BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Relevan - BAB II YULI AGUSTIN PBSI'18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Relevan Penelitian mengenai pemerolehan bahasa sebelumnya telah dilakukan oleh Agustina Saraswati (2012) dan Betty Utami (2013). Agustina Saraswati meneliti

  pemerolehan bahasa pertama pada anak usia 1-3 tahun sedangkan Betty Utami meneliti pemerolehan bahasa lisan pada anak usia 3-5 tahun. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Letak perbedaan tersebut pada sumber data dan kajian yang dibahasnya.

  Penelitian yang dilakukan oleh Agustina Saraswati berjudul Pemerolehan

  

Bahasa Pertama pada Anak Usia 1-3 Tahun di Kelurahan Purwanegara Kecamatan

  Penelitian Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas (Suatu Tinjauan Psikolinguistik). tersebut mendeskripsikan pemerolehan bahasa pada anak usia 1-3 tahun di Kelurahan Purwanegara Kecamatan Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas. Penelitian ini meliputi pemerolehan dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.

  Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sumber data pada penelitian ini berjumlah 3 anak. Data pada penelitian ini berupa ujaran anak usia 1-3 tahun di Kelurahan Purwanegara, Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas. Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan, pemerolehan fonologi meliputi pemerolehan vokal, konsonan, diftong, dan gejala fonologi bahasa.

  Pemerolehan morfologi meliputi pemerolehan afiks dan reduplikasi. Pemerolehan sintaksis meliputi pemerolehan pada ujaran satu kata, ujaran dua kata, ujaran tiga kata, bentuk deklaratif, bentuk imperatif, bentuk interogratif, bentuk negatif, deiksis,

  7 pronominal dan kata-kata penyedap. Pemerolehan semantik meliputi pemerolehan semantik pada usia 1 tahun, pemerolehan semantik usia 2 tahun, pemerolehan semantik usia 3 tahun.

  Penelitian serupa yang dilakukan oleh Betty Utami berjudul Pemerolehan

  

Bahasa Pada Anak Usia 3-5 Tahun Di PAUD Aisyiyah Ledug Kecamatan Kembaran

Kabupaten Banyumas (Kajian Psikolinguistik). Penelitian tersebut mendeskripsikan

  pemerolehan bahasa yang terkandung dalam tuturan anak usia 3-5 tahun yang meliputi pemerolehan fonologi, morfologi, simtaksis, dan semantik. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data dari penelitian ini adalah anak usia 3-5 tahun di PAUD Aisyiyah Ledug Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas, datanya berupa tuturan anak usia 3-5 tahun di PAUD tersebut. Tuturan anak tersebutmengandung komponen bahasa, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Berdasarkan hasil analisis data dalam penelitian ini dapat disimpulkan, pemerolehan fonologi meliputi pemerolehan vokal, konsonan, diftong, dan gejala fonologi bahasa. Pemerolehan morfologi meliputi pemerolehan afiks dan reduplikasi. Pemerolehan sintaksis meliputi pemerolehan pada ujaran satu kata, ujaran dua kata, ujaran tiga kata, bentuk deklaratif, bentuk imperatif, bentuk interogratif, bentuk negatif, deiksis, pronominal dan kata-kata penyedap. Pemerolehan semantik meliputi pemerolehan pada usia tiga tahun yang terjadi pada tahap generalisasi berlebihan serta pemerolehan semantik pada usia empat dan lima tahun yang terjadi pada tahap hipotesis generalisasi.

  Penelitian yang akan dilaksanakan memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian di atas. Perbedaanya terletak pada sumber data dan bidang yang akan dikaji.Sumber data penelitian ini, yaitu Ayu berusia 3 tahun dan Isna berusia 5 tahun siswa di PAUD Diroosatul Uula Purbalingga. Selain itu, penelitian ini hanya menggunakan tinjauan fonologi dan semantik, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan tinjauan fonologi, morfologi, semantik dan sintaksis. Persamaannya, yaitu sama-sama menganalisis mengenai pemerolehan bahasa pada anak menggunakan bidang fonologi dan semantik.

B. Landasan Teori 1. Definisi Bahasa

  Menurut Kridalaksana (2008:24) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Keraf (2004:1), mendefinisikan bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat yang berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Sedangkan Menurut Dardjowidjojo (2014:16), bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah simbol atau lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan digunakan oleh masyarakat sebagai alat komunikasi, bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri.

2. Psikolinguistik a. Pengertian

  Secara etimologi psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan linguistik, yakni dua bidang ilmu berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri dengan prosedur yang berlainan. Namun, keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya kajian materinya berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa (Chaer, 2009:5). Dardjowidjojo (2014:7), mendefinisikan psikolingistik adalah ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam berbicara.Levelt (dalam Mar‟at, 2005:1), mendefinisikan psikolinguistik adalah suatu studi mengenai penggunaan bahasa dan pemerolehan bahasa manusia.

  Menurut Dardjowidjojo (2014:7), secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama: (1) komprehensi, yakni, proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud, (2) produksi, yakni, proses-proses mental pada diri kita yang membuat kita dapat berujar seperti yang kita ujarkan, (3) landasan biologis serta neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, dan (4) pemerolehan bahasa, yakni, bagaimana anak memperoleh bahasa mereka.

  Berdasarkan beberapa definisi para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, psikolinguistik merupakan gabungan dari dua bidang ilmu psikologi dan linguistik yang mempelajari tentang hubungan antara bahasa dengan sikap perilaku manusia, proses mental dalam penggunaan bahasa dan pemerolehan bahasa pada anak-anak dan penggunaan bahasa orang dewasa.

b. Jenis-Jenis Psikolinguistik

  Levelt (dalam Mar‟at, 2005:1-3) membagi psikolinguistik ke dalam tiga bidang utama, yaitu psikolinguistik umun, psikolinguistik perkembangan, dan psikolingiustik terapan. Secara rinci bidang utama psikolinguistik dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1) Psikolinguistik Umum

  Psikolinguistik umum adalah suatu studi mengenai bagaimana pengamatan atau persepsi orang dewasa tentang bahasa dan bagaimana ia memproduksi bahasa.

