STATUS ANAK HASIL NIKAH SIRRI SETELAH PUTUSAN IJIN POLIGAMI OLEH HAKIM (Studi Putusan No.0030/Pdt.G/2012/PA Ambarawa) - Test Repository

  

STATUS ANAK HASIL NIKAH SIRRI

SETELAH PUTUSAN IJIN POLIGAMI OLEH HAKIM

(Studi Putusan No.0030/Pdt.G/2012/PA Ambarawa)

SKRIPSI

  

Diajukan untuk memperoleh gelar

Sarjana Syari’ah

Oleh

RECHAN ROFI’I

  

NIM 21209009

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAHSHIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

  

SALATIGA

2013

PERSETUJUAN PEMBIMBING

  Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara: Nama : Rechan Rofi’i NIM : 21209009 Jurusan : Syari’ah Program Studi : Al-ahwal Al-syaksyyiah Judul : STATUS ANAK HASIL NIKAH SIRRI SETELAH

  PUTUSAN IJIN POLIGAMI OLEH HAKIM (Studi Putusan No.0030/Pdt.G/2012/PA.

  Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.

  Salatiga,26 September 2013 Pembimbing

  Drs. H. Mubasirun M,Ag

  NIP. 19590202199931002

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

  Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Rechan Rofi’i NIM : 21209009 Jurusan : Syari’ah Progran Studi : Al-ahwal Al-Syakhsiyyah

  Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan Dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasar kode etik ilmiah.

  Salatiga, 26 September 2013 Yang menyatakan

  Rechan Rofi’i

  

SKRIPSI

STATUS ANAK HASILNIKAH SIRRI SETELAH PUTUSAN IJIN

POLIGAMI OLEH HAKIM (STUDI PUTUSAN NOMOR

0030/Pdt.G/2012/PA.AMB)

  

DISUSUN OLEH

RECHAN ROFI’I

NIM 21209009

  Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah, sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada tanggal 7 November 2013 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1

  Syari’ah Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. ………………………….

  Sekretaris Penguji : Ilyya Muhsin,S.HI.,M.si. …………………………. Penguji I : Drs. Badwan, M.Ag. …………………………. Penguji II : Haryo Aji Nugroho, S.Sos.,MA. …………………………. Penguji III : Lutfiana Zahriyani, MH ………………………….

  Salatiga,14 November 2013 Ketua STAIN Salatiga Dr. Imam Sutomo, M.Ag.

  NIP. 195808271983031002

  

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO Jagalah Allah Allah akan menjagamu

  PERSEMBAHAN

  penulis persembahkan karya tulis ini untuk orang-orang yang telah memberi arti dalam perjalanan hidup penulis khususnya buat: almarhum Bapak penulis wahai Allah masukkanlah ia kesurga dan lindungilah dia dari siksa kubur dan siksa neraka, Amin.

  Ibu penulis tercinta yang selalu mendoakan dengan tulus ikhlas dan senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun materiil. Terimakasih yang tiada habis untuk engkau. Para Dosen, terimakasih atas ilmu yang bapak ibu berikan kepada saya, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

  Sahabat-sahabat AS angkatan 2009, semoga sukses selalu.

  KAT A PENGANTAR Alhamdulilah, segala puji hanya untuk Allah Tuhan seru sekalian alam. Banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Kadang kita baru mampu merasakan betapa basar nikmat yang Allah berikan ketika sebagianya berkurang atau hilang.

   Allahumma

  shalli ‘alaa Muhammad wa’ala ali Muhammad. Sholawat dan salam semoga tak lupa kita haturkan kepada Rosululah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarganya . Kalau hari ini, kita bias mengingat Allah Azza wa jalla, maka itu semua tak lepas dari jasa besar Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabar menyampaikan kebenaran. Dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam ide, kritik, saran maupun dalam bentuk lainya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada:

  1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag. Selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga

  2. Ketua Pengadilan Agama Ambarawa

  3. Bapak Ilya Muchsin, SHI, MSI. Selaku kepala Program Studi AS

  4. Bapak Drs. H. Mubasirun, M.Ag. Selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran guna memberikan bimbingan serta arahan dengan sabar dan ikhlas

