kelas ini milik siapa
KELAS INI MILIK SIAPA?
Oleh :Joko Dillah
UPT Gucialit
“Lho, hari gini kok masih tanya kelas ini milik siapa? Kelas beserta isinya
(termasuk murid) ya milik Pak Guru. Yang bisa membuat kelas ini merah, hijau
atau abu-abu, ya Pak Guru. Kelas menjadi ramai seperti pasar atau sepi seperti
kuburan ya polah Pak Guru. Kelas seperti taman bunga atau bak padang pasir
yang gersang ya “gawe” Pak Guru. Bangku ditata melingkar,membujur atau
dibuat bertingkat ya inisiatif Pak Guru. Dinding kelas penuh gambar peraga atau
kosong “melompong” ya berkat kreatifitas Pak Guru. Pokoknya di tangan Pak Guru
lah segalanya bisa terjadi. Lebih-lebih guru bisa menobatkan diri sebagai
penguasa kelas yang titahnya wajib didengar, ditaati dan dilaksanakan.
“Itu dulu”. Gambaran guru jaman “senien” memang begitu. Tapi kini jaman
sudah berubah. Guru di jaman sekarang bukan satu-satunya sosok yang paling
menentukan di kelas, walau tidak dapat di pungkiri bahwa posisi guru sampai
kapanpun tidak bisa dan tidak mungkin bisa diganti atau di tukar dengan alat
secanggih apapun.
Paradigma sekarang, guru bukanlah penguasa kelas sementara murid
hanya diposisikan “sendika dhawuh” yang siap melaksanakan segala titah
guru. Kalau posisi ini tetap dipertahankan, maka gurulah yang sukses, pintar,
trampil dan berkembang sementara murid tercetak menjadi generasi ”tunggu
perintah”.
Sekarang ini yang perlu dan mendesak untuk diterapkan adalah merubah
“mind set” dari kelas milik Guru menjadi kelas milik murid. Perubahan cara
pandang ini menuntut kerelaan guru untuk melepas sebagian kekuasaannya yang
selama ini membelenggu murid, agar ke depan murid bisa lebih laju berkembang.
Merubah cara pandang ini bukanlah hal yang gampang, tapi butuh waktu dan
keiklasan, sebab tidak sedikit guru yang masih ingin
mempertahankan diri
sebagai penguasa kelas.
Paradigma
kelas
milik
murid
dapat
memberikan
keuntungan
sebagai berikut:
Pertama : Jika paradigma ini terus menerus di sosialisasikan dan
ditanamkan bahwa kelas ini milik murid, maka secara sosial psykhologi akan
mengurangi bahkan menghilangkan rasa canggung dan takut anak. Karena masuk
kelas berarti anak masuk rumah rumah sendiri. Anak yang dulunya takut
mengacungkan tangan untuk bertanya, kini sudah tidak lagi. Anak yang dulunya
takut mengeluarkan pendapatnya karena takut disalahkan, kini sudah tidak lagi.
Semua itu karena suasana dan nuansa kelas sudah berubah. Anak belajar dan
berlatih lebih enjoy. Guru sudah tidak lagi “menggenggam” kelas yang
menyebabkan murid sulit bergerak apalagi bernafas. Guru tidak lagi bertindak
sebagai komandan kelas yang mengamati setiap gerak gerik murid. Tetapi di era
sekarang guru dituntut lebih berperan sebagai fasilitator yang menciptakan iklim
inovatif kreatif yang sehat dan ramah.
Kedua : Karena kelas sudah menjadi milik murid, maka dengan sendirinya
muridlah yang harus bertanggung jawab terhadap “barang miliknya” yang berupa
kelas dan suasananya. Murid dengan sendirinya akan takut merusak, menciderai
atau berbuat tidak baik terhadap kelasnya. Semua murid berkewajiban menjaga,
merawat,
melindungi
dari
semua
ancaman
dan
gangguan
yang
dapat
mengancam suasana kelas. Sebaliknya, kalau kelas ini milik guru, maka murid
cenderung acuh, tidak peduli dan membiarkan karena murid merasa tidak
memiliki dan hanya menumpang di kelas ini.
