Bulletin BPKSDM Edisi kedua

bulletin bpksdm
BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI DAN SUMBER DAYA MANUSIA
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

WTO dan Ekonomi Indonesia,

ANTARA PELUANG DAN ANCAMAN

D ar i Redaksi
Pembaca
yang
terhormat,
persaingan
pasar
bebas
internasional telah hadir di depan
mata. Hal ini ditandai dengan telah
resminya Indonesia menjadi
anggota World Trade Organization (WTO) sejak diterbitkannya
Undang-undang No.7 Tahun
1994. Tak hanya peluang yang

mungkin kita raih, ancaman pun
siap menghadang pertumbuhan
ekonomi kita. Konstruksi sebagai
salah satu pendukung ekonomi Indonesia mau tidak mau harus siap
menghadapi kondisi ini. Untuk itu
Edisi kedua di tahun 2006 ini,
Buletin
BPKSDM
mengetengahkan sisi hadirnya
WTO di Indonesia antara peluang
dan ancaman.
Masih berkaitan dengan persaingan
internasional yang semakin terbuka
Produk Dalam Negeri ternyata juga
kian terdesak dan Buletin BPKSDM
menuangkannya dalam artikel
Hidup Mati Produk Dalam Negeri
Tanggung Jawab Bersama, untuk
sekadar menggugah kepedulian


kita. Kemudian dalam Buletin ini
kami coba menghadirkan pula
pengetahuan mengenai Konsep
Dasar Pengembangan Kapasitas
Dalam Manajemen Konstruksi.
Memenuhi rasa keingintahuan
pembaca terutama masyarakat jasa
konstruksi, BPKSDM secara
khusus menghadirkan pula tulisan
mengenai Sistem E-procurement.
Dari hasil berbagai kegiatan yang
telah dilaksanakan BPKSDM,
dihadirkan liputan mengenai
Pelatihan Project Cycle Angkatan
Ke-3 di Batam, Pelatihan
Penyelenggaraan Perpustakaan
dan Kearsipan/ Dokumentasi, dan
Penyelenggaraan
Sosialisasi
Pengembangan Konstruksi dan

Norma Standar Pedoman Manual
(NSPM).
Akhirnya, kami dari redaksi
mengucapkan selamat membaca
buletin edisi kedua ini. Semoga
semakin memberikan pencerahan
bagi pembaca dimanapun berada.

WTO dan Ekonomi Indonesia,

ANTARA PELUANG DAN ANCAMAN
e m e n j a k
di t er bi t k annya
Undang-undang No.7
Tahun
1994
tertanggal 2 November 1994 Tentang Pengesahan
(ratifikasi) Agreement Establishing the World Trade Organization , Indonesia secara resmi telah
menjadi anggota World Trade Organization (WTO). Semenjak saat
itu pula semua persetujuan yang

ada didalamnya telah sah menjadi
bagian dari legislasi nasional.
Konsekuensinya ada hak dan
kewajiban yang harus dilaksanakan.
Namun tak hanya itu, menjadi
anggota WTO berarti kita siap
menghadapi adanya peluang (opportunity) yang bisa dimanfaatkan
sekaligus ancaman (threat) yang
harus diwaspadai.

Peluang akan tercipta bagi negara
yang siap dengan globalisasi,
termasuk Indonesia dan negara
berkembang lainnya. Peluang
tersebut terkait dengan semakin
mudahnya akses pasar. Seper ti
yang diketahui, negara-negara
maju telah menurunkan tarif untuk
industri dari rata-rata 6,3 % menjadi
3,8 %, dengan penurunan sebesar

40%. Dari tarif
nol
telah
meningkat dari 20 % menjadi 40
% dari seluruh produk industri yang
masuk ke negara maju. Hasil dari
negosiasi akses pasar ini adalah
Multilateral MFN dimana semua
negara
anggota
dapat
menikmatinya tanpa terkecuali.
Hanya saja, akibat makin
mudahnya akses pasar ini,
persaingan akan semakin tajam.

Fungsi utama WTO adalah sebagai
forum bagi para anggotanya untuk
melakukan
perundingan

perdagangan
ser ta
mengadministrasikan semua hasil
perundingan dan peraturanperaturan
perdagangan
internasional. WTO mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 1995 yaitu
dengan disepakatinya Agreement
the World Trade Organization
yaitu persetujuan pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia
yang ditandatangani para menteri
perdagangan,
negara-negara
anggota WTO pada tanggal 15
April 1994 di Marrakesh, Maroko.
Saat ini anggota WTO mencapai
143 negara ditambah dengan 31
negara yang saat ini sedang dalam
proses perundingan (accession)

untuk masuk menjadi anggota
WTO.

Ditambah
dengan
keadaan
standing position yang sama,
dikhawatirkan
dalam
pemanfaatannya berlaku hukum
alam, siapa yang lebih kuat
(baca:lebih siap), dia yang akan
menang. Indonesia yang menganut
sistem ekonomi terbuka dituntut
untuk lebih siap agar dapat
mengambil manfaat sebesarbesanya
dari
keanggotaan
Indonesia di WTO. Apalagi
mengingat program ekspor non

migas
merupakan
andalan
Indonesia
harus
dapat
dimaksimalkan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional
dan penciptaan lapangan kerja.
Peluang dan manfaat tersebut
hanya dapat diperoleh apabila
penguasaan semua persetujuan

T entang WT O dan Ekonomi
Indonesia

Selama ini, selama kurang lebih 48
tahun, perdagangan multilateral
diatur oleh General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT 1947)

yang berlaku secara ad interim
agreement (bersifat sementara),
yang terdiri dari 38 pasal dan hanya
mengatur perundingan di bidang
tarif. Badan tertinggi dalam struktur
WTO
adalah
Ministerial
Conference (MC) yaitu pertemuan
tingkat menteri perdagangan
negara anggota WTO yang
diadakan sekali dalam dua tahun.
Ministerial
Conference
ini
mempunyai wewenang untuk
mengambil keputusan atas semua
hal-hal yang dirundingkan di tingkat
bawah dan menetapkan masalahmasalah yang akan dirundingkan di
masa mendatang.


WTO
adalah
organisasi
perdagangan dunia yang berfungsi
untuk mengatur dan memfasilitasi
perdagangan internasional. Tujuan
utama WTO adalah untuk
menciptakan persaingan sehat di
bidang perdagangan internasional
bagi para anggotanya, sedangkan
secara filosofis untuk meningkatkan
taraf hidup dan pendapatan,
menjamin terciptanya lapangan
kerja, meningkatkan produksi dan
perdagangan
ser ta
mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya dunia.


Struktur dibawah Ministerial
Conference
adalah
General
Council (GC) yang membawahi
lima badan antara lain Council For
Trade in Goods (CTG) yaitu badan
yang
menangani
masalah
perdagangan barang, membawahi
berbagai
komite
ditambah
Kelompok Kerja serta badan yang
khusus menangani masalah tekstil
dan pakaian jadi yaitu Textiles
Monitoring Body (TMB); Council
For Trade in Services (CTS) yaitu
badan yang membawahi satu
komite yaitu Committee Trade in

WTO dan penerapannya dapat kita
kuasai.

