Perilaku keluarga dalam pencegahan kejadian jatuh pada lansia di lingkungan x kelurahan teladan timur kecamatan medan kota

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Perilaku
1.1 Definisi Perilaku
Skiner seorang ahli perilaku merumuskan bahwa prilaku merupakan
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh
karena perilaku rerjadi melalui peroses adanya stimulus terhadap adanya
organisme. Dan kemudian tersebut merespon, maka teori Skiner ini disebut
(stimulus- organisasi-respon). Skiner membedakan adanya dua respon
responden respon atau reflexive, yaitu respon yang di timbulkan oleh
karena rangsangan-rangsangan tertentu. Stimulus semacam ini disebut
elicting stimulus karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap dan
operant respons atau instrumental, yaitu respon yang timbul berkembang
kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsangan tertentu. Perangsangan
ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce karena memperkuat
respon. (Notoatdmojo, 2010).
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua.
1.1.1 Perilaku Tertutup
Rerpon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung

atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahahuan/ kesadaran, dan

5
Universitas Sumatera Utara

sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan
belum dapat diamati secara jelas.
1.1.2

Perilaku Terbuka
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan
nyata atau terbuka, respon terhadap stimulus tersebut jelas dalam
bentuk tindakan atau praktek yang mudah dapat diamati atau
dengan mudah diamati.
Penelitian Roger (1974) mengungkap bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru didalam diri seseorang tersebut terjadi
proses yang berurutan yakni :
a.


Awereness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari
dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus

b.

Interest (merasa terbaik) terhadap stimulus atau objek
tersebut. Disini sifat subjek sudah mulai timbul

c.

Evaluation (menimbang-nimbang) baik tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya.

d.

Trial, dimana

subjek mulai mencobaa melakukan sesuatu

sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e.

Adoption, dimana subjek telah berperilaku sesuai dengan
pengetahuan, sesadaran dan sikapnya terhadap stimulus
Adapun perilaku itu tidak disadari oleh pengetahuan,

kesadaran

tidak

akan

berlangsung

lama.

Sesuatu

contoh


dikemukakan disini, ibu-ibu yang membawa bayinya untuk

Universitas Sumatera Utara

imunisasi yang diperintahkan oleh lurah atau ketua RT tanpa ibuibu mengetahui makna dan tujuan imunisasi tersebut, meraka tidak
akan mengimunisasikan bayinya lagi setelah beberapa saat

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku
2.1 Keturunan
Keturunan diartikan sebagai pembawaan yang merupakan karunia dari
Tuhan Yang Maha Esa. Pengaruh faktor keturunan bagi perilaku diperlukan
pengembangan pada masa pertumbuhannya. Dalam beberapa keturunan
terdapat beberapa azas yaitu : azas reproduksi yaitu kecakapan dari ayah dan
ibu tidak dapat diturunkan kepada anaknya karena kecakapan merupakan
hasil belajar dari tiap individu. Azas variasi yaitu penurunan sifat dari
orangtua pada keturunannya terdapat variasi baik kualitas maupun kuantitas.
Azas regresi fillial yaitu adanya penyususnan sifat-sifat orangtua yang
diturunkan kepada anak-anaknya.
Azas jenis menyilang yaitu apa yang diturunkan kepada anak mempunyai
sasaran menyilang. Ibu akan menurunkan sifat lebih banyak kepada anak

laki-laki dan ayah lebih banyak menurunkan pada anak perempuan. Azas
kompromitas yaitu setiap individu akan menyerupai ciri-ciri yangditurunkan
oleh kelompok rasnya.
2.2 Lingkungan
Lingkungan sering disebut dengan miliu, environment atau juga disebut
nurture. Lingkungan dalam pengertian psikologi adalah sebagai apa yang

