moral serta etika kesusilaan.
Berita dan informasi kontroversial bernuansa sara (suku, antar
golongan ras dan agama) mewarnai dunia maya yang sangat mudah
diakses oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dan terlebih lagi oleh
generasi muda. Konlik dan pertentangan serta hasutan sering muncul

dan berakibat pada kegaduhan di dunia nyata. Konlik bernuansa sara
sudah sering terjadi sebagai akibat melunturnya rasa dan penghargaan
terhadap kebhinekaan, persatuan, persaudaraan dan kebersamaan
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Penghargaan dan
penghormatan terhadap kepercayaan, agama dan keyakinan orang lain
mulai menipis dengan tumbuhnya pandangan bahwa golongan dan
keyakinannya adalah yang paling benar. Toleransi terhadap keyakinan
dan agama lain mulai terkikis dan oleh karenanya, perlu upaya untuk
meredam dan mengurangi intensitas dan kualitas kejadiaan intoleran
agar tali persaudaraan dalam kebhinekaan tetap terjaga di seluruh
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

309

wilayah NKRI.
Sejarah toleransi dan kebhinekaan yang telah terbangun sejak
jaman kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia seperti Majapahit,
Sriwijaya, Demak, dan Selaparang di Lombok mulai dilupakan dan
tidak lagi dijadikan rujukan dalam kehidupan bermasyarakat. Saling

hujat dan saling menghina berkembang ditengah masyarakat. Kini
saatnya kita menengok kembali sejarah dan kejadiaan masa lalu yang
sudah menjadi kearifan lokal untuk disimak kembali dan direvitalisasi
dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu peninggalan sejarah yang berupa ritual upacara
keagamaan di Lombok yang mempunyai nilai sakral dan sosial
yang tinggi adalah ritual “perang topat” yang diselenggarakan setiap
tahun sekali di Pura Lingsar Kabupaten Lombok Barat. Tradisi ini
sampai sekarang masih dilaksanakan dan dirasa menjadi perekat tali
persaudaraan diantara dua umat yang berlainan budaya, keyakinan dan
agama. Kedua suku tersebut adalah suku sasak yang berkebudayaan
Sasak dengan keyakinan dan agama islam dan suku Bali yang berbudaya
Bali serta keyakinan dan Agama Hindu.
Berdasarkan fakta sejarah yang ada ritual “perang topat” ini
ditujukan untuk memelihara nilai-nilai sakral seperti rasa syukur atas
kelimpahan nikmat (air suci – Kemaliq) yang menyebabkan tanah
menjadi subur dan berkah yang diberikan oleh para leluhur dan Tuhan
Yang Maha Esa. Serta memelihara komunikasi dengan leluhur dan
Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta segala yang ada. Sejarah juga
menunjukkan bahwa tujuan diadakan “perang topat” adalah untuk

mengikat solidaritas antar pemeluk agama dan budaya yang berbeda,
menciptakan nilai toleransi dan perdamaian di masyarakat sehingga
menjadi kearifan lokal tersendiri di wilayah Lombok Barat pada
khususnya dan Lombok pada umumnya.
Memperhatikan tujuan mulia dari ritual “perang topat” tersebut
muncul pertanyaan mendasar yang perlu menjadi kajian dalam
tulisan ini yaitu seperti apa proses komunikasi ritual yang terjadi pada
upacara “perang topat” dan bagaimana bisa menjadi media pemersatu
kebhinekaan di Lombok. Tulisan ini merupakan kajian pustaka yang
dilengkapi dengan hasil wawancara mendalam dengan stakeholder
kunci untuk mendapatkan konirmasi dan validasi atas informasi yang
310

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

terkandung dalam pustaka yang telah ditelusuri dan di kaji.

Latar Sejarah
Sejarah perang topat merupakan satu kesatuan sejarah yang
tidak bisa dipisahkan. Keduanya seiring dan sejalan. Tujuan utama