Financial Services ditambah
dengan tiga Negotiating Group
(NG); Council For Trade Related
Aspects of Intellectual Property
Rights (Council For TRIPs);
Dispute Setlement Body (DSB);
Trade Policy Review Body (TPRB).
GATT 1994 merupakan ketentuan
umum perjanjian multilateral yang
mengatur dasar hubungan antar
negara
dalam
melakukan
perdagangan internasional dan
bagaiman suatu negara mengatur
kebijakan perdagangan dalam
negeri yang tidak bertentangan
dengan kesepakatan dalam GATT
tersebut. Sebagai suatu peraturan
umum, GATT 1994 mengatur
masalah antara lain perlakuan non
diskriminasi, kewajiban untuk
memberikan dan mengikat tingkat
tarif, perlakuan yang sama atas
produk impor dan produk dalam
negeri, ketentuan yang mengatur
pengenaan
bea
masuk
antidumping, masalah prosedur
untuk melakukan penilaian produk
impor untuk tujuan kepabeanan,
pembatasan tindakan suatu negara
dalam
melakukan
proteksi
terhadap industri atau pasar dalam
negeri,
larangan
untuk
menerapkan suatu kebijakan yang
bersifat non-tarif, pengaturan
kewajiban suatu negara untuk
mempublikasikan semua peraturan
yang menyangkut ekspor dan
impor, dan seterusnya.
Sedangkan Marrekesh protokol
adalah dokumen hukum yang
mensahkan berlakunya konsesi tarif
yang diikat oleh tiap-tiap negara
anggota WTO pada tanggal 15
April 1994 dan berlaku sejak WTO
efektif berlaku yaitu 1 Januari
1995. Semua konsesi tarif yang
merupakan lampiran protokol ini
sifatnya sangat mengikat sehingga
tiap anggota tidak diperkenankan
merubah sewenang-wenang.
WTO atau GATT memiliki lima
prinsip dasar antara lain perlakuan
yang sama untuk semua anggota
(Most
Favoured
Nations
Treatment-MFN) yang diatur
dalam pasal I GATT 1994;
pengikatan tarif (Tariff binding)
yang diatur dalam pasal II GATT

1994 dimana setiap negara
anggota harus memiliki daftar
produk yang tingkat bea masuk
atau tarifnya harus diikat; perlakuan
nasional (National treatment) yang
diatur dalam pasal III GATT 1994
yang mensyaratkan suatu negara
tidak
diperkenankan
untuk
memperlakukan
secara
diskriminatif antara produk impor
dengan produk dalam negeri;
perlindungan hanya melalui tarif
yang diatur dalam pasal XI GATT
dan
mensyaratkan
bahwa
perlindungan atas industri dalam
negeri hanya diperkenankan
melalui tarif; perlakuan khusus dan
berbeda bagi negara-negara
berkembang
(Special
and
Differential
Treatment
for
developing countries-S& D) yang
dimaksudkan untuk memberikan
kemudahan-kemudahan
bagi
negara-negara
berkembang
melaksanakan persetujuan WTO.
Berbicara mengenai masalah
pengecualian, GATT/ WTO juga
mengatur beberapa pengecualian
antara lain dalam Pasal XXIV
GATT 1994 diperkenankan bagi
anggota WTO untuk membentuk
kerjasama perdagangan regional,
bilateral dan custom union asal
tidak merubah komitmen tiap-tiap
anggota WTO sehingga tidak
merugikan negara anggota WTO
yang lain. Kemudian dalam Pasal
XX GATT 1994 suatu negara
diperkenankan
melakukan
hambatan perdagangan dengan
alasan melindungi kesehatan
manusia, hewan, dan tumbuhtumbuhan, importasi barang yang
bertentangan dengan moral,
konservasi hutan, mencegah
perdagangan
barang-barang
pusaka atau yang bernilai budaya,
dan perdagangan emas. Sementara
itu pasal VI GATT 1994
memperkenankan pengenaan bea
masuk anti-dumping dan bea
masuk imbalan hanya kepada
perusahaan yang terbukti bersalah
melakukan
dumping
dan
mendapatkan subsidi. Dan pasal
XIX
GATT
1994
memperkenankan suatu negara
untuk mengenakan kuota atas
suatu produk impor
yang
mengalami lonjakan substansial

yang merugikan industri dalam
negeri.
Keuntungan yang didapat oleh
negara yang menandatangani
WTO adalah hak hukum untuk
tidak
diperlakukan
secara
diskriminatif oleh anggota WTO
lain, terutama untuk negara
berkembang
yang
dapat
memperjuangkan haknya, misalnya
melalui penyelesaian sengketa
WTO. Bahkan negara berkembang
ikut
menentukan
anggota
perundingan
perdagangan
internasional di masa mendatang
yang selama ini sangat didominasi
negara maju. Selain itu WTO turut
mendorong pula perdagangan hasil
per tanian yang fair, predictable
dengan
cara
mengatur
penghapusan subsidi, akses pasar
dengan
memperhatikan
kepentingan pembangunan dan
kepentingan negara-negara miskin
dan negara berkembang yang
masih merupakan net importir.
Salah satu pokok persetujuan yang
perlu
diperhatikan
adalah
Agreement on Technical Barriers
to Trade (TBT) yaitu tindakan atau
kebijakan suatu negara yang
bersifat teknis yang dapat
menghambat
perdagangan
internasional
dimana
penerapannya yang dilakukan
sedemikian
rupa
sehingga
menimbulkan suatu hambatan
perdagangan. Dengan demikian,
suatu
negara
yang
akan
mengenakan
standar
untuk
memberikan perlindungan kepada
manusia, binatang, dan tumbuhtumbuhan harus memberikan
penjelasan bahwa proteksi yang
diberikan bukan untuk melakukan
proteksi.
Dalam tataran suatu negara WTO
mengatur beberapa prinsip antara
lain mengenai tindakan atau
kebijakan yang diambil oleh
pemerintah di bidang investasi yang
mempunyai akibat terhadap
perdagangan (Trade Related
Investment Measures/ TRIMS).
Berdasarkan persetujuan TRIMs,
setiap anggota WTO tidak
diperkenankan
mengambil
tindakan di bidang investasi yang

bertentangan dengan kedua artikel
tersebut.
Sedangkan
dalam
persetujuan Custom Valuation
pihak pengelola bea dan cukai
diberi hak untuk meminta informasi
lebih lanjut jika ditemukan alasan
untuk mencurigai akurasi dari nilai
barang impor yang telah di declare.
Bagi negara yang memakai jasa
perusahaan swasta dikenal prinsip
inspeksi sebelum pengapalan
(Preshipment Inspection/ PSI) yaitu
praktek-praktek untuk memeriksa
barang-barang secara teliti dan rinci
sebelum
dikapalkan
untuk
mengamankan kepentingan negara
di
bidang
keuangan
dan
penghindaran bea masuk serta
untuk
membantu mengatasi
permasalahan kepabeanan karena
kekurang mampuan aparat bea
cukai untuk melakukannya.
Tentu inspeksi ini harus didasari
pada prinsip non diskriminasi,
transparan,
memberikan
perlindungan atas kerahasiaan
bisnis, menghindari kelambatan
pemeriksaan yang tidak perlu,
menggunakan tata cara yang telah
disepakati dalam melakukan
verifikasi harga, dan lain-lain. Di sisi
lain eksportir sebagai pihak
perusahaan swasta memiliki hakhak antara lain mendapatkan
informasi tentang prosedur yang
dilakukan perusahaan terhadap
pemeriksaan fisik, mendapatkan
perlakuan baik, dan mengajukan
banding kepada independent
review entity bilamana eksportir
tersebut tidak puas dengan
keputusan pejabat dari senior
perusahaan PSI.
Persetujuan WTO memberikan
peluang tak hanya kepada tataran
negara namun juga kepada sektor
swasta.
Persetujuan
WTO
mensyaratkan anggota WTO untuk
membuat domestic procedures
dimana pihak swasta dapat
memperjuangkan
hak
dan
kepentingannya. Misalnya importir
berhak untuk membantah nilai
tranksaksi yang diragukan oleh
pihak Bea dan Cukai. Hak-hak
dunia usaha lainnya yang penting
berdasarkan ketentuan WTO
adalah meminta authority untuk

