Pengembangan Materi Ajar Ekspresi Figuratif Bahasa Inggris - Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Asing di Wilayah Surakarta dan Sekitarnya.
(B. Pendidikan)
Pengembangan Materi Ajar Ekspresi Figuratif Bahasa Inggris - Bahasa Indonesia untuk
Mahasiswa Asing di Wilayah Surakarta dan Sekitarnya
Kata kunci: ekspresi figuratif, kategori universal dan kategori kultural, materi ajar dwibahasa
Tarjana, M. Sri Samiati; Ngadiso; Purnomo, Budi
Program Pascasarjana UNS, Penelitian, BOPTN UNS, Hibah Pascasarjana, 2012
Dewasa ini penggunaan bahasa figuratif semakin diperlukan, baik dalam konteks mono- atau dwibahasawan. Seperti dietahui, bahasa figuratif memungkinkan manusia untuk mengutarakan sesuatu
makna yang belum tentu dapat diwadahi dalam bahasa lugas. Pada umumnya bahasa figuratif
dipergunakan dalam bahasa sastra karena para sasrtawan seperti Rendra dan Gunawan Mohamad mahir
menggunakan ekspresi dengan makna estetis dan non-literal.
Namun dewasa ini bahasa figuratif tidak hanya dipergunakan untuk menyatakan ekspresi dalam sastra.
Bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari seperti tampak dalam majalah dan harian
menunjukkan contoh penggunaan metafora yang selalu berkembang dalam masyarakat. Giora (2003)
menyatakan bahwa suatu frasa atau kalimat dapat secara otomatis menyatakan sesuatu makna yang
jangkauannya lebih luas dibandingkan dengan konteksnya. Hal ini terwujud oleh penggunaan fenomena
kebahasaan, seperti two-word verbs dalam bahasa Inggris dan penggabungan morfem dalam bahasa
Indonesia, yang acapkali dalam memperluas makna dalam bahasa. Hal ini disebabkan karena
penggunaan bahasa figuratif memungkinkan manusia untuk mengutarakan sesuatu makna yang belum
tentu dapat diwadahi dalam bahasa lugas.
Dalam era global dewasa ini tampaknya penggunaan bahasa figuratif semakin diperlukan, baik dalam
lingkup mono- atau dwi-bahasa Sayangnya materi kebahasaan yang bersifat dwibahasa masih jarang
didapatkan, kecuali yang memang dibuat untuk kepentingan lintas bahasa. Lebih-lebih bahasa figuratif
tidak selalu dapat diparalelkan dalam teks bahasa yang berbeda, khususnya jika berkait dengan
komponen makna yang bersifat kultural, dan biasanya bersifat language specific dan untranslatable.
Pnelitian Saygin (2001), misalnya menunjukkan perbedaan metafora yang dipakai subyek penelitiannya.
Mereka diminta menerjemahkan beberapa kalimat yang memiliki ungkapan metaforis dari bahasa Inggris
ke bahasa Turki, dan sebaliknya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi metafora dari bahasa
Inggris ke bahasa Turki lebih banyak daripada metafora dari bahasa Turki ke bahasa Inggris.Penelitian ini
sekaligus menunjukkan bahwa orang perlu memahami dan menggunakan ekspresi figuratif tersebut.
Black (2002) melakukan perbandingan fraseologi figuratif bahasa Inggris dan bahasa Melayu tentang
metafora dan metonimi untuk mengantisipasi kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh penutur
Melayu yang sedang belajar bahasa Inggris. Analisis perbandingannya menunjukkan bahwa ekspresi
figuratif bahasa Inggris yang paling mudah dikuasai adlah yang memiliki kesamaan konsep dan bentuk
linguuistik dengan bahasa Melayu. Adapun ekspresi figuratif bahasa Inggris yang paling sulit dikuasai
adalah ekspresi figuratif yang memiliki perbedaan konsep dan kesamaan bentuk linguistik dengan bahasa
Melayu, serta ekspresi khusus yang memiliki perbedaan konsep dan bentuk linguistik dengan bahasa
Melayu.
