MEMPERKUAT DAYA KRITIS MASYARAKAT
MEMPERKUAT DAYA KRITIS MASYARAKAT
Dalam masa kampanye Pilpres putaran pertama kemarin masyarakat betul-betul dijadikan
obyek pembodohan. Nuansa pendidikan politik memang sedikit ada (misalnya lewat debat
terbuka), tetapi dikalahkan oleh semangat untuk menciptakan mitos juru selamat Pesona dan
sihir kata-kata diproduksi hampir setiap detik dan dibombardirkan ke arah masyarakat. Yang
dibentuk, lewat proses kampanye yang seperti ini adalah, massa pemilih emosional, bukan
massa pemilih rasional..Dan massa emosional cenderung kehilangan daya kritisnya.
Ditambah lagi dengan keluarnya jurus juru selamat secara konkret begitu vulgar, yaitu politik
bagi-bagi uang yang sangat sulit diusut dan dijadikan kasus hukum, meski banyak yang
melihat dan merasakannya.
Mungkin dalam ingatan publik politik bagi-bagi uang ini merupakan hal yang biasa
sebagaimana dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) juga hampir selalu dilakukan. Dan
siapa yang paling banyak bagi-bagi uang, dalam Pilkades, dialah yang akan muncul sebagai
pemenangnya. Keadaan ini tentu bertambah rumit dan kusut manakala para botoh atau
‘penyelenggara’ judi yang menjadikan teka-teki siapa pemenang sebuah pemilihan sebagai
taruhan. Kadang-kadang para penjudi atau penyelenggara judi taruhan ini (botoh) berani
melakukan intervensi, tanpa setahu dan tanpa koordinasi dengan tim sukses masing-masing
kandidat. Mereka nyelonong begiti saja ke tengah masyarakat, ikut bagi-bagi uang untuk
memenangkan pihak yang mereka pegang sebagai pemenang taruhan. Apakah gejala ini yang
biasa muncul dalam Pilkades ini juga terjadi secara sporadis atau secara merata terkoordinasi
di seluruh pelosok Indonesia dalam Pilpres? Kita tidak tahu pasti. Tetapi konon kabarnya
banyak yang melihat keganjilan-keganjilan yang muncul pada saat, jam-jam dan detik-detik
mendekati pemiungutan suara berlangsung. Misalnya terjadi kejar-kejaran antara Panwaslu
dengan pihak-pihak yang melancarkan gerakan bagi-bagi uang di malam menjelang
pencoblosan. Bagaimana akhirnya, kita tunggu saja nanti pada saat pengusutan kasus-kasus
yang masuk kategori money politik ini.
Betul, hasil Pilpres putaran pertama menunjukkan hal itu. Uang telah menyebabkan daya
kritis masyarakat cenderung makin menumpul. Bahkan kalau diamati, beberapa jam setelah
mencoblos banyak anggota masarakat yang dengan gembira sepertinya dan diduga
melakukan kegiatan membelanjakan perolehan uang secara diam-diam dengan datang ke
pasar-pasar dan toko-toko yang telah buka siang dan malam harinya. Atau kalau yang punya
hobi memancing, mereka memancing dengan saku terisi entah berapa rupiah.
Tugas kita setelah masa kampanye adalah mengembalikan daya kritis masyarakat, kemudian
mengembangkan dan memperkuat daya krikis itu. Sebab dengan makin kuat dan
berkembangnya daya kritis masyarakat maka pemerintahan yang akan dibentuk oleh presiden
baru nanti tidak mudah untuk bertindak seenaknya sendiri.
Masyarakat siap berteriak dan menyemprit begitu penguasa bertindak menyimpang.
Kemudian masyaakat bersama LSM dan mahasiswa dapat mendorong terjadinya perubahan
demi perubahan.
Masalahnya bagaimana sesungguhnya kondisi dan peta daya kritis masyarakat sekarang?
Bagaimana cara mempertahanankan, mengembangkan dan memperkuat daya kritis
masyarakat agar tidak menjadi bulan-bulan kebijakan pemeritnah? Siapa saja aktor-aktor
potensian yang efektif untuk memperkuat daya kritis masyarakat?