dibangunnya Pura Lingsar oleh Raja Ketut Karangasem Singosari
adalah untuk menyatukan secara batiniah masyarakat Sasak dengan
masyarakat Bali yang melakukan invasi dan penjajahan (Agung 1991).
Dalam kondisi tersebut, suasana permusuhan tidak bisa dihindari
antar kedua suku tersebut. Untuk meredam rasa permusuhan dan
menanamkan bibit persaudaraan diantara kedua etnis yang berbeda
agama dan keyakinan, maka harmonisasi harus dilakukan. Pada posisi
ini raja berinisiatif membangun Pura Lingsar yang berdampingan
dengan Kemaliq Lingsar yang merupakan tempat pemujaan Masyarakat
Sasak. Hal ini dimaksudkan agar secara isik kedua suku dalam
melaksanakan pemujaan dan ibadah berkomunikasi dan berinteraksi
secara lebih intens dalam suasana kebathinan yang sama yaitu untuk
mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
telah melimpahkan karunia dan rahmatnya berupa air dan kesuburan
di wilayah tersebut. Dengan komunikasi ritual yang dirancang untuk
dilaksanakan bersama maka diharapkan kerjasama, gotong royong dan
toleransi dapat tumbuh dan berkembang diantara kedua suku yang
berbeda.
Menurut sejarah, jauh sebelum dibangun Pura Lingsar, di
lokasi ini masyarakat Sasak telah melakukan pemujaan terhadap

sumber mata air yang mereka sebut Kemaliq. Tetua adat sasak yang
diwawancarai, Kemaliq berasal dari kata maliq dalam bahasa Sasak
yang artinya keramat atau suci. Masyarakat suku sasak menganggap
bahwa sumber mata air yang ada di Kemaliq sebagai sesuatu yang suci
dan keramat. Menurut kepercayaan masyarakat sasak di Lingsar di
tempat inilah seorang penyiar Agama Islam Wetu Telu yang bernama
Raden Mas Sumilir dari Kerajaan Medayin mengalami moksa atau
menghilang. Dengan dibangunnya tempat pemujaan (tempat suci
yang berdampingan secara isik, diharapkan kedua pemeluk agama
masing-masing dapat hidup berdampingan sebagaimana tempat suci
mereka. Raja menggunakan komunikasi interaksionisme simbolik
dalam konteks ini untuk menunjukkan kepada rakyatnya (Peninggalan
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

311

Sejarah dan Kepurbakalaan NTB, 1998).
Upaya yang dilakukan oleh raja adalah suatu wujud nyata dari
kearifan lokal yang dibangun untuk membangun harmoni dan
menyatukan secara isik dan batiniah perbedaan diantara dua suku

dan agama. Raja mengkomunikasikan kepada kita saat ini bahwa sejak
1759 kebhinekaan harus dipelihara dan dijunjung tinggi sebagai suatu
nilai yang bersifat sakral dan sosiologis. Secara isik kedua golongan
disatukan dalam proses pemujaan dan secara sosiologis kedua pemeluk
agama disatukan dalam harmoni kerjasama saling menghormati dan
menghargai dalam ritual bersama.

Perang Topat
Tradisi perang topat merupakan praktik kebudayaan masyarakat
etnis Sasak Islam penganut Wetu Telu dan masyarakat etnis Bali yang
beragama Hindu (Budiwanti, 2000). Tradisi perang topat merupakan
salah satu tradisi yang sarat dengan nilai dan kearifan lokal, karena
didalamnya terkandung nilai sakral dan nilai sosiologis (Mulyadi
2014). Perang topat disakralkan karena mengandung nilai dan
tuntunan dan serta mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang
Maha Pencipta. Ritual ini juga mengandung dimensi hubungan dengan
Tuhan dan leluhur yang diyakini oleh kedua pemeluk agama yang
berbeda. Disamping itu nilai sosiologis yang terkandung didalamnya
mengajarkan hubungan antar umat beragama yang penuh toleransi dan
saling menghargai satu dengan yang lainnya. Ini diwujudkan dalam

semua prosesi dan tahapan pelaksanaan perang topat sebagaimana
akan dijelaskan pada bagian lain paper ini.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa perang topat adalah salah satu
rangkaian dari upacara pujawali, yaitu suatu ritual untuk memperingati
atau mengenang Syekh K.H.Abdul Malik, salah seorang penyiar agama
Islam di Pulau Lombok. Menurut cerita tetua adat setempat Pura
tempat dilaksanakannya perang topat di Daerah Lingsar, Lombok
Barat, adalah daerah tandus dan gersang, yang hanya ditumbuhi semak
belukar. Setelah Syekh K.H.Abdul Malik dengan dua saudaranya, yaitu
K.H.Abdul Rouf dan Hj. Raden Ayu Dewi Anjani datang ke daerah
tersebut, wilayah yang tadinya tandus dan gersang berubah menjadi
daerah yang subur dan makmur.