Telah disebutkan, bahwa pada umumnya memahami materi paralel berisi fenomena figuratif dalam dua
bahasa dapat bermasalah. Kajian Littlemore (2004) dan Littlemore, et.al. (2011) menunjukkan bahwa
mahasiswa internasional pada umumnya memerlukan pemahaman ekspresi figuratif metafora untuk
mendukung pembelajarannya. Kajian mereka menunjukkan bahwa mahasiswa internasional yang bahasa
aslinya bukan bahasa Inggris mengalami kesulitan dalam memahami materi perkuliahan yang
disampaikan dengan ekspresi figuratif metafora. Ketidakmampuan mahasiswa memahami ungkapan
metaforis dalam perkuliahan dikhawatirkan akan menyebabkan kegagalan mahasiswa dalam memahami
bagian-bagian penting dari isi perkuliahan itu. Adapun Littlemore dan Low (2006) menunjukkan
pentingnya penguasaan ekspresi figuratif metafora (metaphoric competence) dalam pembelajaran
bahasa kedua untuk membentuk kompetensi komunikatif dalam bahasa yang dipelajari. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa penguasaan ekspresi figuratif metafora memiliki peranan penting dalam
pengembangan kompetensi komunikatif bahasa secara total, yang pada hakekatnya harus dikembangkan
secara simultan dengan kompetensi kebahasaan lain, yakni yang meliputi kompetensi gramatikal,
kompetensi tekstual, kompetensi ilokusi, kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi strategis.
Mengingat perlunya pemahaman bahasa figuratif tersebut, diperlukan upaya untuk mendukung
pemahaman fenomena bahasa figuratif dalam bahasa Inggris – bahasa Indonesia, yang menjadi kajian
penelitian ini. Penelitian ini bersifat multi-years, dan merupakan penelitian Research and Development
(Borg dan Gall, 1983). Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model, yakni
“model materi ajar ekspresi figuratif lintas budaya mahasiswa asing”.Penelitiannya disusun dalam tiga
tahap: (1) tahap eksplorasi, sebagai dasar menidentifikasi bentuk dan fungsi ekspresi figurativf bahasa
Inggris-bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing; (2) tahap pengembangan model secara terbatas, dan
(3) tahap pengembangan model yang diperluar.
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk membuat model materi ajar ekspresi figuratif bahasa
Inggris-bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing di wilayah Surakarta dan sekitarnya.. Secara khusus,
pada tahun pertama penelitian bertujuan untuk (1) mengidentifikasi ekspresi figuratif yang dipakai dan
ditemukan pada interaksi lintas budaya mahasiswa asing di wilayah Surakarta dan sekitarnya dan (2)
mendeskripsikan faktor social budaya yang dihadapi mahasiswa ketika menghadapi realia dwibahasa
bahasa Inggrisbahasa Indonesia; Berikutnya akan dilanjutkan dengan (3) merancang prototip materi ajar
ekspresi figurative bahasa Inggris –bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing di wilayah Surakarta, serta
(4) menyusun materi ajar ekspresi figuratif yang telah diujicobakan .Kedua tujuan yang terakhir ini
masing-masing akan dilaksanakan pada tahun II dan tahun III.
Sumber data adalah mahasiswa asing di wilayah Surakarta dan sekitarnya, yang menempuh pendidikan
di berbagai PT di wilayah tersebut, seperti di UNS, ISI, UMS dan STTP Sahid. Selain itu dikaji pula realia
atau materi otentik dwibahasa bahasa Inggris –bahasa Indonesia, seperti majalah Garuda, Travelonge,
buku bacaan bahasa Inggris yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dan berbagai brosur dan
media informasi bersifat dwibahasa.
