IMPLEMENTASI PP NOMOR 10 TAHUN 1983 jo PP NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERCERAIAN BAGI PNS DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2010 SKRIPSI
IMPLEMENTASI PP NOMOR 10 TAHUN 1983 jo
PP NOMOR 45 TAHUN 1990
TENTANG IZIN PERCERAIAN BAGI PNS
DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA
TAHUN 2010
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam
Oleh SITI NURUL MIDAYANTI NIM 21108002 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAHPERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara: Nama : Siti Nurul Midayanti NIM : 21108002 Jurusan : Syariah Progrram Studi : Ahwal Al Syakhsiyyah Judul : Implementasi PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45
Tahun 1990 Tentang Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010
Talah kami setujui untuk dimunaqosahkan Salatiga, 7 Juli 2012 Pembimbing, Moh Khusen, M.Ag.,M.A NIP.19741212 199903 1003
SKRIPSI
IMPLEMENTASI PP NOMOR 10 TAHUN 1983 jo PP NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERCERAIAN BAGI PNS DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2010 DISUSUN OLEH SITI NURUL MIDAYANTI NIM : 21108002
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 4 agustus 2012 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Hukum Islam
Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. ________________ Sekretaris Penguji : IIIya Muhsin, S.Hi, M.Si. ________________ Penguji I : Drs. Mubasirun, M.Ag. ________________ Penguji II : Luthfiana Zahriani S.H., M.H. ________________ Penguji III : Moh Khusen, M.Ag., M.A. ________________
Salatiga, 4 Agustus 2012 Ketua STAIN Salatiga Dr. Imam Sutomo, M.Ag
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Siti Nurul Midayanti NIM : 21108002 Jurusan
: Syari‟ah Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, Juli 2012 Yang menyatakan, Siti Nurul Midayanti
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh
jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu (Q.S Al
Baqarah 216).PERSEMBAHAN
Untuk Orang Tuaku, Nenekku, Adik-adikku, Para Guru-guruku,
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada Nabi Muhammad saw yang senantiasa dinantikan syafa‟atnya di yaumul qiyamah nanti.
Penyusunan skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI PP NOMOR 10 TAHUN 1983 JO PP NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERCERAIAN BAGI PNS DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2010” adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar akademik sarjana hukum islam di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
Penyusun menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun mengucapakan terima kasih kepada: 1.
Dr. Imam Sutomo, M.Ag. selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
2. Drs. Mubasirun, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Syariah.
3. Illya Muhsin, S.Hi, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ahwal Al- Syakhsiyyah.
4. Masrukhan, S.H, M.H. selaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga periode 2007-2011.
6. Drs. Masthur Huda, S.H, M.H. selaku Ketua Pengadilan Agama Ambarawa periode 2011- sekarang.
7. Moh. Khusen, M.Ag, M.A. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya guna memberikan bimbingan dan arahan.
8. Bapak dan Ibu Dosen STAIN, khususnya Dosen Jurusan Syariah.
9. Orang tuaku serta adik-adikku tercinta yang selalu mendo‟akan dan memotivasi dengan tulus dan ikhlas.
10. Semua pihak yang tidak bisa penyusun sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dukungan hingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Selanjutnya penyusun sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penyusun hanya bisa berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penyusun khususnya.
Salatiga, 11 Juli 2012 Penulis,
ABSTRAK
Midayanti, Siti Nurul. 2012. Implementasi PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP
Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010.
Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri salatiga. Pembimbing: Moh. Khusen, M. Ag, M.A.
Kata kunci: Perceraian, PNS, PP 10/1983 jo PP 45/1990.
Penelitian ini merupakan kajian tetang penerapan Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 tentang Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2010. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) bagaimanakah gambaran kasus perceraian di Pengadilan Agama Salatiga? (2) apakah alasan perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga? (3) bagaimanakah implementasi PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 dalam kasus perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris yang bersifat deskriptif analitis. Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat suatu kenyataan hukum yang terjadi di masyarakat. Pendekatan ini berfungsi untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi pelaksanaan perundang- undangan. Deskriptif analitis ini mengambarkan pelaksanaan PP nomor 10 tahun 1983 jo PP nomor 45 tahun 1990 tentang Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama salatiga tahun 2010.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa (a) kasus perceraian di Pengadilan Agama Salatiga meningkat sejak tahun 2010 hingga tahun 2011, (b) perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga disebabkan karena suami melanggar taklik talak, antara pasangan suami istri sudah tidak ada lagi keharmonisan dan sering terjadi perselisihan yang tidak bisa didamaikan lagi, (c) dalam prakteknya surat izin dari atasan yang temuat dalam PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 dalam kasus perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga bisa diganti dengan surat keterangan yang dibuat oleh penggugat PNS. Surat itu berisi tentang kesediaanya menangung segala resiko yang akan ia dapat setelah terjadinya perceraian.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... ii PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................. iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................ v KATA PENGANTAR .................................................................................. vi ABSTRAK .................................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................ ix DAFTAR TABEL ........................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiii BAB I PENDAHULUAN .....................................................................