  5. Bapak Drs. Syamsuri selaku hakim yang telah membantu penulis

  6. Dra. Farkhah selaku wakil panitera yang dengan sabar meluangkan waktu untuk penulis dalam menyelesaikan penelitian ini

  7. Segenap dosen jurusan syari’ah

  8. Segenap staf pengadilan Agama Ambarawa

  9. Ibuku yang selalu mendoakan saya, mendukung serta memberi banyak bantuan baik moril maupun materiil

  10. Semua kerabat dan keluarga yang selalu saya harapkan doa-doanya

  11. Teman-teman seperjuangan AS angkatan 2009 baik non regular maupun regular yang penuh warna

  12. Semua teman dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moral dan material.

  Betapapun penulis berharap tulisan-tulisan yang ada dalam skripsi ini terbebas dari kekurangan dan kesalahan, tetapi kekurangan dan kesalahan itu pasti ada, karena itu penulis berharap siapapun anda berkenan mengingatkan, memberi saran dan menambah ilmu pada penulis. Akhirnya penulis berharap skripsi ini bisa memberi manfaat.

  Salatiga, 26 September 2013 Rechan Rofi’i NIM 21209009

  

ABSTRAK

  Rofi’i, Rechan. 2013. Status Anak Hasil Nikah Sirri Setelah Putusan Ijin Poligami

  Oleh Hakim (Studi Putusan No.0030/Pdt.G/2012/PA Amb). Skripsi. jurusan

  Syariah. Program Studi Al-ahwal Al-Sakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Drs. H. Mubasirun, M.Ag

  Kata Kunci: status anak, nikah sirri

  Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim terhadap status anak yang dihasilkan dari pernikahan yang dilakukan dengan cara melawan hukum. Dan merupakan upaya untuk mengetahui status anak hasil nikah sirri. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) apa pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam mengesahkan status anak hasil nikah sirri?

  Penulis dalam penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif. Penelitian pendekatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi dilapangan. Dalam penelitian ini yang dicari perihal status anak hasil nikah sirri.

  Dalam penelitian ini dihasilkan bahwa pertimbangan hakim dalam mengesahkan status anak hasil nikah sirri adalah bahwa setiap anak memerlukan perlindungan hukum, sehingga mengesahkan status anak hasil nikah sirri merupakan suatu hal yang bermanfaat untuk anak tersebut. kemudian dasar hukum hakim dalam mengesahkan status anak hasil nikah sirri adalah Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawian pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu.

  Dengan penelitian ini akan diketahui bagaimana hakim dalam memutus suatu perkara. Apakah ia bersikap normatif mengikuti undang-undang yang ada atau bersikap progresif dengan cara menafsirkan kembali hukum yang ada, sehingga penelitian ini akan berguna bagi keilmuan syariah berkaitan dengan penentuan status anak hasil nikah sirri.

DAFTAR ISI

  JUDUL………………………………………………………………………...…i PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………………. ii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN …………………………………… iii PENGESAHAN KELULUSAN…………………………………………........ iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………………… v KATA PENGANTAR……………………………………………………….. . vi ABSTRAK…………………………………………………………………….viii DAFTAR ISI…………………………………………………………………... x DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………......xii

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar BelakangMasalah……………………………………………. 1 B. Penegasan Istilah………………………………………………....... 5 C. Rumusan Masalah………………………………………………….. 6 D. Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 6 E. Telaah Pustaka…………………………………………………….. 7 F. Metode Penelitian………………………………………………….. 8 G. Sistematika Penulisan……………………………………………… 9

  BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Pernikahan…………………………………………… 12 B. Poligami ……………….………………………………………… 19 C. Nikah Sirri………………………………………………………... 23 D. Kedudukan Anak dalam Hukum Islam…………………………... 26

  1. Pengertian Anak Sah…………………………………………. 26

  2. Pengertian Anak tidak Sah…………………………………... 33

  E. Kedudukan Anak dalam KUH Perdata…………………………... 37

  F. Hak-hak Anak……………………………………………………. 42

  BAB III PAPARAN DATA A. Gambaran Perkara Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb………….. 47 B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb……………………………… 52 BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Terhadap Hasil Putusan Status Anak Hasil Nikah Sirri Setelah Putusan Ijin Poligami Oleh Hakim………… 62 B. Analisa Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Status Anak Hasil Nikah Sirri Setelah Putusan Ijin Poligami Oleh Hakim……………………………………………………… 66 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………. 72

  DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 74 LAMPIRAN-LAMPIRAN…………………………………………………... 76

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan

  yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinya pertemuan antara pria dan wanita, kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksana sebuah perkawinan. dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi ketentraman atau sakinah(Shihab,1999:192)

  Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun keturunannya serta anggota masyarakat yang lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur tentang hidup bersama. Dalam hal ini, pemerintah menjadi berkepentingan untuk mengatur institusi perkawinan, agar tatanan masyarakat yang teratur dan tentram bisa diwujudkan. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah bentuk konkrit pengaturan negara soal perkawinan. Aturan inilah yang akhirnya menimbulkan satu istilah yang di sebut Nikah Sirri.

  Dalam kontek Indonesia, nikah sirri adalah nikah yang tidak dicatatkan, meskipun telah memenuhi syarat dan rukun nikah, serta diketahui banyak orang.

  Dan nikah seperti ini, dalam hukum islam termasuk sah. Sehingga sebagai akibatnya, segala hal yang diperkenankan oleh adanya akad nikah yang sah, boleh dilakukan oleh suami istri. Dalam hal ini Shihab (1996:204) menyatakan bahwa dalam konteks keindonesiaan, walaupun pernikahan demikian dinilai sah menurut hukum agama, namun nikah sirri dapat mengakibatkan dosa bagi pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR (Ulil Amri). Al-Quran memerintahkan setiap muslim untuk menaati Ulil Amri selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak bertentangan, tetapi justru sejalan dengan semangat Al-quran. Selain itu bukankah diantara tujuan syariat adalah untuk menjaga keturunan, selain menjaga agama, jiwa, akal dan harta. Apakah karena tidak ada ayat dan hadis yang secara tekstual mewajibkan pencatatan nikah kemudian tidak perlu ada pencatatan nikah? Bukankah menghindari bahaya akibat nikah sirri wajib untuk dilakukan? sebagaimana kaidah fikih, ”Dar’ul

  mafasid awla min jalbi al-masolih

  ”(Fadal,2008:58) yang artinya menghindari kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatan. Oleh karena itu, pencatatan nikah yang dapat menjamin adanya perlindungan hukum terhadap perkawinan seharusnya menjadi syarat sah perkawinan dalam konteks saat ini.

  Dalam Bab II pasal 2 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebut tentang pencatatan perkawinan dengan berbagai tatacaranya. Hal tersebut diperjelas dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 5 (1) yang menyebutkan,

  

”Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan

harus dicatat”

  . Begitu juga dalam pasal 6 (2) ditegaskan bahwa,

  ”Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”.

  Memang melaksanakan perkawinan merupakan hak azasi setiap warga Negara, penegasan tersebut dapat dijumpai pada pasal 28 B ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 hasil perubahan kedua. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa: (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa setiap warga Negara secara bebas dapat melaksanakan perkawinan, tapi harus mengikuti peraturan undang-undang yang berlaku di Negara Indonesia, salah satu diantaranya perkawinan dicatatkan di KUA yang dibuktikan dengan Akta Nikah.

  Dalam kenyataanya praktik nikah sirri masih banyak dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai alasan, salah satunya untuk melakukan poligami tanpa prosedur, sebagaimana diatur dalam pasal 5 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang menjelaskan persyaratan untuk poligami yaitu adanya persetujuan isteri, kepastian suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka dan adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Apabila menyimak maksud dari ketentuan

  pasal 5 ayat (1) tersebut, rasanya tidak mudah bagi suami untuk berpoligami, sehingga jalan satu-satunya untuk mempermudah poligami adalah dengan nikah sirri. Selanjutnya bagaimana akibat hukum dari pernikahan sirri yang dilakukan oleh seorang suami yang melakukan poligami tersebut menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Apakah perkawinan tersebut sah dan menghasilkan anak yang sah pula atau justru sebaliknya.

