Pendekatan Regional Management

PENDEKATAN REGIONAL MANAGEMENT SEBAGAI SALAH SATU
STRATEGI IMPLEMENTASI TATA RUANG (KASUS JABODETABEK)
DALAM MENANGGULANGI BANJIR
Oleh : Ragil Haryanto
Magíster Pembangunan Wilayah dan Kota
Universitas Diponegoro, Semarang

Pendahuluan
Issue, Fenomena dan Problematik Tata Ruang
Sebenarnya sudah banyak produk
perencanaan yang disusun, bahkan hampir semua
Pemerintah Kota, Kabupaten dan Propinsi, juga
Pemerintah Pusat, sudah menyusun produk
perencanaan untuk kepentingan pengarahan
pembangunan kota, wilayah atau kawasan, namun
dalam kenyataan masih sering kita dengar, orang
berpendapat bahwa perencanaannya yang salah
atau tidak sesuai dengan keinginan semua pihak,
dan masih banyak pendapat yang lain, masalah
ketidak beresan produk perencanaan yang sudah
disusun..

Demikian pula dengan apa yang sudah
dilakukan oleh Pemerintah Propinsi DKI dan
Pemerintah Kota Jakarta Utara,Timur,Selatan,Barat
dan Tengah,yang ada dibawah koordinasinya,
hampir dipastikan sudah banyak yang dilakukan
untuk menyusun perencanaan kotanya dengan
segala kelengkapannya. Sehingga kemungkinan
dapat dikatakan bahwa dokumen Tata Ruang Kota
Jakarta Utara, Jakarta Tengah, Jakarta Barat,
Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Tata Ruang DKI
sudah tersusun dengan baik, berdasarkan batas
administrasinya masing-masing, akan tetapi
mungkin ada beberapa hal yang tidak bisa langsung
terimplementasi,
sebagai
contoh
TTR/RTRW/RDTRK/RTRK
skala
1:20.000;
1:10.000; 1:5.000; 1:2.000, sedang implementasi

pembangunan dalam bentuk IMB,IPB dibutuhkan
skala 1:100, dan gambar Arsitektur skala 1:100
sedang RTBL(UDGL) yang memiliki skala 1:1.000
pun sebagai media perencanaan dan pelaksanaan
belum tentu semua kawasan perkotaan tersusun .
Dilain pihak pengembangan permukiman
cenderung dibiarkan, diarahkan dan diijinkan
berkembang secara horisontal, dan konsep
perumahan susun cenderung dilihat sebagai beban
biaya tinggi (“high cost”) dilihat dari sisi konstruksi,
bahkan sering dicemoohkan dari sisi budaya, dan
sampai saat ini belum diberi kesempatan untuk
dipertimbangkan lebih-lebih untuk membuktikan

bagaimana efisiensi dan ekonomisnya konsep
rumah susun dalam memanfaatkan lahan yang
minimal dengan daya tampung maksimal. Lahan
permukiman sudah dilupakan bila memiliki peran
sebagai fungsi sosial dan keberpihakan pada
publik/masyarakat ketimbang fungsi ekonomi yang

komersial, seperti halnya terjadinya cluster-cluster
perumahan yang kapitalistik yang memakan lahan
perkotaan yang luar biasa luasnya (maaf, konyolnya
didukung oleh NSPM Permukiman-Perumahan yang
konvensional pula) sehingga syahlah dan merasa
tidak berdosa para pengembang apabila
mengembangkan dengan cara horisontal yang akan
sangat menguntungkan berlipat ganda dari sisi
penjualan lahan.
TTR/RTRW/RDTRK/RTRK/RTBL
Kota
Bekasi, Kota Tangerang, Kota Bogor dan Kota
Depok pun, mungkin juga sudah tersusun dengan
baik,dan kemungkinan masing-masing TTR tersebut
disusun sesuai dengan batas administrasinya,
sehingga bisajadi dalam implementasinya masingmasing Kota tersebut mengalami kesulitan
mensinkronkan satu dengan yang lain (padahal kotakota tersebut berhimpitan), sedangkan pertumbuhan
perkotaan secara fisik (urbanized area) yang nyata
dilapangan tidak mengenal batas administrasi, hal ini
seringkali menimbulkan masalah terutama yang

berkaitan dengan sistem jaringan seperti jalan,
drainase, pelayanan air bersih, pelayanan prasarana
lainnya seperti penanggulangan banjir, pelayanan
keberihan dan sampah, namun dilain pihak,
sebenarnya masyarakat daerah perbatasan tersebut
hampir
tidak
ada
masalah
dan
tidak
mempermasalahkan.
Sekarang ini sudah berjalan sinergi tata
ruang diinisiasikan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Propinsi, akan tetapi, sebenarnya dalam
paradigma otonomi daerah saat ini semestinya
inisiatif sinergi dan kerjasama antar daerah datang
dari daerah yang membutuhkan, kota-kota yang
berhimpitan secara administrasi yang saling
berkepentingan dan ketergantungan secara ekonomi


dan terjadinya masalah prasarana, satu dengan
yang lain..
Demikian pula halnya dengan upaya
sinergi dalam perencanaan tata ruang wilayah
yang dituangkan dalam dokumen JabodetabekPunjur, pada dasarnya sudah sangat baik
(walaupun inisiatif dari Pemerintah Pusat dan atau
Pemerintah Propinsi), sedang yang penting
disinergikan antara lain: wilayah Jakarta-Timur
dengan Bekasi, Jakarta-Selatan dengan Depok dan
Bogor, Jakarta-Barat dengan Tangerang. Akan
tetapi
dalam
proses
pembangunannya
kemungkinan masing-masing Pemerintah KotaKabupaten tunduk dan patuh terhadap rencana tata
ruang yang telah disusun oleh masing-masing
pemerintah daerah, hal ini terjadi akibat mekanisme
persetujuan dokumen tata ruang disyahkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat masing-masing KotaKabupaten yang selanjutnya akan menjadi

