PROFIL PERTUMBUHAN KALUS DAUN LEMBAGA BIJI TANAMAN JATROPHA CURCAS PADA MEDIA WHITE DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KULTUR JARINGAN SKRIPSI

  

PROFIL PERTUMBUHAN KALUS DAUN LEMBAGA BIJI

TANAMAN JATROPHA CURCAS PADA MEDIA WHITE

DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KULTUR

JARINGAN

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi Oleh : Christophorus Aditya Nugraha NIM: 028114135

HALAMAN PERSEMBAHAN

  

“Pergilah ke Rakyat, mulailah dari apa yang

mereka punya, bekerjalah bersama mereka,

hasilkanlah sesuatu yang berguna bagi mereka,

dan apabila mereka sudah mendapatkan atas apa

yang mereka butuhkan, biarlah mereka yang

berkata : “kami sudah bekerja dan menghasilkan

sesuatu bagi kami”

(Mao Tse)

  

“Jika anda berpikir ke depan, taburlah benih. Jika

anda berpikir 10 tahun ke depan, tanamlah

sebatang pohon. Jika anda berpikir 100 tahun ke

depan, didiklah Rakyat.”

  

(Kuan Tsu)

”Sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu

lakukan untuk salah seorang dari yang paling

hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk

  

Aku.” Sebab, Iman tanpa perbuatan itu kosong.

  

(Mat 25:45)

^âỦxưáxẫut{~tđ ~tưçt~â |đ| àxưâđàâ~M UtÑt~ wtÇ \uâ áxutzt| àtÇwt ~tá|{ wtÇ ut~à|~âA

  

INTISARI

  Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) di Indonesia saat ini masih belum digunakan secara luas untuk bahan pengobatan. Masyarakat Indonesia sering menggunakan tanaman ini sebagai antiseptik, laksatif dan purgatif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang golongan terpenoid antara kalus hasil budidaya in-vitro dengan biji dari tanaman asalnya.

  Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental deskriptif dengan rancangan acak lengkap pola searah. Eksplan yang berasal dari daun lembaga biji tanaman Jatropha curcas ini ditumbuhkan pada media White dengan penambahan zat pangatur tumbuh yakni Naphthaleneacetic acid (NAA) : Benzylaminopurine (BAP) (2:2). Pengamatan dilakukan terhadap waktu inisiasi kalus, ukuran bobot kalus basah awal dan akhir, grafik pertumbuhan dan hasil KLT kalus dengan biji tanaman asalnya.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu inisiasi kalus pada media White dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh 2 : 2 (NAA : BAP) yakni 4 hari. Pada hari ke-20 terjadi pertumbuhan maksimum kalus dimana hal ini juga memperlihatkan fase stasioner. Kandungan air dalam kalus menunjukkan peningkatan saat waktu tanam dan mulai tetap pada hari ke-4 hingga ke-32. Kalus daun lembaga yang berasal dari biji tanaman Jatropha curcas memiliki bercak kromatografi lapis tipis yang sama dengan biji tanaman asalnya dengan menggunakan teknik multiple elution sebanyak 3 kali dengan harga Rf pada kalus sebesar 0,275.

  Kata kunci : Jatropha curcas, kalus, kultur jaringan.

  

ABSTRACT

  In Indonesia, at present “jarak pagar” (Jatropha curcas) still widely used as a medicine yet. Indonesian people used this plant as an antiseptic, lacsative and also purgative. The goal of this research is to get some information about the comparison of terpenoid between callus from in-vitro cultivation and seed from the original plant.

  This research was a non-experimental descriptive observation using complete randomly arrangement. And then, the explant from cotyledon of

  

Jatropha curcas seed was planted at White medium with concentration of growth

  hormone 2: 2 for Naphthalene acetic acid: Benzylaminopurine. The variable of observation for this research are time of initiate callus, weight of callus after planted and after harvest and also Thin Layer Chromatography profile of callus and seed from the plant.

  The result shows that the time of initiate callus in White medium with the

  th

  concentration of NAA and BAP (2: 2) are 4 days. At the 20 day there was maximum growth of callus, and it means the stationer phase. The callus water

  th nd

  contains get increased when planting and then get stationer from day 4 till 32 days. The callus from cotyledon of Jatropha curcas has Thin Layer Chromatography spot which is similar with the seed from the plant using multiple elution technique at 3 times with Rf about 0,275.

  Keyword : Jatropha curcas , callus, tissue culture.

KATA PENGANTAR

  Syukur dan terima kasih ke Hadirat Sang Pencipta atas segala rahmat tuntunan dan pendampingan serta kasih yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Profil Pertumbuhan

  

Kalus Daun Lembaga Biji Tanaman Jatropha Curcas Pada Media White

Dengan Menggunakan Teknik Kultur Jaringan” sebagai salah satu syarat

  untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi.

