BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Berpikir Kritis Siswa - PENGARUH PEMBELAJARAN FLIPPED CLASSROOM TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 PURWOKERTO - repository perpustakaan

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Berpikir kritis seringkali didefinisikan sebagai berpikir pada level

  tinggi atau juga dimaknai berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis juga sering dipahami sebagai berpikir yang rumit dan cenderung hanya cocok pada level mahasiswa. Dampak dari pemahaman definisi di atas, banyak orang mengidentikkan berpikir kritis diberlakukan untuk soal-soal yang susah.

  Pandangan-pandangan ini yang harus kita ubah. Berpikir kritis dan kreatif merupakan salah satu bagian dari higer order thinking skill atau kemampuan berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis adalah berpikir rasional dalam menilai sesuatu. Sebelum mengambil suatu keputusan atau melakukan suatu tindakan, maka dilakukan pengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang sesuatu tersebut. Kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan berpikir yang sifatnya baru yang diperoleh dengan mencoba-coba dan ditandai dengan keterampilan berpikir lancar, luwes, orisinal dan elaborasi, sedangkan berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan (Ennis dalam Hassoubah, 2004).

  Menurut Zdravkovich (2004) dapat dikatakan bahwa berpikir kritis adalah berpikir yang akurat, relevan, wajar dan juga teliti dalam konteks

  6 menganalisis masalah, mensintesis, generalisasi, menerapkan konsep, menafsirkan, mengevaluasi mendukung argumen dan hipotesis, memecahkan masalah dan juga dalam membuat keputusan. Ennis (Hassoubah, 2004) memberikan sebuah definisi berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pengambilan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Tujuan dari berpikir kritis adalah agar dapat menjauhkan seseorang dari keputusan yang keliru dan tergesa-gesa sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan.

  Definisi berpikir kritis paling sedikit memuat tiga hal. Pertama berpikir kritis merupakan proses pemecahan masalah dalam suatu konteks interaksi dengan diri sendiri, dunia orang lain dan atau lingkungannya, kedua berpikir kritis merupakan proses penalaran reflektif berdasarkan informasi dan kesimpulan yang telah diterima sebelumnya yang hasilnya terwujud dalam penarikan kesimpulan. Ketiga berpikir kritis berakhir pada keputusan apa yang diyakini dan dikerjakan (Adinda, 2016). Indikator kemampuan berpikir kritis dapat diturunkan dari aktivitas kritis siswa antara lain (Hassoubah, 2004): 1. Mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan.

  2. Mencari alasan.

  3. Berusaha mengetahui informasi dengan baik.

  4. Memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya.

  5. Memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan.

  6. Berusaha tetap relevan dengan ide utama.

Tabel 2.1 Keterampilan Berpikir Kritis

  b. Mengidentifikasi sebab yang dinyatakan secara implisit

  2. Menganalisis argumen a. Mengidentifikasi alasan sebab yang dinyatakan secara eksplisit

  b. Mengidentifikasi kriteria untuk mempertimbangkan jawaban yang mungkin

  1. Memfokuskan pertanyaan a. Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan

  (memberikan penjelasan sederhana)

  Keterampilan Berpikir Kritis Sub Keterampilan Berpikir Penjelasan Elemenatary Clarification

  Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 2.1 sebagai berikut:

  7. Mengingat kepentingan yang asli dan mendasar.

  Sementara Ennis (Wijaya dkk., 2016) mengelompokkan berpikir kritis kedalam 5 kelompok kemampuan berpikir yaitu: memberikan penjelasan sederhana, membangun keterampilan dasar, menyimpulkan, membuat penjelasan lebih lanjut serta mengatur strategi dan taktik.

  12. Bersikap secara sistematis dan teratur dengan bagian-bagian dari keseluruhan masalah.

  11. Mencari penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan.

  10. Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu.

