ADAPTASI DAN STANDARISASI MULTIDIMENSIONAL APTITUDE BATTERY – II SEBAGAI TES INTELEGENSI BAGI SISWA SMA.

(1)

ADAPTASI DAN STANDARISASI MULTIDIMENSIONAL APTITUDE BATTERY – II SEBAGAI TES INTELEGENSI BAGI SISWA SMA (Studi pengembangan instrumen terhadap siswa Sekolah Menengah Atas di Kota

dan Kabupaten Bandung)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

DEWANG SULISTIANA (1004859)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2014


(2)

ADAPTASI DAN STANDARISASI MULTIDIMENSIONAL APTITUDE BATTERY – II SEBAGAI TES INTELEGENSI BAGI SISWA SMA

ADAPTASI DAN STANDARISASI MULTIDIMENSIONAL APTITUDE BATTERY – II SEBAGAI TES INTELEGENSI BAGI SISWA SMA


(3)

DEWANG SULISTIANA, 2014

ADAPTASI DAN STANDARISASI MULTIDIMENSIONAL APTITUDE BATTERY – II SEBAGAI TES ABSTRAK

Dewang Sulistiana. 2014. Adaptasi dan Standarisasi Multidimensional Aptitude Battery – II Sebagai Tes Intelegensi bagi Siswa SMA (Studi Pengembangan Instrumen Terhadap Siswa Sekolah Menengah Atas dan Sederajat di Bandung Tahun Ajaran 2013/20014). Tesis. Dibimbing oleh: Dr. Suherman, M.Pd. (Pembimbing 1); dan Dr. Nurhudaya, M.Pd. (Pembimbing 2). Program Studi Bimbingan dan Konseling, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia.

Penelitian ini bertujuan menguji kebaikan Multidimensional Aptitude Battery – II hasil Adaptasi sebagai tes intelegensi bagi Siswa SMA. Penelitian menggunakan pendekatan mixed methodology design dengan mengkombinasikan unsur prinsipil dari tiga metode riset secara hirarkis berkesinambungan, yaitu

exploratory, descriptive-verification, dan developmental research. Penelitian

dilakukan di beberapa sekolah menengah atas SMA dan sederajat di bandung dengan mengambil subjek penelitian yakni siswa kelas X dan kelas XI yang ditentukan dengan probability sampling yaitu dengan teknik stratified random

sampling. . Instrumen penelitian yang digunakan adalah Multidimensional Aptitude Battery II. Hasil penelitian menunjukkan secara empirik, bahwa

Multidimensional Aptitude Battery – II cocok untuk digunakan sebagai alat ukur intelegensi bagi siswa SMA di bandung berdasarkan uji empirik dengan sampel yang telah ditentukan.

Kata Kunci : Multidimensional Aptitude Battery – II, Intelegensi, Siswa SMA/SMK


(4)

DEWANG SULISTIANA, 2014


(5)

DAFTAR ISI

Abstrak i

Lembar Pernyataan ii

Kata Pengantar iii

Ucapan Terima Kasih iv

Daftar Isi v

Daftar Tabel Vii

Daftar Gambar Viii

Daftar Grafik vix

BAB I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Penelitian 1

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah 6

C. Tujuan Penelitian 8

D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian 9

E. Metode Penelitian 9

F. Sampel dan Lokasi Penelitian 10

BAB II. TINJAUAN TEORITIK MENGENAI TES INTELIGENSI DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

11 A. Bimbingan dan Konseling dalam Mengembangkan Potensi

Individu

11

1. Hakikat Layanan BK dalam Pengembangan Potensi 11 2. Pemahaman Tentang Inteligensi dalam Konteks Bimbingan

dan Konseling

13 3. Peran Tes Intelegensi dalam Layanan Bimbingan dan

Konseling

14 4. Manfaat Tes MAB – II untuk Bimbingan dan Konseling 17

B. Teori Intelegensi 18

1. Teori Klasik tentang Inteligensi 18

2. Teori Modern tentang Inteligensi 25

3. Intelegensi sebagai Konstruk MAB II 27

4. Tes Intelegensi 31

C. Konsep Pengembangan Alat Ukur Psikologis 33

1. Pengukuran psikologis 33

2. Pengembangan Alat Ukur 35

3. Pembakuan Alat Ukur 37

4. Beberapa Teknik Analisi Kebaikan Tes 42

5. Kecenderungan Baru dalam Pembakuan Tes 49

D. Multidimensional Aptitude Battery (MAB - II) 49

1. Deskripsi Umum Tes MAB II 49


(6)

3. Karakteristik Umum Tes MAB II 53 4. Asal Usul skala Verbal dan Performa pada Tes MAB 54

5. Ciri Khas Fitur Tes MAB II 55

6. Pengadministrasian Tes MAB II 57

7. Hal Lain yang Perlu Diperhatikan dalam Pelaksanaan Tes MAB II

58 8. Pengolahan Skor dan Interpretasi Tes MAB II 60 9. Standarisasi dan Perangkat Psikometri dalam Tes MAB II 62 10.Korelasi MAB II dengan Tes lain yang Sejenis 64

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 67

A. Desain Penelitian 67

B. Definisi Operasional Variabel dan Penjelasan tentang Sejumlah Istilah Penelitian

71

C. Asumsi Penelitian 74

D. Hipotesis 76

E. Pegembangan Alat Pengumpul Data 77

F. Metode Penarikan Sampel 82

G. Prosedur Penelitian 86

H. Analisis dan Penafsiran Data 90

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 95

A. Hasil Penelitian 95

1. Validitas Tes MAB – II 95

2. Reliabilitas Tes MAB – II 98

3. Daya Pembeda Butir Soal Tes MAB – II

4. Tingkat Kesukaran Butir Soal Tes MAB – II 104

5. Korelasi Antar Tes Tes MAB – II 111

6. Pengaruh Status Sekolah Terhadap Hasil Tes Tes MAB – II 115 7. Pengaruh Kualitas Sekolah Terhadap Hasil Tes Tes MAB – II 154 8. Pengaruh Gender Terhadap Hasil Tes Tes MAB – II 154 9. Pengaruh Lokasi Sekolah Terhadap Hasil Tes Tes MAB – II 121 10.Pengaruh Tingkat Sosial Ekonomi Terhadap Hasil Tes Tes

MAB – II

122 11.Pengaruh Perbedaan Usia Hasil Tes Tes MAB – II 124

B. Pembahasan 126

1. Validitas Tes MAB – II 128

2. Reliabilitas Tes MAB – II 131

3. Daya Pembeda Butir Soal Tes MAB – II 133

4. Tingkat Kesukaran Butir Soal Tes MAB – II 136

5. Korelasi Antar Tes Tes MAB – II 137

6. Perbedaan Skor tes MAB – II Berdasarkan Latar Belakang Kehidupan Siswa

142


(7)

A. Kesimpulan 207

B. Rekomendasi 208

DAFTAR PUSTAKA 210

LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP PENULIS


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Standarisasi Tes MAB II di Amerika 63

Tabel 2.2 Korelasi dengan WAIS-R 65

Tabel 2.3 Korelasi Antara Tes MAB dengan Tes APM dari Raven (N=30) 66

Tabel 3.1 Deskripsi Sub Tes Verbal 78

Tabel 3.2 Deskripsi Sub Tes Performa 80

Tabel3.1Deskripsi Jumlah Soal Tes Verbal 83

Tabel 3.2 Deskripsi Jumlah Soal Tes Performa 83

Tabel 3.3Sampel Penelitian Berdasarkan Sekolah 85

Tabel 4.1 Persentase Validitas Tes Verbal 96

Tabel 4.2 Persentase Hasil Tes Performa 97

Tabel 4.3 Koefisien Reliabilitas Tes Verbal 98

Tabel 4.4 Koefisien Reliabilitas Tes Performa 99

Tabel 4.5 Prosentase Daya Pembeda Tes Verbal 101

Tabel 4.6 Sebaran Kriteria Daya Pembeda soal Tes Verbal 101

Tabel 4.7 Prosentase Daya Pembeda Tes Performa 103

Tabel 4.8 Kriteria Daya Pembeda soal Tes Performa 103

Tabel 4.9 Prosentase Tingkat Kesulitan Tes Verbal 105 Tabel 4.10 Sebaran Kriteria Tingkat Kesulitan Nomor soal Tes Verbal 105 Tabel 4.11 Prosentase Tingkat Kesulitan Soal Tes Performa 108 Tabel 4.12Sebaran Kriteria Tingkat Kesukaran Nomor soal Tes Performal 108

Tabel 4.13 Korelasi Antar Tes pada Tes Verbal 111

Tabel 4.14 Korelasi Antar Tes pada Tes Verbal 113

Tabel 4.15 Korelasi Antara Tes Tes Verbal Tes Performa dan Tes MAB II 115 Tabel 4.16 Perbedaan skor tes verbal berdasarkan status sekolah 116 Tabel 4.17 Perbedaan skor tes performa berdasarkan status sekolah 117 Tabel 4.18 skor tes verbal berdasarkan kualitas sekolah 118 Tabel 4.19 Perbedaan skor tes performa berdasarkan kualitas sekolah 118 Tabel 4.20 Perbedaan skor tes verbal berdasarkan perbedaan gender 119 Tabel 4.21 Perbedaan skor tes Performa berdasarkan perbedaan gender 120 Tabel 4.22 Perbedaan skor tes verbal berdasarkan perbedaan lokasi sekolah 121 Tabel 4.23 Perbedaan skor tes Performa berdasarkan perbedaan lokasi sekolah 122 Tabel 4.24 Perbedaan skor tes verbal berdasarkan tingkat sosial ekonomi siswa 123 Tabel 4.25 Perbedaan skor tes performa berdasarkan tingkat sosial ekonomi

siswa

124 Tabel 4.26 Perbedaan skor tes verbal berdasarkan tingkat usia siswa 125 Tabel 4.27 Perbedaan skor tes performa berdasarkan tingkat usia siswa 126


(9)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1Wilayah Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal

3 Bagan 2.1 Teori Faktor Bertingkat Philip E. Vernon 23


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Desain Kombinasi Unsur Metode Penelitian yang digunakan 68 Gambar 3.2 Desain Kombinasi Unsur Metode Penelitian Dengan Unsur

Pendekatan Penelitian yang Digunakan


(11)

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan Nasional Indonesia. Secara idiil hal tersebut telah termasuk di dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat. Makna yang dikandung dalam pernyataan

“mencerdaskan bangsa” tersebut adalah menjadikan bangsa Indonesia cerdas di

dalam segala segi kehidupan. Artinya, cepat tanggap terhadap setiap persoalan yang terjadi di sekitarnya, mempunyai banyak akal untuk mencari kemungkinan-kemungkinan pemecahannya, mempunyai banyak pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi, serta hidup secara benar dengan mempergunakan logika yang tinggi tanpa melupakan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Secara lebih rinci perwujudan dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut tertera dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Th 2003 Bab 2 Pasal 3 yang menyatakan bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Salah satu kata kunci dari definisi pendidikan di atas adalah berkembangnya potensi siswa. Peran pendidikan adalah memfasilitasinya menjadi prestasi. Fasilitas tersebut ditujukan agar individu mengenali, menemukan, dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Buscaglia (2005) mengatakan “education should be the process of helping everyone to discover his/her

uniqueness”.