Ketiga : Ketika guru sedikit demi sedikit menarik diri sebagai komandan
kelas, maka murid sedikit demi sedikit mulai belajar menjadi pemimpin baru yang
berlatih memimpin dirinya sendiri dan teman-temannya. Guru sudah tidak perlu
berteriak melarang murid, tapi murid dituntut belajar tahu diri agar tidak terjadi
keributan yang dapat menggangg proses belajar. Motivasi yang timbul dari dalam
inilah yang sangat dibutuhkan dalam pembelajaran karakter. Kedepan dengan
cara ini, diharapkan anak berhenti melakukan perbuatan tercela bukan karena
takut dihukum, takut dimarahi atau takut dibentak guru. Tapi karena kesadaran
sendiri bahwa apa yang ia perbuat ternyata dapat merugikan banyak orang. Kelak
ketika murid ini menjadi pemimpin, ia mentaati peraturan bukan karena takut
polisi, takut jaksa, takut KPK, tapi karena kesadaran bahwa melanggar peraturan
dapat merugikan diri sendiri, lebih-lebih merugikan bangsa dan negara tercinta.
Keempat : Dengan paradigma ini, segala aktifitas di kelas berpusat pada
murid. Apa yang di lakukan guru mulai pagi sampai siang, mulai RPP sampai
evaluasi, remidi dan pengayaan, mulai LKS sampai analisa hasil belajar sematamata demi keberasilan murid sebagai pemilik kelas dan pemilik masa depan.
Suasana kelas dibangun bersama antara murid dan guru sesuai kondisi. Sungguh
langkah yang tidak terpuji jika situasi dan kondisi kelas dalam satu sekolahan
dibuat sama, sebangun dan seragam. Kalau ini yang terjadi ”matilah” kreatifitas
anak sebagai pemilik kelas. Kelas mencerminkan penghuninya dan tiap penghuni
punya minat, selera yang berbeda dan perlu mendapat apresiasi.
Kelima : Kalau kelas ini milik guru, maka guru cenderung menggunakan
model pembelajaran satu arah. Semuanya bersifat instruksi doktrinasi. Tidak ada
ruang dialog. ”Saya yang berkuasa di kelas ini, mau apa?”, kata Pak Guru bangga.
Kalau sudah begini, timbul persepsi negatif. Murid lambat laun manarik diri dan
mengasingkan diri. Murid takut bersaing dengan gurunya karena bersaing dengan
guru dianggap tidak sopan. Tetapi dengan pola kelas milik murid, maka situasi
pembelajaran akan sesuai dengan minat murid. Ruang kebebasan bertanya dan
mengeluarkan
pandapat
sedikit
terbuka.
Adadialog.
Murid
punya
banyak
kesempatan untuk mencoba tanpa takut salah. Ada ruang untuk eksplorasi dan ini
merupakan kunci untuk membuka pintu pengetahuan. Disamping itu, pola ini
mendorong murid untuk belajar toleransi, belajar mengambil sikap, belajar
melihat dan merekam situasi, belajar menghargai pendapat orang lain, belajar
menahan diri, belajar mendengarkan pendapat orang lain dan masih banyak lagi
pembelajaran yang didapat termasuk belajar mengelola kelas.
Penutup
Proses pendidikan dengan pola kelas milik murid, dapat menumbuhkan
penghargaan dan pengharapan baru bagi murid. Murid mau tidak mau dituntut
untuk mulai belajar menjadi pemimpin. Disamping belajar memimpin, murid juga
belajar menjadi
orang yang dipimpin.
Murid
dan
guru
dengan
sukarela
meleburkan diri bersama-sama dalam proses pembelajaran mengolah bersama
realitas kehidupan, menggali nilai darinya dan mengikat makna kebersamaan
sehingga
murid
kepemimpinannya.
selain
Hal
tumbuh
ini
pengetahuannya,
merupakan
penanaman
juga
nilai
tumbuh
sebagai
potensi
upaya
pembentukan karakter. LUAR BIASA.
Perlu diingat, pendidikan karakter tidak sekali jadi. Tapi butuh wahana dan
kesempatan yang terus menerus untuk semai, tumbuh dan berkembang. Orang
tua, masyarakat dan guru bersinergi memupuk benih-benih karakter itu. ”Anakanak kelas ini milikmu. Kelola dengan baik, kelak kalian akan mengelola negara”.
Selamat.