  9. Bersikap dan berpikir terbuka.

  8. Mencari alternatif.

  c. Mengidentifikasi ketidakrelevanan dan kerelevanan d. Mencari persamaan dan perbedaan

  3. Bertanya dan menjawab klarifikasi dan pertanyaan yang menantang

  b. Kondisi yang logis

  1. Mendefinisikan istilah, mempertimbangkan definisi a. Bentuk sinonim, klasifikasi, rentang, ekspresi yang sama, operasional, contoh dan non contoh

  (membuat penjelasan lebih lanjut)

  Advanced Clerivication

  c. Menyeimbangkan dan memutuskan

  a. Latar belakang fakta dan konsekuensi b. Penerapan prinsip

  3. Membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan

  b. Membuat kesimpulan dan hipotesis

  2. Membuat induksi dan mempertimbangkan induksi a. Membuat generalisasi

  c. Interprestasi pertanyaan

  1. Membuat deduksi dan mempertimbangkan deduksi a. Kelompok yang logis

  a. Mengapa

  (menyimpulkan)

  Inference

  (collaboration) dan kemungkinan penguatan

  a. Dilaporkan oleh pengamat sendiri b. Mencatathal-hal yang diinginkan c. Penguatan

  2. Menggunakan dan mempertimbangkan hasil observasi

  1. Mempertimbangkan kredibilitas sumber a. Kesepakatan antar sumber b. Menggunakan prosedur yang ada c. Kemampuan memberi alasan

  (membangun keterampilan dasar)

  Basic Support

  b. Apa intinya, apa artinya c. Apa contohnya dan apa yang bukan contohnya d. Bagaimana menerapkannya dalam kasus tersebut

  b. Tindakan mengidentifikasi persamaan

  2. Mengidentifikasi Asumsi yang diperlukan, asumsi rekonstruksi, argument

  Strategies and Memutuskan suatu

  a. Menyeleksi kriteria

  tactics tindakan untuk membuat solusi

  (mengatur

  b. Memutuskan alternatif strategi dan yang mungkin taktik)

  c. Mereview Menurut Ennis (Adinda, 2016) terdapat 6 unsur berpikir kritis yaitu Focus, Reason, Inference, Situation, Clarity, dan Overview .

  1. Focus/ Fokus Dalam memahami masalah adalah menentukan hal yang menjadi fokus dalam masalah tersebut. Hal ini dilakukan agar pekerjaan menjadi lebih efektif, karena tanpa mengetahui fokus permasalahan, kita akan membuang banyak waktu.

  2. Reason (alasan)

  Reason (alasan) yaitu memberikan alasan terhadap jawaban atau simpulan.

  3. Inference (simpulan) (simpulan) yaitu memperkirakan simpulan yang akan

  Inference didapat.

  4. Situation (situasi)

  Situation (situasi) yaitu menerapkan konsep pengetahuan yang

  dimiliki sebelumnya untuk menyelesaikan masalah pada situasi lain.

  5. Clarity (kejelasan)

  Clarity (kejelasan) yaitu memberikan contoh masalah atau soal yang serupa dengan yang sudah ada.

  6. Overview (pemeriksaan atau tinjauan)

  Overview (pemeriksaan atau tinjauan) yaitu memeriksa kebenaran jawaban.

  Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, menentukan strategi yang tepat, memberikan kesimpulan dan alasan yang logis dalam menyelesaikan masalah. Adapun indikator berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah focus, reason, inference, situation, clarity, dan overview .

  Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis ada beberapa cara yang dapat guru lakukan antara lain:

  1. Tahap persiapan yaitu melakukan pembiasaan memahami suatu masalah.

  2. Tahap inkubasi yaitu memikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalah.

  3. Tahap iluminasi yaitu memikirkan gagasan yang mengarah pada penyelesaian suatu masalah.

  4. Tahap verifikasi yaitu tahap memerikasa jawaban kembali. Cara meningkatkan kemampuan berpikir kritis tersebut dilakukan dengan memberikan soal berupa pemecahan masalah. Pertanyaan yang dapat merangsang kemampuan berpikir kritis antara lain: apakah solusi lain, apakah jika, bagaimana jika, apa yang salah, apa yang akan kamu lakukan, dll.

