Signifikansi Rencana Referendum 2017 Ter

Signifikansi Rencana Referendum 2017 Terhadap Masa Depan Inggris dan
Uni Eropa
Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester
Kelas Kapita Selekta Kawasan 2015
Dosen Pengampu:
NANANG PAMUJI MUGASEJATI, Dr.,
MAHARANI HAPSARI, , M.A., Ph.D.

Disusun Oleh:
Rakyan Rachman Bimoseno
14/367518/SP/26412

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 2015

RAKYAN RACHMAN BIMOSENO
14/367518/SP/26412

Signifikansi Rencana Referendum 2017 Terhadap Masa Depan Inggris dan

Uni Eropa
Masa depan Inggris dan Uni Eropa sepertinya akan memanas. Dengan terpilihnya
kembali Perdana Menteri David Cameron dalam pemilu 2015, sebuah referendum yang
merupakan janji kampanyenya akan segera dilakukan paling tidak sebelum atau ketika 2017.
Referendum ini akan membahas mengenai keanggotaan Inggris di Uni Eropa apakah akan
tetap bergabung ataukah keluar. Sebuah referendum yang hampir sama dengan yang pernah
terjadi pada 1975. Dalam hal ini Inggris menuntut untuk terjadinya perubahan dalam regulasi
Uni Eropa atau Inggris akan keluar dari keanggotaannya. Uni Eropa sendiri merupakan
organisasi yang dibentuk pada 1952 dengan diawali dengan terbentuknya Komunitas
Perdagangan Batu Bara dan Baja Eropa (ECSC). Tujuan dibentuknya sendiri adalah pada
awalnya untuk mencegah terjadinya kembali perang antar negara Eropa yang dalam beberapa
dekade terakhir kerap kali terjadi. Dengan semakin berkembangnya jaman, jumlah anggota
dan isu yang dibahas di dalam Uni Eropa semakin banyak dan meluas. Integrasi ekonomi
perdagangan yang merupakan tujuan awal terbentuknya organisasi ini kemudian semakin
berkembang juga karah politik, keamanan, sosial budaya dan sektor-sektor lain. Integrasi
memang telah membawa negara-negara di Uni Eropa ke masa perdamaian dan kemakmuran
dimana belum pernah terjadi sebelumnya. Tetapi dibalik perkembangannya, kerja sama di
Uni Eropa tampaknya jauh lebih sulit daripada ketika anggotanya masih enam negara awal.
Kesulitan tersebut juga terkait perihal ketegasan Uni Eropa dalam mengikat dan mengatur
anggotanya. Memang kewenangan sebuah organisasi internasional terhadap negara

anggotanya terbatas karena aktor utama dalam hubungan internasional adalah negara yang
berdaulat[ CITATION Luc99 \l 1057 ]. Namun tetap saja sebagai sebuah organisasi
internasional yang memiliki kewenangan terbatas, Uni Eropa tidak bisa memaksa sebuah
negara berdaulat untuk tetap tergabung sebagai anggota organisasinya.
Pengunduran diri dari Uni Eropa mungkin sebelumnya seakan sebuah hal yang sulit
atau bahkan tidak mungkin terjadi. Mengingat status Uni Eropa sebagai organisasi regional
tersukses yang memberikan keuntungan politik-sosial-ekonomi bagi negara anggotanya.
Meskipun saat ini fokus Uni Eropa cenderung mendalami integrasi politik, landasan dasar
untuk Uni Eropa adalah kerja sama ekonomi. Bahkan ketergantungan antara negara-negara
anggota dalam hal ekonomi jauh lebih besar dari organisasi lain yang berbentuk serikat
politik ataupun aliansi militer internasional[ CITATION Bla10 \l 1057 ]. Tentu saja sebuah