312

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

Berdasarkan cerita masyarakat setempat pada bulan ketujuh
menurut warga sasak tepatnya pada bulan purnama (tanggal 15 Bulan
Qomariyah) terjadi peristiwa yang luar biasa dimana Syekh K.H.Abdul

Malik melakukan khalwat semalam suntuk dan baru selesai pada
keesokan harinya menjelang Ashar. Menurut masyarakat setempat
beliau lalu berjalan menuju sebuah bukit dengan memegang tongkat
dan berhenti pada sebuah pohon waru yang merupakan satu-satunya
pohon yang ada di tempat itu. Dengan kekuatan doanya tongkat lalu
ditancapkan dan setelah dicabut maka keluarlah air yang sangat deras
dengan suara yang gemuruh. Bersamaan dengan peristiwa itu bunga
pohon warupun berguguran, sehingga peristiwa itu kemudian di sebut
Rarak Kembang Waru. Dari peristiwa keluarnya air itu terciptalah nama
“Lingsar”. “Ling” dalam bahasa Sasak berarti suara dan “sar” artinya
suara atau bunyi air yang besar dan deras. Peristiwa itu kemudian
diperingati sebagai upacara Rarak Kembang Waru yaitu upacara Khaul
K.H.Abdul Malik dan upacara Perang topat (Dinas Pariwisata, 1999).
Pada versi lain diceritakan bahwa munculnya naman pura
Lingsar/Kemaliq dimulai sejak kedatangan rombongan 80 orang Bali
dari Kerajaan Karang asem ke Pulau Lombok yang dipimpin oleh 3
orang. Mereka mendarat pertama kali di pantai Barat dekat Gunung
Pengsong, Kabupaten Lombok Barat. Dari sini rombongan meneruskan
perjalanan ke Perampuan, Pagutan dan Pegesangan. Kemudian mereka
sampai di Karang Medain dan kemudian meneruskan perjalanan

sampai ke Punikan (Mulyadi, 2014; Agung, 1991).
Di tempat ini rombongan beristirahat karena kehausan dan
lapar. Menurut cerita, setelah selesai makan pada siang hari mereka
tiba-tiba mendengar suara seperti letusan dan gemuruh. Kemudian
mereka mencari asal suara tersebut yang ternyata adalah sebuah mata
air yang diyakini baru meletus. Pada saat yang bersamaan mereka
mendengar wahyu yang mengatakan bahwa kelak setelah mereka
menguasai Lombok maka buatlah pura di tempat tersebut. Mereka
kemudian memberi nama sumber air itu Ai’ Mual yang berarti air yang
mengalir. Seiring dengan berjlanyya waktu nama Ai” Mual kemudian
dirubah menjadi Lingsar. Lingsar berasal dari kata Ling, yang artinya
wahyu atau sabda atau suara sama dengan yang diberikan pada versi
sebelumnyadan Sar,yang artinya syah atau jelas. Jadi Lingsar artinya
wahyu yang jelas (Dinas Pariwisata, 1999; Mulyadi, 2014).
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

313

Kedua versi sejarah tadi menjelaskan bahwa ritual perang topat
mulai diadakan sejak keluarnya mata air Lingsar/kemaliq. Ritual ini

terus berlangsung sampai saat ini. Berdasarkan makna cerita sejarah
yang disajikan sebelumnya sesungguhnya terkandung makna atau
pesan yang disampaikan melalui ritual ini antara lain: (1) ritual perang
topat mengandung makna pesan dan ekspresi serta ungkapan rasa
senang atas timbulnya mata air suci (kemaliq); (2) sebagai ungkapan
rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberikan air
suci untuk kehidupan; (3) ekspresi keinginan untuk hidup rukun dan
damai tanpa peperangan, melainkan menggantinya dengan perangperangan yang membangkitkan persahabatan dan rasa persaudaraan.
Dalam perang topat tidak ada rasa benci dan dendam, walaupun ada
yang kesakitan terkena topat tetapi mereka tetap merasa gembira
dan tidak ada rasa dendam; (4) perang topat juga dimaknai sebagai
ritual melempar syaitan agar masyarakat terbebas dari godaan syaitan
(Mulyadi, 2014, Dinas Pariwisata, 1999; Sodli, 2010).