2. Kemandirian Belajar

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemandirian adalah keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Sedangkan belajar adalah perilaku mengembangkan diri melalui proses penyesuiaian tingkah laku (Majid, 2013). Seseorang dikatakan belajar jika dalam dirinya terdapat dorongan, semangat dan upaya yang timbul dalam dirinya.

  

Menurut Mudjiman (2009), kemampuan belajar mandiri yang dikembangkan

selama siswa belajar dalam sistem pendidikan formal, dapat menjadi bekal

yang berguna untuk melakukan pembelajaran sepanjang hidup (lifelong

learning) selepas siswa dari sistem formalnya. Pembelajaran sepanjang hidup

diperlukan karena masalah akan selalu timbul di dalam perjalanan hidup

setiap orang. Individu yang memiliki kemandirian tinggi relatif mampu

menghadapi segala permasalahan karena individu yang mandiri tidak

tergantung pada orang lain, selalu berusaha menghadapi dan memecahkan

masalah yang ada. Selanjutnya menurut Mudjiman (2009) kegiatan belajar

mandiri diawali dengan kesadaran adanya masalah, disusul dengan timbulnya

niat melakukan kegiatan belajar secara sengaja untuk sesuatu kompetensi

yang diperlukan guna mengatasi permasalahan.

  Menurut Sugandi (Nuridawani dkk., 2015) kemandirian belajar adalah suatu sikap siswa yang memiliki karakteristik berinisiatif belajar, mendiagnosis kebutuhan belajar, menetapkan tujuan belajar, memonitor, mengatur dan mengontrol kinerja atau belajar, memandang kesulitan sebagai tantangan, mencari dan memanfaatkan sumber belajar yang relevan, memilih dan menerapkan strategi belajar, mengevaluasi proses

  Berikut adalah ciri-ciri dan hasil belajar, serta self-concept (konsep diri). belajar mandiri menurut Laird (Mudjiman, 2009):

  1. Kegiatan belajarnya bersifat selfdirecting, atau mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri.

  2. Pertanyaan-pertanyaan timbul dalam proses pembelajaran dijawab sendiri atas dasar pengalaman, bukan mengharapkan jawabannya dari guru atau orang lain.

  3. Tidak mau didikte guru.

  4. Memanfaatkan hasil belajar.

  5. Lebih senang dengan problem centered learning daripada content centered learning.

  6. Lebih senang berartisipasi aktif dalam pembelajaran.

  7. Selalu memanfaatkan pengalaman yang dimiliki.

  8. Lebih menyukai collaborative learning, atau belajar bersama orang lain.

  9. Perencanaan dan evaluasi belajar lebih baik dilakukan dalam batasan tertentu bersama siswa dan gurunya.

  10. Belajar harus berbuat, tidak cukup hanya mendengarkan dan menyerap.

  Selain itu menurut Mudjiman (2009) ciri-ciri lain belajar mandiri antara lain:

  1. Terbentuk struktur tujuan belajar.

  2. Menggunakan berbagai sumber dan media belajar.

  3. Belajar dapat dilakukan di sekolah, rumah, perpustakan, warnet dan dimanapun tempat yang memungkinkan berlangsungnya belajar.

  4. Belajar dapat dilaksanakan pada setiap waktu yang dikehendaki pembelajar.

  5. Kecepatan belajar dan intensitas kegiatan belajar ditentukan sendiri oleh pembelajar.

  

6. Pembelajar memiliki cara belajar yang tepat untuk dirinya sendiri.

  7. Evaluasi belajar dilakukan oleh pembelajar sendiri.

  8. Refleksi terhadap proses pembelajaran yang telah dijalani.

  Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat disimpulkan kemandirian belajar adalah belajar yang tidak menggantungkan diri pada orang lain, dapat menentukan cara belajar yang efektif, mampu melaksanakan tugas-tugas belajar dengan baik, aktif dan memiliki inisiatif sendiri dalam belajar untuk mencapai keberhasilan belajarnya sendiri.