1

RAKYAN RACHMAN BIMOSENO
14/367518/SP/26412

negara akan berpikir berulang kali untuk keluar dari Uni Eropa. Namun seiring dengan
kesuksesan Uni Eropa untuk mengintegrasikan politik maupun ekonomi negara di
kawasannya, muncul juga kekhawatiran bahwa ke depannya Uni Eropa akan memiliki

kekuasaan di atas kedaulatan negara anggotanya[ CITATION Pho09 \l 1057 ]. Sebuah negara
berdaulat juga dapat dengan bebas untuk menentukan nasibnya sendiri di dalam lingkungan
internasional[ CITATION Mac93 \l 1057 ].
Inggris sebagai negara dengan pengaruh yang besar di dunia internasional, pernah
mencoba untuk melepaskan diri dari European Economic Community yang sekarang menjadi
Uni Eropa pada 1975. Pada masa itu Inggris di bawah Pemerintahan Partai Buruh merasa
bahwa perdagangan bebas akan membawa dampak negatif bagi pasar dalam negeri Inggris.
Selain itu pemerintah juga menganggap bahwa Perdana Menteri Edward Heath tidak
konsisten dengan perkataannya setelah menyetujui aksesi Inggris ke dalam EEC pada pada
tanggal 22 Januari 1972 tanpa adanya referendum. Sebelumya, Heath ketika pemilu 1970
memang pernah menyatakan bahwa integrasi Eropa tidak akan terjadi secara lanjut, kecuali
dibarengi dengan persetujuan sepenuh hati dari Parlemen dan rakyat negara-negara anggota
baru yang akan bergabung[ CITATION Teo00 \l 1057 ]. Sejak saat itulah banyak terjadi
perdebatan mengenai apakah sebenarnya Inggris secara sukarela bergabung dengan Uni
Eropa atau hanya memanfaatkan Uni Eropa untuk memenuhi kepentingannya sendiri tanpa
menghiraukan kepentingan negara-negara anggota lainnya. Perdana Menteri Inggris David
Cameron sendiri pernah berjanji, jika terpilih lagi dalam pemilu 2015 ia akan mereformasi
Uni Eropa dan melaksanakan referendum di Inggris untuk memutuskan apakah negara itu
tetap ikut atau keluar dari Uni Eropa.
Pengunduran Diri Negara Anggota dari Uni Eropa

Pengunduran diri dari Uni Eropa merupakan hak bagi setiap negara anggotanya. Hal
ini disebutkan dalam Perjanjian Lisbon pasal 50 dimana setiap negara anggota berhak untuk
mengundurkan diri dari keanggotaannya di Uni Eropa berdasarkan kebutuhan konstitualnya
masing-masing. Pasal 50 dari Perjanjian Lisbon juga secara eksplisit memuat ketentuan untuk
memisahkan diri secara sukarela dari Uni Eropa. Secara khusus, klausul untuk keluar ini
menetapkan bahwa suatu Negara Anggota yang ingin menarik diri dari Uni Eropa harus
memberitahu Dewan Eropa; kemudian Dewan Eropa akan memberikan pedoman dasar untuk
menegosiasikan perjanjian pengunduran diri dengan negara tersebut; setelahnya Dewan
Eropa akan bertindak dengan qualified majority dan setelah mendapat persetujuan dari
2

RAKYAN RACHMAN BIMOSENO
14/367518/SP/26412

Parlemen Eropa, akan menyimpulkan perjanjian pengunduran diri tersebut atas nama Uni
Eropa. Negara anggota yang telah menarik diri dari Uni Eropa tidak akan terikat lagi dengan
perjanjian-perjanjian Uni Eropa dari tanggal yang ditetapkan dalam perjanjian pengunduran
diri. Namun apabila perjanjian pengunduran diri tersebut gagal disepakati, maka
ketidakterikatan dengan perjanjian-perjanjian Uni Eropa akan berlaku ketika dua tahun
setelah pemberitahuan dari niatnya untuk mundur. Seorang mantan Negara Anggota yang