Proses Komunikasi Ritual Perang Topat
Memperhatikan prosesi pelaksanaan kegiatan perang topat di
Pura Lingsar/Kemaliq, ada empat tahapan yang harus dilalui. Menurut
pemangku Pura Lingsar tahapan tersebut antara lain: persiapan,
pembukaan, acara inti dan penutup. Persiapan pelaksanaan ritual
perang topat dilakukan bersama oleh dua suku yang mengempon Pura

Gaduh dan Kemaliq. Pada saat proses persiapan komunikasi intens
terjadi antara pengurus Pura Gaduh dan Kemaliq untuk membicaraan
segala sesuatu yang terkait dengan teknis pelaksanaan ritual. Rapat –
rapat dilaksanakan untuk mempersiapkan logistik dan semua keperluan
serta pembagian tugas untuk pelaksanaan ritual. Komunikasi terjadi
diinternal etnis dan antar etnis.
Pada zaman kerajaan dahulu dalam proses persiapan upakara dan
ritual keagamaan seperti perang topat telah terjadi kesepakatan yang
sangat indah dimana mereka menampilkan toleransi dan rasa saling
menghargai yang begitu tinggi. Sebagai contoh dalam menentukan
hewan korban. Kedua etnis bersepakat untuk tidak menggunakan
hewan sapi karena hewan ini dianggap suci oleh umat Hindu dan tidak
menggunakan babi karena hewan ini haram bagi umat islam. Kompromi
dan jalan tengah demi keharmonisan diambil yaitu menggunakan
314

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

kerbau yang kedua etnis bisa memakannya (Sodli, 2010). Saat ini tradisi
ini masih dilakukan dan mereka saling sepakat untuk membagi tugas
dan melakukan semua persiapan ritual.
Tahap kedua yaitu tahapan pembukaan dimana dilakukan ritual
penaek gawe. Pada prosesi ini kegiatan ritual yang dilakukan adalah
upacara mendak yaitu mendak kebun odeq dan murwa daksina (napak
tilas) menggunakan kerbau. Pada prosesi upacara ini ritual dilaksanakan
oleh kedua etnis secara bersama saling membantu satu sama lainnya.
Pada prosesi ini nampak bagaimana interaksi dan kerukunan terjalin
diantara dua etnis yang berbeda agama untuk melaksanakan kegiatan
ritual untuk satu tujuan yang sama yaitu mengucapkan rasa syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memperingati kejadian penting yang
telah dilakukan oleh leluhur mereka serta mengharapkan kedamaian
dan kesejahteraan terhadap umat manusia. Menurut pemangku pura
Lingsar dan Kemaliq komunikasi ritual terjadi pada kegiatan ini.
Ketiga, pada upacara inti yakni perang topat interaksi dan
komunikasi intens terjadi antara kedua etnis dimulai sejak menyembelih
hewan kurban yaitu kerbau. Mereka bekerjasama membuat pesaji,
nyerahang topat, mendak pesaji, ngaturang pesaji dan perang topat.
Ritual ini dilaksanakan secara bersama dengan rasa penuh kebahagiaan
dan saling tolong menolong antara kedua etnis berbeda keyakinan.
Demikian juga halnya dengan ritual yang terakhir atau yang
keempat yang disebut ritual beteteh ke Sarasuta. Pada acara ini kedua
etnis juga bekerjasama dan melaksanaan upacara ritual dengan penuh
keharmonisan dan saling membantu satu dengan yang lainnya. Mereka
berjalan bersama ke Saresuta untuk melakukan ritual.
Dari uraian tersebut nampak jelas bahwa komunikasi ritual yang
terjadi pada proses dan rangkaian acara pelaksanaan perang topat
mengisyaratkan untuk selalu terjadi komunikasi dan harmonisasi
serta toleransi diantara kedua penganut agama yang berbeda.
Komunikasi yang terbuka dan toleransi yang tinggi diperlukan untuk
mempersatukan dan mempertahankan kebhinekaan seperti yang
terjadi pada ritual perang topat.