  Indikator kemandirian belajar siswa yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

  1. Mampu memecahkan masalah tanpa bantuan dari orang lain.

  2. Membuat rencana belajar.

  3. Belajar dengan kesadaran diri.

  4. Memanfaatkan buku, internet dan sumber belajar lainnya.

  5. Memanfaatkan pengalaman yang dimiliki dan refleksi terhadap proses pembelajaran yang telah dijalani.

  6. Tanggung jawab dan mampu melaksanakan tugas dengan baik.

  7. Berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Kegiatan belajar mandiri erat kaitannya dengan motivasi belajar. Pentingnya motivasi sering ditegaskan oleh beberapa ahli psikologi dan pendidikan. Hal ini karena motivasi berperan sebagai pendorongan siswa untuk belajar secara mandiri. Kegiatan untuk mendorong kemandirian belajar siswa bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Rendahnya motivasi dan minat belajar siswa merupakan salah satu penyebab sulitnya mendorong siswa untuk belajar mandiri. Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa rendahnya siswa dalam belajar tidak adanya motivasi dan minat belajar dalam diri siswa. Kemandirian siswa dalam belajar tidak terbentuk dengan sendirinya tapi dipengaruhi berbagai faktor diantaranya, motivasi, minat belajar, sikap anak yang diterima dari keluarga khususnya orang tua dan lingkungan sekitar.

3. Pembelajaran Flipped Classroom Pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari model pembelajaran.

  Istilah pembelajaran bermakna sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya dan berbagai strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan (Majid, 2013). Berbagai model pembelajaran dikembangkan para ahli untuk menciptakan pembelajaran yang efektif.

  Flipped classroom tergolong model pembelajaran yang baru dan

  jarang digunakan guru di Indonesia. Pembelajaran flipped classroom pertama siswa mempelajari topik sendiri, biasanya menggunakan pelajaran video yang dibuat oleh guru atau bersama oleh pendidik lain, guru tidak harus menciptakan video pembelajaran sendiri. Kemudian dalam kelas, siswa kemudian mencoba untuk menerapkan pengetahuan dengan memecahkan masalah dan melakukan kerja praktek. Sebagaimana dijelaskan Bergmann dan Sams (2013), pada dasarnya fipped classroom memiliki konsep dasar bahwa semua yang dilakukan di kelas pada pembelajaran konvensional menjadi dilakukan di rumah dan semua yang dilakukan sebagai pekerjaan rumah pada pembelajaran konvensional menjadi dilakukan di kelas.

  Peran guru dalam pembelajaran adalah memberikan bantuan ketika siswa mengalami kesulitan, bukan untuk memberikan pelajaran awal, sehingga guru dapat menghabiskan lebih banyak waktu berinteraksi dengan siswa, bukan mengajar. Hal ini memungkinkan waktu di dalam kelas yang akan digunakan untuk kegiatan pembelajaran berbasis tambahan, termasuk penggunaan instruksi dibedakan dan pembelajaran berbasis proyek. Pembelajaran flipped classroom bukan hanya sekedar belajar menggunakan video pembelajaran, namun lebih menekankan tentang memanfaatkan waktu di kelas agar pembelajaran lebih bermutu dan bisa meningkatkan pengetahuan siswa (Yulietri, 2015). Perbedaan pembelajaran tradisional dan pembelajaran flipped classroom (Bergmann dan Sams, 2012) dapat dilihat pada tabel berikut:

  Tebel 2.2 Perbedaan Pembelajaran Flipped Classroom dan Tradisional Tradisional Flipped Classroom

  Aktivitas Waktu Aktivitas Waktu Pendahuluan 5 menit Pendahuluan 5 menit Membahas 20 menit Tanya jawab 10 menit PR terkait video pembelajaran Materi 30-45 menit Latihan 75 menit pemecahan masalah

  Latihan soal 20-35 menit Langkah-langkah pembelajaran flipped classroom menurut Stelle

  (Adhitiya, 2015):

Gambar 2.1 Langkah Pembelajaran Flipped Classroom Langkah-langkah pembelajaran flipped classroom yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Persiapan

  1. Sebelum tatap muka guru memberikan materi dalam bentuk video pembelajaran.

  2. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.