(Gucialit awal 2013)
Oleh :Joko Dillah
UPT Gucialit
“Lho, hari gini kok masih tanya kelas ini milik siapa? Kelas beserta isinya
(termasuk murid) ya milik Pak Guru. Yang bisa membuat kelas ini merah, hijau
atau abu-abu, ya Pak Guru. Kelas menjadi ramai seperti pasar atau sepi seperti
kuburan ya polah Pak Guru. Kelas seperti taman bunga atau bak padang pasir
yang gersang ya “gawe” Pak Guru. Bangku ditata melingkar,membujur atau
dibuat bertingkat ya inisiatif Pak Guru. Dinding kelas penuh gambar peraga atau
kosong “melompong” ya berkat kreatifitas Pak Guru. Pokoknya di tangan Pak Guru
lah segalanya bisa terjadi. Lebih-lebih guru bisa menobatkan diri sebagai
penguasa kelas yang titahnya wajib didengar, ditaati dan dilaksanakan.
“Itu dulu”. Gambaran guru jaman “senien” memang begitu. Tapi kini jaman
sudah berubah. Guru di jaman sekarang bukan satu-satunya sosok yang paling
menentukan di kelas, walau tidak dapat di pungkiri bahwa posisi guru sampai
kapanpun tidak bisa dan tidak mungkin bisa diganti atau di tukar dengan alat
secanggih apapun.
Paradigma sekarang, guru bukanlah penguasa kelas sementara murid
hanya diposisikan “sendika dhawuh” yang siap melaksanakan segala titah
guru. Kalau posisi ini tetap dipertahankan, maka gurulah yang sukses, pintar,
trampil dan berkembang sementara murid tercetak menjadi generasi ”tunggu
perintah”.
Sekarang ini yang perlu dan mendesak untuk diterapkan adalah merubah
“mind set” dari kelas milik Guru menjadi kelas milik murid. Perubahan cara
pandang ini menuntut kerelaan guru untuk melepas sebagian kekuasaannya yang
selama ini membelenggu murid, agar ke depan murid bisa lebih laju berkembang.
Merubah cara pandang ini bukanlah hal yang gampang, tapi butuh waktu dan
keiklasan, sebab tidak sedikit guru yang masih ingin
mempertahankan diri
sebagai penguasa kelas.
Paradigma
kelas
milik
murid
dapat
memberikan
keuntungan
sebagai berikut:
Pertama : Jika paradigma ini terus menerus di sosialisasikan dan
ditanamkan bahwa kelas ini milik murid, maka secara sosial psykhologi akan
mengurangi bahkan menghilangkan rasa canggung dan takut anak. Karena masuk
kelas berarti anak masuk rumah rumah sendiri. Anak yang dulunya takut
mengacungkan tangan untuk bertanya, kini sudah tidak lagi. Anak yang dulunya
takut mengeluarkan pendapatnya karena takut disalahkan, kini sudah tidak lagi.
Semua itu karena suasana dan nuansa kelas sudah berubah. Anak belajar dan
berlatih lebih enjoy. Guru sudah tidak lagi “menggenggam” kelas yang
menyebabkan murid sulit bergerak apalagi bernafas. Guru tidak lagi bertindak
sebagai komandan kelas yang mengamati setiap gerak gerik murid. Tetapi di era
sekarang guru dituntut lebih berperan sebagai fasilitator yang menciptakan iklim
inovatif kreatif yang sehat dan ramah.
Kedua : Karena kelas sudah menjadi milik murid, maka dengan sendirinya
muridlah yang harus bertanggung jawab terhadap “barang miliknya” yang berupa
kelas dan suasananya. Murid dengan sendirinya akan takut merusak, menciderai
atau berbuat tidak baik terhadap kelasnya. Semua murid berkewajiban menjaga,
merawat,
melindungi
dari
semua
ancaman
dan
gangguan
yang
dapat
mengancam suasana kelas. Sebaliknya, kalau kelas ini milik guru, maka murid
cenderung acuh, tidak peduli dan membiarkan karena murid merasa tidak
memiliki dan hanya menumpang di kelas ini.