Universitas Sumatera Utara

berpengaruh pada diri individu dalam berperilaku. Lingkungan turut
berpengaruh terhadap perkembangan pembawaan dan kehidupan manusia.
Lingkungan dapat digolongkan atas lingkungan manusia, yang termasuk
kedalam lingkungan ini adalah keluarga, sekolah dan masyarakat, termasuk
didalamnya kebudayaan, agama, taraf kehidupan dan sebagainya, lingkungan
benda yaitu benda yang terdapat disekitar manusia yang turut memberi warna
pada jiwa manusia yang berbeda disekitarnya dan lingkungan geografis.
Latar geografais turut mempengaruhi corak kehidupan manusia. Masyarakat
yang tinggal dipantai mempunyai keahlian, kegemaran dan kebudayaan yang
berbeda dengan


manusia yang tinggal di daerah gersang. (Notoatmodjo

2003).
Pengaruh lingkungan pada individu mempunyai dua sasaran yaitu
lingkungan membuat individu sebagai mahluk sosial dan lingkungan
membuat

wajah

budaya

bagi

individu.

Dengan

lingkungan

dapat


mempengaruhi prilaku manusia sehingga kenyataannya akan menuntut suatu
keharusan sebagai mahluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan
yang lainnya (Purwanto, 1998).
2.3 Macam-macam Perilaku Manusia
Perilaku manusia terdapat banyak macamnya yaitu

perilaku reflek,

perilaku refleks bersarat dan perilaku yang mempunyai tujuan. Ada sejumlah
perilaku refleks yang dilakukan oleh manusia secara otomatik. Perilaku
refleks diluar lapangan kemampuan manusia serta terjadi tanpa berpikir dan
keinginan. Kadang-kadang terjadi tanpa disadari sama sekali seperti

Universitas Sumatera Utara

mengecilkan kelopak mata, secara umum perilaku refleks mempunyai tujuan
menghindar ancaman yang merusak keberadaan individu, sehingga individu
dapat berperilaku dan berkembang normal.
Perlilaku refleks bermasyarat adalah merupakan perilaku yang muncul

karana adanya perangsangan tertentu. Reaksi ini wajar dan merupakan
pembawan manusia dan bisa dipelajari atau didapat dari pengalaman
Perilaku yang mempunyai

tujuan disebut perilaku naluri. Menurut

Spencer perilaku naluri adalah gerakan refleks yang komplek atau merupakan
rangkaian tahap-tahap yang banyak, nasing-masing tahap merupakan perilaku
refleks yang sederhana. Ada tiga gejala yang menyertai perilaku bertujuan
yaitu pengenalan, perasaan, atau emosi dorongan, keinginan atau motif
(Purwanto 1998).
2.4 Aspek Sosial – Psikologi Kesehatan
Didalam proses pembentukan dan atau berubahan perilaku dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri, faktorfaktor tersebut antara lain : susunan syaraf pusat, persepsi, motovasi, emosi
dan belajar. Susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku
manusia, karena merupaakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan
yang masuk ke rangsangan yang dihasilkan. Perpindahan ini dihasilkan
susunan saraf dengan unit-unit dasarnya yang di sebut neuron.
Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui dari
persepsi. Persepsi adalah pengalaman yang dihasil melalaui indra

penglihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya. Motivasi diartikan

Universitas Sumatera Utara

sebagai dorongan untuk bertindak untuk mencapai tujuan tertentu, hasil dari
dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku.
Perilaku juga dapat timbul karena emosi, aspek sosial psikologi yang
mempengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, sedangkan
keadaan jasmani merupakan hasil dari keturunan. Dalam proses pencapaian
kedewasaan pada manusia semua aspek yang berhubungan dengan keturunan
dan emosi akan berkembang sesuai dengann hukum perkembangan. Oleh
kerana itu perilaku yang timbul karena emosi merupakan perilaku bawaan.
Belajar diartikan senagai suatu perubahan perilaku yang dihasilkan dari
praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Belajar adalah suatu
berubahan perilaku yang dihasilkan dari perilaku terdahulu.
Faktor-faktor yang memegang peranan didalam pembentukan perilaku
dapat dibedakan menjadi dua yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan kecerdasan, perspsi, motivasi, minaat, emosi, dan
sebagainya untuk mengelola pengaruh-pengaruh dari luar. Faktor eksternal
meliputi objek, orang, kelompok dan hasil-hasil kebudayaan yang dijadikan

sasaran dalam perwujutan perilaku, kedua faktor tersebut akan dapat terpadu
menjadi perilaku yang selalas dengan lingkungan apabila perilaku yang
terbentuk dapat diterima oleh lingkungannya, dan dapat diterima oleh
individu yang bersangkutan. (Notoatmodjo, 2003).
2.5 Determinasi Perilaku
Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh
pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau

Universitas Sumatera Utara

masyarakat yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2003). Seseorang berperilaku
tertentu disebabkan oleh pemikiran dan perasaan yakni dalam bentuk
pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang
terhadap objek.