  3. Guru menyampaikan secara garis besar materi yang akan dipelajari.

  4. Memberi tugas siswa untuk membuat rangkuman dari video.

  b. Kegiatan di kelas

  1. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4-5 orang siswa.

  2. Membahas video yang telah ditonton siswa dengan diskusi dan tanya jawab.

  3. Melalui tanya jawab dengan siswa guru menguatkan konsep.

  4. Guru memberikan latihan pemecahan masalah melalui LKS.

  5. Siswa berdiskusi dengan kelompoknya untuk menyelesaikan masalah.

  6. Peran guru saat diskusi adalah memfasilitasi siswa agar mampu menuliskan ide atau gagasannya terkait masalah yang diberikan.

  7. Salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusi dan yang lain menanggapinya.

  8. Guru memberikan tes untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa.

  9. Memberikan video pembelajaran untuk pertemuan selanjutnya.

  Flipped classroom salah satu model yang bisa digunakan sebagai

  alternatif guru dalam memberikan pengaruh motivasi dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika karena dengan pembelajaran

  flipped classroom siswa secara mandiri belajar dari video tutorial yang

  diberikan oleh guru sehingga dalam belajar siswa tidak mudah bosan karena hanya mendengarkan penjelasan dari guru. Selain itu, penggunaan media berupa video dalam pembelajaran akan menambah motivasi dan kemandirian siswa dalam belajar matematika. Menurut Moore (2015) penggunaan teknologi dalam kelas dapat menambah motivasi siswa dan sesuai jika diperkenalkan pada kurikulum sekolah menengah, terutama matematika. Karena teknologi terus berubah dan berkembang, guru dan siswa juga harus berkembang dalam penggunaan teknologi sebagai media pembelajaran. Pembelajaran flipped classroom memanfaatkan intenet dan teknologi yang berisi video pembelajaran dapat digunakan sebagai wahana untuk mengajar, perbaikan, atau aktivitas belajar siswa melalui komputer atau smartphone yang dimiliki siswa pada. Baik di luar maupun di dalam kelas flipped classroom memberikan kesempatan untuk siswa untuk menonton keterampilan, instruksi langsung, menggunakan video berbasis intenet sebagai tugas dan selanjutnya menggunakan waktu di kelas untuk mempraktikan materi pelajaran melalui berbagai aktivitas pemikiran kritis (Moore, 2015).

  Guru dapat merekam materi pembelajaran yang akan diberikan, menciptakan video pembelajarannya sendiri atau dapat mengambil video dari internet sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Karena ketersediaan video pembelajaran di internet, siswa dapat mengakses video tersebut dimana dan kapan saja baik di rumah, dihalaman sekolah, dikendaraan, bahkan di rumah sakit sebanyak mungkin mereka mau.

  Dengan demikian memungkinkan siswa mempersiapkan kelas dengan baik.

  Dengan persiapan siswa, guru dapat menyediakan lebih banyak waktu dan kesempatan untuk mengintegrasi dan menerapkan pengetahuan mereka, dengan pendekatan berpusat pada siswa dan siswa berperan aktif seperti menggunakan penelitian atau pembelajaran dengan proyek bersama teman sekelasnya (Hamdan dan Knight, 2013). Guru juga dapat waktu dalam kelas untuk mengecek pemahaman siswa dan jika diperlukan membantu mereka mengembangkan pengetahuannya.