peraturan
daerah
dimasing-masing
KotaKabupaten. Agaknya belum ada mekanisme
persetujuan Dewan pada suatu pemerintah daerah
terhadap produk perencanaan tata ruang yang
disusun oleh pemerintah daerah lain yang
diterapkan didaerah nya dalam bentuk peraturan
daerah didaerah tersebut juga.
Dengan demikian, nampaknya terjadi
kesenjangan antara Perencanaan TTR dengan
implementasi pembangunan. Kesenjangan tersebut
terjadi lebih banyak dalam proses pembangunan
antara kota satu dengan yang lain walaupun kota
tersbut berdampingan/berhimpitan, juga ada
kemungkinan terjadi kesenjangan antara sektor
pembangunan di kota yang satu dengan sektor
pembangunan dikota yang lain walaupun
berdekatan dan bahkan berhimpitan. Kesenjangan
juga mungkin terjadi antara Fungsi Kawasan

dimasing-masing
kota
dengan
Kebijakan
Operasionalnya, baik yang ada dimasing-masing
kota maupun kebijakan operasional lintas
kota/daerah.
Sehingga dapat dikatakan bahwa
perencanaan TTR masing-masing kota memang
pemahamannya masih sebatas perencanaan di
wilayah administrasinya. Sepertinya sampai saat ini
belum atau masih belum dikembangkan
Perencanaan TTR berdasarkan daerah terbangun
fisik perkotaan (urbanized area) yang bisa meliputi
2(dua) atau lebih wilayah administrasi yang dinilai
sangat strategis dan diunjukkan oleh kedua
pemerintah Kota/Kabupaten yang bersangkutan
karena kebutuhan masing-masing Pemerintah
Kota/Kabupaten
dalam

menyelesaikan
permasalahan pembangunan kotanya secara
bersama. Disamping itu pola Pengembangan

Wilayah secara regional yang meliputi beberapa
Kota-Kabupaten seperti tersbut diatas sampai
sekarang ini
cenderung konvensional, boleh
dikatakan perencanaan Top Down, seperti halnya
Kapet,
Jabodetabekpunjur,
Kedungsapur,
Gerbangkertasusila, sehingga terkesan masing
kurang inovatif dan masih belum diunjukan oleh
kepentingan dan kebutuhan masing-masing KotaKabupetan yang masuk dalam kawasan
perencanaan tersebut, sehingga terkesan terjadi
conflict of interest antar daerah. Terlebih keterlibatan
stakeholders dalam rencana Tata Ruang yang
diimplementasikan kedalam proses pembangunan
Ekonomi Wilayah masih rendah, seperti halnya

belum sepenuhnya memanfaatkan pola PublicPrivate-Partnership. Dengan demikian, nampaknya
dibutuhkan suatu alat koordinasi pembangunan
dalam bentuk Management, dalam skala regional
apa yang dinamakan Regional Management &
Development.
Indikasi Kebutuhan Kerjasama Intra-Regional
(Regionalisasi) :
Banyak faktor dalam proses otonomi
pembangunan didaerah, yang mendorong daerahdaerah otonom pada akhirnya akan menyadari
betapa kebutuhan daerah untuk melakukan
kerjasama intra-regional (dalam hal ini disebutkan
upaya regionalisasi). Beberapa hal yang
merangsang kebutuhan kerjasama tersebut
seringkali ditimbulkan karena ternyata potensi
internal daerah sangat terbatas yang belum tentu
memiliki segalanya, disamping faktor-faktor eksternal
yang menyulitkan membangun jejaring dengan pihak
lain diluar pemerintah daerahnya.
Indikasi kerjasama Jabodetabek-Punjur,
diperlihatkan

pada
upaya
Pengendalian
Pemanfaatan Tata Ruang Kawasan JabodetabekPunjur yang merupakan rangkaian kegiatan
pengelolaan tata ruang, yang melingkupi proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian
pemanfaatan ruang merupakan suatu proses yang
sangat penting dilakukan sebagai sebuah proses
evaluasi terhadap pelaksanaan sebuah perencanaan
tata ruang.
Sebagaimana tercantum dalam dokumen
pedoman perencanaan Jabodetabek-Punjur (2006),
merupakan integrasi dari dua kawasan tertentu, yaitu
Jabodetabek dan Bopunjur, yang keseluruhannya
terdiri dari 9 (sembilan) wilayah administrasi
otonomi. Kawasan ini secara geomorfologi terdiri
dari 3 ekosistem besar yakni ekosistem pesisir,
ekosistem
dataran