3. Konsep Keluarga
3.1 Definisi Keluarga
Menurut Depkes RI (1998) dalam Setiawati (2008), keluarga adalah unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang
yang terkumpul serta tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan

saling ketergantungan. Keluarga merupakan salah satu potensi masyarakat
yang paling berharga, dan mencerminkan kelompok sosial primer yang dapat
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang dan kelompok lain (Kenzie, 2006).
Menurut whall (1986) dalam Friedman (1998), keluarga adalah sebagai
kelompok yang mengindentifikasikan diri dengan anggotanya terdiri dari dua
individu atau lebih, yang asosiasinya dicirikan oleh istilah-istilah khusus yang
boleh jadi tidak diikat oleh hubungan darah atau hukum. Bentuk keluarga
terdiri atas keluarga inti (konjungal), keluarga orientasi (keluarga asal) dan
keluarga besar. Keluarga inti adalah keluarga yang menikah, sebagai orang
tua, atau memberi nafkah keluarga inti terdiri dari suami, istri, dan anak
kandung. Sedangkan keluarga orientasi (keluarga asal) adalah suatu unit
keluarga yang didalamnya seseorang dilahirkan, dan keluarga besar adalah

Universitas Sumatera Utara

keluarga inti dan orang-orang yang berhubungan darah, sanak keluarga,
kakek, nenek, tante dan sepupu.
Burgess dkk. (1963) dalam Friedman (1998), membuat definisi keluarga
yang berorientasi pada tradisi dan digunakan sebagai referensi secara luas :
a. Keluarga terdiri atas orang-orang yang disatukan dalam ikatan darah dan
ikatan adopsi.
b. Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu
rumah tangga atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap
menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka.
c. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam
peran-peran sosial keluarga seperti suami-istri, ayah dan ibu, anak laki-laki
dan anak perempuan, saudara dan saudari.
d. Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang
diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri.
3.2 Bentuk-Bentuk Keluarga
Pembagian tipe keluarga menurut Sussman (1974) dalam Effendi (2009),
adalah :
3.2.1 Keluarga tradisional
a. Keluarga inti, keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak.
b. Pasangan inti, keluarga yang terdiri dari suami dan istri saja.
c. Keluarga dengan orang tua tunggal, satu orang sebagai kepala
keluarga, biasanya bagian dari konsekuensi perceraian.
d. Lajang yang tinggal sendirian

Universitas Sumatera Utara

e. Keluarga besar yang mencakup tiga generasi
f. Pasangan usia pertengahan atau pasangan lanjut usia
g. Jaringan keluarga besar.
3.2.2 Keluarga non tradisional
a. Pasangan yang memiliki anak tanpa menikah
b. Pasangan yang hidup bersama tanpa menikah
c. Keluarga homoseksual (gay dan/atau lesbian)
d. Keluarga komuni, yaitu keluarga yang lebih dari satu pasang
monogami dengan anak secara bersama-sama menggunakan
fasilitas serta sumber-sumber yang ada.
3.3 Fungsi Dan Tugas Keluarga
Status sehat-sakit pada keluarga dan pengaruh status sehat-sakit keluarga
saling mempengaruhi satu sama (Friedman, 1998). Keluarga cenderung
menjadi seorang pengambil keputusan terhadap masalah-masalah kesehatan
anggota keluarga, dalam mengambil keputusan pada setiap tahap sehat dan
sakit para anggota keluarga, mulai dari keadaan sehat hingga diagnosa
tindakan dan penyembuhan. yaitu ada enam tahap sehat atau sakit dari
sebuah keluarga,
3.3.1 Tahap pencegahan sakit dan mengurangi resiko
Keluarga dapat memainkan suatu peran vital dalam upaya
peningkatan kesehatan dan pengurangan resiko. Kebanyakan peran
berkisar pada masalah- masalah pola hidup, misalnya berhenti
merokok, melakukan latihan secara teratur, imunisasi dan lain