ingin bergabung kembali dengan Uni Eropa harus mengikuti prosedur penerimaan yang sama
dengan negara kandidat baru.
Hal ini tentu saja menjadi sebuah revolusi terhadap hukum di Uni Eropa. Sebelum
Perjanjian Lisbon berlaku, telah terjadi pengusulan untuk peraturan serupa dalam rancangan
Konstitusi Eropa. Namun Konstitusi Eropa tersebut urung terjadi karena Belanda dan Prancis
secara referendum menolak untuk meratifikasinya. Dengan gagalnya ratifikasi Konstitusi
Eropa tersebut, regulasi mengenai mekanisme negara untuk keluar dari Uni Eropa kemudian
dimasukkan ke dalam Perjanjian Lisbon. Berhasil diterapkannya Perjanjian Lisbon sampai
sekarang seakan menunjukkan lampu hijau bagi beberapa negara Euroskeptis untuk
mengundurkan diri dari Uni Eropa. Perlu diketahui juga bahwa sebelum Perjanjian Lisbon,
menarik diri secara sepihak dari Uni Eropa atau dari EMU merupakan hal yang sangat sulit
untuk dilakukan. Satu-satunya cara bagi mereka untuk melakukannya secara legal adalah
melalui suatu perjanjian yang dinegosiasikan dengan seluruh negara anggota Uni Eropa.
Sebuah kesepakatan tentu akan melibatkan perubahan-perubahan dalam perjanjian dan
memerlukan konsensus dari negara anggota lainnya, sesuai dengan Pasal 48 TEU (Treaty of
European Union). Hal ini tentu saja menimbulkan beberapa spekulasi mengenai bagaimana
kelangsungan negara tersebut di Uni Eropa. Bisa saja apabila sebuah negara memperlihatkan
niat untuk keluar dari Uni Eropa, ada negara lain yang mendukung keputusan tersebut.
Namun dikarenakan proses yang harus dilalui secara hukum adalah negosiasi yang berujung
dengan konsensus antar negara anggota lainnya, maka dipastikan negara tersebut tidak akan

bisa keluar dari Uni Eropa secara sukarela[ CITATION Pho09 \l 1057 ]. Hal ini tentu sangat
berbeda dengan prosedur yang ada di dalam Perjanjian Lisbon dimana Dewan Eropa akan
menggunakan cara qualified majority voting untuk menentukan apakah negara tersebut masih
layak bergabung dengan Uni Eropa atau tidak.
Pada masa sebelum ditandatanganinya Perjanjian Lisbon, memang telah terjadi
beberapa kali kasus sebuah negara anggota menginginkan untuk keluar dari Uni Eropa.
Namun pada saat itu belum ada ketentuan dan peraturan yang mengatur secara legal bahwa
3

RAKYAN RACHMAN BIMOSENO
14/367518/SP/26412

sebuah negara anggota dapat keluar secara sepihak dari Uni Eropa. Inggris dan Denmark
merupakan contoh kasus dalam hal pengunduran diri secara sukarela dari Uni Eropa.
Walaupun di akhir kasus keduanya, tidak ada perjanjian baru yang menyatakan bahwa
mereka telah secara resmi meninggalkan Uni Eropa. Tetapi tetap saja kedua negara diberikan
status keanggotaan khusus di dalam Uni Eropa. Bahkan Perdana Menteri Inggris, David
Cameron, yang baru saja terpilih kembali berencana mengadakan referendum mengenai
apakah Inggris akan keluar atau tetap berada di Uni Eropa pada 2017. Kondisi David
Cameron ini memang hampir mirip dengan kondisi Perdana Menteri Harold Wilson pada

1975 silam. Pada saat itu Harold Wilson yang merupakan pemimpin Partai Buruh
menjanjikan akan diadakannya referendum yang membahas kembali posisi Inggris di dalam
EEC. Referendum ini memang merupakan sebuah manifesto dari Partai Buruh pada pemilu
1974 untuk menegosiasi ulang keanggotaan Inggris di EEC[ CITATION Har74 \l 1057 ]. Di
dalam detail kasusnya, Inggris pada 5 Juni tahun 1975 pernah mengadakan referendum
mengenai bagaimana keanggotaannya dalam European Economic Communities yang
sekarang telah berubah menjadi Uni Eropa. Di dalam referendum ini rakyat Inggris memilih
negaranya tetap berada di dalam EEC dengan persentase suara 2 berbanding 1. Perbedaan
mendasar dengan referendum yang akan dilakukan sekarang adalah mayoritas Euroskeptis
pada 1975 berasal dari Sayap Kiri pimpinan Tony Benn. Banyak pengamat menyatakan
bahwa kemenangan voting ‘ya’ pada referendum 1975 telah berhasil menurunkan pamor
Euroskeptisme Sayap Kiri maupun xenofobia [CITATION GYE13 \l 1057 ]. Pada 2009,
Perdana Menteri David Cameron pernah menegaskan bahwa Inggris tidak akan lagi
membiarkan adanya transfer kekuasaan ke Uni Eropa tanpa adanya referendum dari rakyat
Inggris sendiri. Niatannya bersama Pemerintah Konservatif untuk melakukan referendum
terhadap Perjanjian Lisbon juga tidak dapat terlaksana setelah Presiden Republik Ceko,
Václav Klaus, meratifikasi perjanjian ini[ CITATION Nic09 \l 1057 ].
Opsi untuk mengundurkan diri saat ini juga kembali hangat diperbincangkan setelah
Perdana Menteri David Cameron terpilih kembali pada pemilu 2015. Efek yang akan timbul
dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa sendiri juga akan lebih memberikan dampak yang