melakukan penyelidikan dumping,
subsidi dan safeguards dan bahkan
mengusulkan untuk mengajukan
konsultasi dengan negara lain atas
kebijakan perdagangan yang
merugikannya. Bagi importir dan
eksportir akan mendapat jaminan
bahwa tarif yang akan dibiayai tidak
akan lebih tinggi dari tingkatan tarif
yang diikat sehingga bisnis mereka
dapat berjalan secara predictable
atau dapat diprediksi.
Salah satu persetujuan yang diatur
WTO adalah masalah subsidi.
Subsidi adalah suatu pemberian
(kontribusi) dalam bentuk uang atau
finansial yang diberikan oleh
pemerintah atau suatu badan
umum (public body). Kontribusi
pemerintah tersebut dapat berupa
hibah, pinjaman, dan penyertaan,
pemindahan dana atau jaminan
langsung atas hutang. Persetujuan
subsidi WTO membagi subsidi
dalam tiga kategori yaitu subsidi
yang dilarang meliputi subsidi
ekspor dan subsidi yang diberikan
kepada kandungan lokal; subsidi
yang dapat dikenai tindakan
(actionable) adalah subsidi yang
bukan subsidi ekspor; subsidi yang
tidak dapat dikenakan tindakan
(non-actionable subsidies) meliputi
subsidi untuk penelitian, lingkungan
hidup dan bantuan kepada daerah
terpencil.
Di sisi lain WTO memperhatikan
masalah yang mungkin muncul
akibat keterbukaan pasar, misalnya
dengan persetujuan safeguards
suatu negara diperkenankan untuk
mengambil tindakan sementara
untuk melindungi industri dalam
negeri dari lonjakan impor yang
substansial
dengan
cara
menghambat
impor
produk
tertentu yang terbukti merugikan
industri dalam negeri. Semua itu
dapat dilakukan dengan syarat
produk impor tersebut secara
absolut
maupun
relatif
menimbulkan kerugian atau
mengancam kelangsungan hidup
dalam negeri. Tindakan yang
dimaksud
adalah
dengan
menaikkan tingkat tarif yaitu tarif
kuota dan kuota.

WTO bahkan menghasilkan pula
persetujuan dalam hal perlindungan
hak
kekayaan
intelektual
(Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property
Rights/ TRIPs) yang diatur dalam
prinsip minimum standard . Lama
perlindungan dalam persetujuan ini
adalah patent, copyright, dan
related right, trade marks,
industrial design, layout-designs
of integrated circuit, undisclosed
information dan geographical
indications. Prinsip dasar yang
diatur persetujuan TRIPs adalah
menegaskan kembali prinsip
nasional treatment sebagai mana
diatur dalam berbagai konferensi
nasional. Persetujuan TRIPs
memberikan jangka waktu minimu
perlindungan berbeda-beda untuk
setiap hak kekayaan intelektual,
misalnya hak penyiaran diberikan
waktu selama 20 tahun dihitung
dari akhir tahun kalender dari
penyiaran
dilakukan,
dan
sebagainya.
Setiap anggota WTO diharuskan
untuk membuat suatu peraturan
tentang
tata
cara
yang
memudahkan seseorang untuk
mengajukan permohonan kepada
pihak yang berwenang agar
menangguhkan
pengimporan
barang yang dianggap sebagai
barang palsu atau barang hasil
bajakan. Persetujuan ini juga
mengatur secara tegas mengenai
masalah acara pidana dengan
sanksi dalam kasus-kasus yang
melibatkan pemalsuan merek atau
pembajakan hak cipta untuk tujuan
dagang.
Sedangkan
dalam
hal
persengketaan dagang, WTO
mengaturnya dalam artikel XXII
dan XXIII GATT 1994 dan
Understanding on Rules and
Procedures
Governing
the
Settlement of Disputs (DSU).
Pada persetujuan ini tergugat dalam
tempo 10 hari (kecuali disepakati)
harus menyampaikan jawaban atas
permintaan tersebut. Jika dalam 10
hari tidak ada jawaban untuk tidak
melakukan konsultasi dalam jangka
waktu 30 hari, pihak penggugat
dapat meminta untuk dibentuk

panel. Di samping prosedur resmi,
Dirjen WTO/ GATT berdasarkan
kapasitas sebagai pejabat tinggi
WTO
dapat
menawarkan
perdamaian kepada kedua belah
pihak yang bersengketa.
Konferensi Tingkat Menteri (KTMIV) WTO di Daha, Qatar pada
November 2001 menghasilkan 3
dokumen penting sebagai mandat
perundingan WTO saat ini yaitu
Deklarasi para menteri, yang
bertugas membuat program kerja
sampai KTM V-WTO dua tahun
mendatang dan tindak lanjut atau
pengorganisasian program kerja
tersebut, hal-hal yang sangat
penting dari segi kepentingan
Indonesia yaitu masalah pertanian,
produk bukan per tanian, dan
bantuan teknis yang dibutuhkan
negara berkembang; Keputusan
para menteri atas Implementation
Related Issues and Concern, yang
menetapkan
mandat
untuk
merundingkan semua persetujuan
dalam WTO yang dianggap masih
sulit dilaksanakan dan merugikan
negara-negara
berkembang;
masalah Hak Kekayaan Intelektual
(HaKI) dan kesehatan masyarakat,
dimana dampak negatif dari
persetujuan
HaKI
terhadap
kesehatan masyarakat adalah
penonjolan perlindungan hak atas
patent obat-obatan yang berimbas
pada mahalnya obat-obatan yang
esensial. Diharapkan dengan
adanya suatu feksibilitas bagi
Negara-negara
berkembang,
termasuk
Indonesia
untuk
melaksanakan persetujuan HaKI.
Siap atau tidak siap Indonesia telah
menjadi anggota WTO dan lebih
jauh dari itu Indonesia harus siap
dengan
segala
konsekuensi
keterbukaan
pasar.
Sangat
bijaksana jika mulai dari sekarang
Indonesia mempersiapkan semua
hal mulai dari sarana, pra sarana,
dan sumber daya manusia. Agar
antara peluang dan ancaman yang
mungkin muncul dengan adanya
WTO, kita dapat meraih peluang
yang ada secara maksimal untuk
kemajuan
perekonomian
Indonesia. (tw/ nn)

ungkin tidak kita
sadari setiap kali kita
menikmati
iklan
produk lokal di
televisi sebenarnya di
saat yang sama kita
sedang menikmati barang buatan
orang lain. Dari hasil penelitian
Komite Kebijakan Percepatan
Penyediaan Infrastruktur (KKPPI)
ternyata televisi kita banyak
menggunakan produsen luar
negeri, dalam hal ini Malaysia dan
Singapura, untuk pembuatan iklan.
Cukup memprihatinkan pangsa
pasar iklan sebesar 30 triliun
akhirnya dihabiskan di negeri orang bukan masuk kantong sendiri
. Itu hanya sebagian contoh dari
kenyataan perekonomian kita saat
ini.
Dengan alasan itu Pemerintah
merasa perlu membuat suatu
regulasi untuk memaksimalkan
penggunaan produk barang dan
jasa
dari
dalam
negeri.
Keprihatinan Pemerintah ini yang
melatarbelakangi
lahirnya
Peraturan Menteri Perindustrian
Republik Indonesia Nomor 11/ MIND/ PER/ 3/ 2006. Peraturan ini
merupakan pelaksanaan Pasal 44
Keppres Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan
Barang/ Jasa
Pemerintah yang mengacu pada
daftar inventarisasi barang/ jasa
yang termasuk produksi dalam
negeri yang didasarkan pada
kriteria tertentu, menurut bidang,
subbidang, jenis, dan kelompok
barang/ jasa.
Sosialisasi Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan
Barang/ Jasa
Pemerintah
di
lingkungan
Departemen Pekerjaan Umum
dilaksanakan Jumat (12/ 05) pagi