1 A.
1 LATAR BELAKANG MASALAH ....................................
B.
5 FOKUS PENELITIAN ......................................................
C.
5 TUJUAN PENELITIAN ....................................................
D.
5 KEGUNAAN PENELITIAN ..............................................
E.
6 PENEGASAN ISTILAH ....................................................
F. METODE PENELITIAN ...................................................
BAB II KONSEP PERCERAIAN DALAM FIQH DAN PERUNDANG- UNDANGAN .....................................................................
30 2. Syarat dan Alasan Perceraian dalam Perundang- undangan..............................................................
30 1. Pengertian dan Tujuan Perceraian dalam Perundang- undangan ..........................................................
26 B. Konsep Perceraian Menurut Perundang-undangan........
24 3. Syarat dan Alasan Perceraian .................................
16 2. Dasar Hukum Perceraian .......................................
16 1. Pengertian dan Tujuan Perceraian ..........................
16 A. Konsep Perceraian dalam Fiqh Munakahat ..................
13 G. SISTEMATIKA PENULISAN ............................................ 14
8 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ..................................
13 8. Tahap-tahap Penelitian .................................................
12 7. Pengecekan Keabsahan Data ........................................
11 6. Analisis Data ...............................................................
9 5. Prosedur Pengumpulan Data ........................................
9 4. Sumber Data ................................................................
Lokasi Penelitian ..........................................................
8 2. Kehadiran Penelitian ..................................................... 9 3.
34
BAB III GAMBARAN PERCERAIAN PNS DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA .........................................................................
43 A. Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010 ..............................................................................
43 B. Alasan Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010 ...................................................................................
45 C. Proses Penyelesaian Kasus Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga ..................................................................
52 D. Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga.... 57
BAB IV ANALISIS TERHADAP PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2010............................................................................................
61 A. Analisis Terhadap Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2010 .........................................................
61 B. Analisis Terhadap Alasan Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2010 ............................................
66 C. Analisis Terhadap Implementasi PP No. 10 Tahun 1983 jo PP
No. 45 Tahun 1990 dalam Kasus Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga .................................................................... 68
BAB V PENUTUP ................................................................................. 75 A. Kesimpulan ......................................................................... 75 B. Saran .................................................................................... 77 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Data Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga pada Tahun 2010 .........................................................................................44 Tabel 3.2 Alasan Percerian PNS di Pengadilan Agama Salatiga pada Tahun 2010 ...........................................................................................
51 Tabel 4.1 Perbandingan Kasus Perceraian dan Kasus Lain di Pengadilan Agama Salatiga pada Tahun 2010 ...........................................................
63 Tabel 4.2 Faktor-faktor Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga pada Tahun 2010 ................................................................................ 64
Tabel 4.3 Faktor-faktor Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga pada Tahun 2010 dan 2011 ................................................................. 65Tabel 4.4 Alasan Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga pada Tahun 2010 ............................................................................................68
DAFTAR LAMPIRAN 1.
PP nomor 10 tahun 1983 jo PP nomor 45 tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS.
2. Putusan-putusan perkara perceraian PNS tahun 2010.
3. Tabel Kasus Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga pada Tahun 2010 4. Surat pernyataan perceraian dari PNS.
5. Laporan perkara khusus yang dikenakan PP 10 tahun 1983 di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010.
6. SEMA nomor 5 tahun 1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP nomor 10 tahun 1983.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pasal 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan (UUP) dinyatakan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
”. Pasal 3 KHI dinyatakan bahwa “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah”. Dalam mencapai tujuan perkawinan adalah tidak mudah.
Walaupun segala hal yang bertujuan untuk menciptakannya telah dipersiapkan, namun hasilnya tidak selalu seperti yang diharapkan.