Universitas Sumatera Utara

sebagainya. Agar dapat berjalan dengan baik, para anggota keluarga
perlu mempelajari status kesehatan mereka dan citra tubuh seperti,
apakah tubuh mereka lemah, sakit-sakitan atau sehat dan sembuh.
3.3.2 Tahap gejala penyakit yang dialami keluarga dan penilaian tahap ini
mulai jika gejala-gejalanya, yaitu : diketahui, diinterpretasikan sejauh
mana menyangkut keseriusan kemungkinan penyebab dan penting
artinya, ditemukan dengan berbagai masalah
Tahap ini terdiri dari kepercayaan-kepercayaan menyangkut gejalagejala atau penyakit dari anggota keluarga dan bagaimana menangani
penyakit tersebut (Doherly dan Camphel, 1988 dikutip dari Friedman,
1998). Keluarga berfungsi sebagai titik tolak penilaian tingkah laku
dan memberikan definisi-definisi dasar sehat dan sakit, maka keluarga
mempengaruhi persepsi-persepsi individu.
3.3.3 Tahap Mencari Perawatan
Tahap mencari perawatan mulai ketika keluarga menyatakan bahwa
anggota keluarga yang sakit benar-benar sakit dan membutuhkan
pertolongan. Keluarga mulai mencari informasi, penyembuhan,
nasehat dan validitas profesional dari keluarga lain, teman-teman,
tetangga dan non profesional lainnya. Keputusan menyangkut apakah
penyakit dari seorang anggota keluarga harus ditangani di rumah atau
disebuah klinik medis atau rumah sakit, cenderung dirundingkan di
kalangan keluarga. Keluarga merupakan sumber informasi yang paling

Universitas Sumatera Utara

sering disebutkan dalam kaitannya dengan perawatan di rumah dan
pengobatan sendiri.
3.3.4 Kontak keluarga dengan tahap sistem kesehatan
Dimulai ketika melakukan kontak dengan lembaga kesehatan atau
profesional dibidang atau dengan praktisi sosial lokal (dukun).
Keluarga

merupakan

instrumen

dalam

membuat

keputusan

menyangkut dimana penanganan harus diberikan dan oleh siapa, dalam
fungsinya keluarga juga membuat keputusan bagi seorang anggota
keluarganya untuk mendapat pelayanan rujukan kesehatan yang lebih
primer yaitu membuat keputusan-keputusan menyangkut pelayanan
apa yang hendak digunakan, juga ditentukan oleh ketersedian dan
kemampuan akses perawatan kesehatan bagi keluarga. Jenis perawatan
kesehatan yang dicari juga sangat berbeda seperti tabib, akupuntur dan
spesialis bedah (Pratt, 1976 dalam Friedman, 1998).
3.3.5 Respon keluarga
Karena pasien menerima perawatan kesehatan dari praktisi, sudah
tentu ia menyerahkan beberapa hak prerogatifnya dan keputusannya
serta diharapkan menerima peran sebagai pasien. Hal ini dicirikan oleh
suatu ketergantungan pada nasehat dari profesional di bidang
kesehatan, keinginan untuk mentaati nasehat medis dan berupaya keras
untuk sembuh, keluarga juga mengharapkan adanya perubahan dalam
diri anggota keluarga yang sakit dan mengharapkan agar dapat
meneruskan tugas keluarga. Keluarga mempunyai peran yang sangat

Universitas Sumatera Utara

penting dalam menentukan perilaku peran pasien dari anggota
keluarganya yang sakit, keluarga juga bersifat instrumental dalam
memutuskan dimana penanganan harus diberikan di rumah sakit atau
di

rumah.