di
Ruang
Sapta
Taruna
Departemen Pekerjaan Umum
Jakarta. Inti acara tersebut agar
setiap stake holders diminta
meningkatkan penggunaan produk
dalam negeri. Hal ini disampaikan
Sumaryanto mewakili
Badan
Pembinaan Konstruksi Sumber
Daya Manusia saat membuka acara
Sosialisasi
Pedoman
Teknis
Penggunaan Produksi Dalam
Negeri.
Acara sosialisasi ini terselenggara
oleh kerjasama Badan Pembinaan
Konstruksi dan Sumber Daya
Manusia (BPKSDM) Departemen
Pekerjaan
Umum
dengan
Departemen
Perindustrian.
Bertindak sebagai narasumber
Abdul Halim Staf Ahli Bidang
Pemanfaatan Pengembangan dan
Pemasaran
Hasil
Industri
Departemen Perindustrian dan I
Gusti Putu Gede Suryawirawan dari
Direktorat
Industri
Metal
Departemen Perindustrian.
Abdul Halim mengatakan bahwa
selama ini industri diharapkan
sebagai salah satu penggerak
ekonomi. Keadaannya sebelum
krisis industri mampu tumbuh dua
kali hingga sebesar 10 % dari
keseluruhan ekonomi nasional
yang hanya sekitar 5-6 %. Namun
di tahun 2005 industri menurun
dan hanya dapat menampung
528.000 tenaga kerja. Sementara
konsumsi
masyarakat
sulit
diharapkan untuk penggerak
ekonomi karena
daya beli
masyarakat sangat lemah dan
belanja
pemerintah
belum
digunakan maksimal
untuk
menggunakan produksi dalam
negeri.

dipaksakan yang akhirnya hanya
berujung pada pelengkap saja.

Karena alasan itu pengaturan
penggunaan produksi dalam negeri
mutlak diperlukan dalam rangka
memberdayakan
dan
menumbuhkan industri dalam
negeri, memperluas lapangan kerja
dan mengembangkan industri
dalam negeri, dan meningkatkan
daya saing barang/ jasa produksi
dalam
negeri.
Dan
untuk
mengembangkan industri dan
meningkatkan daya saing barang/
jasa produksi dalam negeri perlu
diberikan penghargaan kepada
perusahaan yang berinvestasi dan
memberikan manfaat ekonomi
terhadap
kepentingan
perekonomian nasional. Abdul
Halim juga menjelaskan fungsi
pedoman ini agar belanja
pemerintah juga diutamakan
menggunakan produk dalam negri.
Selanjutnya I Gusti Putu Gede
Suryawirawan menekankan salah
satu poin dalam Keppres Nomor
80 Tahun 2003 mengenai Tingkat
Komponen Dalam Negeri (TKDN)
atau lokal konten yang menjadi alat
pengukuran
pengembangan
industri. Lokal konten dilihat dari
barang, jasa, dan gabungan barang
dan jasa. Seberapa besar instrumen
yang disebutkan diatas memuat
konten lokal dari negara sendiri.
Lokal konten meliputi biaya
internal langsung, biaya tenaga
kerja langsung, biaya tidak
langsung, dan biaya produksi. I
Gusti Putu Gede Suryawirawan
juga menjelaskan mekanisme
penilaian Tingkat Komponen
Dalam Negeri dicapai sebesar
minimal 25 %. Kemudian Tingkat

Komponen
Dalam
Negeri
ditambah bobot angka perusahaan
(BMP)
kalau
40%
maka
perusahaan yang berasal dari dalam
negeri akan didahulukan tanpa
menyertakan perusahaan luar
negeri. Bila tidak ada yang sampai
40 % baru diberi preferensi.
Sangat prihatin, menurut I Gusti
Putu Gede Suryawirawan, selama
ini
lokal
konten
sering
dipermainkan oleh penyedia
barang dan jasa. Hanya sebatas
untuk memenangkan tender.
Sedangkan manfaat yang akan
diperoleh dengan dilaksanakannya
pedoman teknis ini adalah
meningkatnya penggunaan produk
dalam negeri, meningkatnya
penyerapan
tenaga
kerja,
penghematan
devisa,
dan
berkurangnya
ketergantungan
terhadap produk luar negeri.
Pemerintah dalam hal ini juga
sangat berperan untuk mengangkat
produk dalam negeri. Karena itu
dalam Keppres Nomor 80 Tahun
2003,
Pemerintah
wajib
menggunakan produk dalam negeri
sebesar 15 % dalam setiap
kegiatannya. I Gusti Putu Gede
Suryawirawan memberi saran agar
pelaksanaan peraturan ini benarbenar maksimal dan terhindar dari
penyelewengan, maka seharusnya
penggunaan produk dalam negeri
dilakukan sejak perencanaan dan
saat penyelenggaraan. Sistemnya
penggunaan produk dalam negeri
memang dialokasikan dalam
keuangan. Jangan sampai ketika
pelaksanaan alokasi dana sebesar
15 % untuk produk lokal

Sementara itu tanggapan berupa
pertanyaan datang dari beberapa
peserta. Antara lain sosialisasi ini
terhitung terlambat datang, karena
proses tender telah selesai
dilakukan tinggal melakukan proses
tanda tangan. Permasalahannya
bagaimana menggunakan bantuan
atau pinjaman luar negeri tanpa
harus mengikuti aturan mereka.
Kemudian
apakah
dengan
mendahulukan perusahaan dalam
negeri dalam peraturan TKDN
tidak akan menyalahi Keppres
Nomor 80 Tahun 2003 tentang
transparansi tender, dan juga pada
masalah prioritas perusahaan
dalam negeri yang memenuhi
TKDN
40
%
dengan
mengesampingkan perusahaan
asing tidak akan menyalahi
peraturan tender yang sudah ada
selama ini.
I Gusti Putu Gede Suryawirawan
menanggapi semua pertanyaan
tersebut dengan menekankan
bahwa bagaimanapun ini semua
hanya pedoman teknis yang
pelaksanaannya akan tergantung
pada masing-masing pihak. Selain
itu Keppres nomor 80 Tahun 2003
sendiri juga memiliki point yang
menitikberatkan pada penggunaan
produk dalam negeri, sehingga
pertentangan dalam satu peraturan
yang dikhawatirkan banyak pihak,
sebenarnya tidak perlu menjadi
perdebatan
yang
patut
diperpanjang.
Akhirnya beliau menekankan agar
meskipun saat ini negara kita tidak
bisa tidak masuk ke dalam era
globalisasi, jangan sampai kita
menjadi korban globalisasi tersebut.
Bagaimanapun,
yang
akan
menentukan hidup dan matinya
ekonomi, sosial politik, bahkan
bangsa kita adalah tanggung jawab
kita bersama pula. Karenanya
cintailah produk dalam negeri,
hargailah hasil putra-putri bangsa
Indonesia.
(tw/ nn/ ags)

Konsep Dasar Pengembangan Kapasitas
Dalam Manajemen Konstruksi
Oleh : Doedoeng Z. Arifin*)