  Penelitian hingga tahap penulisan skripsi ini tidak akan dapat selesai, tanpa bantuan serta doa dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Keluarga besar terutama BAPAK dan IBU atas segala doa, nasehat dan pengorbanannya yang telah mendorong dan menyemangati. Bayu dan Topan atas doa, pengertian, bantuan dan selalu mengingatkan hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

  2. Bapak Ignatius Yulius Kristio Budiasmoro, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan banyak masukan pengetahuan, kesabaran dan diskusi dalam membimbing selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

  5. Seluruh dosen (khususnya Bpk. Yohanes Dwiatmaka, M.Si., Bpk Dr. Sabikis dan Bpk Dr. Pudjono, S.U., Apt.) dan karyawan (terutama Bpk Kasiran) Fakultas Farmasi atas bimbingan selama 4 tahun ini.

  6. Seluruh laboran Fakultas Farmasi, terutama laboran Laboratorium Biologi (Mas Sigit, Mas Wagiran, Mas Andri dan Mas Sarwanto) atas segala bantuan dan dukungannya selama ini.

  7. Teman-teman seperjuangan yang penelitiannya di Laboratorium Kultur Jaringan (Pak Eko, Vicky, Dony, Melisa dan Ancol). Vero, Mina, Ratna dan Christin yang telah bersedia membagikan pengetahuan selama penelitian

  8. Tjun Liong S.Farm., dan Valentino Dhiyu Asmoro, S.Farm., yang telah ambil bagian dalam proses dan dinamika melalui diskusi dan debat selama di Fakultas Farmasi serta seluruh teman-teman kelompok E angkatan 2002 atas kebersamaan dan bekerjasamanya dalam segala hal dan teman-teman kelas C yang lain.

  9. Sahabat dan teman yang selalu mengingatkan dan mengajarkan arti kedewasaan dan perjuangan. Heni (atas segala dukungan, perhatian dan kasih sayang serta telah memberi “warna dan rasa” hidupku). Tedy, Mbatu, Okhi dan Yoyo (yang telah mengajariku arti sebuah perjuangan untuk berbuat bagi sesama). Teman-teman BEMU 2005, Insadha 2004 dan seluruh civitas

  10. Bangsa dan Negara Republik Indonesia atas keindahan alam, keanekaragaman hayati dan masyarakat yang plural serta para Pahlawan Nasional (Bung Karno, Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Rm. Magunwijaya dll) yang telah memberikan inspirasi bagiku.

  11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah mendukung, membantu dan mendoakan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

  Semoga Hyang Maha Kuasa selalu memberikan dan membalas rahmat kasih, kebaikan dan ketulusan yang telah dirasakan penulis selama ini.

  Dalam penelitian dan penulisan Skripsi ini masih banyak kekurangan yang masih harus diperbaiki. Maka dari itu, penulis masih mengharapkan banyak masukan saran dan kritik demi kesempurnaan karya skripsi ini sehingga dapat lebih bermanfaat bagi masyarakat luas.

  Yogyakarta,

  10 Februari 2007 Penulis.

  

DAFTAR ISI

Halaman

  HALAMAN JUDUL…………………………………………………………. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………… ii HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………… iii HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………. iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………………. v

  INTISARI…………………………………………………………................... vi

  

ABSTRACT ……………………………………………………………………. vii

  KATA PENGANTAR…………………………………………….................... viii DAFTAR ISI…………………………………………………………………... xi DAFTAR TABEL……………………………………………………………... xvi DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….. xvii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….. xviii

  BAB I. PENGANTAR A. Latar Belakang……………………………………………......................... 1 B. Permasalahan…………………………………………………................... 2 C. Keaslian Penelitian…………………………………………….................. 3