dan
ekosistem

perbukitan/pegunungan, yang secara ekologi
memiliki kesinambungan dalam satu kesatuan yang
tidak terpisahkan. Pesatnya pembangunan dan
tingginya pertumbuhan ekonomi di kawasan ini
dipacu oleh keberadaan DKI Jakarta sebagai
ibukota negara. Dinamika di wilayah ini memacu
pembangunan wilayah di sekitarnya. Aktifitas sosial
ekonomi manusia yang dinamis dan berubah begitu
cepat di kawasan Jakarta-Bogor-Depok TangerangBekasi-Puncak-Cianjur (Jabodetabek-Punjur) dan
pembangunan di wilayah tersebut sering tidak
memperhatikan aspek lingkungan dan daya dukung
lahan, sehingga berimplikasi pada pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Pertumbuhan kepadatan penduduk yang pesat
menekan eksploitasi sumberdaya alam dan
lingkungan, sehingga daya dukung dan daya
tampung lingkungan berpeluang terlampaui. Hal ini
mendorong adanya perambahan pemanfaatan
ruang pada kawasan yang seharusnya dikonservasi
dan dilindungi, seperti konversi lahan pertanian
sawah dan bantaran sungai menjadi perumahan
dan industri.
Konversi lahan berfungsi lindung yang
tidak terkendali berakibat pada penurunan fungsi
lindung kawasan, seperti penurunan fungsi serapan
air pada kawasan resapan air, dan penurunan daya
alir drainase (alam/sungai ataupun buatan/kanal),
sehingga dikhawatirkan menimbulkan bencana
banjir, yang tidak hanya merusak harta benda
namun dapat pula menelan korban jiwa. Untuk itu,
menurut dokumen pedoman Tata Ruang
Jabodetabek-Punjur (2006), maka perubahan
keseimbangan lingkungan yang disebabkan aktifitas
sosial ekonomi manusia perlu dikendalikan, agar
tercapai keseimbangan lingkungan. Pengendalian
pemanfaatan ruang untuk meminimalisasi dampak
banjir tersebut harus disusun dalam suatu pedoman
yang bermanfaat dalam proses pengawasan dan
penertiban pemanfaatan ruang.
Dari uraian diatas, sebenarnya upaya
kerjasama Tata Ruang Jabodetabek-Punjur dalam
Perencanaan-Pemanfaatan-Pengendalian Ruang
sudah diupayakan dan bahkan salah satunya
adalah penanganan banjir yang dipredeksikan akan
terjadi setiap saat, dan kebetulan sekali
implementasi Tata Ruang tersebut belum/sedang
dalam proses, 1-5 Februari 2007 baru lalu pun
keburu terjadi banjir. Dengan demikian yang belum
sempat diupayakan secara nyata sepertinya
pelaksanaan atau implementasi Tata Ruang secara
terkoordinasi dan manajerial antar Pemerintah Kota
yang dinaungi Jabodetabek-Punjur. Pelaksanaan
atau implementasi tersebut sepertinya menjadi tidak
mudah, mengingat inisiatif penyusunan dokumen

Tata Ruang belum diunjukkan oleh 9 (sembilan)
pemerintah daerah otonom secara bersama-sama
sebagai suatu kebutuhan bersama, namun oleh
Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat, sedang
konsekuensi pelaksanaan ada pada pemerintah
daerah otonom yang bersangkutan. Dilain pihak,
sebenarnya pemerintah daerah otonom tersebut
mempunyai persoalan terhadap pengaturan lahan
dan konversi lahan, oleh karenanya Pemerintah
Pusat melalui Departemen PU dan
Badan
Pertanahan
Nasional/BPN
perlu
mengkaji
kemungkinan memperkenalkan konsolidasi lahan
secara regional, agar pemilik lahan dikawasan
konservasi mendapatkan manfaat ekonomi dan
dikonsolidasikan dikawasan budidaya.
Kerjasama, Jaringan, dan Sistem
(Partnerships, Networks and Systems)
Kerjasama diantara Pemerintah Daerah
yang terlibat dalam regionalisasi dan atau antara
region
dengan
pemangku
kepentingan
(stakeholders) yang lain, sangat penting dilakukan
dengan menjaga keseimbangan kekuatan yang
timbul pada saat proses kerjasama berlangsung,
artinya perlu dijaga keadilan dan keseimbangan
yang tidak berpihak. Hubungan kerjasama region
dan pembangunan regional, seyogyanya ditekankan
melalui sistem dan jejaring secara internal dan
eksternal. Hal inilah yang sebenarnya dibutuhkan
oleh pemerintah otonom Kota-Kabupaten maupun
Propinsi, mengingat dalam otonomi daerah yang
berawal dari pola sentralistik top down, sebenarnya
pemerintah daerah otonom belum sepenuhnya siap,
karena sebelumnya sudah terbiasa dengan pola
instruksi, pembagian kewenangan dan distribusi
sumberdaya dana dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah yang merupakan bagian dari
NKRI.
Untuk itu dilihat dari sisi pembangunan
regional sekarang ini yang merupakan ekspresi
“otonomi daerah yang belia”, sistem jejaring dapat
dilakukan dengan cara “top down dikombinasikan
dengan bottom up” sebagai pendekatan ke
Perencanaan Regional. Sebagaimana disampaikan
sebelumnya maka “best practice” pembangunan
regional dapat dicontohkan
sebagai upaya
mengkoordinasikan kekuatan secara luas para aktor
pembangunan disektor ekonomi dan sosial, daripada
hanya sekedar membangun “kelompok elit daerah”.
Hal tersebut sangat penting bagi pengembangan
politik, organisasi dan implikasi kebijakan secara
regional yang akan lebih luas, dan akan semakin
penting bagi politik pemerintahan secara Nasional.