1. K
O
N
S
E
P
PEN G EM BA N G A N
KAPASITAS
Kapasitas di definisikan sebagai
kemampuan individu dan
organisasi atau unit organisasi
untuk dapat mencapai kinerja
yang efektif, efisien dan
berlanjut1 . Dari definisi tersebut
ada 3 (tiga) aspek penting yang
dapat menjelaskan mengapa
Capacity Building dalam
Manajemen
Konstruksi
diperlukan, yaitu :
a. Kapasitas bukan merupakan
keadaan
yang
pasif
melainkan suatu proses yang
terus
menerus
dan
berkelanjutan (kapasitas
dalam artian kemampuan/
kompetensi
yang
berkembang sesuai tuntutan
organisasi/ unit kerja).
b. Sumber daya manusia dan

fungsinya
di
dalam
organisasi/ institusi menjadi
elemen
utama
dalam
pengembangan kapasitas
(SDM perlu dikelola sesuai
dan selaras dengan kaidahkaidah pengelolaan SDM
sebagai suatu sistem).
c. Keterkaitan
secara
menyeluruh
dimana
organisasi/ institusi tersebut
berfungsi,
merupakan
pertimbangan pokok dalam
strategi
pengembangan
kapasitas
(strategi
pengembangan kapasitas
tidak dapat berdiri sendiri,
pengembangan kapasitas
dalam
skala
luas,
menyangkut juga sistem
yang lebih komprehensif).
Pengembangan
kapasitas
merupakan konsep yang lebih
luas dari
pengembangan

organisasi
yang meliputi
penekanan pada keseluruhan
sistem, lingkungan atau semua
yang
berkaitan,
dimana
individu,
organisasi
dan
masyarakat saling berinteraksi.
Di dalam Proceedings of the
Second UNDP Symposium on
Water Sector Capacity Building
dengan judul Water Sector
Capacity Building Concepts and
Instruments (Editors : Alaerts,
Hastvelt dan Patorni, 1999) di
kemukakan bahwa : Capacity
Building has to come be seen
as and integrating concept
combining
policy,
legal,
regulatory, institutional and
human resources issues is an
holistic
approach.
For
example,
an
institution
cannot function without welltrained staff, Well-trained staff
cannot function in a poorly

organized institution, and
neither staff nor institution
can achieve their full potential
in the absence of an enabling
policy
and
legal
environment .
Perspektif tersebut di atas
melihat
pengembangan
kapasitas bukan hanya sekedar
ditekankan pada fungsi internal
dari organisasi secara individual
atau yang disebut aspek
Mikro organisasi (antara lain;
struktur, sistem, strategi, staf,
keahlian dan lain-lain dalam
suatu organisasi), tetapi melihat
lebih kepada aspek M akro
yang meliputi perilaku dan
fungsi dari organisasi atau
individu dalam masyarakat yang
lebih luas dimana organisasi
atau individu tersebut berada.
Jadi lingkup pengembangan
kapasitas menjadi luas tidak
hanya
pengembangan
organisasi saja tetapi meliputi
kegiatan-kegiatan pelatihan
individu sampai dengan peran
dan fungsi serta keterkaitan
lembaga
dalam
sistem
masyarakat atau lingkungan
dimana individu dan lembaga
tersebut berada.
Pengembangan kapasitas perlu
dipandang sebagai proses
pembelajaran yang kompleks,
proses adaptasi dan perubahan
perilaku pada tingkat individu,
kelompok dan organisasi.
Pengembangan
kapasitas
berfokus
kepada
upaya
mendorong perubahan pola
perilaku yang berbeda dan
menanamkan perilaku dan nilainilai yang baru sesuai dengan
tuntutan perubahan.
Di sini pengembangan kapasitas
adalah suatu Proses dimana
individu, kelompok, organisasi,
institusi
dan
masyarakat
m e n g e m b a n g k a n
kemampuannya untuk bisa
berfungsi
sesuai
dengan
tuntutan
perubahan,
menyelesaikan masalah dan
mencapai tujuan dan harapan
yang telah ditentukan bersama.

Cara
pandang
tersebut
memberikan implikasi pada
bagaimana melihat isu dari
pengembangan kapasitas. Di
sini
pola
pikir
dari
pengembangan kapasitas harus
dilihat dengan pendekatan
sistem, dimana keterkaitan dan
kontribusi antar insititusi dan
stakeholder harus dilihat lebih
luas.
Keberhasilan dari program
pengembangan kapasitas dapat
dilihat dari, pertama, produk
yang merupakan pencapaian
kapasitas atau perbaikan
kapasitas secara aktual, meliputi
proses evolusi dari awal
program, kemajuan saat ini dan
kemajuan yang diharapkan.
Kedua, kinerja atau hasil nyata
yang
dicapai
program
pengembangan
kapasitas.
Ketiga, adalah keberlanjutan
dari pengembangan kapasitas
tersebut secara menerus.

2. K E R A N G K A
KEBERLAN JU T AN
PEN G EM BA N G A N
KAPASITAS
Seperti yang telah dijelaskan
diatas salah satu keberhasilan
suatu program pengembangan
kapasitas
terletak
pada

keberlanjutan dari program itu
secara menerus di kemudian
hari. Selesainya suatu proyek
pengembangan kapasitas bukan
berarti berhentinya kegiatan
untuk meningkatkan kapasitas.
Telah dijelaskan pula bahwa
pengembangan kapasitas harus
dilihat dengan pendekatan
sistem, demikian pula dengan
keberlanjutan dari program
pengembangan kapasitas yang
tidak terlepas dari masingmasing peran stakeholder
dalam sistem yang ada.
Keberlanjutan tidak hanya
dituntut dari keberlanjutan
aspek mikronya saja tetapi juga
aspek makro.
Secara menyeluruh kerangka
keberlanjutan pengembangan
kapasitas terdiri dari komponen
dasar
yang
merupakan
persyaratan
dalam
keberlanjutan suatu program
dan dimensi-dimensi yang
menentukan
program
pengembangan kapasitas dalam
sistem yang lebih luas. Secara
diagramatis
keberlanjutan
pengembangan kapasitas dapat
dilihat pada Gambar 1 .
Dari diagram tersebut di atas
dapat dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 1
Kerangka Keberlanjutan Pengembangan Kapasitas

1. Program pengembangan
kapasitas merupakan bagian
dari sistem yang lebih luas.
Dalam diagram terlihat
bahwa
program
pengembangan kapasitas di
pengaruhi oleh beberapa
dimensi dalam sistim yang
ada, yaitu; Organisasi,
Partisipasi Masyarakat dan
Kebijakan Nasional. Pada
level organisasi keberhasilan
suatu
program
pengembangan kapasitas
sangat di pengaruhi oleh visi
dan misi sebuah organisasi,
kepemimpinan,
sistem
organisasi dan infrastruktur.
Sedangkan pada level sistem
masyarakat, keterlibatan dan
partisipasi
masyarakat
merupakan
tuntutan
terhadap hasil akhir kinerja
pelayanan oleh masyarakat
melalui pelayanan jasa
konstruksi yang berkualitas.
Program pengembangan
kapasitas seperti yang telah
diuraikan diatas tidak
terlepas dari kepentingan
nasional dalam sektor
pengembangan konstruksi
secara keseluruhan, oleh
sebab itu perlu didukung
aspek legal dan kebijakan
yang
mendukung

berjalannya
tersebut.

program

2. Dalam operasionalnya suatu
program pengembangan
kapasitas harus didukung
komponen dasar yang terdiri
dari dana, sumber daya
manusia, materi/ substansi
dan networking (jejaring).
K o m p o n en - k o m p o n en
tersebut
merupakan
persyaratan berlangsungnya
kegiatan pengembangan
kapasitas yang terdiri dari 3
(tiga)
tahapan
yaitu;
Pengembangan Kapasitas,
Institusionalisasi
dan
Keberlanjutan Program.
Masing-masing
tahapan
mempunyai kegiatan berupa
Action Plan yang sesuai
dengan tujuan dari setiap
tahapan.
3. Selain kedua hal tersebut di
atas
suatu
program
pengembangan kapasitas
juga bergantung pada :
Supply side yaitu:
P e n i n g k a t a n
Kemampuan Lembaga
atau Sistem untuk
mencapai kinerja yang
baik,
memberikan
pelayanan
kepada