  Selain itu psikologi umum juga mempelajari mengenai proses kognitif yang mendasari seseorang ketika menggunakan bahasa. Ada dua cara dalam presepsi dan produksi bahasa ini, yakni secara auditiv dan visual. Persepsi bahasa secara auditif adalah mendengarkan dan persepsi bahasa secara visual adalah membaca. Kegiatan dalam produksi bahasa adalah berbicara (auditif) dan menulis (visual). Proses kognitif terjadi pada waktu seseorang berbicara dan mendengarkan, yaitu mengingat apa yang baru didengar, mengenal kembali apa yang didengar sebagai kata-kata yang ada artinya, berfikir, mengungkapkan apa yang sudah tersimpan dalam ingatan dalam bentuk ujaran atau tulisan.

  2) Psikolinguistik Perkembangan

  Psikolinguistik perkembangan, yaitu suatu studi psikologi mengenai perolehan bahasa pada anak-anak dan orang dewasa, baik pemerolehan bahasa pertama (bahasa ibu) maupun bahasa kedua. Jadi, dalam psikolinguistik perkembangan dibahas mengenai persoalan yang dialami oleh anak yang harus belajar dua bahasa secara bersamaan, bagaimana seorang anak memperoleh bahasa pertamanya, apakah orang dewasa dalam mempelajari bahasa keduanya sama seperti anak belajar bahasa pertamanya, dan teknik pengajaran bahasa yang bagaimana yang dapat mengurangi terjadinya interferensi antar dua bahasa pada murid.

3) Psikolinguistik Terapan

  Psikolinguistik terapan adalah aplikasi dari teori-teori psikolinguistik dalam kehidupan sehari-hari pada orang dewasa ataupun pada anak-anak. Dalam bidang terapan dibedakan antara Applied General Psycholinguistics dengan Applied Developmental Psycholinguistics.

  Applied General Psycholinguistics dibagi menjadi dua bagian dalam

  penerapannya, yaitu bidang abnormal dan normal. Normal Applied General

  

Psycholinguistics membahas pengaruh ejaan terhadap persepsi kita mengenai ciri

  visual dari kata-kata. Abnormal Applied General Psycholinguistics mempelajari misalnya tentang kesukaran pengucapan yang dialami oleh orang gagap atau penderita aphasia.

  Applied Developmental Psycholinguistics juga dibagi menjadi dua yaitu

Normal Applied Developmental Psycholinguistics dan Abnormal Applied

Developmental Psycholinguistics. Normal Applied Developmental Psycholinguistics

  membicarakan antara lain bagaimana membuat program(kurikulum) belajar membaca dan menulis, apakah lebih baik mempergunakan metode global atau metode sintesis atau mungkin ada metode lain. Abnormal Applied Developmental Psycholinguistics membahas mengenai apa yang dilakukan untuk membantu anak-anak yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasanya yang disebabkan oleh adanya kelainan yang bersifat bawaan pada alat artikulasinya atau yang disebabkan oleh faktor emosi dan sebab lainnya (Mar‟at, 2005:3).

  Pada penelitian ini menggunakan jenis psikolinguistik Perkembangan karena peneliti melakukan penelitian yang di dalamnya membahas mengenai bagaimana persoalan yang dialami oleh seorang anak dalam memperoleh bahasa beserta tahap- tahapannya.

3. Pemerolehan Bahasa

  Chaer (2009:167) menjelaskan pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Menurut Kiparsky (dalam Tarigan, 1984:243), pemerolehan bahasa atau language acquisition adalah suatu proses yang dipergunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orangtuanya sampai dia memilih, berdasarkan suatu ukuran atau tataran penilaian, tata bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut. Sedangkan menurut Dardjowidjojo (2003:225), istilah

  

pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition, yakni proses

  pemerolehan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Dengan demikian, prosesanak belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan proses orang (umumnya dewasa) belajar bahasa di kelas adalah pembelajaran.

  Menurut Chaer (2009:167) ada dua proses ketika seorang anak memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Proses kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak sadar. Proses ini menjadi syarat terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua buah proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Penerbitan melibatkan kemampuan menerbitkan kalimat-kalimat sendiri.

  Selain itu, Chomsky (dalam Chaer, 2009:168) membagi kompetensi menjadi tiga komponen tata bahasa, yaitu komponen sintaksis, komponen semantik, dn komponen fonologi. Oleh karena itu, pemerolehan bahasa dibagai menjadi pemerolehan sintaksis, pemerolehan semantik, dan pemerolehan fonologi. Menurut Dardjowidjojo (2014:18-20), komponen sintaksis yakni komponen bahasa yang menangani ikhwal yang berkaitan dengan kata, farasa, dan kalimat. Komponen semantik, yakni komponen bahasa yang membahas ihwal makna sedangkan komponen fonologi, yakni komponen bahasa yang menangani ihwal yang berkaitan dengan bunyi.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemerolehan bahasa pada anak merupakan proses penguasaan secara alamiah (natural) ketika belajar bahasa ibunya.

  Proses penguasaan bahasa ini melalui dua proses, yakni kompetensi dan performansi. Komponen kompetensi tersebut mencakup komponen fonologi, semantik dan sintaksis, sedangkan performansi terdiri dari dua proses yaitu pemahaman dan penerbitan kalimat.

a. Pemerolehan Bahasa dalam Bidang Fonologi

  Pada pemrolehan bahasa dalam bidang fonologi meliputi, universal dalam pemerolehan bahasa, proses pemerolehan bahasa dan tahap-tahap pemeroleh bahasa.