besar mengingat integrasi yang terjadi saat ini sudah jauh lebih kompleks dibandingkan pada
tahun 1975. Menteri Keuangan Inggris George Osborne, sekutu dekat Perdana Menteri
Cameron, menganggap Uni Eropa tidak mampu bersaing lagi dengan pasar ekonomi Cina
dan India yang mengalami pertumbuhan pesat[CITATION DW14 \l 1057 ]. Ia mengingatkan
jika tidak ada reformasi menyeluruh, Inggris bisa meninggalkan Uni Eropa. Dalam banyak
4

RAKYAN RACHMAN BIMOSENO
14/367518/SP/26412

kasus Inggris memang dianggap menyumbangkan lebih banyak daripada apa yang diterima
selama bergabung dengan Uni Eropa. Analisis makro-media yang dilakukan media Inggris
menunjukkan bahwa rakyat Inggris yang membayar pajak sedangkan pemanfaatannya
ditujukan untuk menggaji pekerja migran yang datang ke Inggris ketika bergabung dengan
Uni Eropa[ CITATION Sun15 \l 1057 ]. Berbeda dengan keanggotaan Euro, sebuah negara
berdaulat memang dapat keluar sepihak secara legal dari Uni Eropa sesuai dengan pasal 50 di
Perjanjian Lisbon. Perdana Menteri Cameron akan bertemu dengan para pemimpin Italia,
Luksemburg, Slovenia dan Slovakia untuk berbicara dengan semua negara anggota
menjelang KTT Uni Eropa pada akhir bulan, di mana tuntutan Inggris akan
dibahas[ CITATION Hop15 \l 1057 ].

Efek Domestik Keluarnya Inggris dari Uni Eropa
Pada tahun 1985 Greenland memang meninggalkan Uni Eropa dengan menyisakan
Perjanjian Greenland, tapi karena hanya mengekspor ikan, efek yang dirasakan tidak begitu
terasa. Lain halnya dengan Inggris, efek yang ditimbulkan untuk meninggalkan Uni Eropa
akan sangat besar. Menurut laporan Sunday Business Post, setidaknya keluarnya Inggris akan
menimbulkan dua efek yang sangat signifikan[ CITATION Sun15 \l 1057 ]. Yang pertama
adalah waktu yang harus dinegosiasikan. Jika referendum pada 2017 menghasilkan keputusan
bahwa Inggris akan keluar dari Uni Eropa, mungkin secara hukum Inggris baru akan keluar
pada 2018, 2019, atau bahkan baru pada 2020. Sebuah masa dimana ketidakpastian struktur
hukum dan ekonomi akan dialami ketika proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa sedang
berlangsung. Contoh konkretnya adalah dalam hal pengambilan statistik ataupun mengenai
undang-undang stabilitas pangan. Permasalahan hukum juga masih bisa terjadi ketika
perputaran langsung barang dan jasa serta orang-orang akan berakhir setelah Inggris bukan
lagi anggota organisasi. Tentu saja hal ini akan mengakhiri prinsip kemandirian dimana
negara tidak memberikan bantuan kepada perusahaan. Alhasil perusahaan milik negara dan
swasta akan terlibat dalam persaingan yang timpang.
Yang kedua adalah berubahnya model bisnis di berbagai sektor. Semisal saja adalah
hilangnya akses universitas Inggris ke pendanaan Horizon 2020. Horizon 2020 merupakan
program Uni Eropa yang berfokus pada pengembangan inovasi dan penelitian yang memiliki
nilai 80 miliar Euro selama tujuh tahun. Universitas-universitas juga mungkin akan kesulitan

untuk menemukan mahasiswa berkualitas dari luar negeri karena sangat mungkin referendum
2017 nanti juga akan membatasi beberapa hak imigran di Inggris. Orang-orang Irlandia
5