Metode pengumjpulan data dilakukan dengan pengamatan tak berperan, dan analisis dokumen. Untuk
mendapat data yang valid, dilakukan constant comparative method yang meliputi empat langkah, yakni
menentukan satuan informasi, menentukan kategori berdasarkan kesamaan ciiri informasi, menentukan
hubungan antar kategori, dan mengembangkan teori berdsarkan jenis hubungan antarkategori informasi.
Khusus dalam hal membuat telaah kebahasaannya, diasumsikan bahwa bahwa bahasa sumber adalah
bahasa Inggris sedang bahasa Indonesia adalah bahasa sasaran. Pencermatan terhadap keduanya
dilakukan dengan acuan selektibilitas dan komparabitas dari jenis datanya. Selanjutnya dilakukan analisis
yang mempertimbangkan: bentuk dan fungsi tuturan, konteks, dan maknanya. Penelitian ini dibatasi
pada ekspresi figurattif berbentuk kata, frasa dan kalimat, meskipun konteks menjadi bahan
pertimbangan acuan maknanya. Kemudian dilakukan analisis untuk memperoleh jenis ekspresi figuratif
yang terwadahi dalam kategori besar, yakni kategori universal (semesta) dan kategori budaya (spesifik)
Masing-masing masih dikaji ke dalam jenis kategori yang lebih kecil untuk mencari jenis kategori ekspresi
figuratifnya.. Dengan demikian analisis dilakukan secara rinci untuk mendapat relasi hubungan antara
bentuk, makna, fungsi dan konteksnya. Kajian ini menggunakan data kebahasaan berjumlah 174 tuturan,
dan menghasilkan dua kelompok kategori, yakni kategori universal 80 (45,98%) data dan kategori
budaya.sebanyak 94 (54,02%) data. Masing-masing ekspresi figuratif tersebut dikelompokkan menjadi
berbagai jenis makna figurattif, yang menghasilkan personifikasi 30 (17,24%), metafora 28 (16,09%),
idiom 23 (13,22%), simile 2 (1,15%) dan hiperbola 2 (1,15%).
Hasil kajian kebahasaan tersebut selanjutnya dipakai sebagai acuan dalam membuat silabus dan materi
ajarnya. Disini standar kompetensi yang diharapkan adalah agar mahasiswa asing dapat menggunakan
ekspresi figuratif bahasa Inggris bahasa Indonesia secara kontekstual. Dari pencermatan terhadap
prosedur dan hasil kajian kebahasaan tersebut, ditemukan komponen dasar berikut ini : (1)
membedakan antara makna figuratif dan non-figuratif dalam interaksi sehari-hari; (2) menjelaskan
konteks yang perlu diperhatikan dalam memahami makna tuturan dalam interaksi lintas budaya; (3)
mengenali faktor-faktor sosial dalam memahami ekspresi figuratif dalam interaksi lintas budaya; (4)
membedakan antara ekspresi figuratif universal dan cultural; (5) membedakan antara ekspresi figuratif
dengan makna metofora dan personifikaasi; (6) membedakan antara ekspresi figurative dengan makna
simile, idiom, dan metomini; serta (7) menggunakan ekspresi figuratif bahasa Inggris bahasa Indonesia
dalam interkasi lintas budaya.
Dari hasil kajian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa strategi dalam memaknai bentuk-bentuk
figuratif perlu dilakukan dengan mempertimbangkan konteksnya. Jenis ekspresi figuratif tersebut dikaji
berdasarkan makna dari tiap komponen figuratif itu. Dalam kajian ini fenomena kebahasaan yang dikaji
adalah ekspresi figuratif berbentuk kata, frasa atau kalimat, sedangkan ekspresi figuratif tekstual tidak
dikaji. Ekspresi figuratif tersebut dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yakni yang bersifat
universal atau kultural. Selanjutnya dilakukan pencermatan terhadap jenis yang lebih rinci, yang
dirancang secara bertahap bagi pemahaman dan pembelajarannya dalam silabus, khususnya agar
mahasiswaasing dapat memahami ekspresi figurative tersebut secara komprehensif. Dengan
langkahlangkah tersebut diharapkan akan dapat dibuat materi ajar dwibahasa ekspresi figuratif yang
komprenesif untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa asing.