1) Universal dalam Pemerolehan Bahasa

  Dardjowidjojo (2014:237-238) menjelaskan bahwa pemerolehan bahasa seorang anak berkaitan erat dengan konsep universal. Sejauh mana konsep universal itu mempengaruhi pemerolehan, kelihatannya tergantung pada sifat kodrati komponen bahasa. Komponen fonologi, yang lebih banyak terkait dengan neurobiologi manusia, tampaknya yang paling universal. Sementara itu, komponen sintaksis dan semantik memiliki kadar universal yang lebih rendah. Berikut penjelasan mengenai universal pada komponen fonologi.

  Universal pada Komponen Fonologi

  Dardjowidjojo (2014:238-239) menjelaskan bahwa pemerolehan bunyi berjalan selaras dengan kodrat bunyi itu sendiri. Bunyi pertama yang keluar waktu anak mulai berbicara adalah kontras antara konsonan dan vokal. Dalam hal vokal, hanya bunyi [a], [i], dan [u] yang akan keluar duluan. Dari tiga bunyi ini, [a] akan keluar lebih dahulu daripada [i] dan [u]. Mengenai konsonan, Jakobson (1970:8-20) mengatakan bahwa kontras pertama yang muncul adalah oposisi antara bunyi oral dengan bunyi nasal ([p-b] dan [m-n]) dan kemudian disusul oleh kontras antara bilabial dengan dental ([p]-[t]). Sistem kontras ini dinamakan Sistem Konsonantal Minimal (Minimal Consonantal System). Pada umunya, bunyi yang letaknya di bagian depan mulut lebih mudah daripada yang di bagian belakang mulut. Dengan demikian, [p] dan [b] adalah lebih mudah daripada [k] dan [g].

  Urutan pemunculan bunyi ini bersifat genetik dan karena perkembangan biologi manusia itu tidak sama maka kapan munculnya suatu bunyi tidak dapat diukur dengan tahun atau bulan kalender. Patokannya adalah bahwa suatu bunyi tidak akan melangkahi bunyi yang lain. Tidak akan ada anak Indonesia yang sudah dapat mengucapkan [r] tetap belum dapat mengucapkan [p], [g], dan [j].

  Menurut Verhaar (2012:38) menyatakan bahwa bunyi diselidiki oleh fonetik dan fonologi. Fonetik meneliti bunyi bahasa menurut pelafalannya sedangkan ilmu fonologi meneliti bunyi bahasa menurut fungsinya. Fonologi mempelajari tentang vokal dan konsonan. Menurut Marsono (1993:16) bunyi disebut vokal, bila terjadi tidak ada hampatan pada alat bicara, tidak ada artikulasi. Sedangkan bunyi disebut konsonan, bila terjadinya dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat bicara, jadi ada artikulasi. Berikut penjelasaan mengenai vokal dan konsonan: (1) Vokal

  Menurut Alwi, dkk. (2010:50), vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan oleh tiga faktor: tinggi rendahnya posisi lidah, bagian lidah yang dinaikkan, dan bentuk bibir pada pembentukan vokal itu. Bunyi vokal dibagi menjadi tiga, yaitu: (a) Vokal tinggi: bunyi vokal yang dihasilkan dengan lidah terletak tinggi di dalam rongga mulut.

  Contoh : Fonem [i] adalah vokal tinggi-depan dengan kedua bibir agak terentang kesamping. Fonem [u] juga merupakan vokal tinggi, tetapi yang meninggi adalah belakang lidah (Alwi, dkk., 2010:58). (b) Vokal sedang: bunyi vokal yang dihasilkan dengan lidah dalam posisi tidak tinggi, tidak rendah.

  Contoh : fonem [e] adalah sedang-depan, dengan bentuk bibir yang netral, artinya tidak terentang dan tidak membundar. Fonem [ ə] adalah vokal sedang-tengah, dengan bagian lidah yang agak dinaikkan dan bentuk bibir juga netral. Fonem [o] adalah fonem sedang-belakang dengan bentuk bibir kurang bundar dibandingkan dengan [u] (Alwi, dkk., 2010: 58).

  (c) Vokal rendah: bunyi vokal yang dihasilkan dengan lidah dibagian bawah mulut.

  Vokal rendah dalam bahasa Indonesia adalah [a] (Alwi, dkk., 2010:58) Vokal tersebut terklasifikasi dalam tabel 1. Fonem Vokal dan bagan 1. Fonem Vokal berikut:

  Tabel 1. Fonem Vokal Bahasa Indonesia Depan Tengah Belakang

  Tinggi

  I u Sedang E

  ə o Rendah a

  (Muslich, 2009:95) Bagan 1. Fokal Vokal Bahasa Indonesia tinggi i u sedang

  ə o bawah a

  (Alwi, dkk. 2010:56) (2) Konsonan

  Selain bunyi vokal terdapat fonem konsonan. Berdasarkan artikulator dan artikulasi konsonan dibagi atas (Alwi, dkk., 2010:67-71): (a) Konsonan hambat bilabial pada bunyi [p] dan [b]: bunyi yang dilafalkan dengan bibir atas dan bibir bawah berkatup rapat sehingga udara dari paru-paru tertahan untuk sementara waktu sebelum katupan itu dilepaskan. (b) Konsonan hambat alveolar pada bunyi [t] dan [d]: bunyi yang dilafalkan dengan ujung lidah ditempelkan pada gusi.

  (c) Konsonan hambat velar pada bunyi [k] dan [g]: bunyi yang dilafalkan dengan menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak.

  (d) Konsonan frikatif labiodental pada bunyi [f]: bunyi yang dilafalkan dengan bibir bawah didekatkan pada bagian gigi atas sehingga udara dari paru-paru dapat melewati lubang yang sempit antara gigi dan bibir menimbulkan bunyi desis. (e) Konsonan frikatif alveolar pada bunyi [s] dan [z]: bunyi yang dilafalkan dengan menempelkan lidah pada gusi atas sambil melepaskan udara lewat samping lidah sehingga menimbulkan bunyi desis.

  (f) Konsonan frikatif p alatal pada bunyi [š]: bunyi yang dibentuk dengan melewati arus udara diantara pita suara yang menyempit sehingga menimbulkan bunyi desis, tampa dihambat tempat lain.