Jaringan dapat dibentuk dari sejumlah
hubungan bilateral dan dapat memulainya dengan
atau melalui joint venture sebagai langkah awal
yang menguntungkan kedua belah atau lebih pihak
yang bekerjasama secara regional. Dalam suatu
rantai jaringan, sebuah jaringan setidak-tidaknya
bisa terdiri dari dua institusi inti, termasuk juga
institusi yang mensponsori jaringan kerjasama
dengan institusi lain. Karena interaksi antar institusi
dikembangkan secara iterative dan luas dalam hal
isi, ruang dan waktu, maka diharapkan apa yang
terjadi tersebut merupakan jaringan kerjasama yang
lengkap dari suatu kemitraan kerjasama regional.
(DeBresson & Amesse, 1991, p.364)
Konsep Regionalisasi Kerjasama Antar Daerah
= Konsep Regional Management
Untuk mewujudkan tujuan pengembangan
wilayah, dapat dilakukan dengan cara bersinergi
melalui kerjasama antara satu pemerintah daerah
otonom dengan pemerintah daerah otonom
lainnya.. Kerjasama antar wilayah tersebut,
berkaitan dengan pengertian wilayah, dapat
dilakukan pula berdasarkan aspek fungsional
maupun administrasi. Dengan pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia, maka batas wilayah lebih
ditentukan sesuai dengan batas politik atau
administratif = batas daerah, sehingga seringkali
dapat menimbulkan ketidak efektifan dan
ketidakefisienan dalam pengembangan wilayah
yang lebih luas. Dengan meninjau wilayah sebagai
wilayah fungsional maka diperlukan suatu
kerjasama antar wilayah.
Kerjasama
pada
hakekatnya
mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih yang
berinteraksi atau menjalin hubungan-hubungan
yang bersifat dinamis untuk mencapai suatu tujuan
bersama. Di sini terlihat adanya tiga unsur pokok
yang selalu melekat pada suatu kerangka
kerjasama yaitu unsur dua pihak atau lebih; unsur
interaksi dan unsur tujuan kerjasama. Jika salah
satu dari ketiga unsur ini tidak termuat pada suatu
obyek yang dikaji, maka dapat dianggap bahwa
pada obyek tersebut tidak terdapat kerjasama.
Dengan demikian, terlihat ada dua
skenario yang kemungkinan akan terjadi dalam
regionalisasi dengan pola kerjasama regional yaitu
:apakah masing-masing daerah akan bekerjasama
untuk kepentingan bersama. atau malahan saling
bersaing untuk memajukan daerahnya masingmasing.
Kompetisi antar daerah yang akan terjadi
tersebut
tidak
boleh
mengesampingkan
kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi, yaitu

kepentingan antar wilayah, nasional dan
pembangunan yang berkelanjutan. Kepentingan
kedaerahan tidak boleh menyebabkan terjadinya
persaingan yang tidak sehat antara suatu daerah
dengan daerah tetangganya.
Jika spatial ego – ego sektoral –
kedaerahan muncul tanpa memperhatikan wilayah
hinterland, baik yang berpengaruh maupun yang
dipengaruhi, maka konflik antar daerah akan muncul.
Konflik tersebut dapat timbul karena tidak adanya
koordinasi antar daerah di dalam penanganan
perbedaan kepentingan (conflict of interest) antar
daerah.
Kerjasama antar daerah akan memperkuat
potensi komparatif dan kompetitif di dalam
persaingan antar daerah. Suatu daerah yang tidak
memiliki suatu sumber daya akan mendapatkannya
dari daerah tetangganya. Sebaliknya, potensi yang
dimilikinya juga akan dapat dimanfaatkan secara
bersama-sama dengan daerah tetangganya. Saling
melengkapi di dalam pemenuhan kebutuhan
pembangunan ini akan berdampak pada semakin
kuatnya tawar menawar mereka di dalam proses
pembangunan.Hal ini juga akan membuat daerah
tersebut semakin menarik bagi para penanam modal
untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut.
Dengan berlangsungnya era reformasi,
daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola
pemerintahan dan pembangunan di daerah secara
otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab
memberi keleluasaan daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah berdasar aspirasi
dan sumber daya alam yang ada di daerahnya.
Saat ini, daerah dapat lebih leluasa untuk
mengatur dan membuat kebijaksanaan daerah
termasuk dalam menetapkan kelembagaan.
Kewenangan wajib bagi daerah telah ditetapkan,
walaupun semua kewenangan telah diserahkan
menjadi kewenangan daerah, kecuali beberapa
bidang urusan yang masih tetap menjadi urusan
Pusat dan Propinsi. Propinsi sebagai daerah otonom
mempunyai
kewenangan
terbatas,
yaitu
kewenangan
yang
menyangkut
lintas
Kota/kabupaten. Artinya bahwa kewenangan yang
menyangkut urusan yang bersifat lintas
Kota/kabupaten dan kewenangan lain yang belum
diurus oleh Kota/kabupaten serta kewenangan yang
ditentukan oleh pusat, merupakan kewenangan
Propinsi.
Kewenangan untuk mengatur daerahnya
sesuai dengan potensi dan sumberdaya yang ada,
untuk menghindari adanya konflik pada wilayah
kerjasama, maka pengelolaan pembangunan pada
wilayah tersebut menuntut adanya koordinasi antar
kedua wilayah yang bersangkutan. Artinya bahwa

beberapa konflik yang dapat muncul yang
menyangkut lintas Kota/kabupaten merupakan
kewenangan Propinsi atau memerlukan koordinasi
dengan Propinsi.
Keputusan-keputusan yang berkaitan
dengan tenaga kerja dan penyerapannya,
penggunaan lahan, investasi, pemajakan dan
retribusi perlu dicermati, karena berkaitan dan dapat
mempengaruhi wilayah lain yang lebih luas.
Keputusan-keputusan pemerintah daerah perlu
dipertimbangkan
atas
dasar
manajemen
pembangunan yang baik, sehingga tidak
menimbulkan dampak negatif yang luas di
kemudian hari. Dalam hal kelembagaan, daerah
diberi kewenangan untuk membentuk sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi daerah.
Faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab
perlunya kerjasama daerah (Curdes: 2003) antara
lain :
1. Faktor kesamaan kepentingan: semakin
berkembangnya kesadaran akan keterbatasan
daerah di berbagai sektor dan perlunya
menggalang kekuatan atau potensi daerah
secara bersama-sama.
2. Berkembangnya paradigma baru di masyarakat:
perlunya wadah komunikatif yang menunjang
pendekatan perencanaan partisipatif sesuai
dengan semangat otonomi daerah.
3. Jawaban terhadap kekhawatiran disintegrasi,
oleh karenanya perlu menggalang persatuan;
dan kesatuan dalam mempererat kerjasama
antar daerah.
4. Sinergi antar daerah, tumbuhnya kesadaran,
bahwa dengan kerjasama antardaerah dapat
memperbesar peluang bagi keberhasilan
pembangunan daerah.
5. Peluang perolehan kerjasama dan sumber dana
dari program pembangunan baik nasional
maupun internasional
6. Sebagai wadah komunikasi utama bagi
stakeholder dan shareholder dalam kegiatan
pembangunan.
Strategi Pengelolaan Pembangunan Kawasan
Intra-regional
Strategi
dan
langkah-langkah
kebijaksanaan pembangunan wilayah kerjasama
bermuara pada kesatuan pandangan bahwa
wilayah kerjasama adalah merupakan satu
kesatuan
dalam
Propinsi,
daerah
dan
masyarakatnya mempunyai hak dan kewajiban
yang sama dalam hal menerima pelayanan dari
pemerintah dalam arti luas, terutama melalui upaya
pemerataan pembangunan yang ditujukan :