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

315

Ritual Perang Topat Sebagai Media Pemersatu Kebhinekaan
Menurut Rothenbuhler (1998) ”ritual is the voluntary performance
of appropriately patterned behavior to symbolically efect or participate
in the serious life”. Kata ritual sering juga diidentikkan dengan kata
habit (kebiasaan) atau rutinitas. Couldry (2003) mendeinisikan ritual
sebagai suatu habitual aksi (aksi turun-temurun), aksi formal dan
juga mengandung nilai-nilai transendental. Dengan demikian ritual
bisa juga difahami sebagai even yang dilaksanakan secara sukarela
oleh masyarakat secara turun-temurun (berdasarkan kebiasaan) dan
menyangkut perilaku yang terpola. Pertunjukan tersebut bertujuan
mensimbolisasi suatu pengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan.
Kegiatan ritual memungkinkan menjadi media bagi pesertanya
berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi persatuan
dan pengabdian kepada kelompok. Ritual mampu menciptakan
perasaan tertib (a sense of order) dalam kondisi masyarakat yang
kurang stabil. Ritual memberikan rasa nyaman akan keteramalan
(sense of predictability). dalam pelaksanaan ritual subtansi kegiatan
ritual itu sendiri bukanlah yang terpenting, melainkan perasaan
senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa mereka
terkait oleh sesuatu ikatan yang lebih besar dari pada dirinya sendiri,
yang bersifat “abadi” dan bahwa mereka diakui dan diterima dalam
kelompok (agama, ethnic, sosial). Ritual merupakan perilaku yang
didasarkan menurut kebiasaan atau aturan yang distandarkan. Dengan
demikian, perilaku karena kebiasaan ini bersifat imperatif, berkaitan
dengan etika, serta perintah sosial (Rothenbuhler, 1998). Sejalan
dengan ini ritual perang topat merupakan tradisi yang mempersatukan
dua etnis yang dalam prosesnya lebih mementingkan rasa syukur yang
dirasakan bersama oleh kedua etnis. Aturan dan tertib upacara sudah
ditetapkan dan harus dilaksanakan sebagaimana adanya sehingga
tumbuh keyakinan kolektif terhadap kemahakuasaan Tuhan yang
maha Esa.
Ritual perang topat dipertunjukkan sebagai suatu bentuk
komunikasi tingkat tinggi yang ditandai dengan keindahan (estetika),
dirancang dalam suatu cara yang khusus serta memperagakan sesuatu
keunikan kepada khalayaknya. Menurut Rothenbuhler (1998) karena
316

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

ritual menekankan pada unsur estetika, pertunjukan ritual mengandung
dua karakteristik yaitu ritual yang didasarkan pada konsepsi-konsepsi
yang ada sebelumnya dan merupakan pertunjukan untuk orang
lain. Pertunjukan tersebut dimaksudkan untuk memperagakan
kompetensi komunikasi kepada khalayak. Perang topat ditunjukkan
dan dipetontonkan agar masyarakat luas dapat menghargai dan belajar
dari kearifan lokal yang ada.
Ritual merupakan salah satu cara dalam berkomunikasi. Semua
bentuk ritual adalah komunikatif. Ritual selalu merupakan perilaku
simbolik dalam situasi-situasi sosial. Karena itu ritual selalu merupakan
suatu cara untuk menyampaikan sesuatu. James W. Carey (2009)
menyebutkan bahwa, ”In a ritual deinition, communication is linked
to terms such as “sharing,” “participation,” “association,” “fellowship,” and
“the possession of a common faith.” Hal ini berarti, dalam perspektif
ritual, komunikasi berkaitan dengan berbagi, partisipasi, perkumpulan/
asosiasi, persahabatan, dan kepemilikan akan keyakinan yang sama.
Ritual perang topat adalah media untuk menyampaikan pesan kepada
khalayak yang terlibat dan yang hadir menyaksikan ritual tersebut
bahwa keharmonisan dan kerjasama yang harmonis diantara etnis
yang ada adalah jalan untuk mencapai tujuan masing-masing yaitu
kesejahteraan lahir dan batin, serta menunjukkan betapa dua suku
yang berbeda bisa bersatu dalam suatu ritual keagamaan.
Sebagai salah satu fungsi komunikasi, komunikasi ritual dijelaskan
oleh Mulyana (2005) sebagai penegasan kembali komitmen mereka
kepada tradisi keluarga, komunitas, suku, bangsa, negara, ideologi, atau
agama mereka. Demikian pula pada tradisi perang topat, dideinisikan
sebagai kegiatan simbolis yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya, berisikan kepercayaan, menegaskan, serta menghubungkan
diri dengan kepercayaan mereka, dan mengembangkan identitas.
Berdasarkan hasil penelitian Yuniati et al (2015) ditemukan bahwa
fungsi komunikasi ritual dalam tradisi perang topat adalah fungsi
komunikasi ritual sebagai jembatan pemersatu, sebagai pelestarian
budaya dan sebagai identitas budaya.
Sebagai pemersatu secara historis diketahui bahwa telah terjalin
hubungan antar kedua etnis yang bermukim di Desa Lingsar.
Hubungan ini berlangsung sejak zaman Kerajaan Karang asem (Bali)