masyarakat
dan
stakeholder
lainnya.
Secara khusus pihak
penyedia (supply side)
harus
memperoleh
legitimasi
untuk
memp er t ah an k an
keberadaannya.
Keberadaan
dan
Legitimasi
pihak
penyedia ditentukan oleh
Demand Side yaitu;
sejauh mana kebutuhan
masyarakat
atas
pelayanan dan informasi
yang disediakan, akses
kepada perubahan dan
pengembangan
kapasitas
agar
masyarakat
dapat
memantau
dan
meningkatkan kinerja
lembaga yang melayani
mereka.
Dalam undang-undang jasa
konstruksi juga dikenal istilah
masyarakat jasa konstruksi di
damping masyarakat umum,
yaitu
masyarakat
yang
mempunyai kepentingan dan
atau
kegiatan
yang
berhubungan dengan usaha dan
pekerjaan jasa konstruksi.
Dalam konteks pengembangan
kapasitas masyarakat jasa
konstruksi,
peraturan
pemerintah mengatur bahwa
penyelenggaraannya melalui
kegiatan forum jasa konstruksi
dan melalui lembaga yang
independent dan mandiri.
Forum dan lembaga tersebut
mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya dalam upaya
menumbuh-kembangkan jasa
konstruksi nasional,
Oleh karena itu untuk
m em p er t ah an k an
keberlanjutan,
program
pengembangan kapasitas di
sektor Jasa Konstruksi harus
menyentuh semua tingkatan
dan bidang serta melibatkan
semua stakeholder.
Penulis : Kepala Sub Bagian Program,
Bagian
Perencanaan,
Sekretariat
BPKSDM

LATAR BELAKANG
Procurement atau Pengadaan
Barang dan Jasa, yang di era
Keppres Nomor 18 tahun 2000
lebih dikenal dengan istilah
Pelelangan Barang/ Jasa dan tata
cara pelaksanaannya masih
dilakukan secara manual, kini telah
beralih maju langkah - demi
langkah menuju sistem pengadaan
yang lebih canggih menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi
berbasis web (internet). Hal tersebut
seiring
dengan
perubahan
paradigma
yang
makin
berkembang serta tuntutan dunia
usaha jasa konstruksi yang
menginginkan terwujudnya sistem
pengadaan barang dan jasa yang
lebih transparan, akuntabel, efektif
dan efisien.
Pengadaan barang/ jasa dengan
menggunakan sistem e-procurement
dilingkungan
instansi
pemerintah bukanlah hal yang
baru, terutama dilingkungan
Departemen Pekerjaan Umum.
Mulai tahun 2001, Departemen
Pekerjaan Umum melalui Bapekin
yang bekerja sama dengan Pusat
Data dan
Informasi
telah
mengembangkan sebuah sistem
berbasis web yang dapat diakses
melalui jaringan internet. Sistem ini
terdiri dari tahapan-tahapan
kegiatan : Penayangan informasi
Satuan Kerja berdasarkan DIPA
dilingkungan Departemen PU yang

Sistem E-procurement
Bagi Penyedia Jasa
Oleh. Agus Raharyo, SE
terdiri dari informasi umum dan
informasi
paket
kegiatan,
Pelaksanaan Copy To Internet
(CTI), Pelaksanaan Semi e-Procurement dan Pelaksanaan e-Procurement secara Penuh (Full e-Procurement).

ment penuh adalah proses
pengadaan barang/ jasa yang
dilakukan dengan transaksi secara
penuh interaktif melalui media
elektronik
(internet)
antara
pengguna jasa dan penyedia jasa.
Penerapan Dan Peningkatan

Copy To Internet (CTI) adalah
penayangan informasi, proses dan
hasil pengadaan barang/ jasa di
Kimpraswil-net/ PU-net. Semi eprocurement adalah kegiatan
pengadaan barang/ jasa yang
sebagian prosesnya dilakukan
melalui media elektronik (internet)
secara interaktif (antara pengguna
jasa dan penyedia jasa) dan
sebagian lagi dilakukan secara
manual (konvensional). Dalam
tahap ini sudah ada transaksi
elektronik secara selektif sesuai
dengan ketentuan dan peraturan
perundangan yang berlaku.
Sistem semi e-procurement yang
telah berjalan beberapa tahun, kini
tengah memasuki penyempurnaan
menjadi
full
e-procurement
(pelaksanaan e-procurement secara
penuh). Pelaksanaan e-Procure-

Penerapan pengadaan barang/ jasa
melalui sistem e-procurement ini
dalam pelaksanaannya tidaklah semudah dan se-sederhana yang
dibayangkan. Banyak kendala dan
keterbatasan yang di temukan
dalam proses pelaksanaannya, baik
yang dialami oleh pengguna jasa
maupun penyedia jasa, seperti
terbatasnya pemahaman dari pihak
penyedia jasa dalam menggunakan
aplikasi internet. Namun hal
tersebut tidaklah mengurangi
semangat Departemen PU untuk
melaksanakan
program
kegiatannya dalam penerapan
pengadaan barang/ jasa dengan
sistem e-procurement sesuai
dengan
Instruksi
Menteri
Kimpraswil No.02/ IN/ M/ 2002
tentang Peningkatan Informasi
Pengadaan Barang/ Jasa melalui
internet dilingkungan Departemen
Kimpraswil.
Penerapan pengadaan Barang/
Jasa secara elektronik dilingkungan
Departemen Pekerjaan Umum
pada Tahun Anggaran 2005 telah
dilaksanakan dibeberapa daerah di
Pulau Jawa. Dari hasil evaluasi atas
pelaksanaan proses pengadaan
barang/ jasa secara elektronik
tersebut menunjukkan grafik yang
meningkat. Artinya, penerapan
sistem semi-e-procurement yang
dilaksanakan oleh pengguna jasa
dan penyedia jasa dalam proses
pengadaan barang/ jasa mengalami
kemajuan signifikan dan perlu
mendapat
perhatian
untuk
ditingkatkan. Dan sebagai tindak

lanjut atas pelaksanaan penerapan
pengadaan Barang/ Jasa secara
elektronik pada Tahun Anggaran
2005,
Sekretaris
Jenderal
Departemen Pekerjaan Umum
melalui Surat Edaran nomor : 01/
SE/ Sj/ 2006 tanggal 19 Januari
2006 mengharapkan perlu adanya
peningkatan
penerapan
pengadaan barang/ jasa dengan
sistem e-procurement pada satuan
kerja dilingkungan Departemen
Pekerjaan Umum yang berlokasi di
tujuh propinsi wilayah NKRI. Dan
pelaksanaan kegiatan sosialisasi
tata cara pengadaan barang/ jasa
dengan sistem e-procurement
khusus bagi penyedia jasa akan
diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan
Penyelenggaraan
Konstruksi dan SDM (BPKSDM)
melalui
Pusat
Pembinaan
Penyelenggaraan
Konstruksi.
Adapun ke tujuh propinsi tersebut
antara lain : Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan dan Gorontalo.
Kegiatan Sosialisasi
Pelaksanaan sosialisasi yang telah
diselenggarakan
oleh
Pusat
Pembinaan
Penyelenggaraan
Konstruksi BPKSDM ke beberapa
daerah propinsi, mendapat response yang cukup baik. Hal
tersebut terlihat dari antushiase dan
minat yang cukup tinggi dari
peserta, baik dari tingkat kehadiran
maupun partisipasi aktif dalam
mengikuti sosialisasi di kelas. Pihak
Dinas PU Propinsi dan LPJKD
yang telah banyak membantu dan
memfasilitasi penyelenggaraan
kegiatan tersebut juga menyambut
baik dan sangat mendukung
kegiatan sosialisasi yang banyak
memberikan wawasan baru serta
menambah kemampuan SDM
dilingkungan dunia usaha jasa
konstruksi khususnya bidang
pengadaan barang dan jasa.
Adapun materi yang diberikan
kepada Penyedia Jasa meliputi
Pengantar Kebijakan Pengadaan
Barang/ Jasa,
Kebijakan
Pengadaan Barang/ Jasa Secara
Elektronik
(E-Procurement),