Proses pembelajaran merupakan usaha lain yang strategis untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Dalam proses pembelajaran terdapat program


(12)

perkembangan yang optimal, yaitu situasi di mana siswa telah dapat mengaktualisasikan potensi yang terdapat di dalam dirinya. Salah satu indikator pencapaian keberhasilan belajar peserta didik dapat dilihat dari prestasi yang didapatkan, karena prestasi belajar siswa merupakan manifestasi dari perubahan sebagai hasil dari proses belajar.

Namun demikian, pencapaian tujuan nasional tersebut belum dapat dicapai seutuhnya. Hal ini terlihat dari berbagai fakta terkait dengan pencapaian hasil belajar dari siswa di Indonesia, misalnya pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Salah satu contohnya adalah data hasil penelitian The Learning Curve 2014 terkait indeks hasil prestasi belajar didunia menunjukkan, Finlandia dan Korea Selatan menempati posisi puncak. Posisi berikutnya ditempati oleh Hong Kong, Jepang dan Singapura. Sementara itu, dari 40 negara yang diikutsertakan, Meksiko, Brasil dan Indonesia menempati posisi akhir. Selain itu

Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2013, siswa Indonesia

hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.

Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Azhamind, 2011), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational

Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa

berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Artinya bahwa Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran.

Berdasarkan paparan data tersebut kiranya dapat kita ketahui bahwa tidak semua siswa dapat mencapai prestasi sesuai dengan apa yang diharapkan, karena


(13)

belajar yang dicapai akan sangat tergantung pada interaksi dari berbagai faktor yang saling terkait. Pencapaian hasil belajar tersebut menggambarkan upaya siswa untuk mewujudkan optimalisasi perkembanganya, oleh karena itu hasil belajar siswa akan sangat beragam sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Pendidikan khususnya area sekolah hendaknya berfungsi sebagai lingkungan yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi siswa untuk senantiasa mengembangkan potensinya. Berkaitan dengan fungsi tersebut sekolah hendaknya dapat memberikan bantuan agar setiap individu dapat mengenali, memahami dan mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Salah satu cara yang dapat dilakukan sekolah dalam upaya pemberian bantuan pada peserta didik adalah dengan menyediakan lingkungan yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal.

Layanan bimbingan dan konseling sebagai bagian dari pendidikan di lingkungan sekolah diharapkan dapat memberikan kontribusinya untuk memberikan bantuan kepada siswa dalam mengaktualisasikan potensinya. Terlebih lagi saat ini keberadaan layanan bimbingan dan konseling dalam setting pendidikan telah memiliki legalitas yang cukup kuat. Hal tersebut tergambarkan dalam bagan berikut:

Wilayah pembelajaran yang mendidik

Manajemen dan Supervisi

Pembelajaran Bidang Studi

Bimbingan &Konseling Wilayah Manajemen &

kepemimpinan

Wilayah Bimbingan dan Konseling yang memandirikan

Perkembangan optimal peserta didik


(14)

Bagan 1.1

Wilayah Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (DEPDIKNAS, 2007:25 )

Bagan di atas memberikan gambaran mengenai posisi masing-masing komponen dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yakni perkembangan optimal dari peserta didik. Masing-masing komponen berkontribusi dalam penyelenggaraan pendidikan yang seimbang, yaitu pendidikan yang mampu memfasilitasi seluruh aspek perkembangan para siswa.

Bimbingan dan konseling sebagai bagian integral dari pendidikan secara

sadar memposisikan perkembangan optimal peserta didik sebagai “...kemampuan

siswa untuk mengeksplorasi, memilih, berjuang meraih, serta mempertahankan karier secara komplementer dengan bantuan guru pembimbing dan guru mata pelajaran secara kolaboratif dalam setting pendidikan khususnya dalam jalur pendidikan formal, dan merupakan hasil upaya yang dilakukan sendiri oleh Konselor, atau Guru mata pelajaran.” (ABKIN 2007)

Menurut Masyarat Bimbingan dan Konseling Indonesia (2013: 5) untuk mewujudkan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan potensi peserta didik maka proses bimbingan konseling beserta seluruh komponen sekolah hendaknya dapat : 1) Memahami kesiapan belajar peserta didik dan penerapan prinsip bimbingan dan konseling dalam pembelajaran, 2) Melakukan asesmen potensi peserta didik, 3) Melakukan diagnostik kesulitan perkembangan dan belajar peserta didik, 4) Mendorong terjadinya internalisasi nilai sebagai proses individuasi peserta didik. Hal tersebut merupakan dasar bagi pengembangan program bimbingan dan konseling di sekolah sebagai jawaban dari pemenuhan kebutuhan peserta didik.

Inti dari penjelasan mengenai mewujudkan perkembangan potensi peserta didik tersebut adalah pemahaman mendalam dari seluruh aspek kehidupan siswa sebagai dasar pengembangan potensinya di sekolah. Salah satu aspek perkembangan peserta didik yang perlu difahami secara mendalam oleh


(15)

dasar yang akan dikembangkan oleh siswa di sekolah. Pemahaman terhadap tingkat intelegensi siswa dikatakan sangat penting karena pada kenyataanya intelegensi merupakan salah satu faktor yang biasa diprediksikan sebagai penyebab utama dalam pencapaian prestasi belajar siswa, oleh karena itu tingkat intelegensi sering digunakan untuk meramalkan kemampuan dalam belajar serta prestasi yang akan diraih siswa. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Dalyono (Djamarah, 2002:160) yang menyebutkan secara tegas bahwa “seorang yang memiliki intelegensi baik (IQ-nya tinggi) umumnya mudah dalam belajar dan hasilnya cenderung baik, sebaliknya orang yang intelegensinya rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berfikir, dan prestasi yang rendah”.

Djamarah (2002:160) mengungkapkan bahwa dalam berbagai penelitian disebutkan terdapat hubungan yang erat antara IQ dengan prestasi belajar di sekolah. Siswa yang memiliki taraf intelegensi di atas 120 dalam skor tes intelegensi diprediksikan tidak akan mengalami kesulitan dalam belajar dan peraihan prestasi belajar di sekolah. Pernyataan serupa dikatakan oleh Cahaya Prabu (2002:161) yang menyatakan bahwa jika siswa yang memiliki tingkat intelegensi tinggi berada dalam lingkungan yang menunjang, maka mereka akan dapat mencapai prestasi dan keberhasilan dalam hidupnya.

Subino (1984:22) mengatakan bahwa “ didalam kegiatan pendidikan

khususnya bimbingan dan konseling, guru pembimbing perlu melakukan pengukuran terhadap sifat-sifat (attribute) psikologis anak didik untuk mengambil keputusan bagi anak didik yang bersangkutan. Hal tesebut merupakan dasar pengembangan program bimbingan dan konseling dalam upaya mengembangkan potensi peserta didik, karena data yang valid dan reliabel merupakan salah satu syarat mutlak dalam pengembangan program layanan bimbingan. Berdasarkan pemikiran tersebut keberadaan alat ukur yang terstandar terstandar dalam bidang bimbingan dan konseling merupakan suatu hal yang sangat penting.

Kartadinata (Helma 20001 : 2) mengatakan bahwa alat ukur yang terstandar


(16)

mengatakan bahwa aplikasi instrumentasi bimbingan dan konseling yang baku bermaksud mengumpulkan data dan keterangan tentang peserta didik (baik secara individual maupun kelompok). Kegiatan penunjang aplikasi instrumentasi ini dalam bimbingan dan konseling utamanya mengemban fungsi pemahaman, yaitu sebuah fungsi yang akan menghasilkan pemahaman tentang sesuatu yaitu tingkat kecerdasan l oleh pihak-pihak tertentu sesuai dengan kepentingan pengembangan peserta didik.

Sehubungan itu, salah satu langkah yang perlu ditempuh dalam rangka peningkatan mutu layanan bimbingan dan konseling di sekolah adalah penyediaan instrumen baku untuk mengukur intelegensi sebagai modal dasar pengembangan potensi siswa. Atas dasar kepentingan tersebut, melalui kajian ini dibahas Adaptasi dan Standarisasi Multidimensional Aptitude Batery (MAB - II) sebagai tes intelegensi bagi siswa SMA. Sehingga melalui tersedianya alat ukur baku yang dibahas dalam penelitian ini, diharapkan akan memfasilitasi dan mempermudah guru pembimbing dan seluruh komponen sekolah untuk memahami kebutuhan siswa di sekolah.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Beberapa tahun terakhir ini di Indonesia mulai banyak sekolah yang mempergunakan tes psikologis untuk memilih calon-calon siswanya. Satu di antara tes psikologis tersebut adalah tes inteligensi. Sering digunakannya tes inteligensi tersebut di sekolah disebabkan karena daya prediksi yang tinggi terhadap keberhasilan belajar di sekolah. Burton (Abin Syamsudin Ma’mun: 2001), menyatakan bahwa inteligensi merupakan petunjuk tentang kemampuan belajar anak. Oleh sebab itu inteligensi yang rendah merupakan sebab utama kegagalan di sekolah.

Djamarah (2002:160) mengungkapkan bahwa dalam berbagai penelitian disebutkan terdapat hubungan yang erat antara IQ dengan prestasi belajar di sekolah. Siswa yang memiliki taraf intelegensi di atas 120 dalam skor tes


(17)

peraihan prestasi belajar di sekolah. Pernyataan serupa dikatakan oleh Cahaya Prabu (2002:161) yang menyatakan bahwa jika siswa yang memiliki tingkat intelegensi tinggi berada dalam lingkungan yang menunjang, maka mereka akan dapat mencapai prestasi dan keberhasilan dalam hidupnya.

Berdasarkan paparan diatas jelas kiranya bahwa intelegensi sebagai modal awal siswa dalam proses belajar hendaknya digali lebih dalam sebagai upaya pemahaman dan optimalisasi hasil belajar siswa. Dalam proses pendidikan, siswa sebagai raw input memiliki karakteristik beragam terutama dalam tingkat intelegensi, oleh katena itu pemehaman mengenai keberagaman tingkat intelegensi tersebut merupakan hal yang mutlak untuk difahami oleh seluruh komponen sekolah.

Tes intelegensi sebagai alat ukur terhadap pemahaman tingkat intelegensi siswa khususnya dalam bimbingan dan konseling di sekolah merupakan instrumen penting. (Goldman, 1995:1) Secara rinci menyebutkan bahwa penggunaan tes di dalam pekerjaan bimbingan dan konseling dalam pendidikan sebagai alat pengumpul keterangan-keterangan untuk keperluan diagnosis, pedoman proses bimbingan, dan untuk membantu konseli mengambil keputusan sendiri apa yang akan ia kerjakan setelah proses bimbingan dan konseling selesai. Di dalam hubungan ini Cronbach (1957) menyatakan bahwa dengan pengukuran terhadap individu dapatlah dicarikan tempat yang paling tepat bagi yang bersangkutan, baik di lapangan pendidikan maupun di lapangan pekerjaan.