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

317

di Lombok, masa kolonial Belanda dan masa kemerdekaan Indonesia.
Hubungan erat antar kedua etnis ini pada awalnya diciptakan oleh para
penguasa (Raja) sebagai strategi politik yang tidak lepas dari aspek
relegius ekonomi dan kekerabatan. Strategi ini sengaja diciptakan demi
menanamkan serta memperkokoh kekuasaan raja, mempersatukan
etnis Sasak khusunya penganut wetu telu dan etnis Bali. Salah satu
bentuk nyata dari strategi ini adalah pelaksanaan tradisi perang topat
yang berkaitan erat dengan mata pencaharian (ekonomi) terutama
dibidang pertanian sawah (Yuni ati et al, 2015).
Yuniati et al (2015) mengungkapkan bahwa misi dari diadakannya
upacara perang topat ini adalah sebagai pemersatu antara Bali dan
Lombok. Hal ini dapat dilihat dari tataletak dan arsitektur bangunan
Pura yang berdiri berdampingan dengan Kemaliq. Bila dilihat
dengan arah menghadap Gunung Rinjani (ke utara) maka Kemaliq
berada disebelah kanan, sedangkan Pura ada disisi kiri. Bila dilihat
menghadap Gunung Agung di Bali maka posisinya adalah sebaliknya.
Ini mempunyai makna untuk mempersatukan roh-roh gaib di Gunung
Rinjani (Lombok) dan roh-roh gaib di Gunung Agung (Bali). Kalau
diperhatikan lebih mendalam komposisi bangunan Pura terdiri atas tiga
bangunan yaitu Pertama Pura Bhatara di Gunung Rinjani, kedua pura
Bahatara di Bukit (tengah) dan yang ketiga Pura Bhatara di Gunung
Agung. Tujuan pembangunan dengan komposisi seperti ini adalah
untuk mempersatukan masyarakat Sasak dan Bali. Dalam upacara
Pujawali yang menjadi inti adalah upacara tradisi perang topat. Pada
pelaksanaan upacara ini tradisi (ritual) yang dilakukan adalah yang
punya kerja adalah Kemaliq, sedangkan Pura adalah tamu agungnya.
Menurut keyakinan umat Hindu mereka melakukan upacara untuk
menghormati Bhatara Gde lingsar. Sedangkan menurut keyakinan
etnis Sasak mereka melakukan ritual untuk menghormati dan mentaati
wasiat dari Datu Wali Milir. Sebutan Datu Wali Milir dan Bhatara Gde
lingsar ini mempunyai pengertian yang satu yakni Raden Mas Sumilir.
Menurut Yuniati et al (2015) bahwa yang hadir untuk melaksanakan
upcara perang topat tidak hanya warga Lingsar tetapi mereka datang
dari jauh seperti Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur.
Masyarakat yang datang dari berbagai tempat ke Pure Lingsar khususnya
Kemaliq dengan tujuan ikut melaksanakan tradisi perang topat yang
diyakini akan mendatangkan kemakmuran dan kesuburan, namun
318

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

dibalik itu disadari atau tidak mereka datang karena memiliki suatu
perasaan yang sama, kepentingan yang sama, dan saling memerlukan
satu sama lain. Perasaan-perasaan itulah yang tidak disadari dapat
memperkuat dan memperkokoh tali persaudaraan diantara mereka.
Dengan demikian adanya perasaan yang sama, tujuan yang sama dan
kepentingan yang sama akan dapat mepersatukan anggota-anggota
komunitas, dan yang mendasari ini semua adalah adanya komunikasi
yang baik diantara kedua etnis. Jadi dapat dikatakan bahwa komunikasi
ritual dalam tradisi perang topat di Taman Lingsar Kabupaten lombok
Barat ini adalah sebagai media pemersatu baik sesama etnis maupun
antar etnis.
Ritual perang topat sebagai media pemersatu perlu dilestarikan.
Pelestarian kebudayaan lokal diwujudkan dalam upacara ritual yang
khas sebagai dasar bertindak dan beraktivitas untuk pengembangan
diri ke depan. Oleh karena it perang topat perlu dilestarikan supaya
tidak punah. Hal ini perlu dilakukan karena kebudayaan diciptakan
dan dipertahankan melalui aktivitas komunikasi para individu
anggotanya. Secara kolektif, perilaku mereka secara bersama-sama
menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi
oleh individu (Sendjaja, 1994). Hal senada juga diuangkapkan Lasswell
(1960) fungsi komunikasi dalam masyarakat yakni the transmission of
the social heritage from one generation to the next. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa budaya perang topat dirumuskan, dibentuk,
ditransmisikan dan dipelajari melalui komunikasi. Jadi dapat dikatakan
bahwa fungsi komunikasi dalam hal ini adalah sebagai alat untuk
mensosialisasikan nilai-nilai budaya kepada masyarakatnya.
Demikian pula komunikasi ritual dalam tradisi perang topat yang
berfungsi sebagai sarana transmisi budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Dari hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa
ketika tradisi perang topat ini dilaksanakan, secara tidak langsung
terjadi proses pembelajaran dari generasi tua yang umumnya sebagai
pelaku kegiatan ini kepada generasi muda. Berdasarkan observasi
pada saat prosesi upacara tradisi perang topat banyak kaum muda yang
terlibat bahkan anak- anak.Salah satunya dapat kita lihat dari prosesi
mendak, barisan terdepan yakni tari Baris dan tari Teleq di bawakan
oleh para remaja dan anak-anak, begitu juga dengan pembawa Payung
Agung. Ini berarti telah terjadi proses pewarisan dari generasi tua
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

