BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.1.1 Definisi Diare - Hubungan Kepadatan Lalat, Personal Hygiene dan Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan I Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare

  2.1.1 Definisi Diare

  Menurut Depkes RI (2011), diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih dari tiga kali dalam satu hari. Diare merupakan penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (> 3 kali sehari) disertai dengan perubahan konsistensi tinja menjadi cair atau lembek, dengan/tanpa darah dan/atau lendir (Suraatmadja, 2010).

  Menurut Irianto (2014), diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, serta frekuensinya lebih dari 3 kali sehari.

  2.1.2 Klasifikasi Diare

  Pada klasifikasi diare dapat dikelompokkan menjadi diare dengan dehidrasi berat, diare dengan dehidrasi sedang atau ringan, diare tanpa dehidrasi, diare persisten dan disentri (Hidayat, 2009): a.

  Diare dengan dehidrasi berat jika terdapat tanda seperti latergi atau mengantuk atau tidak sadar, mata cekung dan turgor kulit jelek.

  b.

  Diare dengan dehidrasi sedang atau ringan jika ditemukan tanda seperti gelisah atau rewel, mata cekung, serta turgor kulit jelek. c.

  Diare tanpa dehidrasi jika hanya ada salah satu tanda dehidrasi berat atau ringan.

  d.

  Diare persisten jika terjadi diare sudah lebih dari 14 hari.

  e.

  Disentri jika diare disertai darah pada feses dan tidak ada tanda

2.1.3 Etiologi Diare

  Diare dapat diakibatkan oleh beberapa faktor penyebab yang diklasifikasikan menjadi 6 golongan besar (Depkes RI, 2002), yaitu: a.

  Infeksi Keberadaan agen biologi yang masuk melalui makanan dan minuman kemudian bereaksi di dalam tubuh menimbulkan infeksi di dalam sistem pencernaan. Agen biologi tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok antara lain sebagai berikut: 1)

  Bakteri, seperti: Shigella, Salmonella, Entamoeba coli, golongan

  Vibrio , Bacillus aureus, Clostridium perferingens, Staphilococcus aureus , Campylobacter aeromonas.

  2) Parasit, seperti: protozoa (Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia,

  Balantidium coli , Cryptospiridium), cacing perut (Ascaris, Trichiuris , Strongyloides, Blasisitis huminis) dan jamur (Candida).

3) Virus, seperti rotavirus dan adenovirus.

  b.

  Mal absorpsi Mal absorpsi adalah kelainan fungsi usus yang menyebabkan gangguan dalam proses penyerapan nutrisi dari makanan, seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang terjadi di dalam c.

  Alergi Salah satu contoh seseorang yang mengalami laktosa intoleransi yaitu suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu membentuk laktosa dan biasanya terjadi pada bayi.

  d.

  Keracunan Keracunan disebabkan oleh racun yang dikandung dan diproduksi oleh mikroba dalam makanan, misalnya Pseudomonas cocovenenans menghasilkan racun asam bongkrek dan Clostridium botulinum biasanya mengkontaminasi pada makanan kaleng.

  e.

  Immunodefisiensi Immunodefisiensi atau penurunan daya tahan tubuh bisa menimbulkan diare, misalnya pada penderita HIV/AIDS. Diare yang biasa terjadi pada penderita HIV/AIDS adalah diare kronik.

  f.

  Sebab-sebab lain Seperti kurangnya persediaan air bersih, kurangnya fasilitas sanitasi dan higiene perorangan, serta kurangnya pemberian ASI.

  Dari 6 golongan tersebut, yang sering ditemukan di lapangan adalah diare yang disebabkan oleh infeksi dan keracunan (Depkes RI, 2002).

2.1.4 Tanda dan Gejala Diare

  lain: a.

  Gejala umum 1) Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare. 2) Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut. 3) Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare. 4)

  Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun, apatis bahkan gelisah.

  b.

  Gejala spesifik 1)

  Vibrio cholera: diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau amis.

  2) Disentriform: tinja berlendir dan berdarah.

2.1.5 Epidemiologi Diare

  Epidemiologi penyakit diare adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2005): 1)

  Penyebaran kuman yang menyebabkan diare biasanya menyebar melalui fecal oral, antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan/atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak memberikan ASI secara penuh 4 atau 6 bulan pada kehidupan pertama, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, mengkonsumsi air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan anak atau sebelum makan atau menyuapi anak dan tidak membuang tinja dengan benar.

2) Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare.

  Beberapa faktor pada pejamu yang dapat meningkatkan beberapa penyakit dan lamanya diare, yaitu tidak memberikan ASI sampai dua tahun, kurang gizi, campak, immunodefisiensi dan secara proporsional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita.