Ketiga : Ketika guru sedikit demi sedikit menarik diri sebagai komandan
kelas, maka murid sedikit demi sedikit mulai belajar menjadi pemimpin baru yang
berlatih memimpin dirinya sendiri dan teman-temannya. Guru sudah tidak perlu
berteriak melarang murid, tapi murid dituntut belajar tahu diri agar tidak terjadi
keributan yang dapat menggangg proses belajar. Motivasi yang timbul dari dalam
inilah yang sangat dibutuhkan dalam pembelajaran karakter. Kedepan dengan
cara ini, diharapkan anak berhenti melakukan perbuatan tercela bukan karena
takut dihukum, takut dimarahi atau takut dibentak guru. Tapi karena kesadaran
sendiri bahwa apa yang ia perbuat ternyata dapat merugikan banyak orang. Kelak
ketika murid ini menjadi pemimpin, ia mentaati peraturan bukan karena takut
polisi, takut jaksa, takut KPK, tapi karena kesadaran bahwa melanggar peraturan
dapat merugikan diri sendiri, lebih-lebih merugikan bangsa dan negara tercinta.
Keempat : Dengan paradigma ini, segala aktifitas di kelas berpusat pada
murid. Apa yang di lakukan guru mulai pagi sampai siang, mulai RPP sampai
evaluasi, remidi dan pengayaan, mulai LKS sampai analisa hasil belajar sematamata demi keberasilan murid sebagai pemilik kelas dan pemilik masa depan.
Suasana kelas dibangun bersama antara murid dan guru sesuai kondisi. Sungguh
langkah yang tidak terpuji jika situasi dan kondisi kelas dalam satu sekolahan
dibuat sama, sebangun dan seragam. Kalau ini yang terjadi ”matilah” kreatifitas
anak sebagai pemilik kelas. Kelas mencerminkan penghuninya dan tiap penghuni
punya minat, selera yang berbeda dan perlu mendapat apresiasi.
Kelima : Kalau kelas ini milik guru, maka guru cenderung menggunakan
model pembelajaran satu arah. Semuanya bersifat instruksi doktrinasi. Tidak ada
ruang dialog. ”Saya yang berkuasa di kelas ini, mau apa?”, kata Pak Guru bangga.
Kalau sudah begini, timbul persepsi negatif. Murid lambat laun manarik diri dan
mengasingkan diri. Murid takut bersaing dengan gurunya karena bersaing dengan
guru dianggap tidak sopan. Tetapi dengan pola kelas milik murid, maka situasi
pembelajaran akan sesuai dengan minat murid. Ruang kebebasan bertanya dan
mengeluarkan
pandapat
sedikit
terbuka.
Adadialog.
Murid
punya
banyak
kesempatan untuk mencoba tanpa takut salah. Ada ruang untuk eksplorasi dan ini
merupakan kunci untuk membuka pintu pengetahuan. Disamping itu, pola ini
mendorong murid untuk belajar toleransi, belajar mengambil sikap, belajar
melihat dan merekam situasi, belajar menghargai pendapat orang lain, belajar
menahan diri, belajar mendengarkan pendapat orang lain dan masih banyak lagi
pembelajaran yang didapat termasuk belajar mengelola kelas.
Penutup
Proses pendidikan dengan pola kelas milik murid, dapat menumbuhkan
penghargaan dan pengharapan baru bagi murid. Murid mau tidak mau dituntut
untuk mulai belajar menjadi pemimpin. Disamping belajar memimpin, murid juga
belajar menjadi
orang yang dipimpin.
Murid
dan
guru
dengan
sukarela
meleburkan diri bersama-sama dalam proses pembelajaran mengolah bersama
realitas kehidupan, menggali nilai darinya dan mengikat makna kebersamaan
sehingga
murid
kepemimpinannya.
selain
Hal
tumbuh
ini
pengetahuannya,
merupakan
penanaman
juga
nilai
tumbuh
sebagai
potensi
upaya
pembentukan karakter. LUAR BIASA.
Perlu diingat, pendidikan karakter tidak sekali jadi. Tapi butuh wahana dan
kesempatan yang terus menerus untuk semai, tumbuh dan berkembang. Orang
tua, masyarakat dan guru bersinergi memupuk benih-benih karakter itu. ”Anakanak kelas ini milikmu. Kelola dengan baik, kelak kalian akan mengelola negara”.
Selamat.
(Gucialit awal 2013)