Pengalaman hidup manusia membuktikan bahwa membangun rumah tangga adalah mudah, tapi membina, mengatur dan menjaga keharmonisan sehingga terwujud rumah tangga yang bahagia adalah tidak mudah. Pengalaman hidup antara satu rumah tangga dengan rumah tangga lainnya tentulah berbeda dan bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi. Belum tentu sebuah rumah tangga yang hari ini kelihatan harmonis dan bahagia dalam jangka waktu yang tidak ditentukan mengalami keretakan dan porak poranda, demikiaan pula sebaliknya.
Pengalaman hidup seperti itu tidak hanya terjadi pada orang kaya, miskin, bodoh, pintar, desa, kota yang berprofesi sebagai sopir, pengusaha, petani, wiraswasta, pegawai swasta, pegawai negeri dan lain-lain. Apabila keretakan dan percekcokan dalam rumah tangga sudah tidak mungkin didamaikan, maka Islam memberikan jalan terakhir penyelesaian dengan perceraian. Namun, perceraian sedapat mungkin harus dihindari oleh setiap pasangan suami istri karena perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Hakim dan disa hkan olehnya dari Ibnu „Umar yang artinya: perbuatan halal yang sangat dibenci Allah azza wajalla ialah talak (Sabiq, 1992:206).
Perceraian atau talak menurut Sayyid Sabiq (1992:206) adalah “melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”. Para ulama telah sepakat bahwa talak yang sah adalah talak yang dijatuhkan oleh suami yang berakal, baligh dan bebas memilih dialah yang boleh menjatuhkan talak (Sabiq, 1992:208). Sedangkan menurut UUP, putusnya perkawian serta akibat-akibatnya diatur dalam pasal 38 sampai dengan
pasal 41. Tata cara perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 pasal 14 sampai dengan pasal 36 dan teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PERMA) Nomor 3 Tahun 1975 (Ali, 2006:73-74).
Terdapat perbedaan prosedur pengajuan perceraian antara orang yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan orang yang bukan PNS. Dalam PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas PP No. 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS dinyatakan bahwa PNS adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan, termasuk dalam kehidupan berkeluarga agar dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya. Selanjutnya dalam
pasal 3 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa PNS yang akan melakukan perceraian yang berkedudukan sebagai penggugat wajib memperoleh izin dan PNS yang menjadi tergugat wajib memperoleh surat keterangan secara tertulis dari atasan. Dalam pasal 5 ayat 2 dinyatakan bahwa setiap atasan yang menerima permintaan izin dari PNS wajib memberikan pertimbangan selambat-lambatnya tiga bulan mulai tanggal ia menerima permintaan izin itu. Dalam pasal 15 dinyatakan bahwa PNS yang tidak melaporkan perceraiannya setelah satu bulan maka dijatuhi hukuman disiplin berat berdasarkan PP No. 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin PNS.
Pada tahun 2010 tercatat 18 kasus perceraian di Pengadilan Agama Salatiga yang penggugat dan atau tergugatnya berprofesi sebagai PNS. Dari 18 kasus tersebut, 11 kasus diputus cerai, 1 kasus masih dalam proses kasasi, 1 kasus gugur, 2 kasus dicabut, 1 kasus masih dalam proses yang telah diputus cerai, ditemukan 7 kasus perceraian yang sudah ada izin dari atasan, sedangkan 4 kasus lainnya tidak disertai surat izin bercerai dari atasan. Dari 4 kasus ini peneliti menemukan satu surat pernyataan dari penggugat PNS tentang kesediaannya menanggung segala resiko akibat dari perceraian karena belum mendapat izin dari atasan yang berwenang.
Dalam PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 pasal 3 ayat 1 telah jelas dinyatakan bahwa PNS yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin dari pejabat, bukan surat pernyataan menanggung resiko perceraian. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 1984 tentang petunjuk pelaksanaan PP Nomor 10 tahun 1983 yang menyatakan bahwa PP Nomor 10 Tahun 1983 merupakan peraturan disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil dalam rangka usaha Pemerintah untuk membina Korps Pegawai Negeri yang bersih dan jujur dan dalam butir ke 2 SEMA Nomor 5 Tahun 1984 menyatakan bahwa Pasal
16 PP Nomor 10 Tahun 1983 yang mengatur sanksi-sanksi manakala seorang Pegawai Negeri melanggar ketentuan-ketentuan PP ini dapat diberhentikan dengan hormat tanpa permohonan sendiri.
Berdasarkan fenomena diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian Implementasi PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010.
B. Fokus Penelitian 1.
Bagaimanakah gambaran kasus perceraian di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010? 2. Apakah alasan perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga? 3. Bagaimanakah implementasi PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 dalam kasus perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga?