Pengembangan Materi Ajar Ekspresi Figuratif Bahasa Inggris - Bahasa Indonesia untuk
Mahasiswa Asing di Wilayah Surakarta dan Sekitarnya
Kata kunci: ekspresi figuratif, kategori universal dan kategori kultural, materi ajar dwibahasa
Tarjana, M. Sri Samiati; Ngadiso; Purnomo, Budi
Program Pascasarjana UNS, Penelitian, BOPTN UNS, Hibah Pascasarjana, 2012
Dewasa ini penggunaan bahasa figuratif semakin diperlukan, baik dalam konteks mono- atau dwibahasawan. Seperti dietahui, bahasa figuratif memungkinkan manusia untuk mengutarakan sesuatu
makna yang belum tentu dapat diwadahi dalam bahasa lugas. Pada umumnya bahasa figuratif
dipergunakan dalam bahasa sastra karena para sasrtawan seperti Rendra dan Gunawan Mohamad mahir
menggunakan ekspresi dengan makna estetis dan non-literal.
Namun dewasa ini bahasa figuratif tidak hanya dipergunakan untuk menyatakan ekspresi dalam sastra.
Bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari seperti tampak dalam majalah dan harian
menunjukkan contoh penggunaan metafora yang selalu berkembang dalam masyarakat. Giora (2003)
menyatakan bahwa suatu frasa atau kalimat dapat secara otomatis menyatakan sesuatu makna yang
jangkauannya lebih luas dibandingkan dengan konteksnya. Hal ini terwujud oleh penggunaan fenomena
kebahasaan, seperti two-word verbs dalam bahasa Inggris dan penggabungan morfem dalam bahasa
Indonesia, yang acapkali dalam memperluas makna dalam bahasa. Hal ini disebabkan karena
penggunaan bahasa figuratif memungkinkan manusia untuk mengutarakan sesuatu makna yang belum
tentu dapat diwadahi dalam bahasa lugas.
Dalam era global dewasa ini tampaknya penggunaan bahasa figuratif semakin diperlukan, baik dalam
lingkup mono- atau dwi-bahasa Sayangnya materi kebahasaan yang bersifat dwibahasa masih jarang
didapatkan, kecuali yang memang dibuat untuk kepentingan lintas bahasa. Lebih-lebih bahasa figuratif
tidak selalu dapat diparalelkan dalam teks bahasa yang berbeda, khususnya jika berkait dengan
komponen makna yang bersifat kultural, dan biasanya bersifat language specific dan untranslatable.
Pnelitian Saygin (2001), misalnya menunjukkan perbedaan metafora yang dipakai subyek penelitiannya.
Mereka diminta menerjemahkan beberapa kalimat yang memiliki ungkapan metaforis dari bahasa Inggris
ke bahasa Turki, dan sebaliknya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi metafora dari bahasa
Inggris ke bahasa Turki lebih banyak daripada metafora dari bahasa Turki ke bahasa Inggris.Penelitian ini
sekaligus menunjukkan bahwa orang perlu memahami dan menggunakan ekspresi figuratif tersebut.
Black (2002) melakukan perbandingan fraseologi figuratif bahasa Inggris dan bahasa Melayu tentang
metafora dan metonimi untuk mengantisipasi kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh penutur
Melayu yang sedang belajar bahasa Inggris. Analisis perbandingannya menunjukkan bahwa ekspresi
figuratif bahasa Inggris yang paling mudah dikuasai adlah yang memiliki kesamaan konsep dan bentuk
linguuistik dengan bahasa Melayu. Adapun ekspresi figuratif bahasa Inggris yang paling sulit dikuasai
adalah ekspresi figuratif yang memiliki perbedaan konsep dan kesamaan bentuk linguistik dengan bahasa
Melayu, serta ekspresi khusus yang memiliki perbedaan konsep dan bentuk linguistik dengan bahasa
Melayu.
