PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL SUNDA : Studi Kasus di SMA Negeri 2 Cimahi.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR BAGAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 13
C. Definisi Operasional ... 14
D. Tujuan Penelitian ... 15
E. Paradigma Penelitian ... 16
F. Asumsi Penelitian ... 18
G. Manfaat Penelitian ... 18
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pendidikan Karakter di Indonesia ... 20
1. Hakikat Karakter ... 20
2. Nilai-nilai Karakter ... 24
3. Hakikat dan Dasar Filosofi Pendidikan Karakter di Indonesia 33
4. Pendidikan Karakter dalam Konteks Pendidikan Nasional ... 42
B. Tinjauan Tentang Kearifan Lokal Sunda ... 58
1. Makna Kearifan Lokal Sunda ... 58
2. Nilai-nilai Karakter yang Tercermin dalam Makna Kata Sunda ... 62
3. Nilai-nilai Karakter yang Tercermin dalam Pandangan Hidup Orang Sunda ... 77
4. Nilai-nilai Karakter yang Tercermin dalam Budaya Sunda ... 81
C. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda dalam Konteks PKn ... 88
D. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Interaksionisme Simbolik, Teori Kognitif Sosial, dan Teori Pengkondisian Klasik ... 109
1. Interaksionisme Simbolik ... 109
2. Teori Kognitif Sosial ... 119
3. Teori Pengkondisian Klasik ... 120
(2)
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 127
1. Pendekatan Penelitian ... 127
2. Metode Penelitian ... 128
B. Instrumen Penelitian ... 130
C. Teknik Pengumpulan Data ... 132
D. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 138
E. Tahap-tahap Penelitian ... 139
F. Uji Validitas Data Penelitian ... 143
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Umum SMA Negeri 2 Cimahi ... 146
B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 149
1. Pandangan Warga Sekolah Tentang Program Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda di Satuan Pendidikan ... 150
2. Program Pendidikan Karakter di Sekolah Melalui Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda ... 155
3. Faktor-Faktor yang Kondusif Bagi Upaya Pembentukan Karakter di Sekolah Melalui Pengembangan Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda ... 158
4. Dampak Program Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda Terhadap Peserta Didik ... 161
C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 163
1. Pandangan Warga Sekolah Tentang Program Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda di Satuan Pendidikan ... 163
2. Program Pendidikan Karakter di Sekolah Melalui Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda ... 199
3. Faktor-Faktor yang Kondusif Bagi Upaya Pembentukan Karakter di Sekolah Melalui Pengembangan Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda ... 216
4. Dampak Program Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda Terhadap Peserta Didik ... 219
D. Keterbatasan Penelitian ... 228
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 229
B. Rekomendasi ... 233
(3)
LAMPIRAN ... 241
1. Surat Penelitian 2. Pedoman Wawancara 3. Hasil Wawancara 4. Hasil Observasi
(4)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jangkauan Sikap dan Perilaku dengan Butir-Butir Nilai Budi
Pekerti ... 27
Tabel 2.2 Domain Budi Pekerti Islami menurut Al-Quran dan Hadis ... 29
Tabel 2.3 Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ... 50
Tabel 2.4 Wujud Pengamalan Pancasila ... 54
Tabel 2.5 Tata Wayah dalam Budaya Sunda ... 83
(5)
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Paradigma Penelitian Pengembangan Pendidikan Karakter
Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda ... 17 Bagan 2.1 Kerangka Konseptual Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda dalam Konteks PKn ... 89
(6)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada saat ini, terdapat beberapa hal permasalahan terkait pembangunan karakter bangsa. Sebagaimana pandangan pemerintah yang dikutip oleh Sukadi (2011: 81) bahwa dewasa ini ada enam permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam pembangunan karakter bangsa, yaitu: disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa; keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila; bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa.
Selanjutnya sejalan dengan enam permasalahan tersebut telah muncul berbagai perilaku yang mencerminkan degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila dan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini muncul dalam berbagai kasus, seperti: kasus narkoba yang semakin subur, pertikaian bersenjata antar kelompok massa yang makin menghiasi berita TV, kekerasan terhadap anak dan perempuan, pornografi dan porno aksi yang semakin vulgar ditunjukan oleh kalangan muda hingga elit politik, hubungan sek bebas yang makin menjangkiti kalangan generasi muda siswa dan mahasiswa, tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dimana-mana, serta kasus mafia hukum, peradilan, dan pajak. Tidak kalah hebohnya adalah munculnya gerakan terorisme oleh salah satu
(7)
kelompok masyarakat Indonesia sendiri, kasus money politics dalam pilkada dan pemilu legislatif, pencemaran dan kehancuran lingkungan ekologis, kompetisi antar kepentingan yang makin tajam dan tidak fair, pameran kekayaan yang makin tajam oleh kelompok kaya terhadap kelompok miskin, kasus penggusuran kelompok miskin di kota-kota besar, dan sulitnya menumbuhkan kepercayaan terhadap kejujuran masyarakat. Kasus-kasus tersebut adalah sedikit contoh kecil dari gunung es bagaimana degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila telah terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia dewasa ini.
Menurut data Kompas (Samani dan Hariyanto, 2011: 4-5) menulis kerusakan moral mencemaskan sebagai headline yang terpampang di halaman depan. Dalam berita tersebut disampaikan sebagai ikhtisar hal-hal yang terkait penyelenggara negara berupa fakta:
1. Sepanjang 2004-2011, Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 158 kepala daerah yang terdiri atas Gubernur, Bupati dan Wali Kota tersangkut korupsi.
2. Sedikitnya 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011. 3. 30 anggota DPR periode 1999-2004 dari 4 parpol terlibat kasus dugaan suap
pemilihan Deputi Gubemur Senior Bank Indonesia.
4. Kasus korupsi terjadi di sejumlah institusi seperti KPU, Komisi Yudisial, KPPU, Ditjen Pajak, Bank Indonesia, dan BKPM.
(8)
1. Sepanjang 2010 Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi kepada 107 hakim, baik berupa pemberhentian maupun teguran. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 78 hakim.
2. Pegawai kejaksaan yang dijatuhi sanksi sepanjang 2010 mencapai 288 orang, meningkat 60 persen dibandingkan tahun 2009 yang sebanyak 181 orang. Dari 288 orang pada tahun 2010 tersebut, 192 orang yang dijatuhi sanksi adalah jaksa.
3. Selama tahun 2010 sebanyak 294 polisi dipecat dari dinas POLRI yang terdiri dari 18 orang Perwira, 272 orang Bintara, dan 4 orang Tamtama.
Hal yang lebih menyedihkan terjadi karena di daerah, masyarakat bahkan melakukan apresiasi kepada koruptor sehingga:
1. Ada orang yang memenangi Pilkada Kabupaten meskipun sebelumnya sudah divonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan TIPIKOR dalam kasus korupsi APBD.
2. Ada orang yang menang Pilkada sebagai Wali Kota padahal sebelumnya ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi APBD dan telah divonis sembilan tahun penjara oleh Pengadilan TIPIKOR (10 Mei 2011).
Sementara itu, dalam dunia pendidikan kasus bertindak curang (cheating) baik berupa tindakan mencontek, mencontoh pekerjaan teman atau mencontoh dari buku pelajaran seolah-olah merupakan kejadian sehari-hari. Bahkan dalam pelaksanaan ujian akhir sekolah seperti Ujian Akhir Nasional (UAN) di sementara daerah ditengarai ada guru memberikan kunci jawaban kepada siswa. Jika beberapa tahun lalu seorang Kepala Sekolah tertangkap basah mencuri satu set
(9)
soal-soal untuk UAN, pada UAN tahun 2011, di suatu Kabupaten, karena takut muridnya tidak lulus seorang Kepala Sekolah SMA berani mencuri soal Fisika, kemudian menugasi guru bidang studi yang bersangkutan untuk menjawab soal-soal tersebut, dengan rencana kuncinya akan diberikan kepada para siswanya.
Menurut Setiadi dan Kolip (2011: 54-55) mengungkapkan bahwa masa remaja adalah fase perkembangan anak yang menginjak antara masa anak-anak ke masa dewasa. Masa tersebut dianggap juga sebagai masa transisi. Di masa-masa tersebut biasanya anak memiliki kecenderungan untuk mencari figur yang menjadi idola seperti bintang film, tokoh-tokoh ternama seperti tokoh dari dunia keolahragaan dan figur-figur lainnya. Anak juga dihadapkan pada permasalahan pencarian jati diri ditambah lagi di dalam jiwanya terdapat perasaan ingin diperhatikan oleh lingkungan masyarakatnya. Akibatnya anak tersebut sering melakukan tindakan dan gaya sebagaimana tokoh yang diidolakan. Dia juga dapat terjebak dalam tindakan kontroversial seperti terjerumus dalam tindakan menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya seperti mengkonsumsi narkoba, berkelahi, dan lain sebagainya. Perilaku penyimpangan tersebut semata-mata dipicu oleh karakter sebagai remaja yang masih labil jiwanya. Pada masa ini pengaruh luar juga lebih dominan sehingga anak cenderung mengabaikan nasihat orang tuanya. Sang anak bisa saja menganggap nasihat atau pengaruh orang tua sebagai hal yang tidak populer, “kolot”, “kuno”, “norak”, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pemaparan diatas, sesuatu yang terpenting adalah ancaman terhadap karakter generasi muda yang kian bergeser. Hal ini pun seperti yang
(10)
tertulis dalam publikasi Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 1) bahwa persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat.