C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui gambaran kasus perceraian di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010.
2. Untuk mengetahui alasan perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga.
3. Untuk mengetahui implementasi PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 dalam kasus perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga.
D. Kegunaan Penelitian 1.
Bagi akademik Sebagai upaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan persoalan perceraian PNS menurut implementasi PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga.
2. Bagi Pengadilan Agama Salatiga Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan perkembangan ilmu hukum yang berhubungan dengan perceraian PNS yang diatur dalam PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian.
3. Bagi PNS Untuk mengetahui proses perceraian menurut PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang izin pencatatan dan perkawinan bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga.
4. Bagi masyarakat Untuk memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat luas mengenai penerapan perceraian PNS dalam PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang izin pencatatan dan perkawinan bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga.
E. Penegasan Istilah 1.
Perceraian adalah putusnya hubungan perkawinan antara seorang laki- laki dengan seorang perempuan sebagai suami-istri berdasarkan keputusan Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri (Poerwadarminto, 2006: 231).
2. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-undang No. 43 tahun 1999 tentang
Warga Negara Indonesia yang telah memenunuhi syarat sebagai PNS yang diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu tugas jabatan negeri dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang terdiri dari: a.
Pegawai Negeri Sipil baik pusat maupun daerah.
b.
Anggota Tentara Nasional Indonesia.
c.
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. Yang dipersamakan dengan Pegawai negeri Sipil dalam PP nomor 10 tahun 1990 pasal 1a ayat 2 yaitu: a)
Pegawai Bulanan di samping pensiun
b) Pegawai Bank milik Negara
c) Pegawai Badan Usaha milik Negara
d) Pegawai Bank milik Daerah
e) Pegawai Badan Usaha milik Daerah
f) Kepala Daerah, Perangkat Desa, dan petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintah di Desa.
Yang dimaksud dengan PNS dalam penelitian ini adalah setiap orang yang bekerja pada pemerintah dengan diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam jabatan tertentu yang digaji menurut perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah ataupun orang yang dipersamakan dengan PNS.
F. Metode Penelitian 1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian a.
Pendekatan Penelitian ini berdasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis empiris.
Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan melihat suatu kenyataan hukum yang terjadi di masyakat yang berfungsi untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi perundang-undangan (Ali, 2009:105). Dalam penelitian ini yang dicari adalah klarifikasi pelaksanaan perceraian PNS dengan berpedoman pada PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tantang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga.
b.
Jenis penelitian Jenis penelitian ini secara spesifik bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapakan aturan perundang-udangan yang berkaitan dengan objek penelitian dan pelaksanaanya di masyarakat (Ali, 2009:105-106). Metode ini dimasudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang objek yang diteliti. Penelitian ini untuk menggambarkan pelaksanaan pengaturan perceraian PNS dalam PP No. 10 tahun 1883 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang izin perceraian
PNS yang akan mengajukan perceraian wajib menyertakan surat izin tertulis dari atasan. Kajian tentang implementasi PP itu sangat penting untuk dilakukan karena adanya pemberlakuan surat pernyataan bagi penggugat PNS yang belum mendapatkan izin atasan di Pengadilan Agama Salatiga.
2. Kehadiran Peneliti Peneliti dalam penelitian ini melakukan wawancara secara langsung ke Pengadilan Agama Salatiga sebagai instrumen penggali data.
3. Lokasi Penelitian Penelitian perceraian PNS dilaksanakan di Pengadilan Agama
Salatiga yang terletak di jalan Lingkar Selatan, Dukuh Jagalan RT 14 RW 05 Salatiga. Peneliti memilih lokasi ini karena Pengadilan Agama adalah pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam (UU No. 50 Tahun 2009 pasal 2) dan Pengadilan Agama Salatiga adalah pengadilan yang secara riil telah menangani kasus-kasus perceraian yang mana para pihaknya adalah PNS.