  (g) Konsonan frikatif glotal pada bunyi [h]: bunyi yang dibentuk dengan melewati arus udara diantara pita suara yang menyempit sehingga menimbulkan bunyi desis, tampa dihambat tempat lain. (h) Konsonan arikat palatal pada bunyi [c] dan [j]: bunyi yang dilafalkan dengan daun lidah ditempelkan pada langit-langit keras dan kemudian delepas secara perlahan sehingga udara dapat lewat dengan menimbulkan bunyi desis, pita suara dalam keadaan tidak bergetar.

  (i) Konsonan nasal bilabial pada bunyi [m]: bunyi yang dilafalkan dengan kedua bibir dikatupkan, kemudian udara dilepas melalui rongga hidung.

  (j) Konsonan nasal alveolar pada bunyi [n]: bunyi yang dihasilkan dengan cara menempelkan ujung lidah pada gusi untuk menghambat udara dari paru-paru.

  (k) Konsonan nasal p alatal pada bunyi [ń]: bunyi yang dibentuk dengan menempelkan depan lidah pada langit-langit keras untuk menahan udara dari paru-paru.

  (l) Konsonan nasal v elar pada bunyi [ŋ]: bunyi yang dibentuk dengan menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak dan udara kemudian dilepas melalui hidung.

  (m) Konsonan getar alveolar pada bunyi [r]: bunyi yang dibentuk dengan menempelkan ujung lidah pada gusi, kemudian menghembuskan udara dan pita suara dalam keadaan getar.

  (n) Konsonan lateral alveolar pada bunyi [l]: bunyi yang dihasilkan dengan menempel daun lidah pada gusi dan mengeluarkan udara melewati samping lidah.

  (o) Semivokal bilabial pada bunyi [w]: bunyi yang dilafalkan dengan mendekatkan kedua bibir tampa menghalangi udara yang dihembuskan dari paru-paru.

  (p) Semivokal palatal pada bunyi [y]: bunyi yang dihasilkan dengan mendekatkan depan lidah pada langit-langit keras, tetapi tidak sampai menghambat udara yang keluar dari paru-paru.

  Tabel 2. Fonem Konsonan Bahasa Indonesia

  Titik/Cara Dental/ Alveo- Bilabial Labiodental Velar Glottal Artikulasi Alveolar Palatal Hambat p t k

b d g

Afrikatif c j

frikatif f s š x h

v z

  Nasal m n ń ŋ Getar r Lateral l Semi vokal w y

  (Alwi, dkk., 2010:72)

2) Proses Pemerolehan Bahasa

  Pada umumnya para ahli berpendapat bahwa anak dimana pun memperoleh bahasa ibunya dengan strategi yang sama. Dardjowidjojo (2014:243) menjelaskan bahwa strategi yang sama pada anak ketika memperoleh bahasa pertamanya tidak hanya dilandasi oleh faktor biologis dan neurologi manusia yang sama tetapi bekal kodrati pada saat anak dilahirkan. Selain itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat universal ini.

  Dalam bahasa ada tiga komponen, yakni, fonologi, sintaksis, dan semantik. Pada penelitian ini peneliti hanya membahas mengenai pemerolehan bahasa dalam bidang fonologi pada anak usia 3 dan 5 tahun.

  Pemerolehan Bahasa dalam Bidang Fonologi

  Pemerolehan fonologi merupakan proses atau cara anak mengenal dan menghasilkan bunyi-bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi bahasa tadi membentuk suatu sistem dalam bahasa (Dardjowidjojo, 2014:20). Dardjowidjojo (2014:244) melakukan penelitian pemerolehan fonologi pada Echa (cucunya).

  Munculnya kata pertama pada Echa agak “terlambat”, yakni mendekati umur 1;6 bila dibandigkan dengan anak Barat yang sudah mulai muncul pada usia 1 tahun.

  Argumentasi untuk menjelaskan keterlambatan ini adalah bahwa anak Indonesia memerlukan waktu yang lebih lama untuk menentukan suku mana yang akan diambil sebagai wakil dari kata itu.

  Dalam mengucapkan kata, Echa hanya mengambil suku kata terakhir.Pemilihan suku terakhir ini mempunyai latar belakang universal, yakni anak di mana pun cenderung untuk memperhatikan akhir dari suatu bentuk. Misalnya, ketika Echa ingin mengucapkan kata mobil, yang diujarkan hanya suku akhir yaitu [bi] karena konsonan pada akhir kata banyak yang tidak diucapkan.

  Menurut Dardjowidjojo (2014:246), anak mula-mula menguasai bunyi konsonan bilabial dengan vokal [a], kemudian alveolar dan velar. Sampai dengan umur sekitar 2;0 Echa memanggil kakeknya Eyang [tat ʊŋ], bukan Eyang [kakʊŋ]. Bunyi afrikat [t

  ʃ] dan [dЗ] dikuasai lebih belakangan lagi, sekitar umur 4;0. Pada umur sekitar 2;6 kata [jam] diucapkan sebagai [tam] atau [dam] . Waktu “dipaksa” untuk mengatakannya dengan benar, E cha berkata “Ndak bisa, Eyang!”. Bunyi [r] muncul pada saat Echa berusia 4;9.

  3) Tahap-Tahap Pemerolehan Bahasa pada Anak

  Tahap-tahap pemerolehan bahasa anak menurut Tarigan (1984:262-268) dibagi menjadi tujuh tahapan. Tahap-tahapan tersebut yaitu tahap pralinguistik pertama (meraban), tahap pralinguistik kedua (meraban), tahap linguistik pertama (holofrasis), tahap ucap-ucapan dua-kata, tahap pengembangan tata bahasa, tahap tata bahasa menjelang dewasa, dan kompetensi lengkap. Secara rinci tahapan-tahapan pemerolehan bahasa anak tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

  a) Tahap Pralinguistik Pertama (Meraban)

  Pada tahap pralinguistik pertama, selama bulan awal kehidupan, bayi-bayi menangis, mendekut, mendeguk, menjerit, dan tertawa. Mereka seolah-olah menghasilkan tiap-tiap jenis bunyi yang mungkin dibuat. Suara bayi yang masih kecil itu secara linguistik tidaklah merupakan bunyi-bunyi ujaran; tetapi barulah merupakan tanda-tanda akuistik yang diturunkan oleh bunyi-bunyi kalau mereka menggerakkan alat-alat bicaranya dalam setiap susunan atau bentuk yang mungkin dibuatnya (Tarigan, 1984:263-264).

  b) Tahap Pralinguistik Kedua (Meraban) Tahap ini disebut tahap kata omong-kosong atau tahap kata tampa makna.