Pengenalan
Aplikasi
SemiEprocurement dan Penerapan
Aplikasi sistem e-Procurement
dilingkungan
Departemen
Pekerjaan Umum. Penyedia Jasa,
pada kegiatan Sosialisasi tersebut
di ajarkan tata cara pengadaan
barang/ jasa dengan sistem e-procurement mulai dari mendapatkan
User ID dan Password, pendaftaran
peserta pengadaan, melihat
informasi paket yang dilelang, hasil
evaluasi,
sanggahan
hingga
pemenang lelang. Kepada peserta
sosialisasi, panitia juga memberikan
kesempatan sesi tanya jawab dan
bedah kasus, tentu saja seputar
proses pengadaan barang dan jasa
dengan sistem e-procurement
dilingkungan
Departemen
Pekerjaan Umum.
Usulan dan H arapan
Sebagaimana
Surat
Edaran
Sekretaris Jenderal Departemen
Pekerjaan Umum tersebut, Pusat
Pembinaan
Penyelenggaraan
Konstruksi
BPKSDM
telah
melaksanakan kegiatan sosialisasi
tata cara pengadaan barang/ jasa
instansi pemerintah dengan sistem
e-procurement bagi Penyedia Jasa
yang diselenggarakan selama bulan
Maret 2006. Dalam pelaksanaan
sosialisasi tersebut, cukup banyak
diperoleh masukan, saran maupun
kritik yang konstruktif dari para
peserta. Peserta sosialisasi yang
terdiri dari para penyedia jasa
cukup antusias dalam mengikuti
kegiatan
sosialisasi
yang
diselenggarakan di propinsinya
masing-masing. Mereka tidak saja
mengharapkan adanya sistem
pengadaan yang lebih baik, tetapi
juga menuntut adanya kesetaraan
dalam proses pengadaan barang
dan jasa antara pengguna jasa dan
penyedia jasa.
Dari ke tujuh propinsi yang telah
mendapatkan sosialisasi tersebut,
semua mengharapkan agar dapat
diadakan kembali kegiatan serupa
pada masa-masa mendatang.
Berbagai keterbatasan dari masingmasing daerah, membuat mereka
merasa mendapatkan penghargaan
yang cukup berarti dari pemerintah

pusat yang telah mengalokasikan
dana, waktu dan tenaga untuk
membagi ilmu pengetahuan dan
teknologi yang bermanfaat.
Sambutan baik tersebut juga tidak
hanya terlontar dari pihak penyedia
jasa. Pada acara penutupan
sosialisasi di salah satu propinsi,
yakni di Propinsi Bali, selaku
Pengguna Jasa yang dalam hal ini
disampaikan oleh Kepala Dinas PU
Prop. Bali Bapak Ir. Nyoman
Sudana
menyatakan
bahwa
kegiatan sosialisasi tata cara
pengadaan barang/ jasa instansi
pemerintah dengan sistem e-procurement bagi Penyedia Jasa yang
dilaksanakan di propinsi bali ini
merupakan salah satu kegiatan
yang cukup aplikatif dan amat
berguna bagi penyedia jasa
konstruksi khususnya di lingkungan
Dinas PU Propinsi Bali. Beliau
mengusulkan agar Bali selalu
mendapatkan kesempatan untuk
kegiatan serupa dimasa-masa
mendatang.
Kegiatan
Sosialisasi
yang
diselenggarakan Tahun Anggaran
2006 ini merupakan salah satu
kegiatan swakelola di lingkungan
Pusat Pembinaan Penyelenggaraan
Konstruksi,
Kegiatan
Penyelenggaraan Pengembangan
dan Pembinaan Jasa Konstruksi.
Dalam rangka tupoksi Pusat
Pembinaan
Penyelenggaraan
Konstruksi, kegiatan semacam ini
amatlah tepat untuk memberikan
pembinaan dan bimbingan kepada
pihak penyedia jasa agar bersamasama dengan pengguna jasa dapat
melaksanakan proses pengadaan
barang/ jasa sesuai ketentuan yang
diatur dalam Keputusan Presiden
RI Nomor 80 Tahun 2003 dan
telah disempurnakan dengan
Perpres Nomor 08 Tahun 2006
Tentang Perubahan Keempat Atas
Keputusan Presiden Nomor 80
Tahun 2003 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/
Jasa Pemerintah.

Staf P3JK, Pusat Pembinaan
Penyelenggaran Konstruksi - BPKSDM

NPWP dan ijin usaha.
Kemudian menurut Iwan,
untuk
perusahaan
konstruksi, data yang
diberikan akan dilakukan
pengecekan apakah yang
bersangkutan
dan
asosiasinya
terdaftar
sebagai anggota Lembaga
Pengembangan
Jasa
Konstruksi (LPJK). Setelah
selesai, maka user id dan
password akan dikirimkan
melalui email penyedia
barang/ jasa. Bagi yang
sudah memiliki user id maka
tidak perlu melakukan
registrasi ulang.
Menurut Kepala Pusdata,
Waskito Pandu, pihaknya
telah melakukan kerjasama
dengan LPJK dengan
mengintegrasikan database
LPJK dengan sistem e-proc
Departemen PU. Untuk
tetap
memberikan
pelayanan akses ke website
PU,
terus
dilakukan
peningkatan bandwidth
yang saat ini 1,5 MB
menjadi 2 MB setelah bulan
Agustus nanti.
Untuk
kecepatan akses ke website
PU seharusnya tidak ada
masalah tergantung dari
kemampuan
komputer
pengakses juga. Dengan jumlah 2.500 pengunjung
per hari, berarti tiap menitnya ada 4 orang yang
mengakses website ini, kata Waskito Pandu.

Pendaftaran USER ID
untuk Mengikuti Tender Cukup
Melalui Internet
iapa suruh datang ke Jakarta, klik aja ke
www.pu.go.id. Memang benar, anda
tidak perlu lagi datang ke kantor
Departemen Pekerjaan Umum di Jakarta
bila ingin mendaftarkan perusahaan anda
untuk dapat mengikuti pelelangan pengadaan barang/
jasa di Departemen PU. Dengan diluncurkannya
pendaftaran user id melalui internet, perusahaan
penyedia barang/ jasa dapat mendaftar hanya dengan
mengakses website PU dan memilih icon semi e-proc.
Dengan sistem pendaftaran user id secara on line
diharapkan memberi kemudahan bagi penyedia
barang/ jasa terutama di luar pulau Jawa, sehingga
tidak perlu lagi datang ke Jakarta untuk mendaftar
tetapi cukup datang ke Warnet saja kata Kepala
BPKSDM, Iwan Nursyirwan saat acara peluncuran
pendaftaran user id dan password online di Jakarta
(18/ 4).
Untuk mendapatkan user id, penyedia barang/ jasa
harus mengisi formulir diantaranya nama badan usaha,
jenis usaha, alamat, email, NRBU, akte pendirian,

Pelelangan yang dilakukan Departemen PU
menggunakan sistem semi e-proc dan e-proc plus.
Melalui sistem semi e-proc, setelah penyedia barang/
jasa mendapatkan user id secara online, pemasukan