  Pengadilan Agama Ambarawa pernah menyelesaikan perkara serupa yang kemudian dikeluarkan putusan Nomor:0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, tentang ijin poligami yang diajukan oleh seorang suami terhadap isteri yang dimadu. Suami tersebut mengajukan ijin poligami untuk menikah dengan isteri kedua yang sebelumnya telah dinikahi secara sirri pada tanggal 3 juni 2000 dan telah dikaruniai 4 orang anak. Suami tersebut sebagai Pemohon memohon kepada ketua Pengadilan Agama Ambarawa agar menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan isteri kedua Pemohon tersebut.

  Selain itu Pemohon juga memohon agar pernikahanya dengan isteri kedua pada tanggal 3 Juni 2000 juga disahkan.

  Padahal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2) menjelaskan bahwa, ”Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari

  seorang apabila di kehendaki oleh piha-pihak yang bersangkutan” .

  Dan pasal 4 (1) yang berbunyi,

  

” Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana

tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan

permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya” .

  Dengan demikian poligami hanya bisa dilakukan setelah memperoleh ijin dari pengadilan, sehingga pernikahan Pemohon pada tanggal 3 Juni 2000 dengan isteri kedua Pemohon bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun

  1974 pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 ayat (1). Sebagaimana yang terjadi bahwa suami tersebut melakukan poligami tanpa terlebih dahulu mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama, melainkan langsung melakukan nikah bawah tangan atau nikah sirri. Selain itu Pemohon juga melangar ketentuan pasal 9 Undang-undang perkawinan yang menentukan bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.

  Selanjutnya apakah perkawinan sirri ini diangap sebagai perkawinan yang sah dan menghasilkan anak yang sah pula? dari hal ini memberi inspirasi bagi

  . Dengan

  peneliti untuk meneliti lebih dalam tentang perkara tersebut alasan ini pula penulis kemudian mengangkat topik dalam judul STATUS ANAK HASIL NIKAH SIRRI SETELAH PUTUSAN IJIN POLIGAMI OLEH HAKIM (Studi terhadap Putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor:0030/Pdt.G/2012/PA.Amb) B.

Penegasan Istilah

  Agar terdapat kejelasan tentang judul, maka perlu penulis menjelaskan makna yang terdapat pada judul.

  1. Nikah siri: Nikah yang tidak dicatatkan, meskipun telah memenuhi syarat dan rukun nikah, serta diketahui banyak orang.

  2. Poligami: Sistim perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan(Debdiknas,2002:885)

  3. Status anak: kedudukan anak terhadap Bapak, apakah ia merupakan anak sah atau tidak sah.

  Adapun beberapa permasalahan yang menjadi fokus dalam pembahasan ini adalah:

  1. Apa dasar hukum hakim dalam menetapkan status anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim?

  2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan status anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim? D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

  1. Tujuan Penelitian

  a. Mengetahui status perkawinan di bawah tangan menurut perundang- undangan di indonesia.

  b. Mengetahui pertimbangan hakim Pengadilan Agama tentang status anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim.

  c. Mengetahui dasar hukum hakim Pengadilan Agama dalam mengesahkan status anak hasil nikah sirri dari isteri kedua setelah putusan ijin poligami oleh hakim.

  2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah : a. Dengan penelitian ini di harapkan dapat di jadikan sebagai masukan yang berguna bagi keilmuan syariah berkaitan dengan penentuan status anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim.

  b. Memberi informasi tentang kawin sirri dan status hukum anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim dalam hukum positif di Indonesia.

  Abdul latif dalam status anak yang lahir diluar nikah (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010) menyimpulkan bahwa anak yang dilahirkan diluar nikah berdasar putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya tanpa mempersoalkan pernikahan orang tuanya, sehingga ada kewajiban hukum atas laki-laki (ayah) atas anak yang terbukti mempunyai hubungan darah dengannya.

  Dalam penelitian lain yang berjudul keabsahan anak menurut hukum perdata beserta akibat hukumnya. Imam Muklis dalam skripsi yang diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam STAIN Salatiga 2005, menitik beratkan tentang bukti keabsahan anak dengan akta yang diperoleh dari catatan sipil.