Upaya memperbaiki kondisi kehidupan
sosial ekonomi masyarakat agar mampu
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya.
Pemantapan keamanan dan ketertiban
dalam rangka pembinaan masyarakat menuju
terciptanya ketahanan dalam kehidupannya. Dengan
demikian pembangunan wilayah kerjasama
mencakup dua aspek, yaitu aspek kesejahteraan
(prosperity) dan keamanan (security).
Untuk mewujudkan hal itu maka wilayah
kerjasama penting untuk
diperhatikan dalam
pengelolaan pembangunannya, sehingga munculnya
konflik kawasan kerjasama bisa dihindari. Artinya
bahwa perlu adanya koordinasi untuk pengelolaan
pembangunan di kawasan kerjasama tersebut,
khususnya potensi-potensi pengembangan yang
dapat
memunculkan
konflik
kerjasama
(permasalahan regional), antara lain :
ƒ Pengelolaan sistem prasarana perhubungan
(transportasi) khususnya pada wilayah
kerjasama.
ƒ Pengelolaan prasarana pendukung lain seperti
air bersih, drainase dan persoalan banjir,
prasarana persampahan, irigasi,
listrik,
komunikasi guna meningkatkan pelayanan
masyarakat.
ƒ Pengelolaan permukiman (rumah susun)
potensial sebagai pusat ekonomi maupun
sosial.
ƒ Pengelolaan ruang wilayah kerjasama secara
khusus, tentunya perlu adanya perencanaan
tata ruang kawasan kerjasama secara khusus
yang menyangkut penetapan kawasan lindung
maupun kawasan budidaya secara bersama
dengan pendekatan konsolidasi lahan regional.
ƒ Sedangkan
untuk
permasalahan
lokal
merupakan permasalahan yang dapat diatasi
daerah Kota/Kabupaten dan hal itu merupakan
kewenangan lokal. Artinya bahwa dalam
mengantisipasi permasalahan lokal adalah
kewenangan Kota/Kabupaten dan atau secara
bersama dalam wadah kerjasama, antara lain
seperti :
- Kawasan kumuh (slumps) dan liar
(squatters)
- Pengaturan kepadatan dan kondisi
perumahan
- Pengaturan penataan bangunan dengan
menerapkan IMB yang bisa konteks dengan
Tata Ruang yang ada.
- Pengaturan tata bangunan dan lingkungan
pada kawasan perbatasan/kerjasama
- Pengaturan dan penataan sektor informal.
- Peyediaan dan pelayanan infrastruktur
(prasarana) lingkungan permukiman seperti

-

-

-

jalan, air bersih, drainase dan pengatasan
banjir, sewerage, persampahan, baik
Penyediaan fasilitas umum dan sosial
yang memenuhi syarat
Pemberdayaan
masyarakat
dalam
pembangunan
Pengaturan kawasan industri agar
mempunyai dampak positif terhadap
lingkungan.
Penarikan retribusi PBB perkotaan untuk
kawasan dengan tuntutan lingkungan
perkotaan.
Peningkatan
perekonomian
dan
pendapatan masyarakat
Pengaturan penggunaan lahan melalui
perencanaan tata ruang dan konsolidasi
lahan perkotaan dan unjuk terhadap
konsolidasi lahan regional.

Manajemen Pengelolaan Pembangunan di
wilayah kerjasama regional
Manajemen pengelolaan pembangunan
pemerintah daerah baik Pemerintah KotaKabupaten maupun Pemerintah Propinsi dan
Pemerintah Pusat perlu memperhatikan beberapa
hal :
ƒ Sumber daya manusia yang tangguh yang sadar
akan pembangunan untuk kesejahteraan
masyarakat dan bukan golongan, partai dan diri
sendiri (mental/jujur dan spiritual).
ƒ Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa
mereka memiliki kontribusi potensial dalam
mewujudkan vitalitas nasional.
ƒ Birokrasi Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih
cerdas (smart) dan imajinatif kreatif.
ƒ Era otonomi daerah perlu diarahkan untuk
mendorong swadaya dan prakarsa masyarakat
dapat tumbuh dan berkembang serta partisipasi
aktif masyarakat dalam pembangunan.
ƒ Lemahnya wibawa dan legitimasi administrasi,
akan berdampak pada melemahnya fungsi
pembinaan terhadap kewajiban-kewajibannya.
Mengingat kompleksitas permasalahan
baik lokal maupun regional, yang diharapkan
ƒ Dimensi lingkungan eksternal, dipertimbangkan
bersama untuk kepentingan bersama.
Adapun tahap-tahap dalam proses
manajeman dengan ”sharing” :
ƒ Perumusan misi organisasi-institusi yang
menangani bersama.
ƒ Penentuan
profil
masing-masing
institusi/dinas/sektor yang terlibat di masingmasing wilayah dalam skala kawasan