Salah satu alat tes intelegensi yang dapat menangkap gambaran inteligensi seseorang dengan mendalam dan menyeluruh adalah alat tes Weschler Adult

Intelligence Scale (WAIS) yang diciptakan oleh David Weschler pada tahun 1955.

Namun karena WAIS berseting tes individual maka kurang cocok digunakan dalam setting pendidikan. Tes individual memerlukan kehadiran tenaga profesional ahli pada pelaksanaan tes dan juga untuk interpretasinya. Akibatnya, biaya tes menjadi mahal dan memakan waktu.


(18)

menjadi menjadi tes klasikal dengan nama Multidimensional Aptittude Battery (MAB) yang kemudian disempurnakan menjadi Multidimensional Aptittude

Battery-II (MAB II). Keuntungan dari penggunaan tes MAB tersebut adalah tes

ini lebih mudah proses administrasinya. Selain itu juga memudahkan interpretasi karena skoring dapat dilakukan secara manual dengan bantuan matematika sederhana yang hanya menjumlahkan jawaban benar. Bahkan dapat dipermudah dengan bantuan aplikasi software sederhana. Item-item yang terdapat dalam alat tes ini juga dapat digeneralisir dalam berbagai kelompok umur dan budaya.

Yang menjadi permasalahan ialah, apakah MAB-II tersebut cocok diperuntukkan bagi siswa SMA di indonesia, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu alat bantu memahami siswa didalam pelaksanaan bimbingan dan konseling. Artinya bagi siswa SMA, apakah tes MAB II memiliki ciri-ciri sebagai tes yang tepat untuk mengukur efisiensi kerja intelektual mereka sehingga penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan.

Merujuk pada uraian di atas, secara umum masalah yang akan diteliti

dalam penelitian ini adalah, “bagaimana bentuk tes hasil adaptasi MAB - II yang

tepat untuk mengukur tingkat intelegensi siswa SMA?”. Secara operasional, masalah penelitian ini dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana formulasi konsep dan konstruks MAB II yang sesuai bagi siswa

SMA/SMK dan sederajat?

2. Apakah MAB - II hasil adaptasi memenuhi syarat sebagai sebuah tes yang terstandar berdasarkan hasil uji empirik terhadap siswa SMA/SMK dan sederajat?

3. Sejauh mana Latar belakang kehidupan siswa berpengaruh terhadap skor intelegensi yang dihasilkan dalam tes MAB II?


(19)

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kebaikan MAB II untuk mengukur intelegensi siswa SMA. Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya tes intelegensi yang diadaptasi dari MAB II yang sesuai dengan kondisi siswa SMA/SMK dan sederajat dengan berbagai latar belakang kehidupanya. Kemudian secara lebih khusus, tujuan penelitian ini dikemukakan dalam uraian berikut:

1. Diperoleh formulasi konsep dan konstruks MAB II yang sesuai bagi siswa SMA/SMK dan sederajat yang dikembangkan melalui kajian teoretik, logical, dan konseptual.

2. Analisis terhadap tingkat kebaikan MAB II hasil adaptasi bagi siswa-siswa SMA/SMK dan sederajat dilihat dari validitas, reliabilitas, daya pembada, dan tingkat kesukaran dari skor yang berhasil dicapai.

3. Analisis tentang pengaruh latar belakang kehidupan siswa terhadap skor intelegensi yang dihasilkan dalam tes MAB II.

D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian

Manfaat dan signifikansi hasil penelitian ini bagi pengembangan profesi bimbingan dan konseling adalah sebagai berikut.

1. Bagi Bimbingan dan Konseling (di sekolah),

Hasil penelitian ini menghasilkan kerangka konseptual, konstruk dan model alat ukur terstandar yang mampu mengungkap tingkat intelegensi siswa SMA yang dapat digunakan sebagai acuan pembuatan program bimbingan dan konseling dan pembelajaran di sekolah.

2. Pihak Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan

Alat ukur yang tersusun dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai pelengkap dalam koleksi instrumen di jurusan bimbingan dan kosenling. Selain itu data hasil penelitian mengenai analisis tes dalam penelitian dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan tes MAB II adaptif yang lebih sempurna dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang mungkin dapat berpengaruh pada


(20)

penelitian.

3. Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang memiliki ketertarikan dalam bidang yang sama, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi peneliti selanjutnya untuk berbagai pengembangan instrumen MAB II secara lebih lengkap dan menyeluruh sebagai upaya meningkatkan layanan bimbingan dan konseling bagi siswa di sekolah.

E. Metode Penelitian

Metode, pendekatan, instrumen penelitian dan teknik pengumpulan data dikembangkan sesuai dengan rumusan dan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini pada dasarnya metode yang digunakan mengkombinasikan unsur prinsipil dari tiga metode riset secara hirarkis berkesinambungan, yaitu exploratory,

descriptive-verification, dan developmental research (Sugiyono, 2006: 297-313).

Kemudian dari segi pendekatan, penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif digunakan secara terpadu dalam menganalisis data penelitian. Instrumen penelitian yang digunakan untuk menjaring data adalah MAB II hasil adaptasi yang digunakan untuk mengukur tingkat intelegensi siswa di SMA/SMK dan sederajat di Bandung. Berdasarkan hal tersebut pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik komunikasi tidak langsung.

Pada bab III, secara rinci baik metode maupun pendekatan di atas dijelaskan dalam bentuk disain penelitian, dan diikuti oleh penjelasan lebih detail tentang instrumen dan teknik pengumpulan data.

F. Sampel dan Lokasi Penelitian

Merujuk pada tujuan penelitian dan unsur metodenya, maka responden utama penelitian ini adalah para siswa SMA di Kota dan Kabupaten Bandung. Metode penarikan sampel menggunakan probability sampling yaitu dengan teknik

stratified random sampling (Sugiarto et. al., 2003: 40-42). Sebagai studi yang


(21)

swasta yang berada di wilayah Dinas Pendidikan Kota dan Kabupaten Bandung. Rincian penentuan ukuran sampel, metode penarikan sampel, jumlah sampel dan lokasi responden penelitian dalam penelitian ini diuraikan pada bab III.


(22)

BAB II

TINJAUAN TEORITIK MENGENAI TES INTELIGENSI DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

A. Bimbingan dan Konseling dalam Mengembangkan Potensi Individu 1. Hakikat Layanan BK dalam Pengembangan Potensi

Bimbingan merupakan upaya fundamental pada setiap ikhtiar pendidikan, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Dalam ketiga bentuk pendidikan tersebut, proses bimbingan (guidance) dipastikan selalu melekat di dalamnya. Berbeda dengan pengajaran, yang tidak selalu harus ada di dalam setiap bentuk pendidikan tersebut.

Bimbingan pada hakikatnya merupakan proses memfasilitasi pengembangan nilai-nilai inti karakter melalui proses interaksi yang empatik antara konselor (guru bimbingan dan konseling) dengan peserta didik, dimana konselor membantu peserta didik untuk mengenal kelebihan dan kelemahan dalam berbagai aspek perkembangan dirinya, memahami peluang dan tantangan yang ditemukan di lingkungannya, serta mendorong penumbuhan kemandirian peserta didik (konseli) untuk mengambil berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya secara bertanggung jawab dan mampu mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, bahagia serta peduli terhadap kemaslahatan umat manusia.

Dasar pertimbangan atau pemikiran tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, tetapi yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya dalam aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual.

Di manapun proses pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses perkembangan, karena setiap peserta didik adalah seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi, yaitu berkembang ke arah


(23)

kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, peserta didik memerlukan bimbingan, agar memiliki pemahaman yang baik tentang dirinya dan lingkungannya serta pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya.

Alasan lain adalah adanya perbedaan individual pada peserta didik dan keniscayaan bahwa proses perkembangan peserta didik tidak selalu berlangsung secara mulus, dalam alur yang lurus, searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.

Upaya dalam menanggulangi masalah tersebut adalah dengan mengembangkan potensi peserta didik dan memfasilitasi mereka secara sistematik, terprogram dan kolaboratif untuk mampu mencapai standar kompetensi nilai perkembangan/perilaku yang diharapkan. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif, intensional dan kolaboratif yang diselenggarakan dengan berbasis data perkembangan peserta didik secara komprehensif dalam berbagai aspek kehidupannya.

Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi peserta didik, yang meliputi aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi peserta didik sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).

Salah satu potensi yang dimiliki individu sebagai garapan dari bimbingan dan konseling adalah intelegensi. Intelegensi merupakan modal dasar dari setiap individu untuk mencapai perkembangan optimal yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Weschler (dalam Jackson, 2003) yang mengatakan bahwa inteligensi merupakan kapasitas keseluruhan atau global individu untuk bertindak, berpikir rasional, dan menangani lingkungan secara efektif. Artinya bahwa dalam proses perkembangannya, setiap individu akan mengalami keragaman hal ini didasari oleh kapasitas intelegensi yang berbeda pada setiap orangnya.


(24)

Dalyono (Djamarah, 2002:160) yang menyebutkan secara tegas bahwa

“seorang yang memiliki intelegensi baik (IQ-nya tinggi) umumnya mudah dalam belajar dan hasilnya cenderung baik, sebaliknya orang yang intelegensinya rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berfikir, dan

prestasi yang rendah”. Pernyataan serupa dikatakan oleh Cahaya Prabu (2002:161) yang menyatakan bahwa jika siswa yang memiliki tingkat intelegensi tinggi berada dalam lingkungan yang menunjang, maka mereka akan dapat mencapai prestasi dan keberhasilan dalam hidupnya.

Sebagai layanan yang profesional maka layanan bimbingan dan konseling harus memperhatikan kebutuhan siswa. William J. Kolarik (Nurihsan, 2006: 55) mengungkapkan bahwa kualitas mutu layanan bimbingan akan mendapatkan pengakuan jika layanan bimbingan dan konseling mampu memenuhi apa yang diharapkan oleh para konseli. Berdasarkan paparan diatas jelas kiranya bahwa intelegensi sebagai bagian terpenting dari proses perkembangan individu, merupakan hal penting yang harus dikaji lebih mendalam dalam bimbingan dan konseling sebagai upaya memenuhi hakikat tugasnya sebagai komponen penting dalam proses pendidikan.

2. Pemahaman Tentang Inteligensi dalam Konteks Bimbingan dan Konseling

Pendidikan merupakan upaya membantu peserta didik mencapai kedewasaan. Salah satu langkah kegiatan yang sangat menentukan keefektifan pencapaian tujuan pendidikan adalah pemahaman tentang karakteristik anak. Pemahaman tentang anak sangat penting dalam menentukan strategi pendidikan, penentuan tujuan suatu kegiatan yang mungkin dicapai, menentukan metode yang tepat, demikian juga dalam menentukan bantuan khusus yang diperlukan oleh anak tersebut.