(Bahan dan tulisan: sim)
sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 15 2004
Dalam masa kampanye Pilpres putaran pertama kemarin masyarakat betul-betul dijadikan
obyek pembodohan. Nuansa pendidikan politik memang sedikit ada (misalnya lewat debat
terbuka), tetapi dikalahkan oleh semangat untuk menciptakan mitos juru selamat Pesona dan
sihir kata-kata diproduksi hampir setiap detik dan dibombardirkan ke arah masyarakat. Yang
dibentuk, lewat proses kampanye yang seperti ini adalah, massa pemilih emosional, bukan
massa pemilih rasional..Dan massa emosional cenderung kehilangan daya kritisnya.
Ditambah lagi dengan keluarnya jurus juru selamat secara konkret begitu vulgar, yaitu politik
bagi-bagi uang yang sangat sulit diusut dan dijadikan kasus hukum, meski banyak yang
melihat dan merasakannya.
Mungkin dalam ingatan publik politik bagi-bagi uang ini merupakan hal yang biasa
sebagaimana dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) juga hampir selalu dilakukan. Dan
siapa yang paling banyak bagi-bagi uang, dalam Pilkades, dialah yang akan muncul sebagai
pemenangnya. Keadaan ini tentu bertambah rumit dan kusut manakala para botoh atau
‘penyelenggara’ judi yang menjadikan teka-teki siapa pemenang sebuah pemilihan sebagai
taruhan. Kadang-kadang para penjudi atau penyelenggara judi taruhan ini (botoh) berani
melakukan intervensi, tanpa setahu dan tanpa koordinasi dengan tim sukses masing-masing
kandidat. Mereka nyelonong begiti saja ke tengah masyarakat, ikut bagi-bagi uang untuk
memenangkan pihak yang mereka pegang sebagai pemenang taruhan. Apakah gejala ini yang
biasa muncul dalam Pilkades ini juga terjadi secara sporadis atau secara merata terkoordinasi
di seluruh pelosok Indonesia dalam Pilpres? Kita tidak tahu pasti. Tetapi konon kabarnya
banyak yang melihat keganjilan-keganjilan yang muncul pada saat, jam-jam dan detik-detik
mendekati pemiungutan suara berlangsung. Misalnya terjadi kejar-kejaran antara Panwaslu
dengan pihak-pihak yang melancarkan gerakan bagi-bagi uang di malam menjelang
pencoblosan. Bagaimana akhirnya, kita tunggu saja nanti pada saat pengusutan kasus-kasus
yang masuk kategori money politik ini.
Betul, hasil Pilpres putaran pertama menunjukkan hal itu. Uang telah menyebabkan daya
kritis masyarakat cenderung makin menumpul. Bahkan kalau diamati, beberapa jam setelah
mencoblos banyak anggota masarakat yang dengan gembira sepertinya dan diduga
melakukan kegiatan membelanjakan perolehan uang secara diam-diam dengan datang ke
pasar-pasar dan toko-toko yang telah buka siang dan malam harinya. Atau kalau yang punya
hobi memancing, mereka memancing dengan saku terisi entah berapa rupiah.
Tugas kita setelah masa kampanye adalah mengembalikan daya kritis masyarakat, kemudian
mengembangkan dan memperkuat daya krikis itu. Sebab dengan makin kuat dan
berkembangnya daya kritis masyarakat maka pemerintahan yang akan dibentuk oleh presiden
baru nanti tidak mudah untuk bertindak seenaknya sendiri.
Masyarakat siap berteriak dan menyemprit begitu penguasa bertindak menyimpang.
Kemudian masyaakat bersama LSM dan mahasiswa dapat mendorong terjadinya perubahan
demi perubahan.
Masalahnya bagaimana sesungguhnya kondisi dan peta daya kritis masyarakat sekarang?
Bagaimana cara mempertahanankan, mengembangkan dan memperkuat daya kritis
masyarakat agar tidak menjadi bulan-bulan kebijakan pemeritnah? Siapa saja aktor-aktor
potensian yang efektif untuk memperkuat daya kritis masyarakat?
(Bahan dan tulisan: sim)
sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 15 2004