  Kun Sa’idah dalam judul perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan bawah tangan (Studi Kasus di Salatiga tahun 2010) menyimpulkan bahwa perkawinan bawah tangan merupakan perkawinan yang tidak sah, sehingga apabila anak hasil pernikahan tersebut bias mendapatkan akta kelahiran, didalam akta tersebut statusnya dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya mencantumkan nama ibu yang melahirkan.

  Demikian pula dalam penelitianya Muktafi Billah yang berjudul Status Hukum Anak di Luar Nikah (Studi Komparatif menurut KUH Perdata dan Hukum Islam) menyimpulkan bahwa status atau kedudukan anak luar nikah tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu yang melahirkanya maupun Bapak yang menghamili ibunya tersebut. Kecuali kalau mereka mengakuinya ini berbeda dengan hukum Islam yang mana status anak luar kawin bisa sinasabkan dengan ibunya tetapi tidak dengan ayahnya, meskipun dalam status tidak menikah dengan pria yang menyebabkan anak itu lahir.

  Dalam penelitian ini pembahasanya lebih berbeda, karena spesifik pembahasanya tentang apa yang menjadi dasar dan pertimbangan majlis hakim dalam mengesahkan status anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim.

  1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian ini adalah field research yaitu penelitian lapangan.

  Penelitian ini membahas bagaimana Pengadilan Agama Ambarawa memeriksa dan memutus perkara tentang status anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim.

  2. Sumber data a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama yaitu seorang hakim dan panitera yang menangani perkara ijin poligami tersebut.

  b. Data sekunder yaitu mencakup dokumen-dokumen resmi, berkas- berkas pengadilan.

  3. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian penulis mengunakan teknik antara lain: a. Wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari informan(Arikunto,1995:115). informan penelitian ini adalah seorang hakim dan panitera di Pengadilan Agama Ambarawa.

  b. Studi Pustaka yaitu sebagai penelitian yang mengali dari bahan-bahan tertulis(M.Arifin,1990:135).

  3. Metode Analisis Data

  a. Deduktif: Penulis mengadakan analisis terhadap kasus putusan No: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, dengan berpijak pada aturan Perundang- Undangan yang ada.

  b. Induktif: Apa yang diperoleh dari penelitian terhadap putusan No: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, akan bermanfaat untuk menyelesaikan perkara-perkara yang sejenis.

G. Sistematika Penulisan

  Penulisan ini terdiri dari lima bab, yaitu sebagai berikut:

  BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masala B. Penegasan Istilah. C. Rumusan Masalah. D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian D. Telaah Pustaka. E. Metode Penelitian. F. Sistematika Penulisan. BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Pernikahan. B. Poligami. C. Nikah Sirri. D. Kedudukan Anak dalam Hukum Islam.

  1. Pengertian Anak Sah.

  2. Pengertian Anak tidak Sah.

  E. Kedudukan Anak dalam KUHPerdata

  F. Hak-hak Anak

  BAB III : PAPARAN DATA A. Gambaran Perkara Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.

  B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor: 0030/Pt.G/PA.Amb.

  BAB IV : ANALISA DATA A. Analisa Terhadap Hasil Putusan Status Anak Hasil Nikah Siri Setelah Putusan Ijin Poligami oleh Hakim. B. Analisa Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Status Anak Hasil Nikah Siri Setelah Putusan Ijin poligami oleh Hakim. BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan. B. Saran

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Pernikahan Kamus Besar bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengartikan kata “nikah” sebagai (1) perjanjian

  antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri(dengan resmi); (2) perkawinan.(Depdikbud,1989:614). Al-Quran mengunakan kata ini untuk makna tersebut, disamping secara majazi diartikanya dengan hubungan seks. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti”berhimpun”(shihab,1999:191).

  Pernikahan merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Hal ini dijelaskan oleh Allah dengan firmanya:

  đễồ È tb r ã . x‹ s? © ÷/ä3 ª=yès9 È û÷üy` ÷ry— $oYø ) n=yz >äóÓx« È e@à2 ` ÏBur

   Artinya,”dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.(QS AL-Dzariyat (51):49)

  

Ÿ w $£J ÏBur óOÎgÅ ¡ àÿRr& ô` ÏBur Ú ö‘F Þ { $# àM Î7/Yè? $£J ÏB $yg¯=à2 yl ºurø —F { $# t, n=y{ “ Ï%© !$# z` »ys ö6ß ™

đỉỹẻ tb qß J n=ôètƒ

  Artinya,”Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. Demikian juga para ahli fiqih menjelaskan arti kata nikah atau zawaj dengan arti “bergabung” ( ﻢﺿ ) .”hubungan kelamin”( ءطو) dan juga berarti

  “akad” ( ﺪﻘﻋ). Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab fiqih banyak diartikan dengan: akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan mengunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja.