319

kepada generasi muda dalam hal ini terjadi proses pembelajaran secara
alamiah yang terjadi dalam prosesi tradisi ini.
Dari hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa masyarakat
yang datang untuk menghadiri upacara perang topat ini juga beragam
mulai dari orang tua, orang dewasa sampai anak-anak, tradisi perang
topat merupakan salah satu upacara yang diterima dan diwariskan
dari generasi sebelumnya secara turun-temurun. Jadi dapat dipahami
ketika suatu kelompok masyarakat telah mewariskan tradisinya secara
turun temurun, maka berarti kelompok tersebut telah melakukan
usaha atau perjuangan untuk memepertahankan serta melestarikan
tradisinya. Demikian pula dalam proses pewarisan tradisi perang topat
ini sebagai salah satu nilai sosial yang dipelihara masyarakat etnis Sasak
Islam penganut Wetu Telu dan etnis Bali beragama Hindu berlangsung
secara alamiah. Tidak terjadi proses pembelajaran secara khusus
dalam melakukan tradisi ini. Dengan demikian, bila generasi tua
sekarang ini telah tiada maka generasi muda yang ada saat inilah yang
akan menggantikan untuk melaksanakan tradisi ini, sehingga tradisi
ini tidak akan pernah punah.
Tradisi perang topat merupakan sarana komunikasi yang penting
untuk membangun, memberdayakan, dan pengakuan suatu identitas
budaya. Dari hasil obsevasi menunjukkan bahwa tradisi perang topat
merupakan wujud budaya yang mencerminkan ciri kebudayaan
Lombok. Hal tersebut dapat teridentiikasi dari proses pelaksanaannya,
seperti menyiapkan sesajen yang terdiri dari aneka makanan dan buah
yang yang mencerminkan bumi dan segala isinya yang disebut Kebon
Odeq. Selain itu, pencerminan jati diri tersirat dari pelaksanaan tradisi
ini adalah adanya rasa kebersamaan, gotong royong atau bekerjasama
untuk mencapai satu tujuan yang sama, yakni untuk mendapatkan
keselamatan dan kesejahteraan hidup, walaupun mereka berasal dari
etnis dan agama yang berbeda.
Menurut Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R.
McDaniel dalam Samovar (2006), identitas budaya merupakan
karakter khusus dari sistem komunikasi kelompok yang muncul dalam
situasi tertentu. Diverse groups can create a cultural system of symbols
used, meanings assigned to the symbols, and ideas of what isconsidered
appropriate and inappropriate. When the groups also have a history

320

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

and begin to hand down the symbols and norms to new members, then
the groups take on acultural identity. Cultural identity is the particular
character of the group communication system that emerges in the
particular situation.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami ketika suatu kelompok
masyarakat telah mewariskan simbol-simbol dan norma-norma
secara turun temurun, maka berarti kelompok tersebut telah memiliki
identitas budaya. Demikian juga halnya dengan tradisi perang topat,
dari hasil wawancara dengan beberapa informan menunjukkan bahwa
tradisi ini merupakan tradisi yang telah diteruskan secara turun
temurun dari generasi ke generasi oleh masyarakat Lingsar khususnya
etnis Sasak Islam penganut Wetu Telu dan etnis Bali beragama Hindu
sehingga menjadi ciri budaya dari orang Lombok khususnya masyarakat
Lingsar. Dapat dikatakan bahwa hal ini sebagai usaha atau perjuangan
untuk memepertahankan serta melestarikan tradisi sebagai simbol
identitas budaya. Sehingga dapat dikatakan bahwa tradisi perang topat
ini termasuk pada bentuk identitas budaya. Ciri budaya ini jugalah
yang kemudian memiliki peran tertentu dalam interaksi orang Sasak
dengan orang Bali yang berbeda latar belakang agama dan budaya.
Perang topat adalah perang dengan menggunakan media berupa
ketupat yang terbuat dari beras yang telah dimasak yang merupakan
ungkapan rasa syukur kehadapan Tuhan atas kemakmuran yang
dianugrahkan sekaligus menggambarkan keharmonisan, toleransi yang
tinggi antar dua penganut keyakinan yang berbeda di Pulau Lombok.
Tradisi perang topat sebagai identitas budaya merupakan bagian dari
suatu tradisi daerah yang mencirikan budaya pulau Lombok.Tradisi
perang topat berkembang sesuai dengan peradaban suatu masyarakat
yang humanis. Tradisi yang diadakan oleh masyarakat etnis Sasak Islam
penganut Wetu Telu dan etnis Bali beragama Hindu ini diyakini dan
dianggap memiliki kekuatan tersendiri dalam hubungan antar manusia
serta alam. Kebudayaan yang bertongak pada peradaban membentuk
identitas sebuah bangsa.Identitas budaya inilah yang menjadi landasan
untuk memperkokoh karakter suatu peradaban yaitu persatuan dan
kesatuan serta Bhineka Tunggal Ika.