RAKYAN RACHMAN BIMOSENO
14/367518/SP/26412

sendiri akan kesulitan untuk pergi ke Irlandia Utara, lebih sulit untuk bekerja di London, sulit
untuk berinvestasi di Inggris dan juga lebih sulit untuk memiliki investor Inggris yang
berinvestasi di Irlandia.
Terlepas dari kedua masalah tersebut, masih banyak sektor bermasalah lain yang akan
timbul ketika Inggris keluar dari Uni Eropa. Masalah-masalah ini sendiri akan dapat
terselesaikan apabila terdapat perjanjian bilateral atau menjadi diberikan status kerja sama
khusus. Namun tentu saja pergerakan barang, modal dan tenaga kerja tidak akan sebebas dan
terbuka sebelumnya. Masalah substansial manajemen sangat mungkin bisa terjadi. Bahkan
negara tetangga Inggris juga akan mengalami dampak yang besar. Apalagi bila menyangkut
dengan isu pekerja migran. Empat negara teratas yang warganya bekerja ke Inggris adalah
India, Polandia, Pakistan, dan Irlandia. Warga negara Irlandia sendiri terdapat lebih dari 5
persen dari jumlah seluruh migran yang datang ke Inggris dalam rentang 1995-2013. Untuk
warga Inggris yang tinggal dan bekerja di negara Uni Eropa lainnya,akan mengalami

perubahan drastis dalam kehidupannya terutama dalam hal perpajakan.
Perpecahan dalam parlemen juga menjadi salah satu permasalahan yang akan
dihadapi Inggris bila tetap ingin referendum dilakukan. Perdana Menteri David Cameron
sampai sekarang saja telah mendapat berbagai tantangan. Bahkan dari dalam parlemennya
sendiri. Anggota Partai Konservatif Euroskeptis tidak setuju dengan langkah Perdana Menteri
David Cameron untuk mengajak kerja sama pemberontak Partai Tory dengan memberikan
beberapa ‘jaminan kredibel’[ CITATION Hop15 \l 1057 ]. Mereka beranggapan bahwa
mereka sudah mendapatkan jumlah mayoritas di parlemen sehingga langkah yang dilakukan
Perdana Menteri David Cameron merupakan langkah yang tidak perlu dilakukan. Memang
dalam hal referendum ini posisi pemerintah berada di bagian anti-Uni Eropa atau Euroskeptis
bersama dengan Partai Buruh dan Partai Tory.
Pengaruh Keluarnya Inggris terhadap Dunia Internasional
Keluarnya Inggris dari Uni Eropa tidak hanya akan memberikan efek bagi urusan
dalam negerinya semata. Irlandia sebagai negara anggota Uni Eropa yang berbatasan
langsung dengan Inggris akan mengalami dampak yang begitu besar. Bagi Irlandia, keluarnya
Inggris merupakan bencana yang besar dalam hal perdagangan. Sekarang jumlah ekspor
barang dan jasa Irlandia ke Inggris sekitar 14 persen dari total semua barang dan jasa yang
masuk ke Inggris. Bila diakumulasi, jumlah ekspor tersebut telah bernilai sekitar 260 miliar
Euro sampai saat ini[ CITATION Sun15 \l 1057 ]. Sebuah langkah untuk keluar dari Uni
6