  Para ahli fiqih biasa mengunakan rumusan definisi sebagaimana tersebut di atas dengan penjelasan sebagai berikut: a. Pengunaan lafaz akad ( ﺪﻜﻋ ) Untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan. Perkawinan dibuat dalam bentuk akad karena ia adalah peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis atau semata hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.

  b. Pengunaan ungkapan yang bermaksud membolehkan hubungan kelamin, karena pada dasarnya hubungan laki-laki dengan perempuan adalah terlarang, kecuali ada hal-hal membolehkanya secara hukum syara’. Di antara hal yang membolehkan hubungan kelamin adalah akad nikah di antara keduanya. Dengan demikian akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh itu.

  c. Mengunakan kata lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja mengandung maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan mesti dengan mengunakan kata na-ka-ha atau za-wa-ja oleh karena dalam awal islam disamping akad nikah itu adalah usaha yang membolehkan hubungan laki-laki atas seorang perempuan atau disebut tidak disebut perkawinan atau nikah, tetapi mengunakan kata”

  tasarri

  ”.(Syarifuddin,2003:75) Perlu dicatat, bahwa walaupun Al-Quran menegaskan bahwa kawin atau berpasangan merupakan ketetapan ilahi bagi mahkluk-Nya, dan walaupun Rosullulah SAW menegaskan bahwa nikah adalah sunahnya, tetapi dalam saat yang sama Al-Quran dan sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan lebih-lebih karena masyarakat yang ditemuinya melakukan praktik-praktik yang amat berbahaya serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara paksa isteri mendiang ayah (ibu tiri) (QS Al-nisa’[4]: 19). Bahkan menurut Al-Qurthubi ketika larangan diatas turun, masih ada yang mengawini mereka atas dasar suka sama suka sampai dengan turunnya surat Al-Nisa’[4]:22 yang secara tegas menyatakan:

  tb $Ÿ 2 ¼çm¯RÎ) 4 y# n=y™ ô‰s% $tB žw Î) Ïä!$|¡ ÏiY9$# šÆ ÏiB Nà2 ät!$t/#uä yx s3 tR $tB (#qß s Å

  3 Zs? Ÿ w ur đẹẹẻ ¸x ‹Î6y™ uä!$y™ur $\Fø ) tBur Z pt± Å s »sù

  “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, tetapi apa yang telah lalu(dimaafkan oleh allah)”. Imam bukhori meriwayatkan melelui isteri nabi, aisyah bahwa pada masa jahiliyah, dikenal empat macam pernikahan, pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan terhadap orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah. Kedua, adalah seorang suami memerintahkan kepada isterinya apabila telah suci dari haid untuk menikah ( hubungan seks) dengan seseorang, dan apabila ia telah hamil maka ia kembali untuk digauli oleh suaminya, ini dilakukan guna mendapat keturunan yang baik. Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh orang, kesemuanya mengauli seorang wanita, dan bila ia hamil kemudian melahirkan, ia memangil seluruh anggota kelompok tersebut kemudian ia menunjuk salah seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tunasusila, yang memasang bendera atau tanda di pintu- pintu kediaman mereka dan bercampur dengan siapapun yang suka kepadanya. Kemudian islam datang melarang cara perkawinan tersebut kecuali cara pertama(shihab,1999:193)

  Adapun Undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia merumuskanya, bahwa Pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974).

  Digunakanya kata”seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa Negara barat. Digunakanya ungkapan sebagai suami isteri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya hidup bersama. bahwa perkawinan itu bagi islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.