  1. Nama daerah……………………………………………………………… 5

  2. Nama ilmiah……………………………………………………………… 5

  3. Morfologi………………………………………………………………… 5

  4. Kandungan kimia…………………………………………….................... 7

  5. Khasiat dan Kegunaan……………………………………….................... 8

  B. Terpenoid ………………………………………………………………... 10

  C. Kultur Jaringan Tanaman…………………………………………………12

  1. Kultur jaringan…………………………………………………………… 12

  2. Kalus………………………………………………………....................... 14

  3. Eksplan………………………………………………………………….... 15

  4. Menabur eksplan…………………………………………………………. 16

  5. Sub kultur…………………………………………………........................ 18

  6. Pertumbuhan kalus……………………………………………………….. 18

  D. Media Kultur Jaringan……………………………………………………. 19

  1. Unsur makro………………………………………………….................... 20

  2. Unsur mikro……………………………………………………………… 21

  3. Vitamin………………………………………………………................... 22

  4. Zat pengatur tumbuh dan hormon......…………………………................. 23

  5. Bahan pemadat media…………………………………………................. 25

  1. Fase diam………………………………………………………………… 32

  2. Fase gerak………………………………………………………………... 33

  3. Penempatan cuplikan………………………………………….................. 33

  4. Elusi……………………………………………………………………… 34

  5. Deteksi…………………………………………………………………… 34

  6. Penilaian kromatografi…..…………………………………….................. 35

  G. Keterangan Empiris.……………………………………………………… 37

  BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian…………………………………………. 38 B. Definisi Operasional….………………………………………………….. 38 C. Bahan dan Alat……….………………………………………………….. 39

  1. Bahan…………………………………………………………………….. 39

  2. Alat……………………………………………………………................. 41

  D. Tata Cara Penelitian….………………………………………………….. 42

  1. Determinasi tanaman…………………………………………………….. 42

  2. Pemilihan eksplan………………………………………………………... 42

  3. Pengumpulan bahan……………………………………………………… 42

  4. Pembuatan stok…………………………………………………………... 43

  5. Pembuatan media……………………………………………………….... 44

  10. Pemanenan kalus…………………………………………………………. 48

  11. Analisis pertumbuhan kalus…………………………………………….... 48

  12. Pembuatan serbuk………………………………………………………... 49

  13. Uji KLT ekstrak kalus daun lembaga dan biji tanaman Jatropha curcas.. 50

  E. Analisis Hasil…………………………………………………………….. 51

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman Jatropha curcas…...……………………………… 52 B. Penentuan Eksplan………………………………………………………... 52 C. Waktu Inisiasi Kalus..…………………………………………………….. 55 D. Deskripsi Kalus………………………………………………………….... 57 E. Subkultur………………………………………………………………….. 59 F. Analisis Profil Pertumbuhan Kalus……………………………………….. 60

  1. Pola pertumbuhan kalus…………………………………………………... 60

  2. Persen kadar air...………………………………………………………..... 62

  G. Pengeringan dan Pembuatan Serbuk…………………………………….... 64

  H. Kromatografi Lapis Tipis………………………………………………..... 66

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……………………………………………………………….. 76 B. Saran…………………………………………………………………........ 76

  

DAFTAR TABEL

Halaman

  Tabel I. Data kromatografi lapis tipis dengan fase gerak n-hexane : aseton : methanol (80:15:5) dan fase diam silika gel GF 254 yang dicelupkan pada larutan AgNO

  3 2,5%

  di semprot dengan reagen vanillin-sulfat........................................ 70 Tabel II. Data kromatografi lapis tipis dengan fase gerak n-hexane : aseton : methanol (80:15:5) dan fase diam silika gel GF 254 yang dicelupkan pada larutan AgNO

  3 2,5%

  di semprot dengan reagen antimon-triklorida ................................ 72

  

DAFTAR GAMBAR

Halaman

  Gambar 1. Foto pertumbuhan kalus dari waktu ke waktu………………. 58 Gambar 2. Pola pertumbuhan kalus dari waktu ke waktu……………….. 60 Gambar 3. Persen kadar air………..……………………………………... 63 Gambar 4. Struktur isoprene……………………………………………... 68 Gambar 5. Kromatogram kalus dan biji Jatropha curcas setelah di semprot dengan reagen vanillin-sulfat…………………….. 74 Gambar 6. Kromatogram kalus dan biji Jatropha curcas setelah di semprot dengan reagen antimon-triklorida………………... 75

  

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

  Lampiran 1. Surat determinasi tanaman…………….………………….….. 81 Lampiran 2. Foto-foto hasil penelitian……………………………….……. 82 Lampiran 3. Komposisi media white………………………………….….... 86 Lampiran 4. Hasil penimbangan pemanenan kalus dari hari ke hari............. 87 Lampiran 5. Persen kadar air......................................................................... 88

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian besar penelitian untuk

  mengeksplorasi budidaya tanaman Jatropha curcas khususnya dengan menggunakan metode kultur jaringan. Pengembangan budidaya tanaman Jatropha

  

curcas ini dilakukan dalam rangka penggunaannya sebagai tanaman obat.

Jatropha curcas berpotensi menghasilkan jenis metabolit sekunder yang

  bermanfaat dalam bidang farmasi salah satunya yakni terpenoid yang dapat digunakan sebagai bahan anti-bakteri (Roberto Can Aké, dkk, 2004). Masyarakat Indonesia biasanya menggunakan daun tanaman ini untuk penyakit eksim, jamur dan mencegah masuk angin bagi bayi.