permasalahan lokal dapat diselesaikan pada level
Kota/Kabupaten, sedangkan untuk permasalahan
regional diharapkan dapat diselesaikan secara
bersama antar Kota dengan Kabupaten dan
dikoordinasi oleh Pemerintah yang lebih atas
(Propinsi).
Sementara ini cara yang cukup efektif untuk
memberikan kepuasan kepada berbagai pihak yang
berkepentingan adalah dengan suatu upaya
memobilisasi dan mendistribusi segala sumber daya
yang perlu dilakukan secara sistematis untuk
mencapai dan mewujudkan tujuan dan sasaran dari
penanganan persoalan tersebut, yaitu suatu
tindakan manajemen secara stratejik dengan unjuk
bersama (management by sharing).
Manajemen stratejik sendiri sebenarnya
mempunyai definisi yang berbeda-beda namun pada
dasarnya tidak jauh dari kebenaran dan paling tidak
mempunyai arti serangkaian keputusan dan tindakan
mendasar yang dibuat oleh manajeman tingkat atas
dan diimplementasikan
oleh seluruh jajaran
organisasi institusi dalam rangka pencapaian tujuan
institusi tersebut, sedang ”stratejik” atau ”strategi”
lebih populer dinyatakan dengan ”kiat” atau upayaupaya.
Sedangkan keputusan stratejik yang
bersifat multidimensional, apabila dikaitkan dengan
”sharing” akan menjadi formulasi demikian :
ƒ Dimensi keterlibatan manajemen puncak atau
tingkat atas, akan dilakukan oleh pihak
pemerintah Kota-Kabupaten dan Propinsi
ƒ Dimensi alokasi dana, sarana dan prasarana,
dialokasikan
oleh
wilayah-wilayah
yang
bersangkutan sesuai dengan permasalahan yang
timbul dan dihadapi masing-masing, bisa dengan
pertimbangan spasial, luasan kewilayahan,
maupun tingkat kepentingan yang berkaitan
dengan masyarakatnya.
ƒ Dimensi waktu keputusan stratejik, dilakukan
bersama.
ƒ Dimensi orientasi masa depan, dilakukan dengan
perencanaan bersama
ƒ Konsekuensi isu stratejik yang multifaset, akan
dihadapi bersama
ƒ Analisis dan pilihan stratejik yang diinginkan
bersama.
ƒ Penetapan sasaran jangka panjang.
ƒ Penentuan stratejik operasional, yang akan
dilakukan oleh masing-masing wilayah
ƒ Penentuan sasaran jangka pendek, seperti
sasaran tahunan, yang juga akan dilakukan oleh
masing-masing wilayah.
ƒ Pelembagaan strategi

ƒ Penciptaan sistem pengawasan bersama, dan
masing-masing wilayah.
ƒ Penciptaan sistem penilaian
ƒ Penciptaan sistem umpan balik dengan pola
audit dan bukan hanya sekedar monitoringevaluasi.
Penanganan berbagai konflik di kawasan
kerjasama dengan menggunakan pendekatan by
sharing dapat disederhanakan sebagai berikut :
ƒ Hubungan antara Pemerintah Propinsi dengan
Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten
merupakan koordinasi vertical (manajerial),
sedangkan
hubungan
sebaliknya
dari
Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten

dengan Pemerintah Propinsi merupakan
hubungan dalam bentuk ”Vertical Participation”
(Bottom Up).
ƒ Sedangkan antar Pemerintah Kota/Pemerintah
Kabupaten merupakan hubungan yang bersifat ”
Horizontal Participation ” yang dilakukan dalam
konteks Management by sharing.
Secara lebih jelas mengenai penanganan
berbagai konflik di kawasan kerjasama dengan
menggunakan pendekatan by sharing dapat dilihat
pada Gambar 1. Sedangkan pengembangan konsep
dalam pola management by sharing dengan melalui
vertikal-horisontal, dapat dilihat dalam Gambar 2.

Gambar 1. Model Kerjasama Urbanized Participatory & Partnership
dengan Pendekatan Regional Management by Sharing

Regional Management

Wilayah
Wilayah

Wilayah
Wilayah

AA

BB

Wilayah
Wilayah

CC

Instansi Pemerintah, Swasta dan Masyarakat

Gambar 2. Management by Sharing Dengan Koordinasi Vertikal-Horisontal

PEMERINTAH
PROPINSI

PEM. KOTA

Regional Management

PEM. KAB

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan bisa
dikaji lebih lanjut
Dengan melakukan kerjasama dengan
pendekatan Regional Management by Sharing,
diharapkan permasalahan lokal dapat diselesaikan
pada level Kota/Kabupaten, sedangkan untuk
permasalahan
regional
diharapkan
dapat
diselesaikan secara bersama antar kota dengan
kabupaten dan dikoordinasi oleh pemerintah yang
lebih atas (Propinsi). Karena itu Konsep Regional
Management (RM) by Sharing merupakan salah
satu alat pendekatan pemecahan masalah
berdasarkan pendekatan Problems Based Learning
yang diperlukan mahasiswa yang sekarang hadir
untuk menyelesaikan studio atau studi kasus, maka
perlu dilandasi pemikiran sebagai berikut:
• Perlu adanya pemahaman perubahan paradigma
pemerintahan, yang semula perencanaan
berasal dari atas (top down planning) dan
sentralistik, harus berubah menjadi perencanaan
yang mendasarkan pada kebutuhan masyarakat
dengan menekankan koordinasi, komunikasi dan
management.
• Kemauan dan kebutuhan masyarakat sebaiknya
menjadi acuan dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan di semua bidang.
Apabila hal ini berlaku, maka tanggung jawab
pembangunan tidak hanya menjadi tanggung
jawab birokrasi saja, tetapi menjadi tanggung
jawab semua pihak.
• Perencanaan yang hanya ditentukan oleh
birokrasi
tanpa
melibatkan
peranserta
masyarakat (shareholders) dan stake holders
yang lain akan menimbulkan dampak yang tidak
dapat dinikmati dan tidak dapat dimanfaatkan
secara optimal.
• Pemerintah Kota dan Pemerintahan Kabupaten
membuat suatu kesepakatan yang mengarah
pada penanganan masalah secara bersamasama dan terpadu.
• Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat
sebagai instansi yang mengatasinya, berperan
sebagai mediator, moderator, fasilitator, dan
promoter
untuk
sinkronisasi/keterpaduan
program sektoral yang terkait.
• Pembinaan kepada selulur penghuni/pemukim,
pengusaha dan yang beraktivitas di wilayah ini
untuk bersama-sama memahami dan merespon
keberadaannya, sehingga tahu apa yang
menjadi hak dan kewajibannya.
• Penyelesaian dan penanganan antara kedua
belah pihak (pemerintah Kota-Kabupaten)
dengan prinsip win-win solution.