4. Sumber Data Peneliti menggunakan dua sumber data yaitu: a.
Data primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya (Ali, 2009:106). Data primer dalam penelitian in adalah:
1) Informan
Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah Para Hakim Pengadilan Agama Salatiga yang menangani perceraian PNS tahun 2010 dan Panitera Pengadilan Agama Salatiga. 2)
Dokumen Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) Buku Pantauan Perkara 2010 Pengadilan Agama Salatiga yaitu buku yang isinya tentang identitas penggugat/ pemohon dan tergugat/ termohon, tanggal perkara itu diajukan kepengadilan, nama Majelis Hakim dan Panitera yang menangani kasus itu dan memuat jenis perkara.
b) Buku Arsip Panitera yaitu buku arsip yang dimiliki oleh
Panitera yang berbentuk laporan perbulan isinya tentang perkara yang disidangkan selama sebulan, mengetahui perkara yang sudah diputus dan masih dalam proses persidangan, ringkasan biaya yang masuk ke Pengadilan Agama selama bulan itu, mengetahui tetang daftar pengambilan akta putusan dan mengetahui perkara perceraian yang termasuk ke dalam PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tetang pencatatan perkawinan dan perceraian bagi PNS. c) Arsip Putusan yaitu arsip yang isinya tentang surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, putusan sela, relas panggilan, berita acara persidangan, foto kopi bukti tertulis dan putusan.
b.
Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen resmi (Ali, 2009:106). Data sekunder dalam penelitian ini adalah:
1) PP No. 10 tahun 1983 jo PP No 45 tahun 1990 tentang Pencatatan Perkawinan Dan Perceraian Bagi PNS.
2) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 3)
PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
4) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
5. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian lapangan (Ali, 2009:107).
Pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah wawancara dan observasi.
a.
Wawancara (interview) Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh pewawancara dengan orang yang diwawancarai dengan maksud untuk mendapatkan suatu kejelasan tetang suatu masalah (Moleong, informan kunci dan informan pangkal. Informan kunci yakni para hakim yang menanggani kasus perceraian PNS. Berdasarkan jumlah kasus yang diteliti para hakim yang menangani perkara perceraian PNS sebanyak 6 orang. Namun karena beberapa dari mereka telah mutasi dari Pengadilan Agama Salatiga maka hakim yang dapat diwawancarai hanya sebanyak 4 orang yaitu Drs. H. Noer Hadi, M.H, Drs. H. Machmud, S.H, Hj. Muhlisoh, M.H. dan Dra. H.
Farida, M.H. Informan pangkal yakni informan selain hakim yaitu Drs. Sakir, S.Hi sebagai ketua panitera, Dra. Widad sebagai Sekretaris Pengadilan Agama dan Dra. Robiah sebagai Sekretaris Panitera.
b.
Observasi (pengamatan) Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara tidak berperan serta yang mempunyai satu fungsi yaitu melakukan pengamatan (Moleong, 2002:126). Observasi ini dilakukan untuk mengamati Buku Pantauan Perkara 2010, Buku Arsip Panitera dan Arsip Putusan Perceraian PNS 2010.
6. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan sekunder dengan mengunakan pola pikir deduktif yaitu menanalisis teori tentang perceraian PNS yang terdapat tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS dan PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan proses penyelesaian perkara perkara perceraian di Pengadilan Agama Salatiga. Karena dalam PP No. 10 tahun 1983 telah jelas dikatakan bahwa PNS yang melakukan perceraian wajib mendapatkan izin dari atasan. Namun dalam praktekya dalam kasus perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga, peneliti menemukan surat pernyataan yang dibuat oleh penggugat PNS yang isinya bersedia menanggung segala resiko akibat dari perceraian. Selain itu peneliti juga menemukan bahwa seorang pensiunan PNS tidak terkena PP ini.
7. Pengecekan Keabsahan Data Pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan tehnik trianggulasi data yaitu dengan membandingkan apa yang diperintahkan perundang-undangan tentang perceraian PNS khususnya PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS dengan proses penyelesaian perkara perceraian PNS di Pengadilan Agama salatiga tahun 2010 dan wawancara dengan Hakim dan Panitera.
8. Tahap-tahap Penelitian Tahapan penelitian dalam penelitian ini dengan: a.
Observasi pendahuluan ke Pengadilan Agama Salatiga dengan melihat Buku Pantauan Perkara 2010, Buku Arsip Panitera dan Arsip Putusan PNS selama 2010.
b.
Wawancara dengan Para Hakim.
c.
Observasi.
d.
Trianggulasi data.
e.
Analisis.
f.
Kesimpulan.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I Pendahuluan; Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Kerangka Teori, Metode Penelitian yang berisi tentang Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran Penelitian, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab II Konsep Perceraian dalam Fiqh dan Perundang-Undangan; Bab ini berisi Konsep Perceraian dalam Fiqh Munakahat yang terdiri dari Pengertian dan Tujuan Perceraian dalam Fiqh Munakahat, Dasar Hukum Perceraian dalam Fiqh Munakahat, Syarat dan Alasan Perceraian dalam Fiqh Munakahat. Konsep Perceraian Menurut Perundang-undangan yang berisi tentang Pengertian dan Tujuan Perceraian dalam Perundang- No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 Ditinjau dari Politik Hukum yang berisi tentang Pengertian dan Cakupan Politik Hukum, Politik Hukum dalam PP No. 10 Tahun 1983 Jo PP No. 45 Tahun 1990.