  Dalam aturan pernikahan nasional Indonesia ditegaskan bahwa hubungan pernikahan bukan hanya sebatas hubungan keperdataan yamg bertujuan kenikmatan duniawi semata, melainkan dimaknai juga sebagai hubungan yang bersifat suci. Dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, semakin nyata bahwa pernikahan dalam aturan nasional tidak terlepas dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat karena dikatakan”Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaanya itu”.

  Pelaksanan pernikahan di Indonesia bukan hanya didasarkan atas prinsip saling menyukai, tetapi ada syarat-syarat materiil dan formil pernikahan yang harus dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka secara legal pernikahan tidak dapat dilaksanakan. Syarat materiil pernikahan secara umum diambil dari aturan- aturan agama yang ada di Indonesia, Islam sebagai agama mayoritas tentu memiliki andil besar dalam mempengaruhi penentuan syarat materiil pernikahan dalam hukum nasional Indonesia, seperti aturan tentang larangan pernikahan,masa tunggu bagi wanita yang bercerai, pembebanan nafkah keluarga, dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi syarat materiil, sehubungan dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, penegasan dalam undang-undang, maka terhadap pernikahan tersebut dapat dilakukan pencegahan atau dibatalkan jika telah terlaksana.

  Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 selain menentukan syarat materiil juga mengatur syarat formil pernikahan dengan tujuan untuk mewujudkan tertib pernikahan di Indonesia. Dalam pasal 2 ayat(2) Undang- undang tersebut dijelaskan bahwa “tiap-tiap pernikahan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”.

  Dalam memaknai syarat materil dan formiil pernikahan di Indonesia selama ini masih terjadi ambiguitas, dalam artian apakah syarat formil hanya sebatas berkaitan dengan administrasi pernikahan ataukah mempengaruhi syarat materiil. Secara ideal, agar tujuan Negara dalam mewujudkan tertib administrasi pernikahan terwujud, pencatatan pernikahan semestinya dikukuhkan bukan hanya pada tataran administrasi tetapi diintegrasikan menjadi syarat materil pernikahan. Sehingga pernikahan di anggap sah bukan hanya sebatas memenuhi rukun dan syarat pernikahan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaan masing-masing, tetapi pernikahan dikatakan sah jika dicatatkan pada instansi yang berwenang.

  Pandangan pertama menentang ide tersebut, karena dalam agama Islam pencatatan pernikahan bukan merupakan rukun nikah. Dalam Islam yang dikategorikan rukun nikah adalah: ijab dan qobul, wali, 2 orag saksi dan kedua mempelai sebagaimana disebut dalam pasal 14 Inpres Nomor 1 tahun pertama ini disebuah Negara yang menjamin penduduknya secara bebas untuk menjalankan ajaran agama dan kepercayaanya (pasai 29 ayat 2 UUD tahun 1945) tidak dibenarkan untuk memaksakan sebuah ajaran agama tunduk terhadap aturan hukum nasional. Negara harus menjamin kesucian sebuah agama dan tidak mencampurinya dengan hal-hal lain diluar aturan agama tersebut.

  Pandangan kedua berpendapat bahwa ide pengintegrasian syarat formil atau administrasi pernikahan menjadi syarat materiil tidak bertentangan dengan agama. Agama Islam mengajarkan tentang kewajiban bagi setiap Negara mentaati pemimpin mereka, selama ketaatan tersebut bukan untuk sesuatu perbuatan keingkaran kepada Allah SWT, pencatatan pernikahan bertujuan untuk kemaslahatan bagi warga negaranya. Karena saat ini pada sebagian masyarakat telah mulai kehilangan nilai sakral pernikahan. Sebagai imbas dari kondisi sosial tersebut sering terjadi perbuatan yang tidak bertangung jawab dari satu pihak yang terikat dalam sebuah pernikahan, terjadi perceraian tanpa kontrol, poligami yang serampangan, kekerasan dalam rumah tangga, anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya, dan banyak kejadian sosial lain yang membuktikan kondisi penyimpangan sosial tersebut. B. Poligami