• Pengembang di wilayah ini harus mengetahui dan
sudah siap dengan solusinya terhadap hal-hal
yang akan timbul di kemudian hari, sehingga
akan terlihat secara nyata partisipasinya dan
peran sertanya dalam pengembangan wilayah.
• Kebijakan yang dijalankan dan bila perlu dapat
dikeluarkan suatu peraturan daerah secara subregion dalam kerangka kerjasam Regional
Management, yang dapat dianut oleh Pemerintah
Kota dan Pemerintahan Kabupaten dan
Pemerintah Propinsi secara bersama.
• Pembentukan kelembagaan sebagai wadah untuk
mengatasi konflik di kawasan kerjasama yang
melibatkan stakeholders yang interest dan
berkompeten pada kawasan kerjasama tersebut.
• Pengikatan kesepakatan bersama antar institusi,
pengembang swasta, dinas sektoral, lembagalembaga keswadayaan masyarakat di wilayah
kerjasama yang saling berkaitan dan
berpengaruh untuk menyukseskan program yang
direncanakan oleh Pemerintah Daerahnya,
Pemerintah Daerah yang bekerjasama dan
Pemerintah Propinsi..
• Pada pelaksanaannya regional management juga
menitikberatkan pemanfaatan sinergi yang
menghasilkan daya guna bagi pembangunan,
misalnya
dengan
peningkatan
efisiensi
penggunaan
infrastruktur,
antarkabupaten,
perusahaan swasta dan institusi atau badan yang
terkait.
• Kerjasama regional bisa muncul atas inisiatif
pemerintah, yang terbaik biasanya melingkupi
wilayah dimana interaksi ekonomi yang sedang
berkembang secara alami. Kerjasama antar
wilayah dapat ditinjau dari berbagai pendekatan
antara lain :
Berbagai kerjasama yang selama ini
dilaksanakan antar negara antar wilayah memiliki
berbagai macam latarbelakang antara lain :
• Ekonomi
Ekonomi merupakan salah satu faktor utama
dasar kebutuhan suatu kerjasama. Berbagai
kebutuhan ekonomi terutama pada faktor
pendorong
kerjasama.
Dengan
adanya
globalisasi serta munculnya pasar bebas, maka
menimbulkan persaingan. Berbagai upaya
mempertahankan maupun memperluas pasar
serta semakin berkurangnya sumber daya alam,
membutuhkan suatu kerjasama antar wilayah di
suatu kawasan
• Geografi
Suatu daerah terhadap daerah lain merupakan
faktor munculnya kerjasama. Pada beberapa

kerjasama, kerjasama ini terjadi akibat
kedekatan geografis, dalam arti berbatasan
langsung. Pada wilayah suatu Daerah Aliran
Sungai juga rnerupakan faktor pengikat suatu
wilayah, dengan pertimbangan kepentingan
pengelolaan sungai yang sama. Pada daerah
kepulauan, maka kerjasama dilakukan karena
merupakan
kedekatan
geografis
yang
berbatasan pada laut/selat yang sama.
• Kultur
Kultur budaya merupakan salah satu pendorong
dari suatu kerjasama. Persamaan budaya dan
sebaliknya keragaman budaya akan lebih
mengikat kerjasama, karena persamaan dan
keragaman budaya merupakan salah satu
pencerminan sejarah suatu wilayah, sehingga
menimbulkan adanya saling pengertian
(Abdurrahman, 2003).
Berbagai Bentuk Kerjasama Antardaerah
Kerjasama antar daerah dapat meliputi
semua urusan pemerintahan yang termasuk urusan
rumah tangga daerah dan urusan tugas
pembantuan. Juga telah dikemukakan bahwa
penyerahan urusan pemerintahan untuk menjadi
urusan rumah tangga, atau untuk menjadi tugas
pembantuan bagi suatu daerah tertentu terdapat
beberapa variasi. Suatu daerah yang masa
pembentukannya telah cukup lama dan tingkat
perkembangannya telah mencapai kemampuan
tertentu akan berbeda dengan daerah yang baru
terbentuk dengan perkembangan yang belum laju.
Perbedaan itu akan menyangkut jenis-jenis urusan
yang diserahkan, ruang lingkup kewenangan serta
jumlah keseluruhan dari urusan-urusan yang
diserahkannya itu.
Urusan rumah tangga daerah pada
hakikatnya adalah segala urusan pemerintahan
telah diserahkan dalam rangka pelaksanaan
otonomi dari daerah yang bersangkutan. Adapun
urusan tugas pembantuan menurut UU No. 5 tahun
1974 adalah tugas untuk turut serta dalam
melaksanakan urusan pemerintahan yang
ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah tingkat
atasnya
dengan
kewajiban
mempertanggungjawabkan
kepada
yang
menugaskannya (pasal 1 huruf d).
Kerjasama antar Daerah yang pada
pokoknya menunjukkan adanya usaha bersama
yang dilakukan oleh dua daerah atau lebih, dapat
mengambil berbagai bentuk. Pada uraian
sebelumnya telah dikemukakan bahwa kerjasama
antar daerah dapat dilakukan oleh dua daerah atau