RAKYAN RACHMAN BIMOSENO
14/367518/SP/26412

Eropa bisa menghancurkan kerja sama kedua negara yang sudah dimulai sejak tahun 1950an. Pemimpim Partai Demokrat Liberal, Nick Clegg, menyatakan bahwa Uni Eropa
memberikan pekerjaan bagi rakyat Inggris karena memberikan akses ke pasar dimana
terdapat 500 juta konsumen. Keanggotaan Inggris juga akan menarik perusahaan asing untuk
menjadi bagian dari pasar Inggris [ CITATION Kat15 \l 1057 ].
Bila Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa, maka Inggris akan tidak lagi
terikat dengan kerja sama-kerja sama di Eropa. Hal ini juga dapat berarti penurunan kekuatan
Inggris dalam segi pengaruh regional dan global di berbagai isu penting. Dan jika rakyat
Inggris mengatakan 'tidak' dan rakyat Skotlandia berkata 'ya', maka dapat dipastikan akan
menjadi sinyal kuat untuk referendum kemerdekaan yang terbaru di Skotlandia. Skenario lain
yang mungkin terjadi adalah apabila Wales, Irlandia Utara dan Skotlandia memvoting ‘ya’,
maka hal ini dapat mendorong mayoritas voting yang cenderung ‘tidak’ di Inggris menuju
kearah ‘ya’. Hal tersebut akan memicu perbedaan dan perpecahan besar di dalam konstitusi
yang telah terbentuk[CITATION Smo15 \l 1057 ].
Posisi Inggris dalam peta kekuatan dunia juga jelas akan menurun. Memang Inggris
memiliki pengaruh yang besar di dalam tubuh Uni Eropa sendiri. Dipandang dari perspektif
bilateral dengan negara seperti Cina dan India mungkin Inggris dapat dipandang sebagai
pusat finansial. Tetapi sebagai kekuatan politik dan perdagangan dunia, signifikansi Inggris
merupakan proporsi tersendiri di dalam bagian Uni Eropa. Adanya hubungan strategis antara
Inggris dan India, yang terdiri dari hubungan pertahanan dan hi-tech, adalah elemen lain yang
mendasari pendekatan yang berbeda untuk identitas Inggris. Amerika Serikat sendiri
memandang bahwa setiap keputusan yang mematahkan kohesi sekutunya merupakan hal
yang buruk[ CITATION Kat15 \l 1057 ].

7

RAKYAN RACHMAN BIMOSENO
14/367518/SP/26412

Kesimpulan
Meninggalkan Uni Eropa sebuah ide yang buruk bagi Inggris. Berbagai
ketidakstabilan ekonomi, politik, maupun hukum yang akan dihadapi ketika dalam proses
keluar dari Uni Eropa memiliki kemungkinan besar untuk memberikan dampak yang sangat
panjang. Apalagi bila hal tersebut terjadi ketika era globalisasi. Keluarnya Inggris dari Uni
Eropa akan menimbulkan beberapa undang-undang dan hukum harus disesuaikan kembali.
Hal yang begitu menjadi kekhawatiran utama tentu saja undang-undang mengenai isu
imigran dan perdagangan, dua hal yang efeknya akan sangat terlihat dalam waktu yang dekat.
Bisa saja Inggris akan menerapkan kebijakan imigran yang lebih ketat untuk masuk ke
Inggris. Tapi tentu akan sangat rumit untuk meregulasi mereka yang sudah tinggal dan
bekerja lama di Inggris. Efek yang ditimbulkan bagi negara sekitar seperti Irlandia juga akan
sangat kental terasa. Tidak akan ada lagi perputaran modal, barang dan jasa yang bebas.
Kemungkinan untuk terjadinya resesi di Inggris karena tidak ada lagi lahan konsumen yang
melimpah seperti saat masih tergabung dengan Uni Eropa juga turut menghantui.
Kemungkinan untuk berpisahnya Skotlandia juga kembali mencuat kembali seiring dengan
referendum yang akan dilakukan pada 2017.
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa Perdana Menteri David Cameron telah
melepaskan sebuah proses yang dia sendiri tidak akan dapat sepenuhnya mengontrol. Sesuatu
yang merupakan salah satu kejadian yang memiliki dampak besar pada dinamika politik
Inggris dan masa depan konstitusional Inggris secara domestik dan juga Uni Eropa dalam dua
tahun mendatang. Dua skenario juga kembali mencuat dari referendum kali ini. Perubahan di
dalam tubuh Uni Eropa untuk mengakomodasi kepentingan Inggris, atau keluarnya Inggris
dari Uni Eropa yang tentunya akan menimbulkan efek yang lebih besar dan lebih luas.
Kekuatan Inggris dan Uni Eropa jelas masing-masing dalam posisi global jelas akan
menurun. Namun dengan tetap bergabungnya Inggris dan Uni Eropa, maka perkembangan
yang terjadi bisa berkembang dengan lebih baik. Kekuatan yang dibangun oleh keduanya
8