  Untuk membudidayakan kalus tanaman Jatropha curcas yang nantinya dapat menghasilkan terpenoid yang diharapkan, maka digunakan dua macam ZPT yakni Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP) merupakan golongan hormon sintetis (zat pengatur tumbuh) dimana NAA mempunyai fungsi untuk menginisiasi dan BAP untuk mendorong pertumbuhan kalus. NAA merupakan golongan ZPT auksin sedangkan BAP adalah golongan ZPT sitokinin.

  NAA dan BAP mempunyai kelebihan dibandingkan dengan ZPT golongan auksin terhadap penguraian yang dilakukan oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh sel (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

  Profil pertumbuhan kalus merupakan salah satu parameter untuk mengetahui fase pertumbuhan dari kalus yang sedang dikulturkan yakni fase lag, eksponensial dan penuaan (George dan Sherrington, 1984). Pengolahan kultur kalus dengan menggunakan sistem bioreaktor memerlukan profil pertumbuhan kalus untuk mengetahui waktu yang tepat saat pemanenan ataupun penggantian media kultur sehingga metabolit sekunder yang dihasilkanpun dalam keadaan optimal (Misawa, M., 1994). Dalam dunia kefarmasian, teknik kultur jaringan sangat bermanfaat dalam produksi metabolit sekunder yang bernilai ekonomi dengan cara mengambil metabolit sekunder yang dihasilkan dengan melakukan pada suatu bioreaktor dimana sistem ini dapat menghasilkan sejumlah besar metabolit sekunder dalam waktu yang singkat (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

  Biji tanaman ini mengandung banyak terpenoid (Sinaga, 2005) sehingga daun lembaga biji digunakan sebagai eksplan untuk dikembangkan secara kultur jaringan. Media White merupakan medium dasar dengan konsentrasi garam- garam mineral yang rendah dimana tanaman berkayu lebih suka media yang berkonsentrasi rendah (Rao dan Lee cit Katuuk, 1979).

  2. Seperti apakah profil pertumbuhan kalus daun lembaga dari biji tanaman

  

Jatropha curcas dalam media White dengan konsentrasi tertentu

  Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP) ?

  3. Apakah kalus daun lembaga yang berasal dari biji tanaman Jatropha curcas mengandung golongan terpenoid yang sama dengan biji tanaman asalnya?

  C. Keaslian penelitian

  Sejauh pengamatan peneliti hingga penelitian ini disusun, belum ada penelitian tentang profil pertumbuhan kalus daun lembaga dari biji tanaman

  

Jatropha curcas L. pada media White dengan menggunakan teknik kultur

jaringan.

  D. Manfaat penelitian

  1. Manfaat teoritis Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan hasilnya dapat membantu pengembangan ilmu farmasi khususnya mengenai kultur kalus daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas untuk menghasilkan metabolit sekunder yang diinginkan yakni golongan terpenoid.

  2. Manfaat praktis

E. Tujuan Penelitian

  1. Tujuan umum Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan teknik kultur jaringan pada daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas.

  2. Tujuan khusus Berdasarkan pada latar belakang dan permasalahan yang ada, maka tujuan dari penelitian ini adalah : a. Mengetahui bahwa daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas dapat membentuk kalus dengan teknik kultur jaringan.

  b. Mengetahui bentuk profil pertumbuhan kalus daun lembaga dari biji tanaman dalam media White dengan konsentrasi tertentu

  Jatropha curcas

  Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP)

  c. Membandingkan hasil KLT kalus daun lembaga yang berasal dari biji tanaman

  

Jatropha curcas dengan biji tanaman asalnya untuk mengetahui kesamaan

kandungan golongan terpenoidnya.

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Uraian Tanaman Jatropha curcas L.

1. Nama daerah

  Nawaih nawas (Aceh); Jarak kosta (Melayu); Jirak (Minangkabau); Jarak gundul, Jarak iri, Jarak pager, Jarak cina (Jawa); Bintalo (Gorontalo); Bindalo (Buwol, Sulawesi); Malate, Maka male (Seram) (Sinaga, 2005).

   Nama ilmiah 2.

  Tanaman Jatropha curcas termasuk dalam familia Euphorbiacea. Genus dari tanaman ini adalah Jatropha L. (Anonim, 2005a).

   Morfologi 3.

  Jatropha curcas sangat baik untuk beradaptasi pada daerah dengan kondisi yang kering atau kurang subur. Pertumbuhan Jatropha curcas yang baik justru pada daerah yang panas yaitu pada daerah tropis. Jatropha curcas ini mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kondisi iklim dan tidak sensitif terhadap lama waktu penyinaran matahari. Tanaman ini merupakan spesies yang sangat mudah untuk beradaptasi, namun ketangguhan tanaman ini berasal dari kemampuannya untuk dapat tumbuh pada lahan kritis dan kondisi iklim yang kering (Anonim, 2005a). yang gugur. Bila dipatah-patahkan atau terluka, batangnya akan mengeluarkan getah putih, kental dan agak keruh (Sinaga, 2005).