Selanjutnya, dalam publikasi tersebut juga dituliskan bahwa persoalan yang paling krusial dan menjadi sebuah fenomena berkaitan dengan penyiapan sumber daya manusia yang siap berkompetisi di era global adalah krisis nilai-nilai karakter bangsa. Pada saat ini, bangsa Indonesia sedang mengalami krisis nilai-nilai karakter bangsa, yang ditandai dengan semakin maraknya kejahatan dan tindakan-tindakan lain yang tidak mencerminkan nilai-nilai karakter bangsa, yang dilakukan oleh orang-orang berpendidikan dan ada yang punya jabatan strategis di pemerintah atau masyarakat. Kita tidak bisa lagi menghitung dengan jari berapa
(11)
mantan pejabat pemerintah yang dihukum karena keterlibatannya dalam perkara kriminal, korupsi, dan penyalahgunaan jabatan.
Pemberlakuan Pendidikan Kewargannegaraan (disingkat PKn) untuk mengemban pendidikan karakter bangsa, secara yuridis formal terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pembentukan karakter atau akhlak peserta didik ditempatkan pada bagian awal tujuan pendidikan nasional. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya pembentukan karakter atau akhlak peserta didik. PKn sebagai bagian dari mata pelajaran yang ada dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah memiliki peran strategis untuk turut serta dalam pembentukan kepribadian peserta didik.
Khusus mengenai pendidikan karakter, Winataputra (2009: 2.7) menyebutkan bahwa dalam penjelasan pasal 37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional secara khusus tidak menyebutkan, namun secara implisit, antara lain tercakup dalam muatan PKn, yang secara substantif dan pedagogis mempunyai misi mengembangkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal itu juga ditopang oleh rumusan landasan kurikulum, yang dalam pasal 36 ayat (3) secara ekspilisit perlu memperhatikan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan, perkembangan ilmu pengetahuan teknologi
(12)
dan seni, keragaman potensi daerah dan lingkungan dan peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik. Landasan yuridis ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter menjadi bagian yang mendasar dan melekat, tidak bisa dipisahkan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional yang harus diwujudkan. Tujuan pendidikan nasional yakni terbentuknya manusia Indonesia yang utuh yang dalam taksonomi Bloom membentuk aspek kognitif, afektif dan psikomotor, dalam pandangan bangsa Indonesia sebagai manusia yang mempunyai karakter, dan terminologi Islam sebagai manusia kaffah yang berakhlak mulia.
Merujuk pada hal tersebut diatas, Murdiono (2010: 1) menjelaskan bahwa PKn bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik (good citizen) yang ditandai dengan dimilikinya tiga kemampuan kewarganegaraan meliputi: pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan karakter kewarganegaraan (civic disposition). Ketiga kemampuan kewarganegaraan ini dapat dimiliki oleh peserta didik jika pembelajaran yang dikembangkan oleh para guru di sekolah memperhatikan berbagai hal penting yang menunjang keberhasilan proses pembelajaran. Salah satu hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran kewarganegaraan adalah strategi pembelajaran yang dikembangkan atau diterapkan oleh para guru di kelas. Melalui pemilihan strategi pembelajaran yang sesuai dan tepat, pembelajaran kewarganegaraan akan menjadi pembelajaran yang menyenangkan sehingga tujuan pembelajaran kewarganegaraan pun akan dapat tercapai.
(13)
Seperti yang ditulis oleh Winataputra (2001: 294-295), Visi Pendidikan Kewarganegaraan adalah dalam arti luas, yakni sebagai “sistem Pendidikan Kewarganegaraan”. Agar berfungsi dan berperan sebagai (1) program kurikuler dalam pendidikan formal dan non-formal, (2) program aksi sosio-kultural dalam konteks kemasyarakatan, dan (3) sebagai bidang kajian ilmiah dalam wacana pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial. Visi ini mengandung dua dimensi, yakni (1) dimensi substantif berupa muatan pembelajaran (content and learning experiences) dan objek telaah serta objek pengembangan (aspek ontologi), dan (2) dimensi proses berupa penelitian dan pembelajaran (aspek epistemologi dan aksiologi).
Selanjutnya beliau juga menegaskan bahwa misi sosio-kultural Pendidikan Kewarganegaraan adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem kepercayaan/ nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi dalam konteks pembangunan masyarakat madani Indonesia melalui pengembangan partisipasi warga negara secara cerdas dan bertanggung jawab melalui berbagai kegiatan sosio-kultural secara kreatif yang pada akhirnya bermuara pada tumbuh dan berkembangnya komitmen moral dan sosial kewarganegaraan. Sedangkan misi substantif-akademis adalah mengembangkan “struktur atau tubuh pengetahuan” Pendidikan Kewarganegaraan, termasuk didalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi mengenai dan yang berkenaan dengan “civic virtue” atau kebajikan kewarganegaraan dan “civic culture” atau budaya kewarganegaraan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (fungsi epistemologis) dan memfasilitasi praksis sosio-pedagogis dan sosio kultural dengan hasil penelitian dan
(14)
pengembangannya itu (fungsi aksiologis). Berdasarkan misi substantif-akademis Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu mengembangkan “struktur atau tubuh pengetahuan” Pendidikan Kewarganegaraan, maka dalam penelitian ini peneliti lebih memfokuskan kepada budaya kewarganegaraan (civic culture) berupa sistem kepercayaan/nilai yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Sunda yang kemudian diangkat dan diintegrasikan dalam mata pelajaran PKn di sekolah sebagai pembelajaran pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda. (Winataputra, 2001: 299).
PKn sebagai program kurikuler dalam pendidikan formal, maka menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 Ayat (1), bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa. Sedangkan Pasal 37 Ayat (2), bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa. Penjelasan Pasal 37 Ayat (1) menjelaskan bahwa “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”.
Proses pembelajaran PKn hendaknya selalu menggunakan konsep dan strategi. Strategi pembelajaran yang dapat diterapkan adalah dengan mengembangkan strategi pembelajaran berbasis nilai-nilai kearifan lokal (yang dalam hal ini adalah nilai-nilai kearifan lokal Sunda). Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal Sunda sebagai basis budaya melalui pembelajaran PKn, untuk membangun identitas bangsa, dan sebagai penyeleksi pengaruh budaya lain.
(15)
Untuk dapat mengembangkan pembelajaran PKn berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda, tentunya diperlukan seorang pengajar yang bukan sekedar memahami kearifan lokalnya secara tekstual, melainkan dapat memanfaatkan kearifan lokal yang ada dalam proses pembelajaran di kelas. Selain itu, kemampuan profesional seorang pengajar dalam mengajar PKn juga diperlukan, mulai dari merencanakan pembelajaran sampai pada pelaksanaan pembelajaran di kelas. Sehingga tampak pola pembelajaran yang lebih terencana.
Berdasarkan pada sifatnya, kearifan lokal Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjujung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat Sunda adalah ramah tamah (someah), murah senyum, lemah lembut, dan sangat menghormati orang tua. Itulah cermin budaya dan kultur masyarakat Sunda. Sehingga ketika mendengar kata orang Sunda, maka kecenderungannya yang terlintas dalam pikiran adalah sosok yang lemah lembut, penyayang, dan penuh pengertian. Sedangkan berdasarkan pada keberadaannya, kebudayaan Sunda termasuk sebagai salah satu kebudayaan tertua. Kebudayaan Sunda yang ideal kemudian sering dikaitkan dengan kebudayaan raja-raja Sunda, yang sering dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi (meskipun menurut beberapa sumber, keberadaan Prabu Siliwangi hanya sebagai mitos). Etos dan watak Sunda yang sampai saat ini oleh sebagian kalangan masyarakat Sunda masih dipertahankan adalah silih asih, silih asah, silih asuh, cageur, bageur, bener, singer dan pinter. Kebudayaan Sunda juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dikembangkan dan dilestarikan. Hampir semua masyarakat Sunda beragama
(16)
Islam, namun ada beberapa yang bukan beragama Islam. Walaupun berbeda agama, namun pada dasarnya seluruh kehidupan di tujukan untuk alam semesta. Ini semua merupakan keberagaman yang tidak semua orang Sunda mengetahuinya.
Mengenai nilai budaya Sunda, Hermawan (2008: 75-85) menjelaskan bahwa terdapat empat nilai-nilai dalam budaya Sunda. Nilai-nilai tersebut adalah nilai keharmonisan dalam hidup, penghargaan terhadap waktu, nilai kelingkunganan, dan penghargaan dan penghormatan kepada leluhur.