  Awal tahap meraban kedua ini biasanya pada permulaan pertengahan kedua tahun pertama kehidupan. Anak menghasilkan suatu kata yang tidak dapat dikenal, tetapi sesuai dengan pola suku kata. Banyak kerikan (suara mengerik) yang aneh-aneh serta “dekutan-dekutan” menghilangnya vokal dari output para bayi, dan mereka mulai menghasilkan urutan-urutan KV (konsonan-vokal, biasanya konsonan letus), dengan satu kata yang sering diulang berulang-kali. Ciri-ciri pada periode ini ialah bahwa rabanan dihasilkan dengan intonasi kalimat, kadang-kadang dengan tekanan menurun yang ada hubungannya dengan pertanyaan-pertanyaan (Tarigan, 1984:264).

  c) Tahap Linguistik Pertama (Holofrastik)

  Tahap linguistik pertama ini adalah tahap satu kata, yang dimulai sekitar usia satu tahun. Ucapan-ucapan satu kata pada tahapan ini disebut holofrase karena anak- anak akan menyatakan makna keseluruhan frase atau kalimat dalam satu kata yang diucapkan. Misalnya ketika anak mengatakan susu dapat diartikan bahwa dia ingin meminum susu atau mungkin melaporkan bahwa susunya tumpah. Banyak sekali terdapat kedwimaknaan dalam ujaran anak-anak selama tahap ini. Maka dari itu, sering kali perlu diamati benar-benar apa yang dilakukan anak-anak, barulah kita dapat menentukan apa yang dia maksudkan melalui apa yang dia ucapkan itu (Tarigan, 1984:265-266).

  d) Tahap Linguistik Kedua: Ucapan-Ucapan Dua Kata

  Tahap linguistikkedua ini biasanya dimulai ketika anak menjelang usia dua tahun, tetapi terdapat sejumlah variasi perorangan diantara anak-anak yang normal.

  Anak-anak memasuki tahap ini pertama sekali mengucapkan dua holofrase dalam rangkaian yang cepat. Misalnya, anak-anak yang mempergunakan holofrase-holofrase “kucing” dan “papa” mungkin memberi tahu tentang seekor kucing kepada papa.Ucapan kata kucing dan papa disela dengan jeda. Maknanya akan terlihat dari urutan “kucing papa”, dengan begitu terlihat jelas bahwa anak telah dapat mempergunakan dua buah holofrase untuk menyatakan maksudnya tersebut. Setelah itu, anak-anak mulai memakai ucapan- ucapan dua kata seperti “baju mama”, “pisang nenek”, “saya mandi”, dan sebagainya (Tarigan, 1984:266).

  e) Tahap Linguistik Ketiga:Pengembangan Tata Bahasa

  Usia keluarnya anak-anak dari tahap ucapan-ucapan dua kata sangat berbeda- beda. Ada anak-anak yang memasuki tahap pengembangan tata bahasa pada usia dua tahun, ada pula yang tetap mempergunakan ucapan-ucapan dua kata secara eksklusif sampai melewati usia yang ketiga. Selama tahap pengembangan tata bahasa ini, anak- anak mengembangkan sejumlah sarana ketatabahasaan. Panjang kalimat mereka bertambah, tetapi hal ini tidaklah begitu penting karena ucapan-ucapan mereka semakin bertambah rumit. Jamak dan beberapa kata tugas pun mulai muncul, tetapi masih banyak yang dihilangkan (Tarigan, 1984:266-267).

  f) Tahap Linguistik Keempat: Tata Bahasa Menjelang Dewasa

  Pada tahap tata bahasa menjelang dewasa, struktur-struktur tata bahasa pada anak lebih rumit. Banyak diantaranya yang melibatkan gabugan kalimat-kalimat sederhana dengan komplementasi, relatifisasi dan konjungsi. Liber (dalam Trigan, 2005:267) melaporkan perkembangan kalimat-kalimat kompleks pada annak yang berusia dua dan tiga tahun. Mereka telah menggunakan konstruksi-konstruksi kompleks seperti NP objek (nomina- predikat) misalnya pada kalimat “saya melihat kamu duduk”, tetapi tidak ada satu contoh tunggal suatu komplemen yang bertindak sebagai NP subjek sebelum usia tiga tahun (Tarigan, 1984:267).

  g) Kompetensi Lengkap

  Pada akhir masa kanak-kanak, setiap orang yang tidak mendapat rintangan apa-apa, sebenarnya telah mempelajari semua sarana sintaksis bahasa ibunya dan keterampilan-ketermpilan performansi yang memadai untuk memahami dan menghasilakan bahasa yang biasa. Tentu perbendaharaan kata-kata seseorang terus- menerus bertambah selama masa kanak-kanak dan bahasa seseorang berubah dalam gaya dan (diharapkan) bertambah lancar serta fasih setelah melewati anak-anak. Akan tetapi, tidak terdapat fakta-fakta yang menyatakan bahwa keterampilan kompetensi atau informasi sintaksis mengalami suatu perubahan lebih lanjut melebihi di luar masa remaja (Tarigan, 1984:268).

b. Pemerolehan Bahasa dalam Bidang Semantik

  Pada pemrolehan bahasa dalam bidang semantik meliputi, Universal dalam pemerolehan bahasa dan proses pemerolehan bahasa. Pada penelitian ini peneliti membahas mengenai pemerolehan bahasa dalam bidang semantik pada anak usia 3 dan 5 tahun.