Bimbingan dan konseling yang merupakan bagian integral dari pendidikan, efektivitasnya juga banyak ditentukan oleh pemahaman pembimbing tentang diri anak atau klien; bahkan dikatakan, pemahaman terhadap anak


(25)

merupakan bagian integral dari proses bimbingan dan konseling itu (Hood and Johnson, dalam Nurhudaya, 1999: 28). Upaya memahami anak dalam proses bimbingan tidak hanya dilakukan pada awal atau sebelum bimbingan, tetapi juga selama proses bimbingan.

Bimbingan bertujuan membantu siswa mencapai perkembangan yang optimal, yang antara lain dengan membantu anak membina keterampilan memahami diri, memahami lingkungan, mengarahkan diri, mengambil keputusan, yang diharapkan dapat mengantarkan anak untuk secara mandiri mengaktualisasikan dirinya. Untuk itu, pemahaman tentang karakteristik anak, baik kelebihan maupun kelemahannya perlu dilakukan oleh pembimbing.

Salah satu karakteristik yang perlu dipahami oleh pembimbing khususnya, adalah potensi intelektual anak atau salah satunya yang populer dengan istilah inteligensi. Meskipun bukan merupakan faktor dominan dalam menentukan keberhasilan studi anak, inteligensi banyak berpengaruh terhadap keberhasilan belajar anak di sekolah dan juga dapat dijadikan prediksi tingkat pendidikan yang dapat dicapai oleh anak. Selain itu, inteligensi juga diakui berpengaruh terhadap tingkat pencapaian karir atau prestasi kerja seseorang.

Dewasa ini pemahaman terhadap inteligensi tidak terbatas hanya pada inteligensi intelektual saja (kognitif) tetapi juga inteligensi nonintelektif, baik inteligensi sosial, inteligensi emosional, inteligensi praktikal atau inteligensi lainnya, yang dalam aktualisasinya satu sama lain saling melengkapi atau satu sama lain memiliki peran- peran tertentu dalam perilaku individu.

3. Peran Tes Intelegensi dalam Layanan Bimbingan dan Konseling

Secara umum, tes psikologis digunakan untuk mendapatkan informasi. Informasi yang dihasilkan dapat digunakan untuk seleksi, penempatan, diagnosis, evaluasi, membuat perencanaan atau hanya 'sekedar' pemahaman diri atau meningkatkan minat mengikuti konseling. Tes psikologis dapat digunakan, tidak saja untuk mengkonfirmasikan apa yang telah diketahui guru kelas dan orang tua tentang teste, tetapi juga sebagai bagian dari pengambilan keputusan praktis.


(26)

Contoh nyata dari pernyataan tersebut adalah ketika dua orang siswa menampilkan perilaku yang sama di sekolah (kelas) atau di rumah, belum tentu memiliki latar belakang atau motif yang sama. Tes psikologis dapat membantu menembus apa di balik perilaku yang nampak dan memberikan arah untuk suatu keputusan yang bijaksana atas dasar pemahaman yang mendalam tentang siswa beserta motivasi-motivasinya. Dalam hal inilah tes psikologis dapat memberikan manfaat yang sebaik-baiknya dalam setting sekolah.

Informasi yang diperoleh dari hasil tes psikologis dapat dijadikan masukan yang sangat berharga bagi pembimbing untuk menentukan strategi apa yang paling baik dalam membantu siswa, membantu pembimbing dalam menggambarkan perilaku anak dan mengidentifikasi tipe lingkungan belajar yang baik bagi anak atau untuk menempatkan anak pada lingkungan belajar yang sesuai.

Secara singkat dapat dikemukakan bahwa tujuan penggunaan tes psikologis dalam bimbingan konseling antara lain : 1). Penempatan dan seleksi, 2). Pemahaman tentang gambaran anak, kekuatan dan kelemahannya, 3). Memperkirakan keberhasilan studi atau latihan tertentu, dan 4). Membantu konselor mengevaluasi keberhasilan proses bimbingannya. Secara rinci Goldman (Subino 1984 : 9) menyebutkan penggunaan tes di dalam pekerjaan bimbingan dan konseling adalah sebagai alat pengumpul keterangan-keterangan untuk keperluan diagnosis, pedoman proses bimbingan dan konseling selanjutnya, untuk membantu percakapan antara konselor dengan konseli, dan untuk membantu konseli mengambil keputusan sendiri apa yang akan ia kerjakan setelah proses bimbingan dan konseling.

Tes psikologis bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, juga bukan merupakan syarat untuk memasuki konseling; tes psikologis hanya merupakan prosedur atau instrumen, dan seperti halnya penggunaan instrumen lain, sering ditemukan kesalahan dalam penggunaan tes psikologis kesalahan penggunaan tes antara lain meliputi: 1) Penggunaan skor tunggal untuk menggambarkan perilaku atau penampilan anak, 2) Penggunaan skor atau data


(27)

tunggal yang diambil pada satu periode untuk digunakan terus menerus, 3) Memfokuskan hanya pada skor tunggal tanpa melihat data lain, dan 4) Terikat dengan kuantifikasi.

Selain itu beberapa kesalahan yang mungkin dilakukan konselor dalam penggunaan tes antara lain : 1) Menggunakan tes untuk suatu tujuan di luar tujuan pengembangan tes, 2) Menggunakan tes pada kelompok yang berbeda dengan kelompok standarisasi tes, 3) Menganggap tes menjadi 'adil budaya' dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa anak, 4) Menganggap tes yang dikembangkan pada sampel yang besar juga dapat digunakan bagi anak yang memiliki handikap tertentu, dan 5) Gagal menerjemahkan hasil tes untuk dapat dipahami oleh testi atau orang tuanya. (Muro & Kottman, 1995 : 337-339).

Beberapa kritik terhadap tes umumnya ditujukan pada penggunaan tes dan bukan pada materi atau bentuk tes itu sendiri. Tes Psikologis (khususnya tes Inteligensi) merupakan suatu instrumen atau alat yang baik buruknya sangat ditentukan oleh penggunanya. Bila dipergunakan sesuai dengan tujuan pengembangannya tes dapat membantu penggunanya untuk mengambil keputusan dengan tepat dan efisien. Sebaliknya bila tidak tepat penggunaannya, selain akan membuat keputusan yang tidak tepat, juga dapat menimbulkan kesalahan perlakuan terhadap anak dan juga membuang waktu dan biaya.

Tes hanya menghasilkan sebagian informasi tentang anak atau lebih tepat lagi hanya mengungkap sampel perilaku anak. Oleh karena itu, upaya pemahaman terhadap anak tidak cukup hanya bertumpu pada hasil tes (skor tes/angka) tanpa memahami lingkungan tempat anak berada/tinggal, dan sistem yang berlaku di lingkungan tersebut.

Beberapa hal perlu dipertimbangkan sebelum penggunaan suatu tes baik untuk konseling, pendidikan maupun untuk keperluan lain, antara lain :

a. Pemahaman atau keahlian konselor atau pembimbing dalam penggunaan suatu tes. Bila konselor atau pembimbing tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan melaksanakan tes psikologis, sebaiknya meminta bantuan pihak yang kompeten atau menggunakan cara atau instrumen lain.


(28)

b. Pemahaman pihak pengguna hasil tes tentang makna tes psikologis dan data yang dihasilkannya. Pihak pengguna jasa layanan tes perlu mengetahui apa tes psikologis itu dan data seperti apa yang dihasilkannya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan 'perlakuan' terhadap tes dan hasilnya.

c. Persetujuan dari individu yang akan dites untuk melaksanakan tes psikologis. Hal ini perlu diketahui karena ketepatan hasil tes psikologis akan sangat tergantung pula pada bagaimana individu mengaktualisasikan diri atau bagaimana individu tersebut merespon tes.

d. Tujuan yang ingin dicapai dengan penggunaan tes. Tes psikologis umumnya dibuat berlandaskan pada konsep tertentu dan mengungkap aspek tertentu. Tes psikologis tidak tepat digunakaan untuk tujuan di luar jangkauan tes tersebut. e. Kualitas tes psikologis. Tes psikologis yang baik teruji secara empirik, baik

reliabilitas, validitas, norma yang digunakan untuk penafsiran atau persyaratan yang lainnya seperti kemudahan skoring, tingkat kesulitan, daya pembeda, dan sebagainya.

4. Manfaat Tes MAB – II untuk Bimbingan dan Konseling

Secara umum yang didapat dari hasil tes MAB II sebagai instrumen pengungkap inteligensi siswa, skor yang diperoleh dapat membantu pembimbing untuk lebih mengungkap permasalahan yang dihadapi anak dan membantu pembimbing dalam menentukan strategi dan materi bimbingannya.

Sebagai contoh, Anak yang skor subtes Information dan Comprehension nya sangat rendah diperkirakan memerlukan dorongan untuk meningkatkan minat belajar dan bimbingan sosial-pribadinya. Implikasi-implikasi dari pencapaian skor siswa dalam setiap subtes MAB II seperti terurai pada bagian deskripsi subtes, dapat dijadikan acuan atau rambu-rambu baik untuk menentukan strategi bimbingan maupun dalam menentukan materi bimbingan. Selain itu respon-respon anak selama tes berlangsung juga sering merupakan informasi yang lebih penting dibanding jawaban anak atas pertanyaan soal tes


(29)

dan sangat berharga untuk diperhatikan dan 'ditindak lanjuti' oleh tester, apalagi bila yang menjadi tester adalah pembimbingnya.

Manfaat lain dari penggunaan MAB II dalam bimbingan dan konseling secara lebih khusus adalah sebagai berikut:

a. MAB- II merupakan suatu instrumen pengukuran inteligensi siswa yang memiliki rentang usia sasaran cukup lebar, yakni dimulai dari usia 16 tahun hal ini memungkinkan penggunaan MAB II untuk anak usia dan SMA dan sederajat sebagai landasan pengembangan program bimbingan dan konseling di sekolah.

b. MAB – II memiliki 2 sub tes yaitu verbal dan performa yang masing masing sub tes terdiri atas 5 bagian yang secara kesatuan mengungkap kemampuan global individu dan mampu memberikan rambu-rambu yang lebih jelas tentang potensi yang dimiliki siswa khususya dalam hal intelegensi dan bakat. Bagi kegiatan bimbingan dan konseling, hal ini merupakan hal yang sangat penting untuk difahami dan dikembangkan dalam rangka mengopimalkan potensi siswa di sekolah.

c. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan dan adaptasi tes intelegensi khususnya pada tes MAB II sebagai upaya pemahaman lebih lanjut tentang kondisi intelegensi siswa dalam konteks bimbingan dan konseling.