Selanjutnya, kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Sunda di Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat religius. Pada kebudayaan Sunda, keseimbangan magis (dalam ilmu hukum adat disebut religio magis) di pertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat, sedangkan keseimbangan sosial masyarakat sunda dilakukan dengan gotong-royong. Hal seperti itulah yang kemudian menjadi suatu dialektika dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda.
Sekolah dalam menanamkan nilai-nilai dan totalitas terhadap tatanan tradisional masyarakat berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah untuk melakukan mekanisme kontrol sosial (social control). Bertalian dengan proses konservasi nilai-nilai budaya daerah ini memiliki fungsi yakni sekolah digunakan sebagai salah satu lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional dari suatu masyarakat. Pada masa proses industrialisasi dan modernisasi, pendidikan telah mengajarkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan
(17)
baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi kemandirian, mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran akan kehidupan keluarga kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial suatu bangsa (Idi, 2011: 69-70).
Sejalan dengan penjelasan diatas, keberadaan lembaga pendidikan sangat berperan dalam mengembangkan dan melestarikan kearifan lokal Sunda sebagai pembentukan karakter bangsa. Salah satu lembaga pendidikan formal yang masih mempertahankan dan melestarikan kearifan lokal Sunda di Jawa Barat adalah SMA Negeri 2 Cimahi, yang kemudian sekolah ini menjadi contoh betapa perlunya kita kembali kepada kearifan lokal dalam membentuk karakter bangsa yang berbudi pekerti luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, dan menjadi manusia Indonesia yang ber-Pancasilais. SMA Negeri 2 Cimahi telah menjadikan kearifan lokal Sunda (dalam kebijakannya) sebagai salah satu misi sekolah, yaitu meningkatkan wawasan peserta didik yang bertaraf internasional dengan mempertahankan nilai luhur budaya kedaerahan Jawa Barat (otak internasional hati Jawa Barat).
Sejalan dengan pendapat diatas, misi tersebut menjadi salah satu “ruh” dari terlaksananya proses pengajaran pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda. “Ruh” ini kemudian menjadi dasar dalam kegiatan pembelajaran atau pun kebijakan sekolah. Seperti kita mengetahui bahwa SMA Negeri 2 Cimahi telah mendapatkan ISO, dan inilah barangkali yang membedakan sekolah ini dengan sekolah lainnya. Meskipun mereka telah berkelas internasional, namun mereka tidak melupakan akan keberadaan kearifan lokalnya
(18)
(khususnya kearifan lokal Sunda). Mereka sangat yakin bahwa kearifan lokal dapat membentuk karakter dan pribadi yang tangguh yang “berfikir secara global, namun bertindak secara lokal”.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL SUNDA (Studi Kasus di SMA Negeri 2 Cimahi).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas, maka peneliti mengajukan rumusan masalah pokok penelitian ini, yaitu: “Bagaimanakah pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di sekolah?”.
Agar penelitian ini lebih terarah pada pokok permasalahan, maka peneliti jabarkan dalam beberapa sub-sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pandangan warga sekolah tentang program pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di satuan pendidikan?
2. Bagaimana program pendidikan karakter di sekolah melalui nilai-nilai kearifan lokal Sunda?
3. Faktor-faktor apa saja yang kondusif bagi upaya pembentukan karakter di sekolah melalui pengembangan nilai-nilai kearifan lokal Sunda?
4. Bagaimana dampak program pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda terhadap peserta didik?
(19)
C. Definisi Operasional 1. Karakter
Karakter berasal dari kata Yunani charakter yang mengacu kepada suatu tanda yang terpatri pada sisi sebuah koin. Karakter lazim dipahami sebagai kualitas-kualitas moral yang awet yang terdapat atau tidak terdapat pada setiap individu yang terekspresikan melalui pola-pola perilaku atau tindakan yang dapat dievaluasi dalam pelbagai situasi. Sejak zaman Yunani Kuno, karakter sudah menjadi bagian dari etika normatif. Etika normatif bertalian dengan prinsip-prinsip moral yang dianggap balk dan buruk. Terdapat tiga arus etika normatif. etika keutamaan (virtues ethics), etika deontologikal atau etika kewajiban (deontological ethics) dan etika konsekuensi (consequentialism atau, sering juga dijuluki, utilitarianism (etika utilitas atau kegunaan) dengan pelbagai perbedaan tekanan. Kalidjernih (2010: 3).
2. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk “membentuk” kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. Lickona (1992: 56).
3. PKn
a. PKn atau Civic Education sebagai “…the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives”, atau suatu mata pelajaran dasar di
(20)
sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Cogan (Ganeswara dan Wilodati, 2011: 1).
b. Citizenship education atau education for citizenship adalah istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup “…both these in-school experiences as well as out-of in-school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media,etc which help to shape the totality of the citizen”, yaitu PKn mencakup di dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini di sekolah dan dalam program pendidikan guru) dan diluar sekolah baik yang berupa program penataran atau program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai warga negara. Cogan (Ganeswara dan Wilodati, 2008: 1-2).
4. Nilai-nilai Kearifan Sunda
Nilai-nilai kearifan yang dimaksud adalah nilai budaya Sunda yang berkembang pada masyarakat Sunda.
D. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan tentang pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di sekolah. Sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
(21)
1. Mendeskripsikan pandangan warga sekolah tentang program pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di satuan pendidikan.
2. Mengetahui program pendidikan karakter di sekolah melalui nilai-nilai kearifan lokal Sunda.
3. Mendeskripsikan faktor-faktor yang kondusif bagi upaya pembentukan karakter di sekolah melalui pengembangan nilai-nilai kearifan lokal Sunda. 4. Mendeskripsikan dampak program pengembangan pendidikan karakter
berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda terhadap peserta didik.
E. Paradigma Penelitian
Paradigma dalam penelitian ini merupakan cara pandang, cara berfikir, atau kerangka pikir tentang penelitian pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda. Paradigma ini dapat membantu memahami keseluruhan isi penelitian, yang dituangkan ke dalam bagan berikut ini.
(22)
Bagan 1.1 Paradigma Penelitian Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL SUNDA DI SEKOLAH KRISIS NILAI-NILAI KARAKTER KEARIFAN LOKAL SUNDA DI KALANGAN PESERTA DIDIK DI JAWA BARAT
SMAN 2 CIMAHI SEBAGAI SALAH SATU SEKOLAH YANG MENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI-NILAI KEARIFAN SUNDA PANDANGAN WARGA SEKOLAH PROGRAM KEGIATAN DI SEKOLAH FAKTOR-FAKTOR YANG KONDUSIF DAMPAK BAGI PESERTA DIDIK PRA PENELITIAN OBSERVASI WAWANCARA STUDI LITERATUR
(23)
F. Asumsi Penelitian
Asumsi yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini meliputi: 1. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai kearifan lokal yang salah
satunya adalah nilai-nilai kearifan lokal Sunda. Pendidikan merupakan upaya sadar suatu kelompok masyarakat/bangsa untuk membelajarkan nilai-nilai karakter yang dianggap baik, penting dan berguna kepada generasi berikutnya. 2. Esensi nilai-nilai karakter tidak terlepas dari nilai-nilai kearifan lokal yang dijadikan pegangan oleh masyarakatnya. Nilai-nilai keraifan lokal tersebut merupakan salah satu muatan materi yang harus terkandung dalam pembelajaran PKn dan pembelajaran lainnya.
3. SMA Negeri 2 Cimahi merupakan salah satu sekolah yang memiliki pola pengembangan pembelajaran pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda.
G. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah bersifat teoritik dan praktis. Adapun manfaat-manfaat tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Teoritik
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan proses dan materi pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal, khususnya kearifan Sunda sesuai dengan tujuan PKn yaitu to be good citizenshif (membentuk warga negara yang baik).
(24)
2. Praktis
a. Bagi peneliti, penelitian ini berguna sebagai bahan untuk mengembangkan pendidikan karakter berbasis nilai kearifan lokal, khususnya nilai-nilai kearifan Sunda, baik dari segi konsep ataupun pembelajarannya. b. Bagi sekolah, penelitian ini berguna untuk membantu setiap satuan
pendidikan (sekolah) dalam memberi makna lebih dan memanfaatkan peluang mata pelajaran PKn dan mata pelajaran lainnya untuk mengambangkan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal, khususnya nilai-nilai kearifan lokal Sunda.
c. Bagi peserta didik, penelitian ini berguna sebagai pembentukan karakter sebagai identitas bangsa sesuai dengan kearifan lokalnya khususnya nilai-nilai kearifan lokal Sunda.