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

321

Simpulan
Ritual perang topat dan komunikasi antar etnis yang terjadi dalam
prosesi ritual perang topat menjadi media untuk mencari kesepahaman
dan kesepakatan, sehingga terjadi keharmonisan dan kerja sama
diantara dua etnis yang berbeda suku dan keyakinan. Tradisi perang
topat dilaksanakan untuk memberikan pelajaran kepada kita bahwa
kearifan lokal perlu di lestarikan untuk merajut kebhinekaan menjadi
persatuan dan kesatuan yang harmonis seperti yang terjadi di Desa
Lingsar Lombok Barat. Tradisi perang topat mengkomunikasikan
secara ritual tiga pelajaran utama yaitu mengingat leluhur dan
Tuhan dengan rasa syukur, pentingnya komunikasi untuk mencapai
kesepahaman dan keharmonisan diantara etnis dan agama serta
pelestarian budaya. Penguasa (raja) pada jaman itu menggunakan
retual sebagai media untuk mempersatukan dan mengharmoniskan
dua suku yang sebelumnya kurang harmonis.

Saran
Kearifan lokal ritual perang topat perlu dilestarikan dan
dilaksanakan. Dalam menyelesaikan permasalahan dan perbedaan
dahulukan upaya komunikasi untuk mencapai mufakat. Hormati
tradisi yang telah ada karena didalamnya terkandung nilai dan ilosopi
yang tak ternilai harganya.

Datar Pustaka
Agung, A.A.K. 1991. Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang di Selat
Lombok. Upada Sastra, Denpasar.
Budiwanti, E. 2000. Islam Sasak Wetu Telu Versus Wetu Lima. Lkis,
Yogyakarta bekerjasama dengan Yayasan Adikarya
Campbell, T. 1994. Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta : Kanisius.
Carey, J. W. (2009) Communication as culture : essays on media and
society / James W.Carey ; foreword by G. Stuart Adam. Routledge2
Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon OX14 4RN
Couldry, N. 2003. Media Ritual, Critical Approach. Routledge 29 West
35th Street, New York, NY 10001
Coward, H. 1989. Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama.
322

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Dinas Pariwisata. 1999. Indonesian West Nusa Tenggara Guide Book.
Pemerintah Kabupaten Dati II Lombok Barat.
Geertz, C. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta : Kanisius.
Mulyadi, L. 2014. Sejarah Gumi Sasak Lombok. Laporan Penelitian
Institut Teknologi Malang.
Novi Suryani, dkk, 2004. Laporan Penelitian Pola Interaksi Sosial Antara
Masyarakat Bali dan Masyarakat Sasak Dalam Melaksanakan
Upacara Perang topat Dan Upacara Pujawali Pura
Panca Putra, K. 1999. Puran Lingsar Wetu Telu dan Hindu, Sebuah
Tafsir Sejarah Atas Dasar Analisis Hipotese, Tanggal 15
Suklapaksa Purnama Sasih Asadha Masa Anggara Kliwon Wuku
Medangsia Isaka Warsa 1921 (29 Juni 1999).
Suandewi, G. A. K. 2001. Tari Batek Baris dalam Upacara Perang topat
di Pura Lingsar, Lombok Barat. Tesis Program Studi Kajian
Budaya Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar.
Sodli Ahmad, 2010, Revitalisasi Dalam Masyarakat Multikultural
di Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat NTB. Jurnal
“Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

323