B. Inteligensi

1. Teori – Teori Inteligensi

a. Teori Klasik tentang Inteligensi

Di dalam upaya mendefinisikan hakekat inteligensi terdapat definisi yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan terserut lazimnya bersumber pada perbedaan-perbedaan pengertian dasar yang dibangun dari renungan tentang dan atau pengamatan terhadap apa yang disebut dengan prilaku intelligent itu. Teori- teori yang kemudian menjadi sumber perbedaan dari definisi-definisi tersebut disajikan sebagai berikut,


(30)

1) Teori Keturunan – Lingkungan

Teori ini mempunyai tiga anak teori. Anak teori pertama adalah yang memandang inteligensi lebih ditentukan oleh keturunan daripada oleh lingkungan. Salah seorang tokoh dari anak teori ini adalah Arthur H. Jensen. Dengan studinya, baik dengan menganalisis faktor kebersamaan (common factor) dari berbagai tes inteligensi yang dikatakannya sebagai yang menuntut proses mental yang tinggi maupun menunjuk kepada program pendidikan yang gagal meningkatkan IQ anak-anak, dan menunjuk kepada perbedaan ras dan status sosial yang terbukti tidak mampu menjelaskan terjadinya perbedaan inteligensi antara orang yang satu dengan orang yang lain, Jensen (Jakson, 2003) berkesimpulan bahwa inteligensi itu lebih ditentukan oleh keturunan dari pada oleh lingkungan. Menurut Jensen, yang merupakan sumber perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain adalah faktor "g" .

Tokoh kedua yang cukup terkenal di dalam anak teori ini adalah Sir Cyril Burt. Di dalam konsepsinya Burt memandang inteligensi itu sebagai kemampuan berfikir umum yang dibawa sejak lahir. "Burt (1955) is almost

alone in grasping this nettle firmly and defining intelligence as innate general cognitive ability" (Butcher, 1973 : 28). Burt selanjutnya memandang inteligensi

itu sebagai sarana potensial untuk meningkatkan penyamaan sosial dan menjamin bahwa anak-anak yang cerdas, sekalipun terbenam di dalam kemelaratan dan hambatan-hambatan lingkungan, namun akan memiliki kesempatan untuk meraih peindidikan mereka dengan potensi mereka.

Di dalam penelitiannya terhadap populasi yang bertempat tinggal di kota London pada tahun 1950-an, Burt menemukan bahwa urunan faktor keturunan terhadap IQ, di dalam artian sempit, berkisar antara 45% sampai dengan 60%. Sedangkan di dalam arti luas, urunan tersebut berkisar antara 80% sampai dengan 85% .

Tokoh ketiga, yang sangat terkenal karena usahanya mengembangkan tes inteligensi individual, yang juga memandang inteligensi sebagai kapasitas bawaan, adalah David Wechsler. Ia memandang inteligensi itu sebagai


(31)

kapasitas yang bulat untuk bertindak secara terarah, berfikir rasional, dan berhubungan dengan lingkungannya secara efektif Wechsler (Jakson 2003: 45) mengatakan bahwa "Intelligence is the aggregate or global capacity of the

individual to act purposefully, to think rationally and to deal effectively with his environment”.

Anak teori yang kedua adalah yang memandang inteligensi sebagai yang lebih ditentukan oleh lingkungan daripada oleh keturunan. Salah seorang tokohnya adalah Jerome S. Kegan. Di dalam pengamatannya terhadap anak-anak kulit putih lapisan bawah dan lapisan menengah, sewaktu mereka mengerjakan tes inteligensi, Kegan melihat bahwa anak-anak lapisan bawah bekerja kurang baik apabila dibandingkan dengan anak-anak lapisan menengah. Menurut dia, hal itu disebabkan karena anak-anak lapisan bawah tidak mengalami mesranya hubungan dengan orang tua mereka seperti yang dialami oleh anak-anak lapisan menengah, sebagai contoh oleh Kegan disebutkan bahwa anak-anak lapisan bawah hampir tak pernah tatap wicara dengan orang tua mereka, orang tua mereka hampir tak pernah senyum kepada mereka, dan juga hampir tak pernah bercanda. Hal yang demikian, menurut Kegan, menghambat perkembangan mental anak sehingga menyebabkan rendahnya skor tes inteligensi yang dapat mereka capai (Kegan, 1969).

Anak teori yang ketiga adalah yang memandang inteligensi sebagai hasil antara keturunan, lingkungan dan interaksi antara keduanya. Jadi inteligensi setiap orang itu selalu mendapat urunan dari keturunan, lingkungan dan interaksi antara keduanya.

Tokoh yang mempunyai konsepsi ke tiga ini adalah adalah Alan O. Ross. Ia menyatakan bahwa "measured intelligence is a complex function of the

interaction of many genetic ana environmental factors”. Oleh sebab itu secara

teoretis konsepsi ini akan menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang mungkin dapat dicapai oleh seseorang harus dikembalikan kepada inteligensi yang dimilikinya, lingkungan tempat ia tinggal, dan interaksi keduanya. Pengertian


(32)

interaksi antara inteligensi dengan lingkungan di sini adalah dalam arti penggunaan lingkungan untuk mengembangkan inteligensi yang bersangkutan. 2) Teori Epistemologis – Biologis

Anak teori pertama dari teori ini memandang inteligensi sebagai kemampuan berfikir jernih, analitis, dan komprehensif. Tokoh pertama yang termasuk ke dalam kelompok anak teori ini adalah Lewis M. Terman. Oleh Butcner, pandangan Terman tentang inteligensi itu disarikan sebagai kemampuan berfikir abstrak.

Tokoh ke dua dari anak teori ini adalah G. D. Stoddard. Menurut konsepsinya inteligensi itu merupakan kemampuan yang majemuk, yakni kemampuan menyelesaikan tugas-tugas yang sulit, rumit, abstrak, ekonomis, adaptif terhadap tujuan, berbobot sosial dan original, serta tetap memelihara kemampuan menyelesaikan tugas-tugas seperti itu di dalam keadaan yang menuntut pemusatan energi dan menahan gejolak-gejolak emosional.

Tokoh ke tiga, yang juga memandang inteligensi sebagai kemampuan yang majemuk, adalah Henry E. Garrett. Menurut dia, inteligensi itu paling sedikit sebagai kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang menuntut pemahaman dan penggunaan simbol-simbol, baik berupa kata-kata, angka-angka, diagram-diagram, persamaan-persamaan maupun rumus- rumus yang menyatakan gagasan-gagasan dan hubungan berbagai hal, dari yang sederhana sampai dengan yang sangat rumit.

Anak teori yang ke dua adalah yang .nemandang inteligensi sebagai kemampuan menyesuaikan diri terhadap situasi yang baru (biologis). Salah seorang tokohnya, yang kini mulai terkenal di Indonesia, adalah Jean Piaget. Menurut Piaget, inteligensi adalah kemampuan melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Inteligensi itu oleh Piaget tidak dipandang sebagai sesuatu kekuatan yang berdiri sendiri; ia selalu berkaitan dengan lingkungannya. Kata Piaget (Jakson 2003: 40) , "Intelligence does not therefore appear as a power of


(33)

reflection independent of the particular position which the organism occupies in the universe but is linked, from the very outset, by biological apriorities"

Menurut Piaget lebih lanjut, inteligensi itu tidak muncul sekaligus di dalam perkembangan mental melainkan muncul sebagai satu kesinambungan yang berlanjut. Atas dasar teori inilah Piaget menyusun tahap-tahap perkembangan inteligensinya dari yang kongkrit sampai dengan yang formal. Pemunculan kemampuan berfikir dari tahap menggunakan reflex sampai dengan tahap deduksi tersebut oleh Piaget dipandang sebagai tahap-tahap perkembangan yang bulat.

Tokoh ke dua dari kelompok anak teori ke dua ini adalah William Stern, Ia berpendapat bahwa inteligensi itu adalah kemampuan personal untuk dapat menghadapi tuntutan-tuntutan baru dengan menggunakan alat-alat berfikir secara efisien.

3) Teori Faktorial

Teori faktorial ini mempunyai berbagai variasi yang masing-masing akan dibahas sebagai berikut.

a) Teori satu faktor Binet

Teori ini berpendapat bahwa inteligensi itu terbangun atas satu faktor saja. dengan lebih singkatnya, inteligensi adalah kesanggupan belajar. Bahwa skala inteligensi Stanford-Binet ini hanya mengukur faktor "g" saja.

b) Teori Dua faktor Spearman

Teori ini berpendapat bahwa inteligensi itu terbangun atas-dua faktor. Pelopor teori ini adalah Charles Spearman yang berpendapat bahwa inteligensi itu terbangun atas faktor "g" dan faktor "s". Faktor "g" merupakan kemampuan umum yang bersifat universal, sedangkan faktor "s" merupakan faktor khusus yang khas (Cronbach, Jackson 2003: 47). Menurut Spearman, setiap orang memiliki kedua faktor tersebut. Yang membedakan antara individu yang satu dengan yang lain adalah perbedaan perpaduan keduanya, yang akan merupakan bakat yang terpancarkan, "manifested aptitude".


(34)

Arti penting teori dua faktor Spearman ini, untuk keperluan analisis tes, ialah asumsinya yang menyatakan bahwa kalau antara dua buah tes terjadi korelasi, maka kedua tes tersebut mengukur satu faktor kebersamaan yang sama dan dua faktor khusus yang berlainan (Guilford, dalam Subino 1986 : 472). Dengan demikian maka kedudukan skor pada tes yang satu dapat dipergunakan untuk meramalkan kedudukan skor tes yang lain. Kesimpulan yang demikian dilandasi oleh pemikiran bahwa kedua tes tersebut menuntut satu kemampuan yang sama.

c) Teori faktor bertingkat Philip E. Vernon

Konsepsi inteligensi Vernon ini mirip dengan konsepsi Spearman. Menurut Vernon, di bawah faktor "g" itu terdapat dua major group factors yang masing-masing adalah verbal - educational (V : ed) dan practical (k : a). Yang pertama dibagi ke dalam dua minor-group factors, yakni verbal dan numerical; sedangkan yang kedua dibagi menjadi snace ability, manual ability, dan

mechanical ability. Dan masing-masing bagian tersebut dibagi lagi menjadi specific factor vang sangat besar jumlahnya dan mencakup lingkup yang sangat

khusus (Vernon, Jakson 2003 : 22). hodel bangunan inteligensi Vernon ini dapat dilukiskan ke dalam bagan berikut.

Bagan 2.1


(35)

Dalam model hirarki kemampuan mental Vernon, semakin tinggi posisi faktor dalam diagram, semakin luas rentang perilakunya. Model hirarki Vernon mempertahankan faktor umum inteligensi Spearman dan meletakan primary

mental abilities Thurstone dan structure-of-lntellect Guilford pada status bawah di

bawah faktor “g”. Model hirarki Vernon adalah cara yang baik dalam menggabungkan temuan dan interpretasi berbagai studi analisis faktor menjadi sebuah teori tunggal. Konsep yang dikemukakan Vernon serupa dengan Wechsler. Weschler merancang tes inteligensi yang terdiri dari dua bagian yaitu

verbal dan performance yang pada akhirnya digabungkan menjadi skor IQ.

4) Teori Struktural

a) Teori struktural Guilford

Dalam teori yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari teori

Primary Mental Abilities Thurstone, Guilford mengusulkan bahwa kinerja pada

setiap tugas kognitif terbaik dapat dipahami melalui analisis ke dalam jenis operasi mental atau proses mental yang dilakukan, jenis konten atau uji materi dimana operasi mental dilakukan, dan produk yang dihasilkan dari operasi tertentu pada jenis uji konten tertentu. Model Structare-of-lntellect berisi 120 faktor yang berbeda, yang dianggap independen. Pengembangan dari teori ini mengungkapkan bahwa inteligensi asli terdiri dari lima macam jenis operasi (evaluasi, produksi konvergen, produksi divergen, pemahaman memori, perekaman memori, kognisi), enam jenis produk (unit, kelas, hubungan, sistem, transformasi, dan implikasi), dan lima jenis isi (visual, pendengaran, simbolik, semantik, perilaku). Hal ini menunjukkan adanya 150 (5 X 5 X 6) tugas intelektual yang terdiri dari struktur intelek.