1) Universal pada Komponen Sintaksis dan Semantik

  Komponen sintaksis dan semantik memiliki derajat keuniversalan yang lebih rendah. Pada komponen fonologi, urutan pemunculan bunyi terkait langsung dengan pertumbuhan biologi dan neurologi anak. Pada komponen sintaksis dan semantik kaitan ini tidak langsung. Namun, pada komponen sintaksis dan pola-pola kalimat yang diperoleh secara universal anak selalu memulai dengan ujaran yang berupa satu kata, kemudian berkembang menjadi dua kata, setelah itu tiga kata atau lebih. Anak kalimat relatif yang terletak pada akhir kalimat lebih dulu diperoleh daripada anak kamilat relatif yang diselipkan di tengah kalimat.

  Semantik merupakan cabang linguistik yang meneliti arti atau makna (Verhaar, 2012:13). Semantik diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti (Chaer, 2013:2). Sedangkan menurut Dardjowidjojo (2014:21), komponen semantik membahas ihwal makna. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa semnatik adalah cabang linguistik yang membahas arti atau makna suatu bahasa.

  Dalam komponen ini kata tidak hanya diberi makna seperti yang terdapat pada kamus, tetapi juga diberi rincian makna yang disebut fitur semantik. Kata jejaka, misalnya, memiliki fitur semantik : [+N], [+manusia], [+lelaki], [+dewasa], dan [+belum pernah nikah]. Kataperawan memiliki [+N], [+manusia], [-pria], [+dewasa], [+belum pernah nikah], dan juga [+selaput dara masih utuh].

  Seperti halnya komponen fonologi, komponen semantik juga bersifat interpretif. Komponen semantik dipakai untuk menentukan apakah masukan dari komponen sintaktik itu memenuhi kaidah semantik yang ada pada bahasa tersebut. Bila penerapan aturan itu menghasilkan ketidakserasian semantik maka kalimat tadi akan bersifat anomulus, artinya tidak dapat diterima dari segi makna. Kalimat Tutiek

  

akan mengawini Achmad minggu depan akan ditolak oleh komponen semantik karena

  salah satu fitur semantik untuk verba mengawini, yakni, [+pelaku pria], telah dilanggar.

2) Pemerolehan Bahasa dalam Bidang Semantik

  Chaer dalam bukunya Psikolinguistik (2009:194) menjelaskan bahwa pada tahun pertama dalam kehidupannya seorang bayi menghabiskan waktunya untuk mengamati dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi yang ada di sekitar kehidupannya. Pengamatan ini dilakukan melalui seluruh panca-indranya. Apa yang diamati dan dikumpulkan menjadi “pengetahuan dunianya”. Berdasarkan pengetahuan dunianya inilah si bayi memperoleh semantik bahasa dunianya dengan cara melekatkan “makna” yang tetap kepada urutan bunyi bahasa tertentu. Untuk dapat mengkaji pemerolehan semantik kanak-kanak, kita perlu terlebih dahulu memahami maksud dari makna atau arti itu sendiri. Ada beberapa teori mengenai makna pada semantik itu. Makna dapat dijelaskan dengan fitur-fitur atau penanda-penanda semantik. Dalam perkembangan psikolinguistik ada beberapa teori mengenai proses pemerolehan semantik, yaitu teori hipotesis fitur semantik, teori hubungan-hubungan gramatikal, dan teori hipotesis generalisasi.

a) Teori Hipotesis Fitur Semantik

  Menurut para ahli psikolinguistik perkembangan, anak-anak memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu demi satu sampai semua fitur semantik itu dikuasai. Asumsi-asumsi yang menjadi dasar hipotesisi fitur-fitur semantik adalah: (a) Fitur-fitur makna yang digunakan anak-anak dianggap sama dengan beberapa fitur makna yang digunakan oleh orang dewasa.

  (b) Pengalaman anak-anak mengenai dunia ini dan mengenai bahasa masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan pengalaman orang dewasa, maka anak-anak hanya akan menggunakan dua atau tiga fitur makna saja untuk sebuah kata sebagai masukan leksikon.

  (c) Karena pemilihan fitur-fitur yang berkaitan ini didasarkan pada pengalaman anak- anak sebelumnya, maka fitur-fitur ini pada umumnya didasarkan pada informasi persepsi atau pengamatan.

  Secara umum pemerolehan semantik dapat disimpulkan menjadi empat tahap. Tahap tersebut, yaitu tahap penyempitan makna kata, tahap generalisasi berlebihan, tahap medan semantik, dan tahap generalisasi (Chaer, 2009:196).

  (a) Tahap Penyempitan Makna Kata Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1:0-1:6).

  Pada tahap ini anak-anak menganggap satu benda tertentu yang dicakup oleh satu makna menjadi nama dari benda itu. Misalnya, yang disebut [guguk] hanyalah anjing yang ada di rumah saja, tidak termasuk yang berada di luar rumah si anak(Chaer, 2009:197) (b) Tahap Generalisasi Berlebihan

  Tahap ini berlangsung antara usia satu tahun setengah sampai dua tahun setengah (1:6-2:6). Pada tahap ini anak-anak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Misalnya, yang dimaksud anjing atau guguk dan kucing atau

  

meong adalah semua binatang yang berkaki empat, termasuk kambing dan kerbau

  (Chaer, 2009:197) (c) Tahap Medan Semantik

  Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai usia lima tahun (2:6-5:0). Pada tahap ini anak-anak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Proses ini berlangsung jika makna yang digeneralisasikan secara berlebihan semakin sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh anak-anak. Misalnya, kata anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat. Namun, setelah mengenal kata kuda, kambing, dan harimau, maka kata anjing hanya berlaku untuk anjing saja (Chaer, 2009:197). (d) Tahap Generalisasi