(25)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metode Peneletian 1. Pendekatan Penelitian
SMU Negeri 2 Cimahi adalah sekolah yang terletak di wilayah Cimahi, Jawa Barat, tepatnya di kawasan KPAD. Sekolah ini sudah bersertifikat mutu internasional (Quality System Certificate) ISO 9001:2008. Sehingga dalam proses pembelajarannya diharuskan bersatandar internasional. Namun meskipun ada keharusan berstandar internasional, sekolah ini tetap mempunyai komitmen untuk mengembangkan kearifan lokal Sunda dalam pendidikan karakternya (termuat dalam kebijakan sekolah yaitu dalam salah satu misinya), ditengah-tengah pudarnya kearifan lokal Sunda pada sebagian besar masyarakat Sunda.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, di Jawa Barat jarang sekali ada sekolah yang mempunyai berkomitmen tinggi dalam mengembangan nilai-nilai karakter kesundaan, selain Yayasan Paguyuban Pasundan, Yayasan Atikan Sunda, dan SMA Negeri 2 Cimahi itu sendiri. Menurut peneliti, ini merupakan hal yang menakjubkan, mengingat status SMA Negeri 2 Cimahi adalah sekolah berlabel
”negeri” dan sudah bersertifikat mutu internasional, yang secara logika tidak
mungkin institusi tersebut berani mengusung nilai-nilai kearifan lokal Sunda dalam kebijakan sekolahnya. Peneliti pastikan, bahwa di Jawa Barat belum ada sekolah yang berani menuangkan pengembangan kearifan lokal Sunda dalam kebijakan sekolahnya seperti yang dilakukan oleh SMA Negeri 2 Cimahi.
(26)
Berdasarkan pada pemikiran tersebut, maka dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Nasution (2003: 5) menjelaskan bahwa hakikat penelitian kualitatif adalah untuk mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Peneliti berusaha untuk mendapatkan makna yang sesungguhnya dari permasalahan yang akan peneliti teliti secara mendalam guna mewujudkan beberapa kepentingan dalam melakukan penilitian, yaitu sebagai berikut:
a. Mendeskripsikan pandangan warga sekolah tentang program pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di satuan pendidikan.
b. Mengetahui program pendidikan karakter di sekolah melalui nilai-nilai kearifan lokal Sunda.
c. Mendeskripsikan faktor-faktor yang kondusif bagi upaya pembentukan karakter di sekolah melalui pengembangan nilai-nilai kearifan lokal Sunda. d. Mendeskripsikan dampak program pengembangan pendidikan karakter
berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda terhadap peserta didik.
2. Metode Penelitian
Berdasarkan pendekatan penelitian diatas, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Menurut Maxfield (Nazir, 2005: 57), bahwa studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat.
(27)
Peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan dari unit-unit sosial yang menjadi subjek. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu, yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan jadikan suatu hal yang bersifat umum. Hasil dari penelitian kasus merupakan suatu generalisasi dari pola-pola kasus yang tipikal dari individu, kelompok, lembaga, dan sebagainya. Tergantung dari tujuannya, ruang lingkup dari studi dapat mencakup segmen atau bagian tertentu atau mencakup keseluruhan siklus kehidupan dari individu, kelompok, dan sebagainya, baik dengan penekanan terhadap faktor-faktor kasus tertentu, ataupun meliputi keseluruhan faktor-faktor dan fenomena-fenomena. Studi kasus lebih menekankan mengkaji variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil. Ini berbeda dengan metode survei, di mana peneliti cenderung mengevaluasi variabel yang lebih sedikit, tetapi dengan unit sample yang relatif besar.
Selanjutnya menurut Stake (Creswell, 2010:20) menjelaskan bahwa studi kasus merupakan strategi penelitian dimana didalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.
Berdasarkan pernyataan diatas, peneliti memilih metode studi kasus karena metode ini dilakukan secara instensif, terperinci dan mendalam terhadap individu, kelompok, organisasi atau gejala tertentu. Adapun gejala tertentu yang khas dalam
(28)
penelitian ini adalah bahwa SMA Negeri 2 Cimahi merupakan salah satu sekolah yang berada di Jawa Barat yang memiliki komitmen dalam menjaga dan melestarikan kearifan lokal Sunda untuk mengembangkan pendidikan karakter.
Data yang dikumpulkan dari lapangan adalah hasil pengamatan langsung terhadap situasi yang mengikutinya dalam situasi natural, wajar, sebagaimana adanya, kemudian dari hasil wawancara terhadap responden, dan studi dokumentasi, selanjutnya pengumpulan data dilakukan secara langsung terhadap situasi dan interaksi dalam pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di SMA Negeri 2 Cimahi. Pada akhimya data tersebut akan terkumpul secara totalitas dalam kesatuan konteks sehingga dapat dipahami maknanya.
B. Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri yang terjun ke lapangan untuk mencari informasi melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan antar manusia, artinya selama proses penelitian akan lebih banyak mengadakan kontak dengan orang-orang di sekitar lokasi penelitian yaitu SMA Negeri 2 Cimahi. Dengan demikian peneliti lebih leluasa mencari informasi dan data yang terperinci tentang berbagai hal yang diperlukan untuk kepentingan penelitian.
Pemikiran peneliti ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nasution (2003: 55-56) tentang instrumen penelitian kualitatif/naturalistik, yaitu bahwa dalam penelitian naturalistik tidak ada pilihan lain dari pada menjadikan
(29)
manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa segala sesuatu belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, data yang akan dikumpulkan, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tak pasti dan jelas itu tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri satusatunya alat yang dapat menghadapinya.
Selanjutnya Nasution juga menjelaskan bahwa peneliti sebagai instrumen penelitian serasi untuk penelitian serupa ini karena mempunyai ciri-ciri yang berikut:
1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian. Tidak ada instrumen lain yang dapat bereaksi dan berinteraksi terhadap demikian banyak faktor dalam situasi yang senantiasa berubah-ubah.
2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus. Tidak ada alat penelitian lain, seperti yang digunakan dalam penelitian kuantitatif, yang dapat menyesuaikan diri dengan bermacam-macam situasi serupa itu. Suatu test hanya cocok untuk mengukur variabel tertentu akan tetapi tidak dapat dipakai untuk mengukur macam-macam variabel lainnya.
3. Tiap situasi merupakan suatu keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa test atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia.
(30)
Hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami situasi dalam segala seluk-beluknya.
4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata-mata. Untuk memahaminya kita sering perlu merasakannya, menyelaminya berdasarkan penghayatan kita.
5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh. Ia dapat menafsirkannya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk menentukan arah pengamatan, untuk men-test hipotesis yang timbul seketika.
6. Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan. 7. Dalam penelitian dengan menggunakan test atau angket yang bersifat
kuantitatif yang diutamakan adalah respons yang dapat dikuantifikasi agar dapat diolah secara statistik, sedangkan yang menyimpang dari itu tidak dihiraukan. Dengan manusia sebagai instrumen, respons yang aneh, yang menyimpang justru diberi perhatian. Respons yang lain dari pada yang lain, bahkan yang bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman mengenai aspek yang diselidiki.
C. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan metode penelitian yang digunakan, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik penelitian,
(31)
yaitu teknik wawancara mendalam, observasi, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan.
1. Wawancara Mendalam
Pengertian wawancara dapat diungkap dari berbagai ahli yang ditulis oleh Satori dan Komariah (2011: 129-130), yaitu sebagai berikut.
a. Berg: membatasi wawancara sebagai suatu percakapan dengan suatu tujuan, khususnya tujuan untuk mengumpulkan informasi.
b. Sudjana: wawancara adalah proses pengumpulan data atau informasi melalui tatap muka antara pihak penanya (interviewer) dengan pihak yang ditanya atau penjawab (interviewee).
c. Esterberg: interview, a meeting of two persons to exchange information and idea through question and responses, resulting in communication and joint construction of meaning about a particular topic. (Wawancara merupakan suatu pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu).
Peneliti memakai teknik wawancara mendalam dalam penelitian ini dikarenakan ingin mengetahui betul duduk permasalahan yang peneliti jadikan sebagai rumusan masalah. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Nasution (2003: 73) bahwa dengan wawancara mendalam ini diharapkan dapat diperoleh bentuk-bentuk informasi tertentu dari semua responden dengan susunan kata dan urutan yang disesuaikan dengan ciri-ciri setiap responden.
(32)
Berg (Satori dan Komariah, 2011: 133) menyebutkan tiga jenis wawancara, yaitu:
a. Wawancara terstandar (Standardized interview)
b. Wawancara tidak terstandar (Untandardized interview) c. Wawancara semi standar (Semistandized interview)
Berdasarkan pada pemaparan diatas, maka teknik wawancara yang peneliti lakukan adalah dengan wawancara semi standar. Peneliti lakukan ini supaya adanya kedalaman dalam penelitian. Sehingga pada akhir penelitian terdapat titik jenuh yang kemudian menjadi akhir dalam penelitian.
Penelitian tentang pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di sekolah ini, akan melakukan wawancara mendalam kepada:
a. Kepala Sekolah
b. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan c. Komite Sekolah
d. Guru
e. Peserta Didik
2. Observasi
Observasi dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah pengamatan. Alat ini digunakan untuk mengamati; dengan melihat, mendengarkan, merasakan, mencium, mengikuti, segala hal yang terjadi dengan cara mencatat/merekam segala sesuatunya tentang orang atau kondisi suatu fenomena tertentu. menurut
(33)
Hadi (Sugiyono, 2007: 145) menjelaskan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.