Walaupun awalnya Guilford berasumsi bahwa 150 faktor tersebut independen satu sama lain, tetapi tidak ada penelitianya yang mendukung asumsi ini. Guilford kemudian mengganti model Structure of lntellect yang telah dimodifikasi dengan model kemampuan hirarkis yang terdiri dari 150 orde faktor pertama, 85 orde faktor kedua, dan 16 orde faktor ketiga. Model terakhir belum sepenuhnya dievaluasi oleh penelitian, tapi Brody (dalam Aiken, 1997)


(36)

menyimpulkan bahwa itu bukan merupakan alternatif yang dapat diterima untuk model hirarkis yang mencakup faktor umum “g” di puncak.

b) Teori Faset Guttman

Teori model PASS (Flanning - Attention Ünndtaneous Processing -

Successive Processing) menyatakan bahwa aktivitas kognitif otak manusia dibagi

menjadi tiga unit fungsional. Unit fungsional pertama, yang dianggap berhubungan dengan batang otak bagian atas dan sistem limbik, berhubungan dengan gairah atau perhatian dan adalah pembeda antara rangsangan. Walaupun tidak bertanggung jawab untuk menerima dan menganalisis informasi, unit ini sangat penting untuk proses kognitif karena memberikan kesiapan kondisi umum dan fokus perhatian.

Secara ringkas, unit fungsional pertama dikatakan bertanggung jawab atas gairah dan perhatian, yang kedua untuk penerimaan, analisis, dan penyimpanan menggunakan proses penalaran secara berturut-turut dan simultan, dan ketiga untuk merencanakan, mengatur, dan memverifikasi aktivitas mental. Baik input dan output mungkin serial atau bersamaan.

b. Teori Modern tentang Inteligensi

Beberapa tahun terakhir ini, terjadi peningkatan minat terhadap penelitian terkait inteligensi yang menghasilkan sejumlah konsepsi baru, perhatian terhadap aspek baru dari proses-proses tertentu, dan pemahaman yang semakin dalam terkait isu seputar inteligensi (Sternberg, dalam Anastasi 1997: 46 ).

Teori Guilford membahas inteligensi dalam kaitannya dengan tiga dimensi yang luas yakni operasi, konten dan produk. Dimensi operasi mencakup kognisi, memori, produksi divergen, produksi konvergen, dan evaluasi. Dimensi konten mencakup figural, simbol, semantik, dan behavioral. Dimensi produk mencakup unit, kelas, relasi, system, transformasi, dan implikasi. Ketiga dimensi tersebut membentuk matriks dengan 120 kotak. Fokus penelitian Guilford adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berbeda untuk mengisi 120 kotak yang


(37)

tersedia dalam matriks. Kemungkinan apakah faktor-faktor tersebut saling berkorelasi dan terorganisasi secara hierarkis menjadi pertanyaan yang belum terjawab dari penelitian Guilford tersebut.

Carroll (Jakson:2003) melakukan studi dengan menggunakan teori dasar mengenai pemrosesan kognitif. Studi yang dilakukan Carroll bertujuan untuk mengidentifikasi pemrosesan yang berbeda-beda dalam diri individu yang mungkin berkaitan dengan masing-masing faktor. Dalam sistem yang dibuat Carroll, faktor kemampuan mental yang utama muncul ketika seperangkat tes membagi perbedaan individual menjadi empat ranah yakni jenis dan konten memori (contoh : leksikosemantik, quantitative), lingkup dan urutan pengoperasioan kognitif, strategi kognitif dan pemecahan masalah, serta kelas respon. Proses kontrol, menurut Carroll, terbagi menjadi tipe instruksi (perhatian, pengarahan, dan memori jangka panjang) serta tipe pemecahan masalah (pengoperasian terkait fungsi eksekutif atau integratif dari memori jangka pendek).

Sternberg (Anastasi 1997: 45) melakukan penelitian eksperimen modern terkait pemrosesan informasi dan kognitif, seperti halnya penelitian inteligensi yang menggunakan pendekatan tradisional, penelitian tersebut menggunakan

‘teori triarkis inteligensi manusia’. Teori triarkis terdiri atas tiga subteori yakni :

subteori kontekstual, yang membahas cara bagaimana individu beradaptasi terhadap pemilihan dan pembentukan lingkungan eksternal; subteori dua-segi berkenaan dengan peran pengalaman dalam mempengaruhi reaksi terhadap pembaharuan dan automatisasi; dan subteori yang menghubungkan inteligensi dengan dunia internal individu. Ketiga subteori tersebut mengidentifikasi proses intelektual yang memfasilitasi perilaku intelijen individu. Subteori yang ketiga menggarisbawahi tiga komponen yakni pemrosesan informasi penting untuk mempelajari, merencanakan dan melaksanakan operasi-operasi yang diperlukan. Gagasan Sternberg dapat dikatakan revolusioner karena : (a) Memperluas definisi inteligensi dalam beberapa bidang, contohnya adaptasi okupasional dan inteligensi sosial; (b) Memberikan hipotesis eksplisit mengenai proses-proses


(38)

tersembunyi; dan (c) Merupakan sumber yang kaya akan gagasan penelitian selanjutnya.

Teori modern mengenai inteligensi biasanya lebih luas lingkupnya, oleh karena itu dapat memberikan dasar untuk mengevaluasi konteks dimana tes inteligensi diperlukan, menyarankan isi dan tata cara tes, serta memberi petunjuk tentang bagaimana tes inteligensi berfungsi sebagaimana mestinya dan bagaimana fungsi tersebut dapat dikembangkan. Kajian teoretis yang dilakukan Guilford Caroll (1993), dan Sternberg (1984) memberikan orientasi eksplisit untuk memperluas lingkup inteligensi menjadi sistem yang teorganisir dalam cara tertentu. Sistem tersebut memberikan fondasi yang kaya untuk memformulasi hipotesis terkait area baru di bidang pengukuran.

Isu pertama yang dimunculkan oleh teori inteligensi faktor jamak dalam studi yang dilakukan Thurstone (Anastasi 1997: 62) yakni mengenai apakah formulasi teori yang telah dikembangkan dan didiferensiasi oleh Guilford dapat dipraktikkan dengan tepat. Teori tersebut tentunya telah memperluas dan memperdalam pengetahuan mengenai hal-hal seputar inteligensi dan menyajikan penegasan mengenai strategi pemrosesan-informasi, konten, dan persyaratan tugas beserta dampaknya terhadap individu dan perkembangan teori di masa depan (Sternberg, 1997). Namun, dampak teori tersebut terhadap praktisi di lapangan sangatlah terbatas. Kebanyakan praktisi memilih untuk menggunakan konstruk inteligensi umum (Wechsler, 1958), karena dipandang sebagai pengukuran global terhadap kemampuan intelektual yang penting dalam memahami perilaku individu. Meskipun faktor-faktor yang berdasarkan atas teori tentang kemampuan intelektual telah memberikan jaminan terhadap perediksi diferensial, misalnya bakat khusus memprediksi aspek khusus dari performansi kerja, namun jaminan tersebut belum direalisasikan dalam kebanyakan praktik. Brody dan Brody (Jackson 2003: 40) menyeimbangkan penilaian kritis terhadap teori melalui apresiasi terhadap perlunya persediaan data yang berbasis faktor kemampuan tunggal dengan data lainnya. Mereka mempercayai bahwa teori mengenai struktur intelektual yang berdasarkan atas faktor kemampuan tunggal merupakan


(39)

representasi yang kurang memadai dari struktur intelektual. Pandangan tersebut terlepas dari konsistensi bukti-bukti mengenai kelebihan faktor “g” sebagai suatu faktor inteligensi.

Brody dan Brody (Jackson 2003: 52) mengemukakan bahwa dasar untuk mengukur faktor tunggal yang kuat dari kemampuan kognitif adalah fakta bahwa testi/individu bukanlah seorang yang jenius dalam mengembangkan strategi berbeda untuk memecahkan permasalahan yang sama, strategi yang mereka gunakan biasanya disesuaikan dengan kemampuan unik yang dimiliki. Argumen tersebut konsisten dengan kedudukan proses eksekutif atau proses metakomponensial Sternberg yang mengalokasikan sumber-sumber intelektual dan mengendalikan strategi-strategi pemrosesan informasi. Proses-proses tersebut tidak sama antara individu satu dengan individu lainnya namun hasilnya mungkin saja sama. Selain itu, penting untuk meringkas keseluruhan performa menjadi satu abstraksi tunggal, yang disebut skor total, dikarenakan oleh tiga alasan : (a) Keragaman memunculkan kesempatan untuk pengalaman yang tidak disengaja dan sumbangan berupa materi yang spesifik, (b) Fungsi-fungsi eksekutif dapat muncul secara diferensial, dan (c) Percampuran tugas yang memungkinkan adanya penemuan baru dan automatisasi dianggap tepat.

c. Intelegensi sebagai Konstruk MAB II

Di dalam upaya mendefinisikan hakekat intelegensi akan terdapat definisi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut lazim bersumber pada perbedaan-perbedaan pengertian dasar yang dibangun dari renungan tentang dan atau pengamatan terhadap apa yang disebut dengan perilaku intelegent. Hal itulah yang mendasari para tokoh dalam mendefinisan intelegensi tersebut. Sejumlah penyusun tes telah berupaya mendefinisikan inteligensi, salah satu nya adalah seperti yang dikemukakan oleh Wechsler (dalam Jackson, 2003):


(40)

Inteligensi merupakan kapasitas agregat atau global dari individu untuk bertindak secara bertujuan dan berpikir secara rasional serta berhubungan secara efektif dengan lingkungan sekitarnya. Disebut agregat atau global, karena inteligensi terdiri atas elemen-elemen atau kemampuan-kemampuan yang meskipun tidak sepenuhnya independen tapi dapat dibedakan secara kualitatif.

Wechsler (dalam Jackson, 2003) mengemukakan bahwa perilaku intelijen merepresentasikan lebih dari sekedar penyatuan beragam kemampuan yang terpisah-pisah, karena : (a) Kombinasi dari kemampuan-kemampuan tertentu terbukti lebih manjur dibanding lainnya; (b) Kualitas lain, misalnya motivasi, mempengaruhi perilaku; dan (c) Tingkat kemampuan yang lebih tinggi dari yang dipersyaratkan suatu tugas tidak akan mempengaruhi perilaku tertentu. Terdapat beberapa implikasi dalam diskusi Wechsler mengenai hal-hal seputar inteligensi, diantaranya : (1) Inteligensi mencakup beberapa kemampuan terpisah yang terorganisir secara bersama-sama, (2) Inteligensi dan perilaku intelijen merupakan dua hal yang berbeda, (3) Pengaruh lain diluar kemampuan dapat berdampak terhadap perilaku intelijen, dan (4) Tingginya kemampuan dalam area tertentu tidak harus atau tidak selalu menghasilkan perilaku intelijen di area lainnya.