menimbulkan

Upaya-upaya
konflik

yang

dilakukan

dengan

nilai-nilai

oleh

medis

keluarga

sering

sehingga

menimbulkan masalah pada medis. Tahap respons yang akut juga
berkenaan dengan penyesuaian segera yang harus dilakukan oleh
keluarga dengan anggota keluarga yang sakit, diagnosa dan penaganan.
Untuk penyakit yang lebih serius atau penyakit yang mengancam jiwa,
krisis keluarga bisa terjadi dimana keluarga mengalami kekacauan
yaitu sebagai respon terhadap kekuatan stressor.
3.3.6

Tahap adaptasi penyakit dan pemulihan
Keluarga mempunyai suatu peran yang bersifat mendukung selama
masa penyembuhan dan pemulihan pasien. Apabila dukungan
semacam ini tidak ada, maka keberhasilan penyembuhan atau
pemulihan (rehabilitasi) sangat berkurang.

4

Konsep Lanjut Usia
4.1 Pengertian Lansia
Lansia (Lanjut usia) adalah suatu proses yang terus-menerus (berlanjut)
secara alamiah, dimulai sejak lahir dan umum dialami pada semua makhluk
hidup. Lansia bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu masa atau tahap
hidup manusia (bayi, kanak-kanak, dewasa, tua, lanjut usia) (Nugroho, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Batasan-batasan lansia menurut WHO, meliputi: (Kushariyadi, 2010).
a. Usia pertengahan (middle age), antara 45 sampai 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun
c. Lanjut usia tua (old), antara 75 dan 90 tahun
d. Usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun.
4.2 Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
Menurut Nugroho (1992), banyak perubahan-perubahan yang terjadi pada
lansia yaitu:
a. Perubahan fisik
Perubahan fisik pada lansia meliputi banyak sistem yang ada pada tubuh,
diantaranya:
1. Sel
Jumlah sel pada lansia, lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar
ukurannya serta berkurangnya cairan intraseluler.
2. Sistem persyarafan
Pada sistem persyarafan, lansia mengalami pengecilan syaraf panca
indera,

berkurangnya

pengelihatan,

hilangnya

pendengaran,

mengecilnya saraf pencium dan perasa, lebih sensitif terhadap
perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin.
3. Sistem pendengaran
Gangguan pendengaran pada lansia (Presbiakusis) yaitu hilangnya daya
pendengaran pada telinga dalam terutama terhadap suara atau nadanada yang tinggi. Hal ini terjadi 50% pada usia diatas umur 15 tahun.

Universitas Sumatera Utara

4 Sistem penglihatan
Terjadi kekeruhan pada lensa, penurunan lapangan pandang, dan daya
adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat.
5. Sistem Kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler pada lansia mengalami penurunan kemampuan
1% pertahun setiap memompa darah sesudah berumur 20 tahun,
penebalan katup jantung, kehilangan elastisitas pembuluh darah, dan
terjadinya tekanan darah tinggi akibat resistensi pembuluh darah
perifer.
6. Sistem respirasi
Paru-paru pada lansia kehilangan elastisitas yaitu meningkatnya
kapasitas residu, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan
menurun dan kedalaman pernafasan menurun.
7. Sistem gastrointestinal
Pada lansia biasanya banyak kehilangan gigi (periodental disease),
indera pengecap menurun, esofagus melebar, rasa lapar menurun, dan
fungsi absorbsi melemah.
8. Sistem genito urinaria
Pada sistem genito urinaria terutama ginjal mengalami pengecilan dan
atrofi pada nefron,aliran darah ke ginjal menurun 50% serta nilai
ambang ginjal terhadap glikosa meningkat. Selain pada ginjal, otot-otot
kandung kemih juga mengalami penurunan, kandung kemih susah