  3) Faktor lingkungan dan perilaku. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare.

2.1.6 Pencegahan Diare

  Pencegahan menurut Pedoman Tatalaksana Diare Depkes RI (2006), adalah sebagai berikut: 1)

  Pemberian ASI ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI juga memberikan perlindungan terhadap diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian ASI eksklusif mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol.

  Flora usus pada bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh pada 6 bulan pertama kehidupan, risiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar.

  Pemberian susu formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi buruk.

  2) Pemberian Makanan Pendamping ASI

  Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat dimana bayi secara bertahap mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya risiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian.

  3) Menggunakan Air Bersih yang Cukup

  Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal-oral. Hal tersebut dapat ditularkan dengan memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar.

  4) Mencuci Tangan

  Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah menyuapi anak dan sebelum makan, mempunyai pengaruh dalam kejadian diare. 5)

  Menggunakan Jamban Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban dan keluarga harus buang air besar di jamban.

2.1.7 Pengobatan Diare

  Pengobatan pada penyakit diare dapat dilakukan dengan 2 terapi, yaitu (Wijoyo, 2013): 1)

  Terapi Nonfarmakologi a.

  Terapi Rehidrasi Oral Bahaya utama diare terletak pada dehidrasi, maka penanggulangannya dengan cara mencegah timbulnya dehidrasi dan rehidrasi intensif bila terjadi dehidrasi. Rehidrasi adalah upaya menggantikan cairan tubuh yang keluar bersama tinja dengan cairan yang memadai seperti oral atau parental. Cairan rehidrasi yang dipakai oleh masyarakat biasanya seperti air kelapa, air susu ibu, air teh encer, air taji, air perasan buah dan larutan garam dan gula. Pemakaian cairan ini di titik beratkan pada pencegahan timbulnya dehidrasi, bila terjadi dehidrasi sedang atau berat sebaiknya diberi oralit. Oralit

  Larutan oralit yang lama tidak dapat menghentikan diare. Hal ini disebabkan formula oralit lama dikembangkan dari kejadian

  outbreak diare di Asia Selatan yang disebabkan oleh bakteri. Hal

  tersebut menyebabkan berkurangnya lebih banyak elektrolit tubuh terutama natrium pada diare yang lebih banyak dijumpai belakangan ini adalah diare karena virus. Karenanya para ahli mengembangkan formula baru dengan tingkat osmoralitas yang lebih rendah.

  2) Terapi Farmakologi

  Selain menggunakan cara pengobatan nonfarmakologi, pengobatan diare menggunakan obat-obatan seperti loperamida, defenoksilat, kaolin, karbon adsorben, attapulgite, dioctahedral smectite, pemberian zink dan antimikroba sangat diperlukan.

2.2 Lalat

2.2.1 Pengertian Lalat

  Lalat termasuk filum arthropoda, kelas insekta, ordo diptera, dan famili muscidae. Lalat memiliki panjang bervariasi antara beberapa milimeter (drosophile) sampai 1,5 cm (lalat rumah) atau 2 cm. Lalat termasuk salah satu binatang yang paling banyak tersebar di seluruh dunia. Lalat hanya mempunyai sepasang sayap. Mulutnya berbentuk “belalai” yang dapat memanjang dan digunakan untuk menyedot cairan manis yang menjadi makanannya. Pada beberapa spesies seperti lalat hitam atau lalat tse-tse, belalai tersebut cukup kuat untuk menembus kulit binatang dan Lalat terbang dan suka menempel pada kotoran. Oleh karena itu, lalat dapat menyebarkan mikroba yang mengakibatkan penyakit berbahaya (De Becker, 2007).

  Lalat juga merupakan spesies yang berperan dalam masalah kesehatan masyarakat yaitu sebagai vektor penularan penyakit saluran pencernaan seperti kolera, typhus, disentri dan lain-lain. Pada saat ini dijumpai ± 60.000-100.000 spesies lalat, tetapi tidak semua spesies perlu diawasi karena beberapa diantaranya tidak berbahaya terhadap kesehatan masyarakat (Santi, 2001).

  Menurut Kusnoputranto dalam Wijayanti (2009), lalat mempunyai sifat kosmopolitan yang artinya kehidupan lalat dijumpai merata hampir diseluruh permukaan bumi. Diperkirakan di seluruh dunia terdapat lebih kurang 85.000 jenis lalat, tetapi semua jenis lalat terdapat di Indonesia.