  4Óo_÷WtB Ïä!$|¡ ÏiY9$# z` ÏiB Nä3 s9 z> $sÛ $tB (#qß s Å

  3 R$$sù 4‘ uK»tGu‹ø 9$# ’ Îû (#qäÜÅ ¡ ø ) è? žw r& ÷Läêø ÿÅ z ÷b Î)ur #’oT÷Šr& y7 Ï9ºsŒ 4 öNä3 ãY»yJ ÷ƒr& ôM s3 n=tB $tB ÷rr& ¸oy‰Ïn ºuqsù (#qä9ω÷ès? žw r& óOçFø ÿÅ z ÷b Î*sù ( yì »t/â‘ur y] »n=èOur đỉẻ (#qä9qãès? žw r&

  Artinya; “dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak- hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

  Ayat ini dapat menjadi dasar bolehnya poligami, sayang ayat ini sering disalah pahami. Ayat ini turun sebagaimana diuraikan oleh Aisyah r.a menyangkut sikap sementara orang yang ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik, dan berada dalam pemeliharaanya, tetapi tidak ingin memberikan mas kawin yang sesuai serta tidak memperlakukanya secara adil. Ayat ini melarang hal tersebut, dengan satu kalimat susunan yang sangat tegas. Penyebutan dua, tiga atau empat pada hakekatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada mereka. Redaksiayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain memakan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakanya, “ Jika anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainya yang ada dihadapan anda selama anda tidak khawatir sakit”. Tentu saja perintah menghabiskan makanan yang lain menekankan larangan memakan makanan tertentu itu.

  Perlu juga digaris bawahi bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan telah dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkanya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan(Shihab, 1999:200).

  Dalam ayat 129 surat an-Nisa Allah berfirman:

  È @ø ŠyJ ø 9$# ¨@à2 (#qè=ŠÏJ s? Ÿ x sù ( öNçFô¹ t ym öqs9ur Ïä!$|¡ ÏiY9$# tû÷üt/ (#qä9ω÷ès? b r& (#þqãè‹ÏÜtFó¡ n@ ` s9ur

  

  ÇÊËÒ È $V J ŠÏm§‘ #Y ‘ qàÿxî tb % x. ! $# © c Î*sù (#qà) Gs?ur (#qß s Î=óÁ è? b Î)ur 4 Ïps)¯=yèß J ø 9$$x. $yd r â‘x‹ tGsù

    ­ Artinya: “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri- isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

  Kedua ayat tersebut diatas menunjukan bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isteri terpenuhi. Dan syarat keadilan ini, menurut isyarat ayat 129 di atas, terutama dalam hal membagi cinta yang sulit dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami, sepanjang persyaratan keadilan di antara isteri dapat dipenuhi dengan baik(Rofiq,1998:170).

  Dalam undang-undang perkawinan pada prinsipnya juga menganut asas monogami, dimana pada saat yang bersamaan atau dalam satu perkawinan seorang pria hanya dapat mempunyai seorang wanita sebagai isterinya. Sebaliknya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang pria sebagai suaminya. Begitu pula dengan yang ada dalam KUHPerdata hanya saja ketentuan dalam KUHPerdata merupakan ketentuan yang mutlak. Tidak seperti yang terdapat dalam Undang-undang perkawinan, yang mana poligami diperbolehkan dengan alasan dan syarat tertent, pasal 3 undang-undang perkawinan menentukan:

  1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 2) Pengadilan dapat member ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya pasal 4 Undang-undang perkawinan menentukan:

  1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

  2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan ijin a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

  b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan;

  Pasal 5 Undang-undang perkawinan memuat aturan bahwa: 1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

  b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

  c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

  Persejutuan dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab- sebab lainya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

  Membaca ketentuan tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa jika dalam keadaan tertentu seperti isteri mandul, cacat atau sakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak mampu melaksanakan kewajibanya sebagai isteri, maka suami dapat meminta ijin kepada isteri untuk menikah lagi.

C. Nikah Sirri

  Tim redaksi Tanwirul afkar menulis bahwa menurut yahya bin yahya (ulama malikiyah), nikah sirri adalah nikah yang dipersaksikan oleh dua orang saksi sebelum digauli (dukhul). Kemudian Tim redaksi tersebut juga mengutip pendapat Wahbah az-Zuhaili yang menyatakan nikah sirri adalah suami berpesan kepada saksi agar nikahnya tidak diberitahukan kepada isterinya atau orang lain, walaupun keluarga sendiri.