Sedangkan menurut Alwasilah (2002: 211) observasi penelitian adalah pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk perolehan data yang dikontrol validitas dan reliabilitasnya. Metode ini menggunakan pengamatan atau penginderaan langsung terhadap suatu benda, kondisi, situasi, proses, atau perilaku.
Menurut Spradley (Satori dan Komariah, 2011: 120) tahapan observasi dibagi menjadi tiga tahap, yaitu 1) observasi deskriptif, 2) observasi terfokus 3) observasi terseleksi.
Peneliti menggunakan teknik observasi karena terdapat beberapa keunggulan. Menurut Patton (Nasution, 2003: 59-60) manfaat observasi ialah: a. Dengan berada di lapangan peneliti lebih mampu memahami konteks data
dalam keseluruhan situasi, jadi ia dapat memperoleh pandangan yang holistik atau menyeluruh.
b. Pengalaman langsung memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep-konsep atau pandangan sebelumnya. Pendekatan induktif membuka kemungkinan melakukan penemuan atau discovery.
(34)
c. Peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau yang tidak diamati orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap
“biasa” dan karena itu tidak akan terungkapkan dalam wawancara.
d. Peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga.
e. Peneliti dapat menemukan hal-hal di luar persepsi responden, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang lebih komprehensif.
f. Dalam lapangan peneliti tidak hanya dapat mengadakan pengamatan akan tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi, misalnya merasakan suasana situasi sosial.
Untuk mempermudah jalannya observasi, maka peneliti menggunakan observasi partisipatif, dimana adanya keterlibatan antara peneliti dengan subjek penelitian, yang dalam hal ini adalah pihak warga sekolah serta situasi sekolah. Sehingga terjadi kejelasan yang nyata terhadap permasalahan yang dikaji. Kejelasan inilah yang menurut peneliti sebagai titik jenuh dalam penelitian.
Objek observasi dalam penelitian ini adalah adaptasi dari pendapatnya Spradley (Sugiyono, 2007: 229), yaitu terdiri dari tiga komponen. Komponen tersebut adalah sebagai berikut:
a. Place, atau tempat di mana interaksi dalam situasi sosial sedang berlangsung, yaitu di SMA Negeri 2 Cimahi.
b. Actor, pelaku atau orang-orang yang sedang memainkan peran tertentu, yaitu warga sekolah SMA Negeri 2 Cimahi.
(35)
c. Activity, atau kegiatan yang dilakukan oleh aktor dalam situasi sosial yang sedang berlangsung, yaitu kegiatan pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di SMA Negeri 2 Cimahi.
3. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi adalah mengumpulkan sejumlah dokumen yang diperlukan sebagai bahan data informasi sesuai dengan masalah penelitian (Danial dan Warsiah, 2007: 66). Dokumen berguna karena dapat memberikan latar belakang yang lebih luas mengenai pokok penelitian, dapat dijadikan bahan triangulasi untuk mengecek kesesuaian data (Nasution, 2003: 86).
Berdasarkan pengertian diatas, maka jenis-jenis dokumentasi yang dijadikan dasar acuan peneliti adalah sesuai dengan pendapat dari Bogdan (Satori dan Komariah, 2011: 153-155), yaitu:
a. Dokumen pribadi dan buku harian b. Surat pribadi
c. Autobiografi
d. Dokumen resmi, dan e. Fotografi
4. Studi Kepustakaan/Literatur
Studi kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan sejumlah buku-buku, majalah, liflet, yang berkenaan dengan masalah dan tujuan penelitian (Danial dan Warsiah, 2007: 67), Sedangkan studi
(36)
literatur, selain dari mencari sumber data sekunder yang akan mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu yang berhubungan dengan penelitian telah berkembang, sampai ke mana terdapat kesimpulan dan degeneralisasi yang telah pernah dibuat, sehingga situasi yang diperlukan dapat diperoleh (Nazir, 2005: 93).
Berdasarkan kepada pendapat diatas, maka peneliti mengadakan studi dokumentasi dan literatur dari dokumen-dokumen yang ditemukan di sekolah atau bahan-bahan literatur yang sesuai sebagai jalan bagi peneliti dalam menganalis hasil penelitian.
D. Lokasi dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah SMA Negeri 2 Cimahi yang beralamat di Jalan Sriwijaya IX KPAD No. 45 A Kota Cimahi 40254. Sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah menengah yang masih mempertahankan, melestarikan, dan mengembangkan kearifan lokal Sunda untuk membentuk karakter peserta didik menjadi warga negara yang baik.
2. Subjek Penelitian
Penelitian selalu dihadapkan pada sumber data yang disebut dengan subjek penelitian yang akan memberikan informasi sesuai dengan permasalahan penelitiannya.
(37)
Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah warga sekolah yang ada di SMA Negeri 2 Cimahi. Subjeknya adalah sebagai berikut:
a. Kepala Sekolah
b. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan c. Komite Sekolah
d. Guru
e. Peserta Didik
Penelitian ini menggunakan sampel purposif dan snowball sampling sehingga besarnya sampel ditentukan oleh adanya pertimbangan perolehan informasi. Penentuan sampel dianggap telah memadai apabila telah sampai pada titik jenuh. Sehingga pengumpulan data dari responden didasarkan pada ketentuan atau kejenuhan data dan informasi yang diberikan.
E. Tahap-tahap Penelitian
Sebuah penelitian akan dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan seperti yang diharapkan, jika penelitian itu dilaksanakan sesuai dengan langkah-langkah yang telah direncanakan. Oleh karena itu, supaya penelitian yang peneliti lakukan dapat berjalan dengan baik guna mencapai hasil yang maksimal, maka dalam melakukan penelitian ini, disusun langkah-langkah penelitian secara sistematis sebagai berikut.
(38)
1. Tahap Pra Penelitian
Pada tahap ini, peneliti menyusun rancangan penelitian dengan terlebih dahulu melakukan pra penelitian ke SMA Negeri 2 Cimahi pada bulan Februari 2012. Tujuannya adalah untuk mengetahui kondisi umum dari SMA Negeri 2 Cimahi terutama yang berkaitan dengan proses belajar mengajar di sekolah tersebut. Hal ini dilakukan guna mendapatkan data tentang pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda yang akan dijadikan data dan informasi awal untuk memperkuat gambaran tentang bagaimana proses pengembangan pendidikan karakter.
Setelah mengadakan pra penelitian selanjutnya peneliti mengajukan rancangan penelitian yang memuat latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode dan teknik penelitian, lokasi dan subjek penelitian. Kemudian peneliti memilih dan menentukan lokasi yang akan dijadikan sebagai sumber data atau lokasi penelitian yang disesuaikan dengan keperluan dan kepentingan masalah penelitian. Setelah lokasi penelitian ditetapkan, selanjutnya peneliti mengupayakan perizinan dari instansi yang terkait, prosedur perizinan yang ditempuh adalah sebagai berikut:
a. Mengajukan surat permohonan untuk melakukan penelitian kepada Direktur Sekolah Pascasarjana UPI.
b. Surat permohonan tersebut kemudian diberikan kepada Kepala SMA Negeri 2 Cimahi untuk pemberian izin kepada peneliti dalam mengadakan penelitian di SMA Negeri 2 Cimahi.
(39)
2. Tahap Pelaksanaan
Setelah selesai tahap persiapan penelitian, dan persiapan-persiapan yang menunjang telah lengkap, maka peneliti terjun ke lapangan untuk pelaksanaan penelitian, yang dimulai pada bulan Februari 2012 hingga Mei 2012. Dalam melaksanakan penelitian, peneliti menekankan bahwa instrumen yang utama adalah peneliti sendiri (key instrument). Peneliti sebagai instrumen utama dibantu oleh pedoman observasi dan pedoman wawancara antara peneliti dengan responden. Pedoman wawancara yang peneliti persiapkan sebagai berikut.
a. Kepala Sekolah
b. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan c. Komite Sekolah
d. Guru
e. Peserta Didik
Tujuan dari wawancara mendalam ini adalah untuk mendapatkan informasi yang diperlukan agar dapat menjawab permasalahan penelitian. Setiap selesai melakukan penelitian di lapangan, peneliti menuliskan kembali data-data yang terkumpul kedalam catatan lapangan, dengan tujuan supaya dapat mengungkapkan data secara mendetail dan lengkap.
3. Tahap Analisis Data
Kegiatan analisis data dilakukan setelah data yang diperlukan terkumpul. Dengan demikian, pada tahap ini, peneliti berusaha mengorganisasikan data yang diperoleh dalam bentuk catatan lapangan dan dokumentasi.
(40)
Menurut Creswell (2010: 274-275) menyatakan bahwa analisis data merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi terus-menerus terhadap data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis, dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian. Analisis data melibatkan pengumpulan data yang terbuka, yang didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan umum, dan analisis informasi dari para partisipan.
Analisis data kualitatif yang akan digunakan peneliti adalah berdasarkan pada model Miles dan Huberman (Sugiyono, 2007: 246) yang terdiri atas tiga aktivitas, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Ketiga rangkaian aktivitas tersebut adalah sebagai berkut.
a. Data Reduction (Reduksi Data)
Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu.
