Negara Koruptor Kondisi dan Solusi Untuk

NEGARA KORUPTOR ; KONDISI DAN SOLUSI UNTUK BANGSA

*Oleh : Rizki Hamdani
Kejahatan korporatokrasi, yaitu jaringan yang bertujuan memetik laba melalui caracara korupsi, kolusi dan nepotisme dari negara-negara dunia ketiga. Cara kerjanya mirip
mafia karena menggunakan semua cara, termasuk pembunuhan untuk mencapai tujuan.
(John Perkins : Confession of an Economic Hit Man, 2004)
Korupsi memang telah menjadi bahaya laten di Negara Indonesia tercinta kita ini.
Terkadang kita tidak menyadari bahwa hal yang besar itu berawal dari yang kecil. Dari yang
coba-coba sampai menjadi suatu rutinitas kebutuhan, itulah bahaya dari perilaku koruptif.
Untuk itu kita menilik terlebih dahulu apa itu yang dimaksud dengan korupsi. Kita pasti
sudah mengenal atau bahkan akrab dengan kata-kata itu. Menurut (Wikipedia), korupsi
(dalam bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok), menurut Transparency International

korupsi adalah perilaku

pejabat publik, baik politikus / politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan
tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi tidak hanya
dianggap sebagai penghambat kegiatan ekonomi tetapi juga akan merusak bangunan moral
kemasyarakatan, demokrasi dan tatanan kenegaraan.

Ada sebuah anekdot yang saya kutip dari buku (Menyalakan Lilin Ditengah
Kegelapan) terbitan KPK RI tahun 2007, yang berisi tentang lelucon Indonesia sebagai
Negara koruptor.
“Serombongan manusia sedang menunggu masuk di pintu surga. Mereka dipanggil
satu per satu oleh pejabat malaikat yang bertugas di sana. Mereka ditanya tentang segala
perbuatan yang dilakukan ketika masih hidup. Nah, pada sesi tanya jawab itulah rombongan

manusia tersebut melihat, bahwa pada tembok belakang tergantung puluhan jam dinding
sebagaimana layaknya yang terlihat di bandar udara. ”Tapi, kok ada yang aneh. Apa ya?”
beberapa orang mulai merasakan kejanggalan. Ah, ini dia! Kalau jam di dunia menunjukkan
posisi waktu yang berbedabeda sesuai kota tujuan, maka jam dinding di surga yang berbeda
adalah kecepatan putaran jarumnya. Salah seorang yang agak bingung bertanya kepada
malaikat di sana tentang perbedaan jam ini. ”Oh itu, jam yang tergantung di sana
menunjukkan tingkat kejujuran pejabat pemerintah yang ada di dunia sewaktu Anda hidup,”
sang malaikat menjelaskan. ”Semakin jujur pemerintahan Anda, jam negara Anda semakin
lambat. Sebaliknya semakin korup pejabat pemerintah negara Anda, maka semakin cepat
pula jalannya.” ”Coba lihat itu!” kata seorang yang sedang antre kepada yang lainnya,
”Jam Filipina berputar kencang. Berarti memang benar Marcos banyak korupsi, tuh.” ”Itu
lagi, itu lagi,” seru yang lainnya, ”Jam Kongo, negaranya Mobutu Seseseko berputar tak
kalah cepat dari jam Filipina.” ”Oh, iya ya, benar juga. Wah, hebat sekali jam itu.” Mereka

semua terlihat menikmati pengetahuan baru tersebut. Tapi... Di mana gerangan jam
Indonesia? Mereka pun mencari-cari, namun tak ketemu juga. Sampai akhirnya, salah
seorang dari mereka pun memberanikan diri bertanya kepada malaikat tadi. ”Oh, jam
Indonesia... Kami taruh di belakang, di dapur. Sangat cocok dijadikan kipas angin,” jawab
sang malaikat.
Lelucon semacam ini, sudah sering terdengar. Dan, kita semua tersenyum
menertawakan diri sendiri (Indonesia). Artinya, kita secara sadar, bahkan sangat sadar, bahwa
korupsi di Indonesia demikian kronis. Buktinya, beberapa kali Indonesia yang kita cintai
menempati peringkat pertama atau kedua dalam “kejuaraan” negara-negara terkorup di dunia.
Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa fenomena yang terjadi di Indonesia ketika
para calon kepala pemerintahan mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah ketika
akan mencalonkan diri menjadi Presiden, Gubernur, Walikota / Bupati disaat akan

berkampanye pasti memerlukan uang kampanye atau uang lembek untuk suksesi
pemenangan. Uang-uang itupun datangnya tidak tahu dari mana saja, yang paling besar
adalah dari donator-donatur konglomerat yang memiliki kepentingan yang mengikat
manakala disuatu saat para donatur membutuhkan bantuan dari sang penguasa pemerintahan
dalam mempermudah urusan-urusannya. Sehingga hal ini sudah menjadi kewajiban para
penguasa untuk membalas jasa para donatur yang turut andil dalam dana suksesi pada saat
berkampanye.