Universitas Sumatera Utara

dikosongkan, Pembesaran prostat 75% dialami oleh pria usia diatas 65
tahun, sedangakan pada wanita terjadi menopause dan atrofi vulva.
9. Sistem endokrin
Pertumbuhan hormon semakin rendah daiantaranya penurunan hormon
aldosteron serta sekresi hormon kelamin (progesteron, estrogen, dan
testosteron).
10. Sistem integumen (kulit)
Kulit pada lansia keriput dan kelenjar keringat berkurang jumlah dan
fungsinya.
11. Sistem muskuloskeletal
Tulang kehilangan cairan, persendian membesar dan menjadi kaku.
b. Perubahan-perubahan mental
Kenangan jangka panajang lansia berlangsung berjam-jam sampai berharihari yang lalu, mencakup beberapa perubahan sedangkan pada kenangan
jangka pendek hanya berlangsung selama 10 menit terutama kenangan
buruk yang baru saja dialami.
1. IQ (Interlegentia Quantion)
I.Q pada lansia tidak berubah dengan informasi matematika dan
perkataan verbal, berkurangnya penampilan,dan pada keterampilan
psikomotor terjadi perubahan pada daya membayangkan sesuatu hal
diakibatkan tekanan-tekanan dan faktor waktu.

Universitas Sumatera Utara

c. Perubahan-perubahan Psikososial
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia terutama meliputi
psikososial dipengaruhi oleh:
1. Pensiun adalah nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya,
identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan.
2. Merasakan atau sadar dengan adanya kematian.
3. Perubahan dalam cara hidup
Cara hidup pada lansia biasa memasuki rumah perawatan sehingga
lansia bergerak lebih sempit
4. Ekonomi lansia mengakibatkan perubahan pada psikososial lansia,
terutama akibat pemberhentian dari jabatan. Sementara meningkatnya
biaya hidup pada penghasilan yang sulit dan bertambahnya biaya
pengobatan bila terjadi suatu penyakit kepada lansia
5. Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
6. Kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial.
7. Gangguan syaraf panca indra, timbul kebutaan dari ketulian.
8. Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
9. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan

hubungan dengan

teman-teman dan famili.
4.3 Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik:
Perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri. Akibat dari
perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia meliputi fisik,kenanga,dan

Universitas Sumatera Utara

psikososial terjadi masalah fisik sehari-hari dan sering ditemukan pada lanjut
usia salah satunya yaitu:
a. Mudah jatuh
Penyebab mudah jatuh atau sering jatuh adalah bermacam-macam atau
multi faktor:
1.

Faktor intrinsik, misalnya:
a. Gangguan jantung atau sirkulasi darah.
b. Gangguan sisitem susunan syaraf.
c. Gangguan sisitem anggota gerak.
d. Pengaruh obat-obatan yang dipakai.
e. Gangguan penglihatan.
f. Gangguan psikologis.

2.

Faktor Ekstrinsik (Penyebab dari lingkungan sekitarnya), misalnya:
a. Cahaya ruangan yang kurnag terang.
b. Lingkungan yang tidak biasa lanjut usia sehingga dirasa asing pada
sekitarnya.
c. Lantai yang licin dan lain-lain.

3. Faktor-faktor yang sukar diketahui
Faktor yang sulit dipengaruhi dapat berupa pengaruh makan yang
kurang. Jatuh sering membawa akibat berkelanjutan yang berangkai
misalnya: timbul perubahan pada persendian alat-alat gerak
tubuh,patah tulang,infeksi kulit dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

5. Kejadian Jatuh Pada Lansia
5.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi jatuh pada lansia
Menurut Probosuseno (2006) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi risiko
jatuh pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
5.1.1 Faktor fisik
Faktor-faktor yang menyebabkan jatuh sangat komplek dan tergantung
kondisi lansia. Diantara adanya disability, penyakit yang sedang diderita;
perubahan-perubahan kaibat proses penuan (penurunan pendengaran,
penurunan visus, penurunan mental, penurunan fungsi indra yang lain,
lambatnya pergerakan, dan lansia yang hidup sendiri) neuropati perifer.
Nueropati perifer dapat di nilai dengan tes berdiri satu kaki selama 10 detik,
bila gagal dalam tiga tes, sangat mungkin terdapat neuropati. Kondisi sakit,
panas badan atau peningkatan angka leukosit dan limfosit serta hemoglobin
yang rendah juga meningkatkan risiko terjadinya jatuh (Probosuseno, 2006).
Dalam penelitian