oleh tiga daerah atau lebih, dapat pula dilakukan
oleh sesama daerah dalam satu lingkungan propinsi
atau oleh sesama daerah tidak dalam satu
lingkungan propinsi. Untuk kasus JabodetabekPunjur, seyogyanya dirangsang agar Pemerintah
Daerah (9 Kabupaten-Kota, 3 Propinsi) yang ada
dalam kerjasama Tata Ruang tersebut sadar dan
butuh
menyelesaikan
banjir,
transportasi,
permukiman, persampahan, aliran ekonomi,
kebersamaan pengembangan, industri, pariwisata,
yang tujuan akhirnya untuk mensejahterakan
masyarakat di daerah dan wilayah yang masuk
dalam kerjasama tersebut dan bahkan masyarakat
Nasional.
Sebagaimana kita ketahui pengembangan
wilayah adalah upaya untuk memperbaiki tingkat
kesejahteraan hidup masyarakat di suatu wilayah
tertentu.
Tujuan
pengembangan
wilayah
mengandung dua sisi yang saling berkaitan, yaitu
sisi sosial ekonomi dan sisi ekologis.
Pengembangan wilayah merupakan program yang
menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan
dengan memperhitungkan sumber daya yang ada
dan kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah
yang berkelanjutan (suistainable). Beberapa kata
kunci yang dapat dipertimbangkan dalam kerjasama
regional (Regional Management) dan upaya
pengembangan wilayah, yaitu:
• Program yang menyeluruh dan terpadu dimiliki
dan atau diunjukkan oleh masing-masing
Pemerintah Daerah Otonom,
• Sumber daya yang tersedia dan kontribusinya
terhadap wilayah secara luas dalam regionalisasi.
• Adanya suatu wilayah tertentu yang potensial
untuk bekerjasama (Jabodetabek-Punjr sangat
potensial).
• Kesamaan pandang antar wilayah, daerah yang
akan bekerjasama.
• Good governance
• Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat
berperan sebagai inisiator, promotor, koordinator,
mediator, fasilitator, sponsor, regulator, auditor
(monev+++)
Referensi
Abdurahman, Beny (2003), Pemahaman Dasar
Regional Management dan Regional Marketing,
IAP Jawa-Tengah, Undip, Semarang
Blakely, E.J. (1989), Planning Local Economic
Development: Theory and Practice, Sage
Publications, Newbury Park, London and New
Delhi.
Capra, F. (1997), The Web of Life: A New Synthesis
of Mind and Matter, Flamingo, London.

Cashin, S.D. (1999), Localism, Self-Interest and the
Tyranny of the Favored Quarter: Addressing the
Barriers to the New Regionalism. Georgetown
University Law Center, Working Paper Series in
Law in Business and Economics, Working
Paper
no.
194751
(http://papers.ssrn.com/paper.taf?abstract_id=1
94751).
Cheers, B. and Luloff, A.E. (2001), Rural Community
Development, Chapter 11 in S. Lockie and L.
Bourke (eds.), Rurality Bites: The Social and
Environmental Transformation of Rural
Australia, Pluto Press, Annandale, pp.129-42.
Cheers, Brian .(2002),The Upper Spencer Gulf
Common Purpose Group: A Model of Intraregional
Cooperation
for
Economic
Development, Port Augusta, Port Pirie and
Whyalla
CURDES (Center for Urban and Regional
Development Studies), (2003), Studi Regional
Management kawasan Barlingmascakeb,
Undip, Semarang.
Geddes, M. (1998), Local Partnership: A Successful
Strategy for Social Cohesion? European
Research Report, European Foundation for the
Improvement of Living and Working Conditions,
London.
Harvey, D. (1989), From Managerialism to
Entrepreneurialism: The Transformation in
Urban Governance in Late Capitalism,
Georgrafiska Annaler v. 71B no.1, pp.3-17.
Harvey, J., Hughes, E. & Tyler, P. (1998), Report to
Council and the Whyalla Economic
Development Board on the Newcastle Visit,
University of South Australia, Whyalla.
Hunter Economic Development Corporation (1997),
Hunter Region: Towards a Sustainable Future,
Discussion Paper for the Hunter Region Jobs
Summit, Nov. 14.
Humphrey, C.R. and Krannich, R.S. (1980), The
promotion of growth in small urban places and
its impact on population change, 1975-1978,
Social Science Quarterly, 61, pp.581-94.
Le Gales, P. and Mawson, J. (1995), French Urban
Policy: The Implications for Regeneration
Policies in the English Regions, Planning
Practice and Research, 10(3-4), pp.379-398.
Light, E. (2000), Regional Partnership Programme,
NZ Business, pp.10-14. Electronic version
accessed via EBSCO host).
Malecki, E.J. (1991), Technology and Economic
Development: The Dynamic of Local Regional
and National Change, Longman, Harlow, UK.
Shortall, S. and Shucksmith, M. (2001), Rural
Development in Practice: Issues Arising in

Scotland and Northern Ireland, Community
Development Journal, 36(2), pp122.133.
Storey, D. Issues of Integration, Participation and
Empowerment in Rural Development: The Case
of LEADER in the Republic or Ireland, Journal of
Rural
Studies,
15(3),
pp.307-31