  Tahap ini berlangsung setelah anak-anak berusia lima tahun. Pada tahap ini anak-anak telah mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu mempunya fitur-fitur semantik yang sama. Ketika anak-anak berusia antara lima tahun sampai tujuh tahun (5:0-7:0). Misalnya, mereka telah mampu mengenal yang dimaksud dengan hewan yaitu semua makhluk yang termasuk hewan (Chaer, 2009:197).

  b) Teori Hipotesis Hubungan-Hubungan Gramatikal

  Menurut Mc. Neil (dalam Chaer, 2009:197-198), pada waktu dilahirkan anak- anak dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal dalam nurani. Oleh karena itu, anak-anak pada awal proses pemerolehan bahasanya telah berusaha membentuk satu “kamus makna kalimat” (sentences-meaning-dictionary), yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua hubungan gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis. Pada tahap holofrasis ini anak-anak belum mampu menguasai fitur-fitur semantik karena terlalu membebani ingatan mereka. Jadi, pada awal pemerolehan semantik hubungan-hubungan gramatikal inilah yang paling penting karena telah terjadi secara nurani sejak lahir.

  c) Teori Hipotesis Generalisasi

  Menurut Anglin (dalam Chaer, 2009:198), perkembangan semantik anak-anak mengikuti satu proses generalisasi, yakni kemampuan anak-anak meihat hubungan- hubungan semantik antara nama-nama benda (kata-kata) mulai dari yang konkret sampai pada yang abstrak. Misalnya, pada awal perkembangan pemerolehan semantik anak-anak telah mengetahui kata-kata melati dan mawar melalui hubungan konkret antara kata itu dengan bunga-bunga tersebut. Pada tahap berikutnya mereka akan menggolongkan kata-kata tersebut dengan butir leksikal yang lebih tinggi kelasnya atau superordinatnya melalui generalisasi, yaitu bunga.

4. Pemerolehan Bahasa Anak Usia 3 dan 5 tahun

  Pemerolehan bahasa anak usia 3 dan 5 tahun dibagi menjadi pemerolehan fonologi, pemerolehan morfologi, dan pemerolehan sintaksis. Pada penelitian ini peneliti hanya memfokuskan pada pemerolehan fonologi dan semantik. Pemerolehan fonologi digunakan untuk menganalisis pemerolehan fonologi usia tiga tahun maupun lima tahun. Begitupula dengan pemerolehan semantik yang digunakan untuk menganalisis pemerolehan semantik usia tiga dan lima tahun.

a. Pemerolehan Fonologi Usia Tiga Tahun

  Menurut Dardjowidjojo (2000:101), pemerolehan bahasa pada anak usia tiga tahun meliti pemerolehan vokal, pemerolehan konsonan dan pemerolehan diftong.

  1) Pemerolehan Vokal Setelah usia 2:0 tidak banyak yang harus dikuasai Echa dalam hal vokal.

  Semua vokal telah secara distingtif dia bedakan dan tidak ada kegagalan komunikasi karena pemakaian vokal kurang tepat. Echa telah mampu menguasai bunyi vokal dengan baik. Namun, penjejeran vokal yang membentuk diftong, seperti [ai], [au], [ia], dan [ii] merupakan hal yang baru bagi Echa. Hal tersebut terjadi karena tidak ada orang-orang di sekitar Echa yang menggunakan penjejeran vokal tersebut dalam berkomunikasi (Dardjowidjojo 2000: 101).

  2) Pemerolehan Diftong

  Disamping bunyi-bunyi vokal yang telah dikuasai dengan baik, urutan vokal yang tidak bersifat diftong juga mulai dikuasainya. Tidak hanya [a-i] seperti baik yang dikuasainya sebelumya, tetapi sekitar 2:2:0 deretan vokal [a-u] seperti pada bau, [e-a] seperti pada kecapean, [i-a] seperti pada sialan, dan [i-i] seperti pada diikat dengan jelas diucapkan. Namun, diftong asli [au] dan [ai] seperti pada kata kalau dan sungai belum muncul bahkan sampai usia 3:0. Demikian pula diftong asli [

  ↄi] yang jarang kita temukan (Dardjowidjojo 2000: 101).

  3) Pemerolehan Konsonan

  Pada usia 2;0 Echa telah menguasai [p], [b], [t], [d], [h], [m], [n], [l], [w] [y], [k] [s] [n], meskipun ketiga yang terakhir ini hanya pada posisi akhir suku kata. Pada usia 2;2;0 bunyi velar hambat ringan (viceless velar stop) [k] sudah dikuasai dengan lebih baik, tetapi padanan beratnya (voiced velar stop) [g], masih sering diucapkan sebagai [d], meskipun sesekali muncul pula sebagai [g]. Bunyi [z] tidak banyak terdapat dalam bahasaIndonesia dan oleh Echa bunyi ini masih diucapkan sebagai [d] seperti pada kata [dudu] Zuzu (nama binatang dalam buku cerita “Lion King”). Bunyi afrikatif [f], yang jarang pada bahasa kita sering diucapkan sebagai [p], meskipun kadang- kadang muncul sebagai [f] seperti pada kata [pamiŋo] “flaminggo” dan [poto] foto.

  Dari bunyi-bunyi yang mulai dikuasai sejak usia 2;0 ini tampak sekali adanya gradasi kesukaran pada bunyi-buny itu. Sementara bunyi- bunyi [g], [s], [ń], [ĉ] ,[ŋ] sedikit demi sedikit mendekati bunyi penutur dewasa, bunyi getar [r] masih tetap diucapkan sebagai lateral [l] sampai usia 3;0. Demikian pula bunyi afrikatif [Ĵ] sampai usia 3;0 masih sering diucapkan sebagai [d] atau [dz]. Pada usia 2;5, fenomena yang dinamakan oleh Dardjowidjojo (2000:104) “fenomena Dadah” ini muncul kembali.