Pedapat ahli di atas relevan dengan kondisi penulis di lapangan, dimana semakin lama peneliti melakukan penelitian, data yang diperoleh semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya kembali bila diperlukan.
b. Data Display (Penyajian Data)
Data yang bertumpuk dan laporan lapangan yang tebal akan sulit dipahami, oleh karena itu agar dapat melihat gambaran atau bagian-bagian
(41)
tertentu dalam penelitian harus diusahakan membuat berbagai macam matrik, uraian singkat, networks, chart, dan grafik. (Nasution, 2003: 129).
Pendapat Nasution di atas sejalan dengan pendapat Sugiyono (2008: 249) yang menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dengan men-display data maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan rencana selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Oleh karena itu supaya penulis tidak terjebak dalam tumpukan data lapangan yang banyak, peneliti melakukan display data. Display data yang dilakukan lebih banyak dituangkan kedalam bentuk uraian singkat.
c. Conclusion Drawing/Verification (Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi) Langkah ketiga ini peneliti lakukan di lapangan dengan maksud untuk mencari makna dari data yang dikumpulkan. Agar mencapai suatu kesimpulan yang tepat, kesimpulan tersebut senantiasa diverifikasi selama penelitian berlangsung, agar lebih menjamin validitas penelitian dan dapat dirumuskannya kesimpulan akhir yang akurat.
F. Uji Validitas Data Penelitian
Berdasarkan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, maka dalam penelitian ini untuk menguji keabsahan data, pengukurannya dinyatakan absah apabila memiliki derajat keterpercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Berikut disajikan penjelasan-penjelasannya (Satori dan Komariah, 2011: 146-167).
(42)
1. Keterpercayaan (Credibility/Validitas Internal) Penelitian
Penelitian berangkat dari data. Data adalah segala-galanya dalam penelitian. Oleh karena itu, data harus benar-benar valid. Ukuran validitas suatu penelitian terdapat pada alat untuk menjaring data, apakah sudah tepat, benar, sesuai dan mengukur apa yang seharusnya diukur. Alat untuk menjaring data penelitian kualitatif terletak pada penelitinya yang dibantu dengan metode interview, observasi, dan studi dokumen. Dengan demikian, yang diuji ketepatannya adalah kapasitas peneliti dalam merancang fokus, menetapkan dan memilih informan, melaksanakan metode pengumpulan data, menganalisis dan menginterpretasi dan melaporkan hasil penelitian yang kesemuanya itu perlu menunjukkan konsistensinya satu sama lain. Keterpercayaan penelitian kualitatif tidak terletak pada derajat akurasi desain penelitian dengan hasil yang dicapai tetapi pada kredibilitas peneliti.
2. Keteralihan (Transferability/validitas eksternal)
Uji terhadap ketepatan suatu penelitian kualitatif selain dilakukan pada internal penelitian juga pada keterpakaiannya oleh pihak eksternal. Validitas eksternal berkenaan dengan derajat akurasi apakah hasil penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi di mana sampel tersebut diambil atau pada setting sosial yang berbeda dengan karakteristik yang hampir sama.
(43)
3. Kebergantungan (Dependability/ Reliabilitas)
Kebergantungan disebut juga audit kebergantungan menunjukkan bahwa penelitian memiliki sifat ketaatan dengan menunjukkan konsistensi dan stabilitas data atau temuan yang dapat direflikasi. Pengujian ini dilakukan dengan mengaudit keseluruhan proses penelitian. Kalau proses penelitian tidak dilakukan di lapangan dan datanya ada, maka penelitian tersebut tidak reliabel atau dependable.
4. Kepastian (confirmability/Objectivitas)
Kepastian atau audit kepastian yaitu bahwa data yang diperoleh dapat dilacak kebenarannya dan sumber informannya jelas. Komfirmabilitas berhubungan dengan objektivitas hasil penelitian. Hasil penelitian dikatakan memiliki derajat objektivitas yang tinggi apabila keberadaan data dapat ditelusuri secara pasti dan Penelitian dikatakan objektif bila hasil penelitian telah disepakati banyak orang. Uji konfirmabilitas hampir sama dengan uji dependabilitas, sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan. Uji konfirmabilitas berarti menguji hasil penelitian dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar konfirmabilitas. Artinya, seorang peneliti melaporkan hasil penelitian karena ia telah melakukan serangkaian kegiatan penelitian di lapangan. Untuk menjaga kebenaran dan objektivitas hasil penelitian, perlu dilakukan “audit trail” yakni, melakukan pemeriksaan guna meyakinkan bahwa hal-hal yang dilaporkan memang demikian adanya.
(44)
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam BAB IV, dapat peneliti rumuskan suatu kesimpulan sementara dan rekomendasi.
A. Kesimpulan
1. Kesimpulan Umum
Nilai-nilai kearifan lokal Sunda merupakan nilai-nilai budaya atau tata nilai kehidupan masyarakat Sunda, yang dapat ditelusuri dari naskah, prasasti dan situs, adat istiadat pernikahan, dan naskah dongeng. Nilai-nilai karakter kesundaan juga tercermin dalam makna kata Sunda, pandangan hidup orang Sunda, dan budaya Sunda. Nilai-nilai tersebut adalah nilai yang berhubungan antara manusia dengan Tuhannya, dirinya sendiri, sesama manusia dan bangsanya, dan sesama makhluk ciptaan Allah SWT.
Nilai-nilai kearifan lokal Sunda harus dilestarikan dan dikembangkan dari sejak dini. Hal ini merupakan salah satu upaya dalam membentuk kembali identitas kesundaan yang sekarang ini kecenderungan masyarakat Sunda telah melupakannya. Jadi, untuk membentuk pribadi orang Sunda yang “nyunda”/berkarakter Sunda, maka pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda adalah suatu keniscayaan.
Pendidikan merupakan wahana yang sangat strategis dalam upaya melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal Sunda. Nilai-nilai
(45)
kesundaan yang wajib dibelajarkan di sekolah adalah (1) Nilai manusia sebagai makhluk Tuhan (Sirna Ning Cipta, Sirna Ning Rasa, Sirna Ning Karsa, Sirna Ning Karya, Sirna Ning Wujud, Sirna Ning Dunya, Sirna Ning Pati; (2) Nilai manusia sebagai makhluk Individu (Sirna Ning Diri, Cageur, Bageur, Bener, Pinter, Singer, Teger, Pangger, Wanter, Cangker, Nyunda, Nyantri, Nyantana, Nyatria, Anu Nyunda Tur Islami); (3) Nilai manusia sebagai makhluk sosial, negara dan bangsa yaitu Sirna Ning Hurip yang bisa diwujudkan apabila dalam berkehidupan setiap manusia selalu mengedepankan: Silih Asih, Silih asah, dan Silih asuh; (4) Nilai manusia dengan makhluk lainnya yaitu Sirna Ning Hirup.
Nilai-nilai karakter kesundaan menurut Haji Hasan Mustapa (HMM) adalah karakter yang berlandaskan Ketuhanan (Allah SWT), yaitu segala perilaku yang dilakukan oleh umat manusia harus sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Keharusan tersebut dimaksudkan supaya setiap manusia bisa sukses dan selamat di dunia dan akhirat. Sehingga menurut HMM, pandangan hidup orang Sunda adalah harus memahami, meyakini, dan menjalankan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT. Dapat peneliti ikhtisarkan bahwa kemungkinan menurut HMM, nilai-nilai kesundaan sama dengan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai tersebut bisa ditemukan dalam semua karya sastranya, yaitu Dangdanggula Sirna Rasa, Kinanti Kulu-kulu, Sinom Barangtaning Rasa, Sinom Wawarian, dan Asmarandana Nu Kami.
Pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda tersebut diatas, di SMA Negeri 2 Cimahi dilaksanakan melalui program-program sekolah yang bertujuan untuk menyukseskan Visi dan Misi sekolah
(46)
terutama Misi untuk meningkatkan wawasan peserta didik yang bertaraf internasional dengan mempertahankan nilai luhur budaya kedaerahan Jawa Barat (otak internasional hati Jawa Barat).
Kegiatan pembelajaran pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda yang berlangsung di sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, karena pada dasarnya pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dari proses pendidikan yang berlangsung di rumah dan masyarakat. Pada prakteknya, kerjasama dilakukan melalui proses pengintegrasian nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat Sunda dalam proses pendidikan di sekolah, yaitu melalui kebijakan sekolah, proses pembiasaan, pembelajaran di kelas, dan kegiatan ekstrakurikuler.
Berdasarkan prosesnya dalam dunia pendidikan, proses pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda melalui pembelajaran di kelas saat ini dilakukan melalui pengintegrasian, khususnya pada mata pelajaran Bahasa Sunda, Seni Budaya, PKn, Pendidikan Agama, sejarah, dan umumnya pada semua mata pelajaran lain yang telah ada di sekolah.