Bab III Gambaran Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga; Bab ini berisi tentang Kasus Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010, Alasan Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010 dan Proses Penyelesaian Kasus Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga, Implementasi PP No. 10 tahun 1983 Jo PP No. 45 tahun 1990 tetang Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga.
Bab IV Analisis Terhadap Perceraian Pegawai Negeri Sipil di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2010; Bab ini berisi tentang Implementasi PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 dalam Kasus Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga, Gambaran Penyelesaian Kasus Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2010. Bab V Penutup; Bab ini berisi tentang Kesimpulan dan Saran. Adapun lampiran dari pembahasan ini adalah: PP nomor 10 tahun 1983 jo PP nomor 45 tahun 1990, Putusan-putusan perkara perceraian PNS tahun 2010, tabel kasus perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2010, surat pernyataan yang dibuat oleh PNS yang isinya tentang kesediaannya menanggung segala resiko yang akan ia terima setelah terjadi perceraian, laporan perkara khusus pelaksanaan PP nomor 10 tahun 1983di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010, SEMA nomor 5 tahun 1994 tentang
BAB II KONSEP PERCERAIAN DALAM FIQH DAN PERUNDANG- UNDANGAN A. Konsep Perceraian dalam Fiqh Munakahat 1. Pengertian dan Tujuan Perceraian Talak berasal dari kata ithlaq yang artinya melepaskan atau
meninggalkan. Talak menurut Sayyid Sabiq (1992:206) adalah “melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”.
Dalam Islam hak talak hanya diberikan kepada seorang laki-laki saja, karena seorang laki-laki dipandang sebagai seseorang yang lebih bersikap keras untuk melanggengkan tali perkawinanya dengan menanggung semua kebutuhan keluarganya. Sedangkan jika seorang suami itu mengikuti istrinya maka ia tidak berhak atas dirinya dan perkara sepenuhnya terserah kepada istrinya, sebab ia telah mengeluarkan hartanya untuk melepaskan dirinya dari ikatan suami istri (Sabiq, 1992:210, 215).
Dalam hukum Islam, perceraian dapat terjadi karena talak, k
hulu’, zhihar dan li’an (Nasution, 2002:204).
a.
Talak Talak terbagi menjadi dua yaitu talak raj’i dan talak ba’in. Talak
raj’i adalah talak yang suaminya masih memiliki hak untuk jumlah hak talak yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Jika seorang bercerai dengan talak 1 dan 2 maka boleh
ruju’ selama masa iddah
dan jika mereka
ruju’ setelah masa iddah maka mereka harus melakukan akan nikah yang baru (Ahmad, 2002:46).
Syarat talak ra
j’i adalah:
1) Bahwa istri sudah pernah dikumpuli.
Jika talak tersebut dijatuhkan pada seorang istri yang belum pernah dikumpuli, maka jatuh talak
ba’in. Seorang
wanita yang dicerai sebelum dikumpuli ia tidak mempunyai masa iddah (Ahmad, 2000:44, 49).
2) Talak tersebut tidak mengunakan uang pengganti. 3) Talak tersebut tidak dimaksudkan untuk melengkapi talak tiga.
Akibat hukum dari talak
raj’i menurut Sayyid Sabiq
(1992:235) adalah: 1) Tidak menghilangkan hak kepemilikan. 2)
Tidak melarang bekas suami untuk tinggal bersama istrinya selama masa iddah.
3) Tidak mempengaruhi hubungan yang halal kecuali persetubuhan.
4) Selama masa iddah talak ini tidak menimbulkan akibat hukum selanjutnya dan akibat hukum dari talak hanya bisa terjadi setelah selesai masa iddahnya.
Jika waktu iddah telah habis maka rujuk tidak diperbolehkan dan perempuan itu tertalak
ba’in. Jika perempuan itu masih dalam
masa iddah maka perempuan itu tertalak
raj’i. Rujuk adalah salah
satu hak laki-laki selama masa iddah dan untuk merujuk tidak memerlukan kerelaan dan penggetahuan istri dan wali (Sabiq, 1992:236). Syafi‟i berpendapat bahwa rujuk hanya boleh dengan ucapan yang terang, jelas dimengerti dan dengan disaksikan oleh dua orang yang adil.