  Kali ini Echa sudah mendekati ucapan orang dewasa dan [g]-nya sudah lebih jelas. Bahkan sampai usai 2;10 bunyi afrikat masih sering muncul. Bunyi afrikiat muncul sebagai [d] seperti pada ucapan [dahat] untuk kata [jahat]. Namun, sampai usia 3;0

  [ ndak ], dan [nggak]

  gugus konsonan, kecuali [mb], [nd], dan [ŋg] pada kata [mba], belum ada yang muncul. Semua gugus diucapkan sebagai komponen tunggal (Dardjowidjojo 2000: 102-105).

  a) Inventori Fonem Usia Tiga Tahun

  Sebagian besar fonem telah dikuasai Echa dengan sempurna, meskipun mengenai konsonan, ada fonem yang dikuasainya dan ada yang masih berfluktuasi dengan bunyi lain, dan bahkan ada bunyi yang sama sekali belum pernah diucapkan. Hal tersebut dapat dilihat pada bagan konsonan usia tiga tahun. Fonem-fonem yang telah mantap diucapkan oleh Echa ditulis dengan cetak biasa, yang masih berfluktuasi dalam ujaran Echa dicetak dengan huruf miring dan yang belum diucapkan ditempatkan dalam kurung. Adapun bagan konsonan usia tiga tahun yaitu sebagai berikut:

  Tabel 3. Fonem Konsonan Usia Tiga Tahun Titik/Cara Alveo-

  Bilabial Labiodental Alveolar Velar Glottal Artikulasi Palatal

  Hambat p t k ? b d g Frikatif f s (x) h

  (z) Afrikat

  (ĉ) (ĵ)

  Nasal m n ń ŋ

  Getar (r) Lateral l

  Semi vokal w y (Dardjowidjojo, 2000: 105).

  b) Aturan Fonologi Usia Tiga Tahun

  Dardjowidjojo (2000: 105-107) menjelaskan bahwa dari substitusi-substitusi yang dilakukan Echa antara usia 2;0 sampai 3;0 tahun dapat dibuat suatu aturan fonologis yang tampaknya berlaku untuk anak Indonesia, dan mungkin anak manapun. Aturan ini merupakan aturan yang dibuat dari pemerolehan bahasa pada Echa sebagai gambaran mengenai aturan fonologis pada Echa dan mungkin juga pada anak Indonesia lainnya. Aturan I : Velar hambat berat pada awal suku menjadi laminoalveolar hambat berat atau tidak berubah. Contohnya pada aturan ini terlihat pada kata [garpu]. Kata [garpu] oleh Echa diucapkan [dalpu]. Begitu juga kata [gorila] yang diucapkan [golila].

  Aturan II : Labiodental frikatif ringan pada awal suku menjadi bilabial hambat ringan atau tidak berubah pada awal suku. Contoh pada aturan ini terlihat pada kata [flamiŋgo] yang diucapkan [pamiŋo] dan pada kata [foto] yang diucapkan [poto] atau [foto] oleh Echa.

  Aturan III : Dental frikatif ringan pada awal suku menjadi dental stop ringan, dental stop ringan plus dental frikatif ringan, atau tidak berubah. Contohnya aturan ini terlihat pada kata [sampah] yang diucapkan [tampah], begitu juga kata [sambal] yang diucapkan [tambal].

  Aturan IV : Dental frikatif berat menjadi laminoalveolar hambat berat. Contoh aturan ini terlihat pada kata [zuzu], kata ini diucapkan Echa dengan [dudu]. Aturan V : Alveopalatal nasal menjadi dental nasal atau tidak berubah. Contoh kata pada atu ran ini adalah [ńańi] yang diucapkan [nani].Contoh kata yang lain yaitu [ńapu], kata ini oleh Echa diucapkan dengan [napu] dan terkadang diucapkan [ńapu].

  Aturan VI : Velar nasal pada awal suku kata menjadi dental nasal atau tidak berubah. Contoh kata pada aturan ini yaitu [ŋumpətin] oleh Echa diucapkan [nump

  ətin], sedangkan kata [ŋəpɛl] diucapkan [ŋəpɛl] atau [ŋəpɛl]. Aturan VII : Getar akan diucapkan menjadi lateral. Cotoh pada aturan ini yaitu terlihat pada kata [ratu] yang diucapkan [latu]. Kata [pura-pura] yang memiliki bunyi getar [r] juga diucapkan menjadi lateral [l] yaitu [pula- pula].

  Aturan VIII : Gugus - menjadi C2 -. Contoh pada aturan ini yaitu pada kata

C1 C2

  [pr ↄsↄtan] dan kata [putri]. Kata [prↄsↄtan] diucapkan [pↄsↄtan] sedangkan kata [putri] diucapkan [puti].

c) Pemerolehan Fonologi Usia Lima Tahun

  Dardjowidjojo (2000:114-115) menjelaskan bahwa hampir semua bunyi B1 telah dikuasai oleh anak menjelang usia lima tahun. Hanya ada beberapa bunyi masih “bandel”, terutama bunyi [r]. Di samping itu ada pula bunyi [š], [ń], dan [x] yang masih berfluktuasi. Sampai dengan umur 4;6 bunyi [r] pada anak sering terdengar [l], tetapi sejak itu lidah anak sudah mulai lepas dari titik alveolar, meskipun belum terdengar dengan jelas adanya g etaran berulang. Bunyi lain yakni [š], yang belum muncul pada anak mungkin disebabkan oleh jarangnya bunyi ini dalam bahasa

  Indonesia (Dardjowidjojo, 2000:114). Bunyi [ń] pada anak umur 4;0 yang terkadang masih beralternasi dengan [n] kini saat anak berumur 4;9 sudah mulai dipisahkan.

  Kata punya dan nyanyi, misalnya sudah jelas diucapkan [puńa] dan [ńańi], tidak beralternasi dengan [puna] dan [nani]. Dengan telah dikuasainya bunyi-bunyi tersebut, maka pada umur 4;9 anak (Echa) telah menguasai fonem-fonem dalam bahasa Indonesia. Inventori fonemik untuk vokal dan konsonan pada umur 5;0 dapat dilihat pada bagan berikut :