  Berdasarkan hasil penelitian Bergmann dan Sams (2012) berikut adalah keuntungan dalam penggunakan pembelajaran flipped classroom:

  1. Flipped classroom sesuai dengan aktifitas “kekinian” siswa dimana penggunaan teknologi berkembang sangat pesat.

  2. Flipped classroom membantu siswa yang memiliki banyak aktifitas atau sibuk.

  3. Flipped classroom membantu siswa yang kesulitan dalam belajar.

  4. Vidio pembelajaran dapaat dipause atau diulang sesuai dengan keinginan siswa.

  5. Flipped classroom dapat mempererat komunikasi antara guru dan siswa maupun siswa dengan siswa.

  6. Flipped classroom memungkinkan guru untuk lebih mengenal siswanya.

  7. Guru dapat dengan mudah membedakan tingkat kepahaman siswa.

  8. Membuat kelas lebih transparan.

  9. Flipped classroom juga mengedukasi orang tua dengan mengawasi siswa belajar.

  Sementara kekurangan flipped classroom adalah bagaimana memaksa siswa agar mau menonton video pembelajaran yang sudah disiapkan guru sebagai modal awal siswa sebelum memulai kelasnya.

4. Video Pembelajaran

  Media, bentuk jamak dari perantara (medium) adalah sarana komunikasi. Istilah media merujuk pada apa saja yang membawa informasi antara sumber dan penerima (Smaldino dkk., 2011). Media digolongkan pada enam kategori dasar antara lain teks, audio, visual, video, perekayasa dan para ahli (orang). Tujuan media dalam pembelajaran adalah untuk mempermudah komunikasi atau penyampaian materi dalam belajar.

  Pemanfaatan teknologi dan media oleh guru umum digunakan sebagai dukungan tambahan selama pengajaran. Sedangkan pemanfaatan teknologi dan media oleh siswa biasanya digunakan untuk meningkatkan aktivitas belajar. Pemanfaatan media oleh siswa memungkinkan pembelajaran yang berpusat pada siswa, sehingga guru tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk memberikan instruksi sehingga dapat menggunakan waktu mereka untuk memeriksa dan memperbaiki kesalahan siswa, berkonsultasi dengan siswa secara individual, dan mengajar satu persatu siswa dalam kelompok kecil. Tentunya bukan berarti bahwa teknologi pengajaran bisa atau sebaiknya menggantikan pengajaran, tetapi lebih kepada teknologi dan media bisa membantu guru menjadi pengelola kreatif dari pengalaman belajar, daripada sekedar menjadi pembagi informasi (Smaldino dkk., 2011).

  Saat ini banyak pilihan bagi guru untuk memilih media yang tepat dalam pembelajaran matematika. Salah satu media yang dapat menjadi pilihan adalah video. Guru dapat menggunakan video untuk memperkenalkan sebuah topik, menyajikan konten, menyediakan perbaikan dan meningkatkan pengayaan. Segmen-segmen video bisa digunakan di seluruh lingkungan pengajaran dengan kelas, kelompok kecil dan siswa perorangan. Berikut adalah keuntungan penggunaan video dalam pembelajaran (Smaldino dkk., 2005): a. Bergerak. Gambar bergerak memiliki keuntungan daripada gambar diam dalam menyampaikan konsep.

  b. Video dapat memperlihatkan proses dan pengoperasian.

  c. Pengamatan yang bebas resiko misalnya mengamati fenomena berbahaya seperti gerhana matahari atau gunung meletus.

  d. Dramatisasi. Reka ulang yang dramatis bisa menghidupkan kepribadian dan kejadian bersejarah.

  e. Pembelajaran keterampilan. Melalui video, siswa bisa melihat sebuah penampakan berulang kali. Mereka dapat melihat video penampilan mereka sendiri untuk perbaikan.

  f. Pembelajaran afektif.

  g. Penyelesaian masalah. Manfaat video membuat para pemirsa mendiskusikan berbagai masalah yang disampaikan dalam video.

  h. Pemahaman budaya. i. Membentuk kebersamaan. Dengan melihat program video secara bersama sebuah kelompok bisa membangun kesamaan pengalaman untuk membahas sebuah isu secara efektif. Banyak video yang bisa diakses siswa maupun guru pada internet. Internet pada era sekarang umum digunakan semua orang. Dengan memanfaatkan teknologi canggih yang dimiliki siswa seperti laptop dan

  smartphone siswa mudah untuk menggunakan video untuk melihat atau streaming video di internet.