Boedhi-Darmojo

(1991), menyebutkan

bahwa

gangguan penglihatan lebih banyak dialami oleh wanita (81,1%) dari pada
pria (74,1%). Dengan bertambahnya usia akan menyebabkan kekendoran
seluruh jaringan kelopak mata disebut dengan perubahan involusi, terjadi
pada M. Orbikularis, refraktor palpebra inferior, tarsus, tendon kantus,
medial/lateral,aponeurosis muskular levator palpebra, dan kulit. Maka
bagian-bagian organ mata juga mengalami perubahan seperti retina,
perubahan retina terjadi karena usia yang semakin meningkat, dan ini
merupakan penyakit senilis yang dapat meningkatkan gangguan lapangan

Universitas Sumatera Utara

pandang sehingga dapat meningkatkan jatuh ( Wilardjo, 2000 dalam Boedhi,
2000). Pada gangguan penglihatan ini penyakit-penyakit yang sering terjadi
antara lain katarak, glaukoma, degenerasi makular, gangguan visus pasca
stroke

dan retinopati diabetika yang meningkat sesuai dengan umur.

Entropion, ektropion tau epifora yang menyebabkan gangguan penglihatan
juga meningkatkan insiden jatuh padan lansia. Walaupun gangguan
penglihatan meningkatkan insiden jatuh tetapi kebutaan tidak meningkatkan
insiden jatuh (Kane, 1994 dalam Boedhi,2000).
Pada gangguan pendengaran dapat meningkatkan risiko jatuh karena
terjadinya gangguan keseimbangan tubuh lansia yang merupakan kaibat dari
proses menua (Probosuseno, 2006). Berbagai masalah yang dapat
menggangu keseimbangan itu antara lain dizziness (rasa keseimbangan yang
tertanggu, goyah), rasa ingin pingsan, rasa melayang (light-headedness), dan
vertigo (Brocle-hurst, 1987 dalam Boedhi, 2000).
5.1.2 Faktor Aktivitas
Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas biasa
seperti berjalan, naik turun tangga, mengganti posisi. Hanya sedikit sekali
(5%), jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti
mendaki gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada lansia
dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan oleh kelelahan
atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh juga sering terjadi pada
lansia yang imobil (jarang bergerak) ketika tiba-tiba dia ingin pindah

Universitas Sumatera Utara

tempat atau mengambil sesuatu tanpa petolongan (Reuben, 1996; Campbel,
1987 dalam Boedhi, 2000).
Laki-laki dengan mobilitas, postur yang tidak stabil, mempunyai risiko
jatuh sebesar 4,5 kali dibandingkan dengan yang tidak aktif atau aktif,
tetapi dengan postur yang stabil. Penelitian selama setahun terhadap 4.862
penderita yang dirawat dirumah sakit atau panti jompo, didapatkan
penderita dengan risiko jatuh paling tinggi adalah penderita aktif dengan
stabil gangguan keseimbangan (Probosuseno, 2006).
5.1.3 Faktor Lingkungan
Menurut (Kane, 1994 dalam Boedhi, 2000) faktor-faktor lingkungan
yang sering dihubungkan dengan jatuh pada lansia antara lain alat-alat atau
perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau tergeletak di bawah,
tempat tidur dan WC yang rendah/jongkok, tempat berpegangan yang tidak
kuat/tidak mudah di pegang, lantai yang tidak datar baik yang ada trapnya
ataupun menurun, karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang menebal
menekuk pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah
tergeser, lantai yang licin atau basah, penerangan yang tidak baik (kurang
atau menyilaukan), alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun
cara penggunaanya.
Sekitar 10% lansia jatuh ditangga, dengan kejadian jatuh saat turun
tangga lebih banyak dibandingkan saat naik, yang lainya terjadi karena
tersandung atau menabrak benda perlengkapan ruamh tangga, lantai yang