Gagasan tersebut dan gagasan lain yang relevan memiliki latar belakang sejarah, dan sampai sekarang masih menjadi perhatian para pakar teori kontemporer. Latar belakang sejarah terkait inteligensi memberikan dasar yang kuat terhadap pembahasan isu-isu seputar teori inteligensi, strategi pengukuran, peran konteks budaya, dan kecenderungan di masa depan.

Apabila inteligensi sebagai konstruk hipotetik dipandang berbeda dari apa yang diukur oleh tes inteligensi, maka beberapa teori tentang inteligensi perlu memiliki pengakuan dari sejumlah besar literatur empirik yang memadai dalam hal konseptualisasi. Berikut dipaparkan beberapa disposisi mengenai inteligensi yang ditarik dari pemikiran kontemporer terkait kemampuan intelektual (Sternberg, 1997). Preposisi-preposisi ini sebaiknya tidak dipandang sebagai fakta ataupun suatu pernyataan tanpa kontroversi. Alih-alih preposisi ini dapat


(41)

dipandang sebagai hipotesis yang menjadi dasar bagi pengukuran, penelitian, serta klarifikasi dan revisi di masa mendatang.

Berikut adalah preposisi-preposisi mengenai kemampuan intelektual sebagai landasan pengembangan tes MAB II (Jackson, 2003) :

1) Kemampuan inteligensi dan intelektual merepresentasikan konstruk hipotetik yang ditarik dari berbagai studi observasional, psikometrik, laboratoris, dan studi lapangan. Sistem konstruk tersebut tidak dapat diamati secara langsung, namun dapat diketahui melalui pengamatan terhadap seperangkat perilaku yang membentuk konstruk tersebut. Dengan demikian, inteligensi berbeda dari konstruk lain yang digunakan untuk menafsirkan kejadian fisik seperti medan elektromagnetik atau temperature

2) Inteligensi merupakan suatu unitas multiplex, yakni seperangkat sistem yang terdiferensiasi, beroperasi secara semi-otonomi namun tetap menjadi metasistem yang terorganisir. Metasistem tersebut dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu aspek kepribadian sehingga perilaku intelijen (contoh : aktivitas yang bertujuan) dapat berfungsi tidak hanya sebagai kemampuan tapi juga sebagai ciri kepribadian misalnya ketekunan dan fleksibilitas.

3) Terdapat ciri khusus dari inteligensi yang muncul seiring perkembangan dikarenakan kematangan fungsi biologis. Inteligensi menurun seiring proses penuaan, sebagian dikarenakan fungsi entropi biologi. Studi yang konsisten dengan preposisi ini adalah studi mengenai hubungan antara masa otak dan inteligensi, serta temuan penelitian yang mengungkap hubungan antara perilaku intelijen dan respon tersembunyi (Vernon dan Weese, 1993). Kecepatan pemrosesan informasi, pemecahan masalah, dan kecepatan reaksi memberikan informasi penting mengenai keberfungsian intelektual dan termasuk aspek yang dipertimbangkan dalam pengukuran kemampuan intelektual.

4) Banyak ragam pemrosesan intelektual yang berpengaruh terhadap perilaku intelijen. Pemrosesan tersebut dapat terdeteksi oleh konten dan format tes. Korelasi antara tes dan kemunculan kelompok faktor akan menjadi suatu


(42)

fungsi dimana pemrosesan serupa muncul dalam tugas-tugas intelektual yang berbeda. Sebagian besar pengukuran terhadap kemampuan kognitif saling berhubungan secara positif karenanya perilaku intelijen dapat digambarkan sebagai faktor general, bersama-sama dengan seperangkat faktor intelektual dan non-intelektual.

5) Meskipun salah satu dari banyak ragam performa intelektual dapat digunakan untuk mengukur kemampuan intelektual umum, generalisabilitas akan lebih baik apabila evaluasi dilakukan terhadap sampel yang luas mencakup beragam tipe pengukuran yang berbeda-beda. Semakin representatif sampel, semakin pemrosesan intelektual akan semakin dapat digeneralisasi. Dari sudut pandang teknis, apabila kombinasi skor tes memiliki komponen variansi dan kovariansi, maka kovariansi antara beragam performa yang berbeda akan terakumulasi ketika skor ditambahkan secara bersamaan, menghasilkan perkiraan yang lebih baik atas kesamaan-kesamaan antara seperangkat pengukuran dengan lainnya.

6) Perilaku intelijen merupakan suatu hal yang bergantung konteks dan ditetapkan secara sosial, terdapat kesamaan antara penyesuaian sosial dan perilaku intelijen. Mustahil untuk mengukur perilaku intelijen dalam isolasi terhadap suatu lingkungan dimana seharusnya perilaku intelijen tersebut ditampilkan. Oleh karena itu tidak dianjurkan mengadministrasikan pertanyaan tes menyangkut pengetahuan bahasa Inggris terhadap responden yang tidak mengenal atau tidak memiliki wawasan mengenai bahasa Inggris. Contohnya, Lynn (Jackson 2003: 54) menunjukkan bahwa ketika tes Skala Inteligensi Wechsler diadministrasikan terhadap para siswa di Jepang dengan menggunakan petunjuk dalam bahasa Jepang, para siswa tersebut tidak menemui kesulitan dalam melakukan tugas-tugas dalam tes tersebut. Skor mereka pun secara signifikan lebih tinggi dari skor para siswa di Amerika Utara. Dengan demikian, sarana asesmen perlu disesuaikan dengan budaya respoden (misalnya, bahasa harus dapat dipahami) dan apabila responden memiliki keterampilan tertentu yang diperlukan untuk mengikuti asesmen


(43)

(misalnya membaca), maka level keberfungsian intelektual responden tersebut dapat dinilai dengan baik. Tentu saja lingkungan yang kaya, dimana keterampilan intelektual dapat dipraktikkan dan dimana ada banyak kesempatan untuk mengatasi masalah baru, diharapkan untuk dapat berkontribusi terhadap perkembangan kemampuan intelektual.

7) Perilaku intelijen tidak hanya diwujudkan oleh kemampuan yang tercermin dalam performa kognitif tradisional, namun dalam lingkungan sosial juga. Binet dan Thorndike secara eksplisit mengakui adanya peran inteligensi sosial. Sementara para pakar teori modern memasukkan adaptasi terhadap lingkungan behavioral sebagai dimensi utama dari perilaku intelijen. Jackson (1961) telah menunjukkan bahwa pengamat independen secara reliable memberdakan antara inteligensi sosial dan inteligensi akademik dalam diri responden mereka.

d. Tes Intelegensi

1) Konteks Historis dari Tes Inteligensi

Pada awalnya pengukuran inteligensi telah dipraktekkan di negara Cina sebelum dinasti Han, pengukuran inteligensi dilakukan oleh jenderal Cina untuk menguji rakyat sipil yang ingin menjadi anggota legislatif berdasarkan pengetahuan menulis klasik, persoalan administratif dan manajerial.

Pengukuran inteligensi kemudian dilanjutkan sampai pada masa dinasti Han (200 SM- 200 M), namun seleksi ini tidak lagi untuk legislatif saja, tetapi mulai merambah pada bidang militer, perpajakan, pertanian, dan geografi. Meskipun diawali dengan sedikit mencontoh pada seleksi militer Prancis dan Inggris, sistem ujian telah disusun dan berisi aktivitas yang berbeda, seperti tinggal dalam sehari semalam dalam kabin untuk menulis artikel atau puisi, hanya 1 % sampai dengan 7 % yang diizinkan ikut ambil bagian pada ujian tahap kedua yang berakhir dalam tiga hari tiga malam. Menurut Gregory (2007), seleksi ini keras namun dapat memilih orang yang mewakili karakter orang Cina yang


(44)

kompleks. Tugas-tugas militer yang berat cukup dapat dilakukan dengan baik oleh para pegawai yang diterima dalam seleksi fisik dan psikologi yang intensif.

Tokoh psikologi yang berperan antara lain adalah Wundt. Beliau merupakan psikolog pertama yang menggunakan laboratorium dengan penelitiannya mengukur kecepatan berpikir. Wundt mengembangkan sebuah alat untuk menilai perbedaan dalam kecepatan berpikir. Tokoh yang tidak kalah pentingnya adalah Alfred Binet. Kontribusi nyata Binet adalah menciptakan tes inteligensi. Binet dibantu oleh Theophile Simon (1904) membuat instrumen pengukur inteligensi dengan skala pengukuran level umum pada soal-soal mengenai kehidupan sehari-hari sehingga tesnya dikenal dengan nama Tes Binet-

Simon. Perkembangan selanjutnya dua tokoh ini mengembangkan penggunaan tes

inteligensi dengan tiga puluh item yang berfungsi mengidentifikasikan kemampuan sekolah anak (Van Ornum, 2008).

Di Amerika, usaha pertama tersebut dimulai oleh tokoh pencetus istilah "tes mental" yaitu James Mckeen Cattell (1860-1944), yang menerbitkan bukunya

Mental and MaMfiremels d tahun 1890. Buku ini berisi serangkaian tes

inteligensi yang terdir atas 10 jenis ukuran. Ke-10 macam ukuran tersebut adalah (Gregory, 2007):

a) Dynamometer Pressure, yaitu ukuran kekuatan tangan menekan pegas yang

dianggap sebagai indikator aspek psikofisiologis

b) Rate of movement, yaitu kecepatan gerak tangan dalam satuan waktu tertentu

yang dianggap memiliki komponen mental di dalamnya.

c) Sensation areas, yaitu pengukuran jarak terkecil diantara 2 tempat yang

terpisah dikulit yang masih dapat dirasakan sebagai 2 titik berbeda.

d) Peasue caosingpain, yaitu pengukuran yamg dianggap berguna dalam

diaknosis terhadap penyakit saraf dan dalam mempelajari status kesadaran abnormal.

e) Least noticabele difference in weight, yaitu pengukuran perbedaan berat yang


(45)

f) Reaction time for sound, yang mengukur waktu antara pemberian stimulus

dengan timbulnya reaksi tercepat.

g) Time for naming color»,, yang dimaksudkan sebagai ukuran terhadap proses

yang lebih 'mental' daripada waktu-reaksi yang dianggap reflektif.,

h) Bisection of a 50-cm line, yang dianggap sebagai suatu ukuran terhadap

akurasi 'space judgment'

i) Judgment of KMfecond time, yang dimaksudkan sebagai ukuran akurasi

dalam 'time judgment' A subyek diminta menghitung 10 detik tampa bantuan apapun).

j) Number of latters repeated upon once hearing, yang dimaksudkan sebagai

ukuran terhadap perhatian dan ingatan (subyek diminta mengulang huruf yang sudah disebutkan lx)

C. Konsep Pengembangan Alat Ukur Psikologis

1. Pengukuran psikologis

Definisi pengukuran berkiblat pada pemikiran Campbell (Guilford, 1954: 5) yang membatasi pengukuran (measurement) sebagai "...the assignment of

numerals to objects or events according to rules". Pada buku berjudul Fundamental Statistics in Psychology and Education Guilford (1978: 21)

menambahkan batasan pengukuran sebagai "...the assignment of numerals or

numbers to objects and events according to logically acceptable rules". Batasan

ini menekankan bahwa proses pengukuran harus berdasarkan sistem yang dapat diterima dan logis. Sistem angka memiliki persyaratan logis itu, sebab angka memberikan kemungkinan-kemungkinan yang majemuk dalam memanipulasi dengan logika. Jika seorang ahli menerapkan angka dalam menerangkan objek atau peristiwa, maka dengan sendirinya orang itu berkesempatan untuk memperlakukan angka-angka tersebut dalam berbagai cara sistematis untuk mengambil kesimpulan dari apa yang sedang diukurnya.