Materi tentang nilai-nilai kesundaan, baik secara khusus ataupun diintegrasikan pada mata pelajaran lain, pada kenyataannya di lapangan kurang disukai oleh guru ataupun peserta didik. Kondisi ini terjadi karena meteri tersebut tidak masuk dalam Ujian Nasional (UN), serta kurangnya penguasaan guru-guru terhadap materi-materi berkenaan dengan kearifan lokal Sunda, sehingga pada akhirnya muncul berbagai kesulitan dalam proses belajar mengajar.
(47)
2. Kesimpulan Khusus
a. Pandangan warga sekolah mengenai pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda menyatakan bahwa pendidikan tersebut sangat penting untuk dilaksanakan satuan pendidikan, dengan tujuan untuk membelajarkan karakter-karakter kesundaan yang berlandaskan Pancasila.
b. Program pendidikan karakter di SMA Negeri 2 Cimahi melalui nilai-nilai kearifan lokal Sunda adalah dengan menggunakan model kurikulum terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran dan model suplemen. Sedangkan model pembelajarannya menggunakan model keteladanan dan pembiasaan, namun tidak secara tersurat terdapat nilai-nilai kearifan lokal Sunda (nilai-nilai kesundaan tidak menggunakan teks bahasa Sunda), hanya tersirat semata. c. Faktor-faktor yang kondusif bagi upaya pembentukan karakter di SMA Negeri
2 Cimahi melalui pengembangan nilai-nilai kearifan lokal Sunda adalah faktor harapan tinggi dikalangan siswa untuk berprestasi (highly expectation for student achievment), faktor penekanan pendidikan pada keterampilan dasar (emphasis on basic skills), dan faktor lingkungan yang tertata dengan rapi (orderly environment).
d. Pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di SMA Negeri 2 Cimahi berdampak positif yaitu sebagai pengembangan identitas kesundaan dan berdampak negatif yaitu mengarah kepada primordialisme. Maka mata pelajaran PKn dijadikan sebagai salah satu ponggawa dalam menghadang dampak negatifnya.
(48)
B. Rekomendasi
Demi terlaksananya kegiatan pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di sekolah, maka peneliti merekomendasikan sebagai berikut.
1. Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Kabupaten/Kota, perlu membuat kebijakan khusus mengenai nilai-nilai kearifan lokal Sunda dalam pengembangannya di sekolah sebagai penguat kebijakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang sampai saat ini menurut peneliti tidak ada.
2. SMA Negeri 2 Cimahi, perlu membuat kebijakan khusus mengenai kearifan lokal Sunda dalam pengembangannya di sekolah di dalam program-program kegiatannya. Kebijakan tersebut diantaranya.
a) Menegaskan jenis model kurikulum yang dipakai b) Menegaskan bentuk model pembelajaran berkarakter
c) Menegaskan nilai-nilai karakter tersebut dengan memakai teks bahasa Sunda
d) Diadakan muatan materi pelajaran tentang hakikat Sunda, hakikat orang Sunda, sejarah Sunda, dan nilai-nilai kesundaan, bahasa Sunda, seni Sunda, baik menjadi mata pelajaran baru ataupun dimuatkan pada mata pelajaran yang sudah ada. Mungkin selama ini muatan materinya hanya sebatas pembudayaan bahasa dan seni Sunda.
e) Selanjutnya, sebagai bahan pertimbangan, perlunya mengubah salah satu misi sekolah, yaitu “otak internasional hati Jawa Barat” menjadi “otak
(49)
internasional hati Sunda”. Rekomendasi ini berlandaskan bahwa penamaan Jawa Barat merupakan pemaknaan dari letak wilayah secara geografis bukan secara budaya yang dianutnya, tidak semua masyarakat berdasarkan pada kebudayaan Sunda, contohnya masyarakat Cirebon dan Indramayu, yang sebagian masyaraktnya menggunakan budaya Jawa, atau budaya dengan ciri khasnya tersendiri.
3. Guru Sekolah
a) Guru yang mengajar di daerah Jawa Barat harus secara terus menerus berusaha untuk menguasai kebudayaan Sunda.
b) Guru harus lebih kreatif dalam mengemas pembelajaran, terutama pembelajaran berkarakter. Jikalau rekomendasi saya pada point 1 dan 2 belum ada respon, maka guru harus membuat pola pembelajaran untuk mengarahkan peserta didik mengetahui akan nilai-nilai kesundaannya, minimalnya nilai-nilai kesundaan tersebut dibuat dalam teks pada silabus dan RPP. Khusus untuk guru mata pelajaran PKn, supaya muatan materinya dikondisikan untuk mengarah kepada pemupukan jiwa nasionalisme peserta didik sebagai upaya dalam penanggulangan dampak positif dari pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda.
4. Peserta Didik, perlu adanya respon yang postif. Hal ini bisa diwujudkan dengan tingkat kekreatifan peserta didik untuk selalu melestarikan budaya Sunda. Kekreatifan itu bisa diwujudkan minimalnya dengan memakai bahasa Sunda yang baik dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai kesundaan.
(50)
5. Masyarakat Sunda, perlu adanya pusat kajian sunda di tiap kabupaten/kota. Sehingga minimalnya masyarakat Sunda punya kesadaran untuk selalu memakai bahasa Sunda (undak usuk bahasa) dalam komunikasinya dan ngamumule nilai budaya Sunda.
6. Keluarga, perlu dikembangkan nilai-nilai budaya Sunda dengan memperkenalkan anak kepada budaya Sunda. Salah satu hasil dari budaya Sunda adalah bahasa Sunda. Artinya di tiap-tiap keluarga yang berada di wilayah Sunda wajib berusaha memakai bahasa Sunda dalam setiap komunikasinya.
7. Peneliti selanjutnya, perlu adanya penelitian tentang penguasaan bahasa Sunda di satuan pendidikan dan masayarakat. Hal ini disebabkan karena lewat bahasa Sunda, orang Sunda akan mengenal nilai-nilai kesundaannya.
(51)
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A.C. 2006. Pokoknya Sunda, Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Kiblat buku Utama.
Alwasilah, A.C. 2009. Pokoknya Kualitatif (Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif). Jakarta: Pustaka Jaya.
Aryani dan Susatim. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai. Bogor: Ghalia Indonesia.
Bachtiar, W. 2006. Sosiologi Klasik. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Barnawi dan M. Arifin. 2012. Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Budimansyah, D. 2011. “Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa”, dalam Budimansyah, D dan Komalasari, K (ed). Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Budimansyah, D. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Creswell, J.W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka pelajar
Danial. E, dan Wasriah. N. 2007. Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Laboratorium PKn-FPIS Universitas Pendidikan Indonesia.
Ganeswara, M.G dan Wilodati. 2011. Panduan Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Maulana Media Grafika.
Hermawan, I. 2008. Kearifan Lokal Sunda dalam Pendidikan (Kajian terhadap Aktualisasi Nilai-Nilai Tradisi Sunda dalam Pendidikan IPS di Sekolah Pasundan dan Yayasan Atikan Sunda). Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Husen, A. dkk. 2010. Model Pendidikan Karakter Bangsa. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
(52)
Kalidjernih. F.K. 2010. Situasionisme: Refleksi untuk Pendidikan Karakter di Indonesia. SPs UPI.
Kardiman, Y. 2008. Membangun Kembali Karakter Bangsa Melalui Situs-Situs Kewarganegaraan. Tesis Magister pada SPs UPI. Tidak diterbitkan. Koesoema A, D. 2010. Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global). Jakarta: Grasindo.
Komalasari, K. 2008. Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Kompetensi Kewarganegaraan Siswa SMP. Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Lickona, T. 1992. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Simon & Schuster, Inc.
Magnis, F. Suseno. 2005. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisus.
Mulyasa, E. 2011. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Murdiono, M. 2010. Strategi Pembelajaran Kewarganegaraan Berbasis Kearifan
Lokal. Makalah seminar Nasional. Yogyakarta.
Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Prayitno dan Khaidir, A.. 2011. “Pendidikan Karakter-Cerdas: Pemikiran Alternatif Melalui Metode Klasikal dan Non Klasikal dalam Pembinaan Karakter Bangsa”, dalam Budimansyah, D dan Komalasari, K (ed). Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Purwasasmita, M. 2010. Memaknai Konsep Alam Cerdas dan Kearifan Nilai Budaya Lokal (Cekungan Bandung, Tatar Sunda, Nusantara, dan Dunia) Peran Local Genius dalam Pendidikan Karakter Bangsa. Prosiding Seminar. Bandung: Widya Aksara Press.
Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional.
Poespoprodjo. W. 1999. Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Pustaka Grafika.
(53)
Ritzer, G. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (alih bahasa: Saut Pasaribu, Widada, dan Eka Adinugraha). Jakarta: Pustaka Pelajar.
Rosidi, A. 2009. Seri Guguritan Haji Hasan Mustafa (Dangdanggula Sirna Rasa, Kinanti Kulu-kulu, Sinom Barangtaning Rasa, Sinom Wawarian, Asmarandana Nu Kami) Bandung: Kiblat Buku Utama.