  Tanaman ini merupakan tanaman berdaun tunggal, tersebar di sepanjang batang. Permukaan atas dan bawah daun berwarna hijau, tetapi permukaan bawah lebih pucat dari permukaan atas. Daun lebar, berbentuk jantung atau bulat telur melebar, dengan panjang dan lebar hampir sama, yaitu sekitar 5–15 cm. Helai daun bertoreh, berlekuk bersudut 3 atau 5. Pangkal daun berlekuk dan ujung dari pangkal daun meruncing. Tulang daun menjari dengan 5–7 tulang utama. Tangkai daun panjang, sekitar 4–15 cm (Sinaga, 2005).

  Tanaman ini mempunyai bunga majemuk bentuk malai, berwarna kuning kehijauan, berkelamin tunggal, berumah satu. Baik bunga jantan maupun betina

  

Jatropha curcas ini tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan, muncul di ujung

  batang atau di ketiak daun. Jatropha curcas memiliki bunga dengan kelopak 5 buah berbentuk bulat telur, panjang sekitar 4 mm. Benang sari dari tanaman

  

Jatropha curcas mengelompok pada pangkal, warna kuning. Jatropha curcas

  pada tangkai putik berukuran pendek berwarna hijau, dan kepala putik melengkung keluar berwarna kuning. Mahkota pada putik Jatropha curcas berjumlah 5 buah, berwarna agak keunguan (Sinaga, 2005).

  Buah Jatropha curcas ini berupa buah kotak berbentuk bulat telur,

  Ketika biji Jatropha curcas sudah masak ditandai dengan adanya perubahan warna dari hijau menjadi kuning, sekitar 2 hingga 4 bulan dari masa fertilisasi. Lapisan kulit yang tipis hitam tersebut didalamnya terdapat biji

  

Jatropha curcas (Anonim, 2005b), tiap buah terdapat 3 biji, berbentuk elips,

  ruang biji berbentuk segitiga elips, 1.5-2 x 1-1.1 cm (Anonim, 2005a). Biji berbentuk bulat telur memanjang agak bengkok. Sisi cekung dibagi dua di tengah oleh rafe. Panjang 1.5 cm sampai 2 cm, diameter 10 mm hingga 12 mm. Pada pangkal biji terdapat tonjolan seperti karunkula. Kulit luar biji (testa) agak rapuh, warna hitam, tidak rata, agak kasar. Kulit dalam (tegmen) berwarna putih, tipis berkerut dan beralur-alur. Inti biji berwarna putih sampai kekuning-kuningan.

  Lembaga berupa selaput tipis yang lebar, terdapat di antara keping biji (Anonim, 1995a).

   Kandungan kimia 4.

  Pada genus Jatropha secara keseluruhan mempunyai senyawa metabolit sekunder lainnya yakni lignan, diterpen, triterpen dan peptida siklik (Roberto et , 2004). Tanaman Jatropha curcas mengandung bahan kimia diantaranya

  all

  triakontranol, kaempesterol, stigmasterol, iteksin, dan asam sianida (HCN). Pada daun tanaman ini mengandung saponin, flavonoida, tannin, terpenoid dan senyawa polifenol. Sedangkan batang tanaman ini mengandung sponin,

   Khasiat dan kegunaan 5.

  Berdasarkan jurnal yang diacu dalam penelitian ini dikatakan bahwa terpenoid yang berasal dari daun dan akar tanaman jarak dapat digunakan sebagai bahan anti-bakteri (Roberto Can Aké, dkk, 2004). Bagian dari akar, batang, daun dan buah dari tanaman ini sudah digunakan secara luas pada pengobatan tradisional di banyak daerah belahan Afrika barat. Biji dari Jatropha curcas sudah digunakan sebagai bahan purgatif, anti-helmantik, dan baik digunakan untuk mengatasi penyakit kulit, asam urat, ascites dan paralisis. Minyak dari biji tanaman ini sudah digunakan sebagai bahan tambahan pada terapi penyakit rematik, gatal-gatal dan penyakit parasit kulit serta terapi pada demam, jaundice dan gonorrhoea, sebagai diuretik dan larutan penyegar mulut. Pada beberapa daerah tertentu di Afrika, masyarakat mengunyah biji untuk mendapatkan efek laksatif. Biji Jatropha curcas juga sudah mulai disarankan dalam pengobatan sebagai bahan chemotherapeutic yang tersedia pada dosis non-letal (Adam, 1974). Keadaan ini mungkin dilaporkan karena biji Jatropha curcas mempunyai aktivitas anti-helmantik. Terdapat laporan dari Gabon bahwa 1-2 buah biji cukup untuk mempunyai aktivitas sebagai bahan purgatif; bila dosis ditingkatkan maka dapat mengakibatkan kematian (Anonim, 2003). Penyebab kematian diantaranya disebabkan oleh adanya senyawa toksik yakni cursin dengan cara merusak cara dikunyah. Getah mempunyai daya antibiotik melawan Candida albicans,