Menurut Sayyid Sabiq (1992:237) Talak
ba’in adalah “talak
yang ketiga kalinya, talak sebelum istri dikumpuli dan talak dengan tebusan oleh istri kepada suaminya”. Talak ba’in dibagi menjadi dua yaitu talak
ba’in shughra dan talak ba’in kubra. Talak ba’in shughra
adalah talak yang kurang dari tiga. Talak ini mempunyai akibat hukum:
1) Memutuskan tali hubungan suami istri jika diucapkan.
2) Jika salah satu meninggal setelah atau dalam masa iddah masa yang satunya tidak akan mendapatkan warisan.
3) Perempuan yang dicerai masih berhak atas sisa pembayaran mahar.
4) Bekas suami berhak kembali dengan istrinya dengan akad dan mahar baru sebelum perempuan itu menikah dengan orang lain.
5) Jika talak ini adalah talak yang pertama, maka suami masih
Talak
ba’in kubra adalah talak tiga penuh. Talak ini
mempunyai akibat hukum memutuskan tali perkawinan, tidak menghalalkan bekas suami untuk merujuk istrinya sebelum menikah dengan laki-laki lain yang hidup selayaknya suami istri dan sudah bercerai. Jika suami ingin kembali pada istrinya menurut Ahmad bin Kusain Al-
Syahiir bi Abi Syuja‟ (2005:48) maka harus ada syarat: 1) Habis iddahnya dengan suami pertama. 2) Menikah dengan laki-laki lain. 3)
Melakukan hubungan selayaknya suami istri dengan laki-laki lain.
4) Dicerai oleh laki-laki lain. 5) Telah habis masa iddahnya dari laki-laki lain.
Hanafi berpendapat bahwa talak itu mempunyai kekuatan hukum: 1)
Mubah Talak itu diperbolehkan jika bertujuan untuk menghindari bahaya yang mengancam salah satu pihak, baik suami maupun istri. 2)
Wajib Bahwa talak itu adalah jalan terakhir yang dijatuhkan oleh hakim karena adanya perpecahan yang sudah tidak dapat didamaikan lagi dalam suatu perkawinan.
3) Haram
Jika talak itu djatuhkan tanpa adanya alasan dan tidak adanya kemaslahatan.
4) Sunnah
Talak sunnah yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami karena istri tidak menjalankan kewajiban agama dan istri tidak mempunyai rasa malu.
Tentang al-hadm (Penghapusan hitungan talak) Para ulama telah sepakat bahwa perempuan yang tertalak
ba’in kubra dan ba’in sughra bila ia kembali kepada suami pertamanya setelah menikah
dengan laki-laki lain, maka laki-laki itu mempunyai hak atas tiga kali talak (Sabiq, 1992:238).
b.
Khulu’
Khulu’ adalah perceraian yang disertai dengan penyerahan
sejumlah harta dengan sejumlah
‘iwadh yang diberikan oleh seorang
istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan. Para ulama‟ madzhab sepakat bahwa khulu’ boleh dilakukan oleh orang yang bukan istrinya dan
‘iwadh harus seniliai
dengan barang yang bisa dijadikan mahar. Tetapi bila
‘iwadh
dilakukan dengan barang yang tidak boleh dimiliki misalnya khamr dan babi. Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa
khulu’
tersebut tetap sah dan laki-laki yang mentalak istrinya dengan barang apa. Sedangkan Syafi‟i berpendapat bahwa khulu’nya tetap sah dan istri harus membayarkan harta sejumlah mahar yang ia dapatkan dahulu.
Jika seorang suami meng
khulu’ istrinya dengan barang yang
diduga merupakan miliki istrinya tetapi milik orang lain maka Hanafi berpendapat bahwa jika barang tersebut boleh dimiliki oleh pemilikya maka
khulu’nya sah. Jika barang tersebut tidak diizinkan
untuk dimiliki oleh pemiliknya maka istri harus menganti barang yang serupa dengan barang itu . Syafi‟i berpendapat bahwa suami berhak mendapatkan mahar mitsil. Maliki berpendapat bahwa dalam hal itu telah jatuh talak ba’in sedangkan penebusnya batal.
Jika
‘iwadh yang diajukan oleh istrinya dengan tebusan berupa
menyusui dan memberikan nafkah kepada anak-anaknya untuk waktu tertentu menurut kesepakatn imam madzhab maka
khulu’nya
tetap sah. Menurut Hanafi, Syafi‟i dan Maliki dan Hambali berpendapat bahwa wanita yang sedang hamil boleh mengajukan
khulu’ pada suaminya (Mughniyah, 1994:181-186).