Telah disebutkan, bahwa pada umumnya memahami materi paralel berisi fenomena figuratif dalam dua
bahasa dapat bermasalah. Kajian Littlemore (2004) dan Littlemore, et.al. (2011) menunjukkan bahwa
mahasiswa internasional pada umumnya memerlukan pemahaman ekspresi figuratif metafora untuk
mendukung pembelajarannya. Kajian mereka menunjukkan bahwa mahasiswa internasional yang bahasa
aslinya bukan bahasa Inggris mengalami kesulitan dalam memahami materi perkuliahan yang
disampaikan dengan ekspresi figuratif metafora. Ketidakmampuan mahasiswa memahami ungkapan
metaforis dalam perkuliahan dikhawatirkan akan menyebabkan kegagalan mahasiswa dalam memahami
bagian-bagian penting dari isi perkuliahan itu. Adapun Littlemore dan Low (2006) menunjukkan
pentingnya penguasaan ekspresi figuratif metafora (metaphoric competence) dalam pembelajaran
bahasa kedua untuk membentuk kompetensi komunikatif dalam bahasa yang dipelajari. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa penguasaan ekspresi figuratif metafora memiliki peranan penting dalam
pengembangan kompetensi komunikatif bahasa secara total, yang pada hakekatnya harus dikembangkan
secara simultan dengan kompetensi kebahasaan lain, yakni yang meliputi kompetensi gramatikal,
kompetensi tekstual, kompetensi ilokusi, kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi strategis.
Mengingat perlunya pemahaman bahasa figuratif tersebut, diperlukan upaya untuk mendukung
pemahaman fenomena bahasa figuratif dalam bahasa Inggris – bahasa Indonesia, yang menjadi kajian
penelitian ini. Penelitian ini bersifat multi-years, dan merupakan penelitian Research and Development
(Borg dan Gall, 1983). Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model, yakni
“model materi ajar ekspresi figuratif lintas budaya mahasiswa asing”.Penelitiannya disusun dalam tiga
tahap: (1) tahap eksplorasi, sebagai dasar menidentifikasi bentuk dan fungsi ekspresi figurativf bahasa
Inggris-bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing; (2) tahap pengembangan model secara terbatas, dan
(3) tahap pengembangan model yang diperluar.
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk membuat model materi ajar ekspresi figuratif bahasa
Inggris-bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing di wilayah Surakarta dan sekitarnya.. Secara khusus,
pada tahun pertama penelitian bertujuan untuk (1) mengidentifikasi ekspresi figuratif yang dipakai dan
ditemukan pada interaksi lintas budaya mahasiswa asing di wilayah Surakarta dan sekitarnya dan (2)
mendeskripsikan faktor social budaya yang dihadapi mahasiswa ketika menghadapi realia dwibahasa
bahasa Inggrisbahasa Indonesia; Berikutnya akan dilanjutkan dengan (3) merancang prototip materi ajar
ekspresi figurative bahasa Inggris –bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing di wilayah Surakarta, serta
(4) menyusun materi ajar ekspresi figuratif yang telah diujicobakan .Kedua tujuan yang terakhir ini
masing-masing akan dilaksanakan pada tahun II dan tahun III.
Sumber data adalah mahasiswa asing di wilayah Surakarta dan sekitarnya, yang menempuh pendidikan
di berbagai PT di wilayah tersebut, seperti di UNS, ISI, UMS dan STTP Sahid. Selain itu dikaji pula realia
atau materi otentik dwibahasa bahasa Inggris –bahasa Indonesia, seperti majalah Garuda, Travelonge,
buku bacaan bahasa Inggris yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dan berbagai brosur dan
media informasi bersifat dwibahasa.
Metode pengumjpulan data dilakukan dengan pengamatan tak berperan, dan analisis dokumen. Untuk
mendapat data yang valid, dilakukan constant comparative method yang meliputi empat langkah, yakni
menentukan satuan informasi, menentukan kategori berdasarkan kesamaan ciiri informasi, menentukan
hubungan antar kategori, dan mengembangkan teori berdsarkan jenis hubungan antarkategori informasi.