Pada bagian lain, secara teknis Wiersma & Jurs (1990: 8) mendefinisikan istilah pengukuran sebagai “the assignment of numerals to objects or events


(46)

that give numerals quantitative meaning". Lain lagi dengan Gronlund (1985: 5)

yang membatasi istilah pengukuran sebagai "... the process of obtaining a

numerical description of the degree to which an individual possesses a particular characteristic - by answers the question of "How much?". Beberapa

ahli lain, yang juga berkecimpung dalam pengukuran, seperti Weitzenhoffer (1951) menyebutkan pengukuran sebagai suatu operasi yang dilakukan terhadap alam fisik oleh pengamat, sedangkan Stevens (1946) mengemukakan pengukuran sebagai pemberian angka atas objek atau kejadian sesuai dengan aturan. Akhirnya, Lord & Novick dan Torgerson (Noer, 1987: 1) memperbaiki definisi Stevens dengan menyatakan bahwa pengukuran lebih dikenakan pada sifat objek daripada terhadap objek itu sendiri. Misalnya, pada saat seorang ahli kimia fisika mengukur masa molekul persenyawaan atau seorang ahli biologi menentukan jumlah bakteri di dalam setetes air kolam, semua ini merupakan pengukuran atas sifat khas dari objek yang diteliti. Dalam pengertian yang serupa, ahli psikologi di sekolah tidak mengukur anak, akan tetapi sifat fisik yang khas dari anak seperti tinggi atau beratnya; atau sifat psikis seperti peningkatan penguasaan kosa kata, kematangan sosial; atau pengetahuan tentang dasar-dasar penjumlahan.

Definisi-definisi tentang pengukuran yang dikemukakan para ahli tersebut sangat beragam, namun Nunnally (1978: 3) mengungkapkan bahwa intinya "...measurement consist of rules for assigning numbers to objects in

such a way as to represent quantities of attributes".

Selanjutnya, secara sederhana psikologi dapat didefinisikan sebagai studi tentang tingkah laku, dan sifat atau atribut yang mencirikan tingkah laku individu di lingkungan (rumah, pekerjaan, sekolah atau di masyarakat). Hal ini pada umumnya disebut atribut psikologis (psychological traits) (Noer, 1987:2-3).


(1)

Butcher, H.J.(1993) Human Inteligence. New York: Harper

Brown, T. A . (2006). Confirmatory Factor Analysis for Applied Research. New york : The Guildford Press

Carroll, J. B. (1993). Human cognitive abilities: A survey of factor-analytic studies. Cabridge, U.K.: Cambridge University Press.

Cohen, et al. (1992). Psychological Testing and Assesment: An Introduction to Test and Measurement. Californina: Mayfield Publisking Co.

Chadha, N. K. (2009). Applied Psychometry. New Delhi : Chaman Enterprises. Chaplin, JP. (2006). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Pustaka. Creswell, John W. (1994). Research Design Qualitative And Quantitative

Approach, California: SAGE Publications, Inc.

Departemen Pendidikan Nasional (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam .Ialur Pendidikan Formal. Bandung : Jurusan Psikologi Pendidikan FIP UPI Bandung Bekerjasama dengan PB. ABKIN

Djamarah, Syaiful Bahri. (2002). Psikologi Be/ajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan. Bandung. Remaja Rosdakarya. Furqan. (2002). Statistika Terapan Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Gardner, H. (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple intelligence. New York: Basic books.

Goldman. P. (1995). The Career Development Quarterly Psychological. Online Book Vol 43

Guilford, J. P. (1954). Psychometric Method. Tokyo: Kogakusha Co. Ltd.

Guilford, J.P. and Benjamin Fruchter. (1978) Fundamental Statistics in Psychology and Education. New York: McGraw-Hill, 1973

Gregory, R. J. (2007), Psychological Testing: History, Principles, and Application 5th Edition. Boston, USA: Pearson Internasional.


(2)

Greenspan, Stephen & Discoll, John. (1997). The Role of Intelligence in a Broad Model of Personal Competence. NY: The Guilford Press.

Gronlund, Norman E. (1985) Constructing Achievement Test. En-glewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc.

Herrnstein, R. J.,& Murray, C. (1994). The bell curve: Intelligence and class structure in American life. New York: The Free Press.

Helma. (2001). Pengembangan Alat Ukur Kecerdasan Emosi Siswa Sekolah Menengah Atas. Tesis PPS.UPI Bandung: Tidak Diterbitkan

Hunt, E. B. (1978). Mechanics of verbal ability. Psychological Review. 85,109-130.

Hunter, J. E., & Hunter, R. F. (1984). Validity and utility of alternative predictors of job performance. Psychological Bulletin. 96,72-98.

Hurlock, E. B. (1995). Developmental Psychology: A Life SpanApproach. Fifth Edition. McGraw-Hill, Inc.

Jackson , N.D . (2003). Multidimensional Aptitude Battery-II Manual. Port Huron : Sigma Assessment Systems, Inc

Jensen, A. R. (1998). The g factor The science of mental ability, CT: Praeger Keagan, Jerome, S. (1996). Inadequate Evidance and Illogical Conclucion.

Harvard Educational Review

Kranzler, J. H., & Jensen, A. R. (1991). The nature of psychometric g: Unitary process or a number of independent processes Intelligence. 15,397-422. Lynn, R. (1982). IQ in Japan and the United States shows a growing disparity.

Natures 297,222-223.

Masyarakat Bimbingan dan Konseling Indonesia (2013). Masukan Perkara Tentang Peran dan Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 2013. [online]. Tersedia: http:/ahmad sudrajat.files.wordpres.com.2013.

Muro, J. J & Kottman, T. (1992). Guidance and Counseling in Elementary and Midle Schools. Ioawa: Brown and Benchmark Publisher.

Murphy, K.R. & Davidshofer, C.O. (1994). Psychological Testing: Principels and Application. London: Prentice-hall Int.


(3)

Nana, Syaodih. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda. Neisser, U. (1979). The concept of intelligence. Intelligence, 3,217-227. Neisser,

U., Boodoo, G., Bouchard, T. J., Boykin, A. W., Brody, N., Ceci, S. JJ Halpcrn, D. F., Loehlin, J. C., Perloff, R., Sternberg, R. J., Urbina, SJ (19%). Intelligence: Knowns and unknowns. American Psychologist, 5/J 77-101.

Nitko, A. J. (1996). Educational Assesment of Student. Ohio: Merril Prentice Hall. Nunnally, J. C. (1978). Psychometric Theory, 2nd Edition. New York: McGraw-

Hill Book Company.

Nurhayati, Atti. (2003). Beberapa Faktor Non Intelektual Yang Menyebabkan Siswa Berprestasi Kurang. Skripsi Jurusan PPB FIP UPI : Tidak Diterbitkan Nurhudaya. (1999). Perbedaan Pencapaian Skor WISC-R Dilihat dari Latar

Belakang Biografi Anak. Thesis: Tidak Diterbitkan

Nurihsan, A. J. (2003). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung: Mutiara.

Nurihsan, A.J. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Rosda Karya,

Piaget, Jean (1956). The Origin of Inteligence In Children. New York: International University Research Journal.

Ree, M. J., & Earles, J. A. (1990). Differential validity for a differential aptitude

test Brooks Air Force Base, Texas: Air Force Systems Command.

Riduan. (2006). Relajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta

Sevilla, G. et. al. (1993). Pengantar Metode Penelitian. (Alih bahasa oleh Alimuddin Tuwu). Jakarta: Gramedia.

Satler, M, J. (1992). Assessment of Children: Revised and Updated Third Edition. San Diego: Jerome. M. Satler, Publisher, Inc

Suharsimi Arikunto.(1993). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.


(4)

Suherman, U. dan Sudrajat, D. (1998). Evaluasi dan Pengembangan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Publikasi Jurusan PPB FIP UPI.

Sugiyono. (2006). Teknik Penelitian. Yogyakarta: CV Rineka Cipta Sugiarto. (2003). Teknik Sampling. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Surya. Mohamad H. (2006). Peranan Bimbingan dan Konseling dalam Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Makalah dalam Lokakarya bimbingan dan konseling Kota Bandung, 21 Desember 2006 Shaleh, A.R ;Wahab, M.A . (2004). Psikologi Suatu Pengantar, Jakarta: Prenada

Media 134.

Sternberg, R. (1997). Succesful Intelligence. New York: Bantam Books. Stoddard, G.D. (1949). The Meaning of Intelligence. New York: MacMillan. Suryabrata, Sumadi . (2005). Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta:

C. V Andi

The Learning Corve .(2014). Educational and Skill For Life. The Learning Corve. Person.com

Tim, S.S & P. Iris. (2013). Mathematic and Achievement. Pdf ncs.ed.gov/tim ss/countries.asp

Vemon, P. A., & Wickctt, J. C. (1997, July). Nerve conduction velocity and MRI studies of g. Symposium paper presented at the 8* biennial meeting at the International Society for the Study of Individual Differences, Aarhu Denmark.

Wechsler, D. (1958). The Measurement of Intelligence. Baltimore: Welliains 8c Wilkins.

Wetzel, R. (1976). Hopelessness, depression, and suicide intent. Archives of General Psychiatry, 33. 1069-1073.

Wickett, J. C., & Vernon, P. A. (1994). Peripheral nerve conduction velocity, reactkM time, and intelligence: An attempt to replicate Vemon and Mori (1992). Intelligence. 18> 127-131.


(5)

Wiersma, William and Stephen G. Jurs. Educational Mea-surement and Testing. Second edition. Boston: Allyn and Bacon, 1990


(6)

LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis

ADAPTASI DAN STANDARISASI MULTIDIMENSIONAL APTITUDE

BATTERY – II SEBAGAI TES INTELEGENSI BAGI SISWA SMA

Oleh

DEWANG SULISTIANA NIM 1004859

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH : PEMBIMBING I

Dr. Suherman, M.Pd. NIP 19560331 1986031 002

PEMBIMBING II

Dr. Nurhudaya, M. Pd. NIP 19600725 198601 1001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia

Dr. Nandang Rusmana, M.Pd. NIP 19600501 1986031 004