Para ulama madzhab berpendapat bahwa syarat mengajukan
khulu’ bagi seorang wanita menurut Muhammad Jawad Mughniyah
(1994:186-188) adalah baligh dan berakal sehat. Seorang istri yang
safih (idiot) tidak boleh mengajukan talak tanpa izin dari walinya.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang keabsahan
khulu’ yang membayarkan „iwadh dengan hartanya maka khulu’nya sah. Maliki berpendapat jika
khulu’ itu didasarkan atas persetujuan walinya dan ‘iwadh diambilkan dari hartanya sendiri maka khulu’nya sah. Syafi‟i
dan Hambali berpendapat bahwa
khulu’ yang dilakukan oleh orang
yang idiot adalah tidak sah baik dengan izin atau tanpa izin dari walinya. Syafi‟i hanya memberikan pengecualian jika walinya khawatir kalau suaminya akan menguasai harta istrinya yang idiot, maka khuluknya batal tapi jatuh talak
raj’i. Sedangkan Hambali
berpendapat bahwa tidak akan terjadi
khulu’ ataupun talak ketika tidak ada niat dari suaminya.
Seluruh imam madzhab kecuali hambali berpendapat bahwa syarat bagi suami yang melakukan
khulu’ menurut Muhammad
Jawad Mughniyah (1994:188) adalah baligh dan berakal. Sedangkan Hambali berpendapat bahwa
khulu’ dianggap sah jika dilakukan oleh orang yang mumayiz (sudah mengerti walaupun belum baligh).
c.
Zhihar
Zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi
menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, seperti ucapan suami kepada istrinya: “engkau bagiku adalah seperti punggug ibuku.” Para imam madzhab telah sepakat bahwa mengucapankan kalimat zhihar mempunyai akibat hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Akibat hukum yang bersifat duniawi sampai suami melaksanakan kaffarah zhihar sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulangi perkataan dan sikapnya yang buruk itu. Sedangkan akibat yang bersifat ukhrowi adalah bahwa zhihar itu perbuatan dosa, orang yang mengucapkannya berarti berbuat dosa, untuk membersihkannya wajib bertobat dan memohon ampun pada Allah.
d.
Ila’ Ila
’ adalah sumpah yang diucapkan oleh suami dengan
menyebut nama Allah atau sifat-Nya yang ditujukan kepada istrinya untuk tidak mendekatinya, baik secara muthlaq maupun dibatasi dengan ucapan selamanya atau dibatasi empat bulan atau lebih. Tetapi para imam madzhab berbeda pendapat jika waktunya empat bulan. Hanafi berpendapat bahwa
ila’ tersebut jatuh, tetapi tidak
jatuh menurut madzhab lainnya. Jika waktu
ila’ lewat dari empat
bulan dan suami belum juga mencampuri istrinya maka menurut pendapat Hanafi dalam perkawinannya telah jatuh talak
ba’in.
Menurut Maliki, Syafi‟i dan Hambali persoalan itu harus diajukan kepada hakim agar hakim menyuruh suaminyaa untuk menyampurinya. Kalau suaminya menolak maka hakim akan menjatuhkan talak
raj’i.
Tujuan dari perceraian adalah adanya keraguan suami terhadap perilaku istri, tertanamnya rasa tidak senang di hati suami terhadap istri. suami istri, namun syara‟ membenci terjadinya perbuatan ini dan tidak merestui dijatuhkannya talak tanpa alasan atau sebab. Adapun alasan dijatuhkannya talak ini menyebabkan kedudukan hukum talak menjadi: wajib, haram, mubah dan sunnat.
Talak menjadi wajjb jika suami atas permintaan istri karena suami tidak mampu menunaikan hak istri dan tidak mampu menunaikan kewajibannya sebagai suami. Talak menjadi haram jika dari perceraian itu tidak ada alasan atau keperluan karena talak yang demikian menimbulkan madharat, baik suami maupun istri. Talak itu mubah ketika ada keperluan untuk itu, yaitu karena jeleknya perilaku istri atau suami menderita madharat lantaran tingkah laku istri, atau suami tidak mencapai tujuan perkawinan dari istri. Talak disunatkan jika istri rusak moralnya, berbuat zina, melanggar larangan agama dan meningalkan kewajiban agama seperti sholat, puasa dan istri tidak afifah (menjaga diri, perilaku terhormat) (Ghazaly, 2003: 212-217).