  

Escherichia coli , Klebsiella pneumoniae , Staphylococcus aureus dan

Streptococcus pyrogens . Selain itu juga mempunyai efek sebagai bahan anti-

  koagulasi pada darah (Anonim, 2005a). Getah dari Jatropha curcas mengandung sebuah alkaloid yang dikenal dengan sebutan jatrophine, dimana dipercayai mempunyai efek anti-kanker. Juga digunakan secara eksternal pada penyakit kulit dan rematik serta luka terbuka pada daerah tertentu (Anonim, 2006b). Getah juga digunakan secara topikal untuk bee dan wasp stings (Duke, 1983).

  Ekstrak metanol dari daun Jatropha curcas menghasilkan perlindungan pada kultur sel lymphoblastoid manusia melawan efek sitopatik dari plasma HIV.

  Infusa daun digunakan sebagai bahan diuretik, untuk mandi, terapi batuk, dan sebagai terapi konvulsan serta penangkal serangan penyakit. Daun juga digunakan untuk terapi jaundice, demam, sakit rematik, cacingan dan pertumbuhan janin yang buruk pada ibu hamil. Daun memproduksi getah yang mempunyai efek haemostasis; daun ini digunakan untuk membungkus luka. Di Ghana, abu bakaran daun diaplikasikan melalui injeksi rektal untuk terapi haemorrhoids (Anonim, 2005a). Akar dari Jatropha curcas memperingan pembengkakkan akibat tetanus dan rasa sakit akibat luka, disentri dan jaundice. Dilaporkan bahwa akar digunakan sebagai bahan anti-bisa dari gigitan ular. Akar juga digunakan dalam digunakan untuk mengobati penyakit skabies, cacing pita dan eksim (Duke, 1983).

B. Terpenoid

  Terpen merupakan senyawa hasil kondensasi linear asam asetat dengan dua atom karbon. Asam asetat melalui berbagai cara akan menjadi asam malonat yang akhirnya akan menjadi beberapa senyawa terpen. Senyawa ini banyak terdapat dalam berbagai jenis tanaman sebagai komponen minyak atsiri. Terpen merupakan senyawa hidrokarbon jenuh atau tidak jenuh dengan jumlah atom karbon (C) kelipatan 5 (Soemarno cit. Mursyidi, 1990).

  Menurut Soemarno (cit. Mursyidi, 1990), istilah terpen kemudian diganti dengan terpenoid mengingat senyawa hidrokarbon tersebut mempunyai gugus fungsional yang mengandung atom O dan diketahui bahwa biosintetik terpenoid merupakan polimerisasi senyawa isopren. Terpenoid biasanya digolongkan menjadi : 1. Monoterpenoid dengan jumlah atom C = 10.

  2. Seskuiterpenoid dengan jumlah atom C = 15.

  3. Diterpenoid dengan jumlah atom C = 20.

  4. Sesterpenoid dengan jumlah atom C = 25. sel kelenjar khusus pada permukaan daun, sedangkan karotenoid terutama berhubungan dengan kloroplas didalam daun dengan kromoplas di dalam daun bunga (petal). Biasanya ekstraksi terpenoid dari jaringan tanaman dilakukan dengan cara memakai petroleum eter, eter atau kloroform dan dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika gel atau alumina. Pemeriksaan golongan terpenoid dilakukan dengan cara dilakukan penyemprotan dengan asam sulfat pekat dan kemudian diteruskan dengan pemanasan (Harbone, 1987).

  Banyak jenis macam terpenoid sudah diidentifikasi dan diketahui peran aktif dalam berbagai macam tanaman. Sifat yang cukup kelihatan yaitu dalam mengatur pertumbuhan. Dua dari golongan utama pengatur tumbuh ialah seskuiterpenoid absisin dan giberelin yang mempunyai kerangka dasar diterpenoid. Selain itu golongan karotenoid juga turut berperan bagi tanaman yakni sebagai pigmen pembantu pada fotosintesis. Golongan terpenoid lain yang turut membantu tanaman yakni mono- dan seskuiterpen dimana berfungsi untuk memberi bau dan wangi khas yang sudah diketahui (Harbone, 1987).