RAKYAN RACHMAN BIMOSENO
14/367518/SP/26412

memungkinkan untuk bersaing dengan tiga kekuatan besar yang sedang berkembang, yaitu
India, Cina, dan tentu saja Amerika Serikat.

Bibliography
Allen, K., Oltermann, P., Borger, J., & Neslen, A. (2015, Mei 14). The Guardian. Retrieved
Juni 16, 2015, from Brexit – what would happen if Britain left the EU?:
http://www.theguardian.com/politics/2015/may/14/brexit-what-would-happen-ifbritain-left-eu-european-union-referendum-uk
Athanassiou, P. (2009). WITHDRAWAL AND EXPULSION FROM THE EU AND EMU:
SOME REFLECTIONS. LEGAL WORKING PAPER SERIE, 5.
Blagoev, B. (2010 ). Expulsion of a Member State from the EU after Lisbon: Political threat
or legal reality? Master thesis International and European Public Law Specialisation
European Law .
Deutsche Welle. (2014, Januari 16). Deutsche Welle. Retrieved Juni 16, 2015, from Inggris
Ancam Keluar dari Uni Eropa: http://www.dw.de/inggris-ancam-keluar-dari-unieropa/a-17366030
Gye, H. (2013, Januari 23). An embattled Prime Minister facing down his own party over
Europe: How Cameron's referendum promise turns back the clock to 1975 when Brits
were last given a voice on the EU. Retrieved Juni 16, 2015, from Mail Online:
http://www.dailymail.co.uk/news/article-2266844/EU-referendum-How-PMspromise-turns-clock-1975-Brits-given-voice-EU.html
Hope, C., & Riley-Smith, B. (2015, Juni 15). Fifty Conservative MPs to challenge David
Cameron over 'rigged' EU referendum rules. Retrieved from The Telegraph:
http://www.telegraph.co.uk/news/newstopics/eureferendum/11674174/FiftyConservative-MPs-to-challenge-David-Cameron-over-rigged-EU-referendumrules.html
Hughes, K. (2015, Mei 15). Smoke and mirrors over 'brexit': Key questions on the path to the
EU referendum. Retrieved from OpenDemocracy:
http://search.proquest.com/docview/1680993719?accountid=13771
9

RAKYAN RACHMAN BIMOSENO
14/367518/SP/26412

Lucas, M. R. (1999). Nationalism, Sovereignty, and Supranational Organizations. Heft 114, 710.
MacCormick, N. (1993). Beyond the Sovereign State. 56 Modern Law Review , 1.
Magliveras, K. D. (1999). Exclusion from Participation in International Organisations: The
Law and Practice behind Member States' Expulsion and Suspension of Membership.
Boston: Kluwer Law International.
Sunday Business Post. (2015, Mei 17). Retrieved Juni 16, 2015, from Eurozone crisis : We
can only expect the worst from a british exit:
http://search.proquest.com/docview/1681473550?accountid=13771.
Teodorczuk, T. (2000, Oktober 1). Ultimate Vindication: The Spectator and Europe 1966-79.
Retrieved Juni 16, 2015, from The Bruges Group:
http://www.brugesgroup.com/mediacentre/index.live?article=108
Watt, N., & Wintour, P. (2009, November 3). The Guardian. Retrieved Juni 16, 2015, from
David Cameron to shed 'cast iron' pledge on Lisbon treaty:
http://www.theguardian.com/world/2009/nov/03/david-cameron-lisbon-treatyreferendum
Wilson, H. (1974). Let us work together - Labour's way out of the crisis. Labour Party's
Manifesto.

10