Khusus dalam hal membuat telaah kebahasaannya, diasumsikan bahwa bahwa bahasa sumber adalah
bahasa Inggris sedang bahasa Indonesia adalah bahasa sasaran. Pencermatan terhadap keduanya
dilakukan dengan acuan selektibilitas dan komparabitas dari jenis datanya. Selanjutnya dilakukan analisis
yang mempertimbangkan: bentuk dan fungsi tuturan, konteks, dan maknanya. Penelitian ini dibatasi
pada ekspresi figurattif berbentuk kata, frasa dan kalimat, meskipun konteks menjadi bahan
pertimbangan acuan maknanya. Kemudian dilakukan analisis untuk memperoleh jenis ekspresi figuratif
yang terwadahi dalam kategori besar, yakni kategori universal (semesta) dan kategori budaya (spesifik)
Masing-masing masih dikaji ke dalam jenis kategori yang lebih kecil untuk mencari jenis kategori ekspresi
figuratifnya.. Dengan demikian analisis dilakukan secara rinci untuk mendapat relasi hubungan antara
bentuk, makna, fungsi dan konteksnya. Kajian ini menggunakan data kebahasaan berjumlah 174 tuturan,
dan menghasilkan dua kelompok kategori, yakni kategori universal 80 (45,98%) data dan kategori
budaya.sebanyak 94 (54,02%) data. Masing-masing ekspresi figuratif tersebut dikelompokkan menjadi
berbagai jenis makna figurattif, yang menghasilkan personifikasi 30 (17,24%), metafora 28 (16,09%),
idiom 23 (13,22%), simile 2 (1,15%) dan hiperbola 2 (1,15%).
Hasil kajian kebahasaan tersebut selanjutnya dipakai sebagai acuan dalam membuat silabus dan materi
ajarnya. Disini standar kompetensi yang diharapkan adalah agar mahasiswa asing dapat menggunakan
ekspresi figuratif bahasa Inggris bahasa Indonesia secara kontekstual. Dari pencermatan terhadap
prosedur dan hasil kajian kebahasaan tersebut, ditemukan komponen dasar berikut ini : (1)
membedakan antara makna figuratif dan non-figuratif dalam interaksi sehari-hari; (2) menjelaskan
konteks yang perlu diperhatikan dalam memahami makna tuturan dalam interaksi lintas budaya; (3)
mengenali faktor-faktor sosial dalam memahami ekspresi figuratif dalam interaksi lintas budaya; (4)
membedakan antara ekspresi figuratif universal dan cultural; (5) membedakan antara ekspresi figuratif
dengan makna metofora dan personifikaasi; (6) membedakan antara ekspresi figurative dengan makna
simile, idiom, dan metomini; serta (7) menggunakan ekspresi figuratif bahasa Inggris bahasa Indonesia
dalam interkasi lintas budaya.
Dari hasil kajian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa strategi dalam memaknai bentuk-bentuk
figuratif perlu dilakukan dengan mempertimbangkan konteksnya. Jenis ekspresi figuratif tersebut dikaji
berdasarkan makna dari tiap komponen figuratif itu. Dalam kajian ini fenomena kebahasaan yang dikaji
adalah ekspresi figuratif berbentuk kata, frasa atau kalimat, sedangkan ekspresi figuratif tekstual tidak
dikaji. Ekspresi figuratif tersebut dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yakni yang bersifat
universal atau kultural. Selanjutnya dilakukan pencermatan terhadap jenis yang lebih rinci, yang
dirancang secara bertahap bagi pemahaman dan pembelajarannya dalam silabus, khususnya agar
mahasiswaasing dapat memahami ekspresi figurative tersebut secara komprehensif. Dengan
langkahlangkah tersebut diharapkan akan dapat dibuat materi ajar dwibahasa ekspresi figuratif yang
komprenesif untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa asing.