  Masih dalam dugaan bahwa terpenoid ini turut berperan pada antaraksi antara tanaman dengan hewan, misalnya sebagai alat komunikasi dan pertahanan pada serangga. Pada suatu terpenoid tertentu yang tidak mudah menguap telah diimplikasikan sebagai hormon kelamin pada fungus (Harbone, 1987). Terpenoid

  Pada golongan diterpenoid, perhatian besar telah diberikan kepada segolongan ester diterpenoid rumit yang diisolasi dari tanaman sekeluarga

  

Euphorbiaceae yang mempunyai aktivitas sebagai antimikrobial, anti tumor

  karena efek sitotoksiknya (Roberto et all, 2004), antileukimia dan senyawa pengiritasi kulit kuat yang pada akhirnya juga sangat bermanfaat sebagai bahan penelitian sebagai kontrol positif terhadap proses iritasi kulit dan tentunya juga tingkat iritasi ini telah di standarisasi terlebih dahulu (Robinson, 1991).

  Manusia telah melakukan penelitian dan pengembangan terpenoid dalam rangka untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat terutama digunakan sebagai tanaman obat-obatan. Diantaranya telah menunjukkan berbagai macam aktivitas fisiologis manusia yakni gangguan menstruasi, malaria, kerusakan hati, fungisida, patukan ular, diabetes dan sebagainya (Robinson, 1991).

C. Kultur Jaringan Tanaman

1. Kultur jaringan

  Jenis pembiakan secara vegetatif yang paling mutakhir dan terus dikembangkan adalah kultur jaringan. Menurut Suryowinoto (1991) cit Katuuk (1989), kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture, weefsel

  

cultuus atau gewebe kultur. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah

  sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Maka, kultur oleh Schleiden dan Schwann, yaitu bahwa sel mempunyai kemampuan autonom yaitu kemampuan tiap sel untuk tumbuh tanpa harus berdiferensiasi namun tiap sel tadi secara otomatis terkarakterisasi untuk tumbuh menjadi organ baru bagi tanaman; bahkan memiliki kemampuan totipotensi (Hendaryono dan Wijayani, 1994) yakni kemampuan tiap sel, darimana saja bagian sel itu diambil dan apabila diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna (Suryowinoto, 1991 cit Hendaryono dan Wijayani 1994). Kultur jaringan merupakan salah satu jenis pembiakan vegetatif dan termasuk dalam kultur in vitro (Katuuk, 1989).

  Dari teori sel Schleiden dan Schwann, umumnya kemampuan totipotensi ini lebih banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang juvenil, muda, dan banyak dijumpai pada daerah-daerah meristem tanaman (Santoso dan Nursandi, 2002). Sebab, jaringan meristem keadaannya selalu membelah, sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang mengatur pembelahan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

  Macam-macam jenis kultur jaringan yang telah berkembang dan digunakan secara luas saat ini antara lain : kultur meristem yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan eksplan dari jaringan muda atau meristem; kultur pollen yaitu kultur jaringan dengan menggunakan eksplan dari pollen atau benang membuat varietas baru); Silangan protoplas/fusi protoplas yaitu menyilangkan dua macam protoplas menjadi satu, kemudian dibudidayakan sampai menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat baru (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

  Budidaya meristem atau embrio bertujuan untuk menumbuhkan kalus dari eksplan yang ditanam. Eksplan merupakan potongan jaringan atau organ yang dikulturkan (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Katuuk, 1989 ).

  Beberapa keunggulan pembiakan vegetatif melalui kultur jaringan adalah dapat memperbanyak dengan cepat kultivar hibrida baru yang berasal dari satu sel untuk kegunaan komersil, dapat menciptakan tanaman baru bebas dari penyakit yang disebabkan oleh virus, dapat memperbanyak tanaman yang sukar diperbanyak dengan memakai biji, dapat memperoleh tanaman induk yang sama sifat genetiknya dalam jumlah yang banyak, dan dapat menghasilkan tanaman baru sepanjang tahun (Katuuk, 1989).

2. Kalus

  Kalus sebenarnya adalah proliferasi massa jaringan yang belum terdiferensiasi. Massa sel ini terbentuk pada seluruh permukaan irisan eksplan, sehingga semakin luas permukaan irisan eksplan semakin cepat dan semakin banyak kalus yang terbentuk. Dengan pengambilan metabolit sekunder dari kalus, biasanya malah dapat diperoleh kandungan lain yang lebih banyak jenisnya, Pengatur Tumbuh), serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yustina, 2003).