Alhasil pun setelah duduk di kursi panasnya para penguasa pemerintahan memutar
otak dengan jalan yang sangat pragmatis yaitu korupsi. Bayangkan saja apabila dihitung
secara matematika gaji pokok seorang Presiden perbulan sebesar Rp. 30.240.000,- ditambah
tunjangan Rp. 32.500.000,- berarti gaji perbulan sebesar Rp. 62.740.000,- / gaji perbulan
kepala daerah provinsi (Gubernur) sebesar Rp. 8.400.000,- / gaji perbulan Walikota atau
Bupati sebesar Rp. 5.880.000,- sehingga sangat tidak masuk akal apabila dana puluhan milyar
rupiah untuk pilkada atau bahkan ratusan milyar untuk kampanye pilpres yang telah
dihabiskan oleh pasangan calon sehingga akan memutar otak untuk bagaimana
mengembalikan uang yang telah dihabiskan untuk dana kampanye tersebut setelah dia
terpilih dan menjabat di kursi panas tersebut. Alhasil mau tidak mau penyelewengan
anggaran dan lain sebagainya menjadi pilihan yang sangat rentan dilakukan.
Sungguh sangat ironis hal ini terjadi di negara kita yang notabenenya sebagai negara
yang kaya raya akan sumber daya alam (SDA) namun realitasnya tidak sesuai dengan negara
yang kaya, malah negara kita termasuk sebagai negara yang hampir miskin dengan tingkat
korupsi yang masuk kedalam peringkat sepuluh besar di dunia. Bayangkan saja apabila
dengan uang hasil korupsi ratusan Triliun yang dilakukan dalam kasus Soeharto, Edi Tansil,
BLBI, Gayus Tambunan, Nazaruddin, dan lain sebagainya maka bukan tidak mungkin kita ini
dapat manifestasikan kedalam bentuk konstruksi infrastruktur tata negara yang kondusif,

maka kita tidak akan menjumpai lagi fenomena bangsa dimana banyak kita lihat orang yang

tidur dibawah kolong jembatan, anak-anak putus sekolah, pergi ke sekolah dengan meniti
sebilah bambu, warga yang makan nasi aking, TKI diluar negeri yang dihukum gantung, dan
lain sebagainya dengan banyak lagi kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan.
Saya melihat perilaku koruptif di Negara Indonesia tercinta ini semakin merajalela sehingga
bukan tidak mungkin akan menjadi suatu budaya bangsa baru yang akan diwarisi/diikuti oleh
generasi muda penerus bangsa nantinya. Dari analisia permasalahan di atas, penulis coba
memberikan beberapa rekomendasi, yaitu antara lain:
Pertama, bahwa perlu adanya bimbingan moral sejak dini dimana disetiap tingkat
sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi perlu diterapkannya kurikulum baru dengan
ditambahkannya mata pelajaran “Anti Korupsi” yang mencakup tentang bahaya atau dampak
negatif menjadi koruptor dan dampak positif apabila tidak terjadi korupsi dalam tatanan
Negara ini.
Kedua, dalam tubuh pemerintahan kita baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif
perlu adanya rejuvenasi (peremajaan) dimana merupakan suatu penggantian yang tidak hanya
sebatas pada fisik saja, namun lebih jauh menyentuh pula pada idiologi ke arah gagasan, visi
dan pemikiran yang benar-benar berasal dari pemuda terhadap partisipasinya dalam politik.
Pemuda diharapkan bisa optimal dalam menyumbangkan gagasannya dengan tidak mendapat
intervensi dari golongan tua. Adapun juga tidak menghapuskan peran golongan tua yang bisa
memberikan sumbangan ilmu dan pengalaman pada golongan muda.
Ketiga, penerapan hukum di Indonesia yang harus mengacu pada perbaikan tata

negara yang mengasumsi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Undang-undang
harus kita perbaiki dengan tidak segan-segan untuk menindak segala bentuk kejahatan
korporatokrasi. Dimana dalam konteks ini kita sama-sama menyetujui korupsi merupakan
tindakan yang merugikan bangsa sehingga yang merasakan imbas efeknya adalah seluruh

rakyat Indonesia. Oleh karena itu hukum di negara kita sekarang harus berani dan tidak takuttakut untuk mengeksekusi para pelaku koruptif tersebut. Hukuman mati sebagai bentuk
ketegasan kita dalam menyikapi konteks permasalahan bangsa ini.
Dari ketiga gagasan penulis dalam memberikan solusi untuk meredam bahaya laten
korupsi yang terjadi di negara Indonesia tercinta ini semoga berimplikasi positif dengan
mengacu kepada kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga terwujudnya
bangsa yang berdaulat, adil dan makmur. Wassalam.

Referensi :
-

KPK RI : Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan, 2007

-

John Perkins : Confession of an Economic Hit Man, 2004


-

Daftar Gaji Pejabat Indonesia Periode 2004-2011.wordpress.com

-

www.Wikipedia.com