Pengelolaan Tata Perpustakaan dan Kearsipan

Secara Profesional Mencerminkan
Keberhasilan Suatu Organisasi

penawaran masih dilakukan secara manual dengan
memasukan dokumen penawaran. Sedangkan pada
Semi e-proc plus, penawaran dilakukan dengan
mengirimkan dokumen penawaran secara manual dan
juga secara elektronik melalui internet. Untuk kotakota yang telah mempunyai sarana & prasarana
memadai kita lakukan uji coba dengan menggunakan
semi e-proc plus. Saat ini sudah ada 30 paket yang
dilelangkan dengan sistem ini jelas Pandu.
Hingga 13 April 2006 tercatat sudah 500 satuan kerja
(satker) dari 582 satker yang telah menayangkan paket
kegiatan di info proyek. Jumlah paket yang telah
ditayangkan di website PU sebanyak 9.093 paket
dengan nilai Rp12,2 triliun yang terdiri dari Rp10
triliun dari APBN dan Rp2,2 triliun dari pinjaman luar
negeri. Dari 9.093 paket, yang merupakan paket
kontrak sebanyak 5.819 dan yang merupakan
swakelola sebanyak 3.274 paket.
Dengan makin berkembangnya e-procurement di
Depar temen PU, diharapkan Waskito Pandu,
semangat e-proc yakni efisien, efektif, transparan, dan
akuntabel bisa terwujud.
Sementara itu Ketua Bidang Lingkungan Usaha LPJK,
Agus G. Kartasasmita mengatakan dengan eprocurement akan mengurangi aktivitas tatap muka
langsung antara panitia lelang dengan peserta lelang.
Kendala yang dihadapi dalam e-procurement, menurut
Agus yakni belum disahkannya draft Keppres e-proc
karena dalam Keppres No.80/ 2003 belum mengatur
prosedur e-proc. Saat ini draft yang diantaranya akan
mengatur tanda tangan elektronik, masih dibahas oleh
Kemeneg Kominfo, Kementerian Ristek dan
Bappenas. (gt)

Dalam pelaksanaan tugasnya, Sekretariat BPKSDM
berperan mewujudkan koordinasi dan sinkronisasi yang
efektif dari serangkaian kegiatan yang ada di masingmasing pusat serta pengupayaan ketersediaan dan
peningkatan sumber daya manusia dalam rangka
pencapaian tujuan strategis BPKSDM, hal tersebut
diungkapkan oleh Kepala Balai Peningkatan Keahlian
Teknik Konstruksi Keciptakaryaan Surabaya, Imam
Samudi, mewakili Sekretaris BPKSDM pada acara
pembukaan Pelatihan Penyelenggaraan Perpustakaan
dan Kearsipan/ Dokumentasi, di Surabaya.
Pelatihan yang diselenggarakan selama dua hari dari
tanggal 3 5 Mei 2006, bertujuan menciptakan dan
meningkatkan kemampuan para petugas yang
kompeten dan professional dalam menangani tata
persuratan, kearsipan dan penanganan perpustakaan,
sehingga tercipta ter tib administrasi yang dapat
dipergunakan sebagai sumber informasi yang dapat
mendukung pelaksanaan tugas rutin dan
pembangunan BPKSDM.
Lebih lanjut Imam mengatakan, bahwa penanganan
arsip secara tertib akan dapat digunakan sebagai
sumber informasi SIM Pustaka dengan entry data ke
internet www.pu.go.id yang dapat mendukung
pelaksanaan tugas BPKSDM. Selain itu diperlukan
penanganan yang intensif dari Pusat-Pusat, Balai-Balai
dan Sekretariat untuk penyebaran informasi mengenai
hasil kajian/ study baik internal BPKSDM maupun
masyarakat jasa konstruksi.
Ditegaskan pula oleh Imam, bahwa penanganan/
pengelolaan kearsipan dan perpustakaan adalah suatu
tugas yang sangat penting, karena tanpa didukung oleh
Tata Kearsipan/ Dokumentasi dan Tata Perpustakaan
yang baik, kita tidak akan dapat melaksanakan tugas

dengan efektif dan efisien. Disamping itu berhasil atau
tidaknya suatu organisasi sangat tergantung dengan
bagaimana menangani kearsipan di unitnya. Oleh
karena itu, Imam menganggap bahwa tugas
menangani arsip dan perpustakaan adalah suatu tugas
yang sangat penting dan mulia.
Peserta Pelatihan dari Sekretariat, Pusat-Pusat dan
Balai-Balai di lingkungan BPKSDM, mendapatkan
materi
meliputi,
Kebijakan
Pengembangan
Perpustakaan Khusus, Indexing dan Abstraksi
Dokumentasi Bahan Pustaka, Pratek Pembuatan
Abstraksi
Dokumentasi/ Buku
Pustaka,
Pengklasifikasian Buku , Jabatan Fungsional
Pustakawan, SIM Pustaka, Pengelolaan Arsip Inaktif,
Praktek Pengelolaan Arsip Inaktif, Pengelolaan Arsip
Aktif dan Praktek Pengelolaan Arsip Aktif.
Abstraksi Buku Perpustakaan
Dalam pembahasan abstraksi buku perpustakaan,
Kamariah Tambunan, Nara Sumber dari PDI LIPI,
menjelaskan bahwa yang paling penting untuk dilihat
dalam mengabstraksi sebuah buku adalah, Judul buku,
Pengarang, Tujuan, Lokasi, Jumlah Populasi, Metoda
dan hasil/ kesimpulan. Disamping itu dalam pembuatan
Indeksing Buku Pustaka perlu diketahui mengenai judul
buku, pengarang dan kata-kata kuncinya.
Abstraksi buku perpustakaan ada dua macam yakni,
abstraksi indikatif dan abstraksi informative. Kepala
Bagian Umum Sekretariat BPKSDM, Surtiningsih
mengatakan bahwa di BPKSDM mempunyai buku
perpustakaan sebanyak 800 buah yang harus di
abstraksi, disamping buku-buku di Pusat-Pusat dan
Balai-Balai juga mempunyai buku perpustakaan. Untuk
itu Surtiningsih minta agar dilingkungan BPKSDM
buku perpustakaannya dikelola dengan sistem SIM
Pustaka, sehingga apabila ada yang membutuhkan
buku perpustakaan bisa melihat langsung di PU-Net.
Selain itu diperlukan koordinasi antara Sekretariat,
Pusat-Pusat dan Balai-Balai dalam meng update hasil
kegiatan/ studi dan buku perpustakaan yang ada di
Unitnya masing-masing, sehingga terpenuhi kebutuhan
untuk internal BPKSDM maupun eksternal
Departemen PU.

Gapensi Provinsi Jawa Timur
Minta Kepada Pemerintah
Pusat dan Pemda Provinsi/
Kabupaten/ Kota Memfasilitasi
Penyelenggaraan Pelatihan
Pengembangan Konstruksi dan
NSPM Pembinaan Teknis Jasa
Konstruksi
Wakil Ketua Gapensi Provinsi Jawa Timur, Bambang
Sakti Widodo minta kepada Pemerintah Provinsi Jawa
Timur dan Pemerintah Pusat Cq. Badan Pembinaan
Konstruksi dan SDM (BPKSDM), Departemen PU,
memfasilitasi
Penyelenggaraan
Sosialisasi
Pengembangan Konstruksi dan Norma Standar
Pedoman Manual (NSPM) dalam Pembinaan Teknis
Penyedia Jasa Konstruksi, sehingga kedepan Penyedia
jasa dapat melakukan kegiatannya lebih profesional,
hal ini disampaikan oleh Bambang ditengah-tengah
mengikuti Sosialisasi tersebut di Surabaya (26-27/ 4).
Lebih lanjut Bambang meminta agar Sosialisasi
semacam ini lebih ditingkatkan dan peserta yang
mengikuti pembinaan ini agar betul-betul sesuai dengan
misi dan materi yang disampaikan, sehingga para
peserta dapat mengaplikasikan lebih optimal.
Menjawab pertanyaan mengenai pelaksanaan
pengadaan barang/ jasa pemerintah dengan system eprocurement on line, Bambang menjelaskan bahwa
sistem itu hanyalah sebuah perangkat untuk
mendaftarkan diri (penyedia jasa konstruksi) agar dapat
mengikuti lelang. Namun disayangkan oleh Bambang
bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur sampai saat
ini baru sampai pada taraf p