Universitas Sumatera Utara

licin atau tidak rata dan penerangan ruang yang kurang (Kane, 1994 dalam
Boedhi, 2000).
5.5 Faktor Obat-obatan dan makanan
Lansia tidak hanya rentan terhadap penyakit terapi rentan juga terhadap
gangguan obat-obatan, intoksikasi obat dan interaksi obat yang sering
terjadi pada lansia dengan umur diatas 65 tahun. Kadar obat dalam serum
tidak stabil karena perubahan farmakokinetik akibat proses menua dan
penyakit juga sering menyebabkan intoksikasi obat pada lansia. Obatobatan juga meningkatkan risiko jatuh terutama obat-obatan yang
menyebabkan samnolen (obat hipnotik), postural hipertension (diuretik,
nitrat, obat anti hipertensi dan anti depresan trisiklik) dan kebingungan
(simetidine dan digitalis). Lansia juga sering melakukan kesalahan dalam
penggunaan obat (Kane, 1994 dalam Boedhi, 2000).
Lansia juga sering melakukan kesalahan dalam penggunaan obat
terutama terjadi pada lansia dengan mengkonsumsi obat tiga atau lebih
obat-obatan yang diberkan oleh dokter. Jatuh yang biasanya disebabkan
oleh terapi obat-obatan dinamakan roboh iatrogenik (suatu kondisi yang
disebabkan oleh pengobatan kondisi primer atau disebabkan tindakan
dokter karena pengobatan) (Probosuseno, 2006).
5.2 Komplikasi Jatuh
Menurut (Kane, 1994 dalam Boedhi, 2000) jatuh pada lansia menimbulkan
komplikasi-komplikasi antara lain (1) Perlakuan (injury) yaitu rusaknya
jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan

Universitas Sumatera Utara

otot, robeknya arteri atau vena, patah tulang (fraktur) pada pelvis, femur
(terutama kollum), humerus, lengan bawah, tungkai bawah dan bisa juga
menyebabkan hematom subdural. (2) perawatan rumah sakit yaitu komplikasi
akibat tidak dapat bergerak (imobilitas), risiko penyakit-penyakit iatrogenik.
(3) Disabilitas yaitu penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan
fisik, penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan percaya diri, dan
pembatasan gerak. (4) Risiko untuk dimasukan dalam rumah perawatan
(nursing care). (5) Mati.

6. Pencegahan Jatuh
Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena bila
sudah terjadi jatuh pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap memberatkan.
Menurut (Tinetti, 1992 dalam Boedhi, 2000) ada tiga usaha pokok untuk
mencegah jatuh, antara lain:
6.1 Identifikasi faktor risiko
Pada stiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya faktor
host (diri lansia) risiko jatuh, perlu dilakukan assesmen keadaan sensorik,
neurologik,

muskuloskeletal

dan

penyakit

sistemik

yang

sering

mendasari/menyebabkan jatuh.
6.2 Penilaian Keseimbangan dan gaya berjalan (gait)
Setiap lansia harus dievaluasi bagaimana keseimbangannya badan dalam
melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi. Penilaian postural sway
(goyangan badan) sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada

Universitas Sumatera Utara

lansia. Bila goyangan badan pada saat berjalan sangat risiko jatuh, maka
diperlukan bantuan latihan medik. Penilaian gaya berjalan (gait) juga harus
dilakukan dengan cermat, apakah penderita menapakkan kakinya dengan baik,
tidak mudah goyah, apakah penderita mengangkat kakinya dengan benar pada
saat berjalan, apakah kekuatan obat ekstrimitas bawah penderita cukup untuk
berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat
kelainan/penurunan.

7. Kesehatan Lansia
Pada umumnya usia tua penuh dengan berbagai gangguan kesehatan. Hal itu
terjadi bukan hanya karena keteledoran orang untuk menjaga kesehatan sejak masa
muda tetapi masa tua memang ditandai dengan berbagai kemunduran fungsi tubuh.
Kemunduran itu bersifat fisiologis dan berjalan secara alamiah. Hingga saat ini
belum ada obat atau cara pencegahan penurunan fisiologis pada lansia. Tapi tetap
saja mungkin untuk sehat pada lansia. Hal-hal yang bisa dilakukan dan harus
senantiasa dilakukan untuk tetap sehat pada lansia adalah menjaga kesehatan
dengan baik, mengonsumsi makanan yang bergizi, berolahraga teratur sesuai usia,
menjauhkan pikiran dari pengaruh lingkungan yang negatif, dan secara periodik
berkonsultasi pada dokter minimal 3 bulan sekali (Takasihaeng, J.2002).

Universitas Sumatera Utara