Rosidi, A. 2010. Mencari Sosok Manusia Sunda. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Rosidi, A. 2011. Kearifan Lokal (dalam Perspektif Budaya Sunda). Bandung:
Kiblat Buku Utama.
Ruhaliah. 2012. Pendidikan Karakter dalam Peribahasa dan Permainan Anak Sunda. Makalah.
Samani, M dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sartini. 2004. “Menggali kearifan lokal nusantara: sebuah kajian filsafati”. Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2. Yogyakarta: UGM.
Satori, D. dan Aan K. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Setiadi, Elly M dan Usman K. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Rencana Prenada Media Group.
Setiawan, D. 2008. “Inovasi Pendidikan Kewarganegaraan Melalui Pemberdayaan Warganegara dan Implikasinya terhadap Restrukturisasi terhadap Restrukturisasi Isi Kurikulum”. Jurnal Civicus, Juni 2008, Vol II, Nomor 11. Bandung: PKn UPI.
Sopiah, P. 2008. Pengaruh Aplikasi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Portofolio Terhadap Pengembangan Budaya Kewarganegaraan (civic culture). Tesis pada SPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & B. Bandung: Alfabeta.
Sukadi. 2011. “Pendidikan Karakter Bangsa Berideologi Pancasila”, dalam Budimansyah, D dan Komalasari, K (ed). Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
(1)
5. Masyarakat Sunda, perlu adanya pusat kajian sunda di tiap kabupaten/kota. Sehingga minimalnya masyarakat Sunda punya kesadaran untuk selalu memakai bahasa Sunda (undak usuk bahasa) dalam komunikasinya dan ngamumule nilai budaya Sunda.
6. Keluarga, perlu dikembangkan nilai-nilai budaya Sunda dengan memperkenalkan anak kepada budaya Sunda. Salah satu hasil dari budaya Sunda adalah bahasa Sunda. Artinya di tiap-tiap keluarga yang berada di wilayah Sunda wajib berusaha memakai bahasa Sunda dalam setiap komunikasinya.
7. Peneliti selanjutnya, perlu adanya penelitian tentang penguasaan bahasa Sunda di satuan pendidikan dan masayarakat. Hal ini disebabkan karena lewat bahasa Sunda, orang Sunda akan mengenal nilai-nilai kesundaannya.
(2)
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A.C. 2006. Pokoknya Sunda, Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Kiblat buku Utama.
Alwasilah, A.C. 2009. Pokoknya Kualitatif (Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif). Jakarta: Pustaka Jaya.
Aryani dan Susatim. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai. Bogor: Ghalia Indonesia.
Bachtiar, W. 2006. Sosiologi Klasik. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Barnawi dan M. Arifin. 2012. Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Budimansyah, D. 2011. “Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa”, dalam Budimansyah, D dan Komalasari,
K (ed). Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Budimansyah, D. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Creswell, J.W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka pelajar
Danial. E, dan Wasriah. N. 2007. Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Laboratorium PKn-FPIS Universitas Pendidikan Indonesia.
Ganeswara, M.G dan Wilodati. 2011. Panduan Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Maulana Media Grafika.
Hermawan, I. 2008. Kearifan Lokal Sunda dalam Pendidikan (Kajian terhadap Aktualisasi Nilai-Nilai Tradisi Sunda dalam Pendidikan IPS di Sekolah Pasundan dan Yayasan Atikan Sunda). Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Husen, A. dkk. 2010. Model Pendidikan Karakter Bangsa. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
(3)
Kalidjernih. F.K. 2010. Situasionisme: Refleksi untuk Pendidikan Karakter di Indonesia. SPs UPI.
Kardiman, Y. 2008. Membangun Kembali Karakter Bangsa Melalui Situs-Situs Kewarganegaraan. Tesis Magister pada SPs UPI. Tidak diterbitkan. Koesoema A, D. 2010. Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global). Jakarta: Grasindo.
Komalasari, K. 2008. Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Kompetensi Kewarganegaraan Siswa SMP. Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Lickona, T. 1992. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Simon & Schuster, Inc.
Magnis, F. Suseno. 2005. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisus.
Mulyasa, E. 2011. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Murdiono, M. 2010. Strategi Pembelajaran Kewarganegaraan Berbasis Kearifan
Lokal. Makalah seminar Nasional. Yogyakarta.
Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Prayitno dan Khaidir, A.. 2011. “Pendidikan Karakter-Cerdas: Pemikiran Alternatif Melalui Metode Klasikal dan Non Klasikal dalam Pembinaan
Karakter Bangsa”, dalam Budimansyah, D dan Komalasari, K (ed).
Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Purwasasmita, M. 2010. Memaknai Konsep Alam Cerdas dan Kearifan Nilai Budaya Lokal (Cekungan Bandung, Tatar Sunda, Nusantara, dan Dunia) Peran Local Genius dalam Pendidikan Karakter Bangsa. Prosiding Seminar. Bandung: Widya Aksara Press.
Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional.
Poespoprodjo. W. 1999. Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Pustaka Grafika.
(4)
Ritzer, G. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (alih bahasa: Saut Pasaribu, Widada, dan Eka Adinugraha). Jakarta: Pustaka Pelajar.
Rosidi, A. 2009. Seri Guguritan Haji Hasan Mustafa (Dangdanggula Sirna Rasa, Kinanti Kulu-kulu, Sinom Barangtaning Rasa, Sinom Wawarian, Asmarandana Nu Kami) Bandung: Kiblat Buku Utama.
Rosidi, A. 2010. Mencari Sosok Manusia Sunda. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Rosidi, A. 2011. Kearifan Lokal (dalam Perspektif Budaya Sunda). Bandung:
Kiblat Buku Utama.
Ruhaliah. 2012. Pendidikan Karakter dalam Peribahasa dan Permainan Anak Sunda. Makalah.
Samani, M dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sartini. 2004. “Menggali kearifan lokal nusantara: sebuah kajian filsafati”. Jurnal
Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2. Yogyakarta: UGM.
Satori, D. dan Aan K. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Setiadi, Elly M dan Usman K. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Rencana Prenada Media Group.
Setiawan, D. 2008. “Inovasi Pendidikan Kewarganegaraan Melalui Pemberdayaan Warganegara dan Implikasinya terhadap Restrukturisasi terhadap Restrukturisasi Isi Kurikulum”. Jurnal Civicus, Juni 2008, Vol II, Nomor 11. Bandung: PKn UPI.
Sopiah, P. 2008. Pengaruh Aplikasi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Portofolio Terhadap Pengembangan Budaya Kewarganegaraan (civic culture). Tesis pada SPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & B. Bandung: Alfabeta.
Sukadi. 2011. “Pendidikan Karakter Bangsa Berideologi Pancasila”, dalam
Budimansyah, D dan Komalasari, K (ed). Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
(5)
Sumantri, E. 2011. “Pendidikan Budaya dan Karakter Suatu Keniscayaan Bagi Kesatuan dan Persatuan Bangsa”, dalam Budimansyah, D dan Komalasari, K (ed). Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Suryadi, A. 2009. Mewujudkan Masyarakat Pembelajar: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Bandung: Widya Aksara Press.
Suryadi, A. 2011. “Pendidikan Karakter Bangsa: Pendekatan Jitu Menuju Sukses Pembangunan Pendidikan Nasional”, dalam Budimansyah, D dan
Komalasari, K (ed). Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Suryalaga. H. 2009. Kasundaan Rawayan Jati. Bandung: Yayasan Nur Hidayah. Suryani, NS. E. 2011. Ragam Pesona Budaya Sunda. Bogor: Ghalia Indonesia.
Suwarma, A.M. 2011. “Revitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai
Pendidikan Pancasila dalam Perspektif Pendidikan Watak Bangsa”, dalam
Budimansyah, D dan Komalasari, K (ed). Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Suyatno. 2010. “Peran Pendidikan Sebagai Modal Utama Membangun Karakter Bangsa“. Jakarta: Makalah Saresehan Nasional.
Syam, N.W. 2009. Sosiologi Komunikasi. Bandung: Humaniora.
Upe, A. 2010. Tradisi Aliran dalam Sosiologi dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wahyu. 2011. “Masalah dan Usaha Membangun Karakter Bangsa”, dalam
Budimansyah, D dan Komalasari, K (ed). Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Waruwu, F.E. 2010. Membangun Budaya Berbasis Nilai (Panduan Pelatihan bagi Trainer). Yogyakarta: Kanisius
Winataputra, U.S .2001. Jati Diri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi. Disertasi Doktor pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
(6)
Winataputra dan Budimansyah. 2007. Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar, dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.
Winataputra, U.S, dkk. 2009. Pembelajaran PKn di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Winataputra, U.S. 2010. Implementasi Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Karakter (Konsep, Kebijakan, dan Kerangka Programatik). Jakarta: Makalah.
Winataputa, U.S. Saripudin, S. 2011. “Pembangunan Karakter dan Nilai-nilai
Demokrasi”, dalam Budimansyah, D dan Komalasari, K (ed). Pendidikan
Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Yayasan Kebudayaan Rancage 2001. Laporan Konferensi Internasional Budaya sunda I 22-25 Agustus 2001. Bandung.
Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter (Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.