B. Penelitian Relevan

  Hasil penelitian Yulietri dkk (2015) menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan pembelajaran menggunakan model flipped classroom dan model discovery learning terhadap prestasi belajar siswa ditinjau dari kemandirian belajar siswa kelas kelas VII SMP Negeri di Kabupaten Sragen, dimana model flipped classroom menunjukkan hasil yang lebih baik daripada model discovery learning. Selain itu penelitian Adhitiya (2015) menyimpulkan kemampuan pemecahan masalah siswa VIII SMP Negeri 2 Ungaran dengan model traditional flipped dan peer instruction flipped mencapai ketuntasan klasikal dan kemampuan pemecahan masalah matematika dengan model peer instruction flipped lebih baik daripada .

  traditional flipped

  Persamaan penelitian ini dengan penelitian Yulietri (2015) dan Adhitiya (2015) adalah variabel bebas yang digunakan yaitu model pembelajaran

  

flipped classroom . Sedangkan perbedaan dengan penelitian relevan adalah variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kemampuan berpikir kritis dan kemandirian belajar siswa. Selain itu jenis penelitian yang digunakan dimana penelitian relevan merupakan studi komparasi sedangkan penelitian ini adalah penelelitian eksperimen untuk mengetahui pengaruh model flipped classroom terhadap kemampuan berpikir kritis dan kemandirian belajar siswa.

  Penelitian Novita (2014) menyimpualkan penerapan model pembelajaran pengajuan dan pemecahan masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII-E SMP Negeri 6 Sidoarjo. Selain itu, penelitian Sunaryo (2014) menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik siswa yang pada pembelajarannya menerapkan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik dari peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik yang pada pembelajarannya menerapkan model pembelajaran langsung. Sedangkan penelitian Purnamasari (2014) menunjukkan kemandirian belajar peserta didik yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe teams games-tournament

  

(TGT) termasuk kualifikasi tinggi; peningkatan kemampuan penalaran dan

  koneksi matematik peserta didik pada sekolah level tinggi yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe teams games-tournament (TGT) lebih baik dibandingkan dengan peningkatan kemampuan penalaran matematik peserta didik yang mengikuti pembelajaran langsung. Persamaan penelitian ini dengan penelitian relevan tersebut adalah variabel terikat yang digunakan yaitu kemampuan berpikir kritis siswa dan kemandirian belajar siswa.

C. Kerangka Pikir

  Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, menentukan strategi yang tepat, memberikan kesimpulan dan alasan yang logis dalam menyelesaikan masalah. Siswa dikatakan memiliki kemampuan berpikir kritis jika memenuhi indikator yaitu yaitu focus (fokus),

  

reason (alasan), inference (menyimpulkan), situation (situasi), clarity

  (kejelasan), and overview (pandangan menyeluruh). Indikator tersebut dapat terpenuhi dengan menerapkan model pembelajaran flipped classroom, yaitu model pembelajaran yang memiliki konsep dasar bahwa semua yang dilakukan di kelas pada pembelajaran konvensional menjadi dilakukan di rumah dan semua yang dilakukan sebagai pekerjaan rumah pada pembelajaran konvensional menjadi dilakukan di kelas dengan bantuan video pembelajaran. Kegiatan yang dilakukan di kelas dengan model pembelajaran

  

flipped classroom lebih difokuskan pada diskusi dan pemberian tugas dalam

  pemecahan masalah matematika, kegiatan tersebut akan merangsang kemampuan berpikir kritis siswa dimana siswa dituntut aktif, mampu menyampaikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan permasalahan maupun memberikan solusi terbaik serta alasan yang tepat.