  Kumpulan sel pada kalus ini belum diketahui jelas apa fungsinya. Kalus yang terbentuk ini diharapkan terjadi morfogenesis dengan cara pengkulturan yang berulang-ulang dari media lama ke media yang baru. Teknik pemindahan eksplan ini disebut subkultur (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Katuuk, 1989).

  Benzilaminopurin (kelompok sitokinin) dan Naftalen Asam Asetat (kelompok auksin sintesis) merupakan dua kelompok ZPT yang sering ditambahkan dalam media kultur. Penggunaan bersama kedua jenis ZPT ini dapat memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi jaringan. Kombinasi ZPT antara sitokinin group dengan auksin group dengan metode Mohr merupakan kunci keberhasilan dalam kultur jaringan. Metode ini bertujuan untuk mengetahui berapa dosis kombinasi ZPT auksin dan sitokinin yang dapat memberikan pertumbuhan yang paling baik terhadap eksplan yang digunakan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

   Eksplan 3.

  Eksplan adalah bagian tanaman yang sesuai, yang kemudian dijadikan semacam benih untuk membentuk pertumbuhan selanjutnya (Wetherell, 1982).

  Besarnya ukuran eksplan yang ditanam dalam beberapa kasus menentukan

  Menurut Soegihardjo (1990), bahan eksplan dapat dipilih sebagai berikut dengan tumbuhan yang dimaksud : a. Gymnospermae : tunas kecambah steril atau bagian floem

  b. Graminal : lembaga, mesokotil, akar atau bagian batang

  c. Dicotyledoneae : kecambah steril (akar, hipokotil, keping biji), batang, umbi dan daun d. Zingiberaceae dapat digunakan rimpang muda yang bertunas atau biji.

  Menurut George dan Sherington (1984), semakin besar eksplan yang digunakan maka semakin besar kemungkinan eksplan akan terkontaminasi oleh mikroorganisme. Oleh karena itu perlu dicari ukuran eksplan yang minimun dan efektif. Eksplan yang terlalu kecil tidak akan tumbuh secepat eksplan yang ukurannya terlalu besar. Biasanya eksplan yang terlalu kecil daya tahannya kurang. Ukuran yang paling baik adalah jika sel berjumlah sekitar 20.000-25.000 buah (Thorpe cit. Katuuk, 1989).

  Macam eksplan, ukuran, umur dan cara pembudidayaan akan mempengaruhi berhasil tidaknya kultur jaringan tanaman dan apakah morfogenesis akan dapat diimbas dari kultur jaringan tanaman tersebut. Aturan sederhana yang mungkin dapat digunakan sebagai pegangan adalah bahwa kita harus menggunakan tanaman sumber eksplan yang sehat dan tumbuh kuat,

4. Menabur eksplan

  Menabur eksplan dilakukan didalam laminar air flow dengan kondisi aseptik. Sebelum kita bekerja di dalam laminar air flow ini, semua perhiasan yang digunakan seperti cincin, jam tangan dan sebagainya harus dilepas, dan tangan harus dibasuh dahulu dengan alkohol 70%. Dalam menabur eksplan, pekerja harus menggunakan masker penutup mulut atau hidung (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

  Penanaman eksplan atau penaburan eksplan dilakukan secara aseptik pada media padat dan ditekan pelan-pelan agar terjadi persinggungan yang baik antara eksplan dan media. Selanjutnya media ditutup dengan penutup botol media erat- erat untuk mencegah penguapan dan inkubasi dilakukan ditempat gelap dengan penyinaran pada suhu (25±3) C (Dixon, 1985).

  Untuk eksplan yang berupa daun diletakkan telungkup atau telentang, tetapi berdasarkan pengalaman posisi terbaik adalah bagian dorsal menghadap ke atas atau ditelungkupkan. Untuk batang atau tunas yang melekat di batang (cabang) ditancapkan atau diletakkan horisontal. Eksplan yang berupa kepingan atau irisan tipis dapat diletakkan sedemikian rupa sehingga bagian permukaan yang luas melekat erat pada media (Soegihardjo, 1990).

  Beberapa hari kemudian akan terbentuk kalus pada permukaan eksplan.

  5. Subkultur

  Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) sub kultur adalah usaha untuk mengganti media tanam kultur jaringan dengan media yang baru, sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kalus atau protokormus dapat dipenuhi. Dengan pertumbuhan kalus pada tempat yang tertutup, lama kelamaan akan dapat menyebabkan terjadinya akumulasi dari metabolit toksis serta dapat menyebabkan pengeringan dalam media sehingga dapat pecah. Cara pemindahan dilakukan dengan cara memindahkan kalus ke media baru (segar) dalam keadaan aseptik (Soegihardjo, 1989).