  Selain itu model pembelajaran flipped classroom dapat memfasilitasi siswa untuk belajar mandiri. Ciri-ciri belajar mandiri antara lain belajar dengan tidak bergantung pada orang lain, mampu merumuskan tujuan belajarnya sendiri dan memanfaatkan sumber belajar yang bervariasi. Guru dapat mengondisikan peserta didik untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan baru yang tidak diterima begitu saja dari penjelasan guru melainkan harus mampu membangun sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari. Melalui video pembelajaran guru dapat melihat bagaimana respon siswa maupun minat siswa dalam belajar mandiri serta kemampuan berpikir kritis siswa pada video pembelajaran maupun permasalahan yang diberikan di kelas terkait dengan pembelajaran yang sudah diberikan dalam bentuk video pembelajaran. Dengan demikian penerapan model flipped classroom secara teoritik dapat mempengaruhi kemampuan berpikir kritis dan kemandirian belajar siswa. Dijelaskan dalam diagram berikut:

  Kerangka Pikir

  

Pembelajaran Flipped Classroom

Kegiatan di rumah  menonton video pembelajaran  belajar dari sumber lain (buku, internet, dll)  menentukan cara belajar yang efektif Kegiatan disekolah

   Diskusi  Menyamakan konsep  Menyelesaikan masalah  Kerja Praktik Motivasi belajar Memanfaatkan sumber belajar Problem centered

  Focus Reason Inference Clarity

  Situation Overview Kemampuan berpikir kritis siswa Kemandirian belajar siswa

  Membuat rencana belajar Tanggung jawab

  Aktif

D. Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan kerangka berpikir diatas maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

  1. Pembelajaran flipped classroom berpengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis siswa.

  2. Pembelajaran flipped classroom berpengaruh positif terhadap kemandirian belajar siswa.

Dokumen yang terkait

PENGARUH KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS TERHADAP HASIL BELAJAR KOGNITIF SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS)

2 35 47

BAB II Kajian Pustaka A. Deskripsi Teori a. Tinjauan Tentang Berpikir Reflektif 1. Pengertian Berpikir - ANALISIS BERPIKIR REFLEKTIF SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH TEOREMA PHYTAGORAS DITINJAU DARI KEMAMPUAN MATEMATIKA KELAS VIII SMP NEGERI 1 KAMPAK TAHUN

0 5 62

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MEANS-ENDS ANALYSIS (MEA) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VIII MATERI PRISMA DAN LIMAS DI SMP NEGERI 2 SUMBERGEMPOL TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN 2017/2018 - Institutional Reposit

1 1 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Model Pembelajaran a. Definisi Model Pembelajaran - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MEANS-ENDS ANALYSIS (MEA) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VIII MATERI PRISMA DAN LIMAS DI SMP NEGERI 2 SUMBERGEMPOL

1 1 38

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MEANS-ENDS ANALYSIS (MEA) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VIII MATERI PRISMA DAN LIMAS DI SMP NEGERI 2 SUMBERGEMPOL TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN 2017/2018 - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

1 1 13

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MEANS-ENDS ANALYSIS (MEA) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VIII MATERI PRISMA DAN LIMAS DI SMP NEGERI 2 SUMBERGEMPOL TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN 2017/2018 - Institutional R

1 1 25

BAB II LANDASAN TEORETIS A. Deskripsi Teori 1. Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik pada Mata Pelajaran Akidah Akhlak - STUDI KORELASI JURISPRUDENTIAL INQUIRY MODEL DENGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN AKIDAH AKHLAK DI MTS

0 1 22

BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Konseptual 1. Manajemen a. Pengertian Manajemen Pembelajaran - BAB 2 Revisi Cetak 2017

0 1 28

BAB II KAJIAN PUSTAKA Learning Beyond The Facts Dalam Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa A. Deskripsi Pustaka 1. Implementasi Learning Beyond The Facts - IMPLEMENTASI LEARNING BEYOND THE FACTS DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SIS

0 0 27

KONTRIBUSI KEMAMPUAN PRAKTIKUM DAN KEMANDIRIAN BELAJAR TERHADAP KEMAMPUAN KOGNITIF IPA TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 BALEREJO

0 0 16