  Jenis lalat yang paling banyak merugikan manusia adalah jenis lalat rumah (Musca domestica), lalat hijau (Lucilia sertica), lalat biru (Calliphora

  vomituria ) dan lalat latrine (Fannia canicularis). Lalat juga merupakan

  spesies yang berperan dalam masalah kesehatan masyarakat yaitu sebagai vektor penularan penyakit saluran pencernaan. Vektor adalah arthropoda yang dapat memindahkan atau menularkan agent infection dari sumber infeksi kepada host yang rentan.

  Lalat sering hidup di antara manusia dan sebagian jenis dapat menyebabkan penyakit yang serius. Lalat disebut sebagai penyebar kurang lebih 125.000 kuman jatuh ke tempat tersebut. Lalat sangat mengandalkan penglihatan untuk bertahan hidup. Mata majemuk lalat terdiri atas ribuan lensa dan sangat peka terhadap gerakan. Beberapa jenis lalat memiliki penglihatan tiga dimensi yang akurat (Suska, 2007).

  Menurut Depkes RI (2001), penularan penyakit oleh lalat terjadi secara mekanis, dimana bulu-bulu badannya, kaki-kaki serta bagian tubuh yang lain dari lalat merupakan tempat menempelnya mikroorganisme penyakit yang dapat berasal dari sampah, kotoran manusia dan binatang.

  Bila lalat tersebut hinggap ke makanan manusia, maka kotoran tersebut akan mencemari makanan yang akan dimakan oleh manusia sehingga akhirnya akan timbul gejala sakit pada manusia yaitu sakit pada bagian perut serta lemas. Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh lalat antara lain disentri, kolera, thypus perut, diare dan lainnya yang berkaitan dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk.

2.2.2 Siklus Hidup Lalat

  Dalam kehidupan, lalat dikenal memiliki 4 (empat) tahapan yaitu mulai dari telur, larva, pupa dan dewasa.

Gambar 2.1 Siklus Hidup Lalat

  Berdasarkan Depkes RI (2001), siklus hidup lalat dibagi menjadi 4 stadium: 1)

  Stadium pertama (stadium telur) Bentuk telur lonjong, bulat dan berwarna putih dengan panjang kurang lebih 1 mm. Setiap bertelur, lalat akan menghasilkan 120-130 butir telur dan akan menetas dalam waktu 8-16 jam. Pada suhu rendah dibawah 12-13°C telur tidak akan menetas.

Gambar 2.2 Telur Lalat

  2) Stadium kedua (stadium larva)

  Telur yang menetas akan menjadi larva yang berwarna putih kekuningan dengan panjang 12-13 mm. Lama stadium ini 2-8 hari tergantung pada temperatur setempat. Larva ini selalu bergerak larva lalat adalah 30-35°C.

Gambar 2.3 Larva Lalat

  3) Stadium ketiga (stadium pupa)

  Akhir dari fase larva ini berpindah tempat dari yang banyak makanan ke tempat yang dingin guna mengeringkan tubuhnya, setelah itu berubah menjadi kepompong yang berwarna coklat tua, panjangnya sama dengan larva dan tidak bergerak. Fase ini berlangsung pada musim panas 3-7 hari pada temperatur ± 35°C.

Gambar 2.4 Pupa Lalat

  4) Stadium keempat (stadium dewasa)

  Stadium ini dimulai dari keluarnya lalat muda yang sudah dapat terbang antara 400-900 m. Siklus hidup dari telur hingga menjadi lalat dewasa adalah 6-20 hari. Lalat dewasa panjangnya lebih kurang ¼ inci dan mempunyai 4 garis yang agak gelap dipunggungnya. Pada kondisi normal, lalat betina dewasa dapat bertelur sampai lima kali dan umumnya umur lalat sekitar 2-3 minggu tetapi pada kondisi yang lebih sejuk bisa sampai 3 bulan. Lalat tidak kuat terbang menantang arah angin.

Gambar 2.5 Lalat Dewasa

2.2.3 Pola Hidup Lalat

  Pola hidup lalat terbagi menjadi beberapa bagian. Adapun pola hidup lalat adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2001): 1)

  Tempat Peristirahatan beristirahat di tempat-tempat yang sejuk seperti di dinding, lantai, rumput dan tempat-tempat sejuk lainnya. Lalat juga suka dengan tempat yang berdekatan dengan makanan serta terlindung dari angin dan matahari terik. Di dalam rumah, lalat beristirahat pada pinggiran tempat makan, kawat listrik dan tidak aktif pada malam hari. Tempat hinggap lalat biasanya pada ketinggian tidak lebih dari 5 m. 2)

  Tempat Perindukan Tempat perindukan yang disenangi oleh lalat adalah tempat yang basah seperti sampah basah (organik), kotoran binatang, tumbuh- tumbuhan busuk.

  a.

  Kotoran hewan Tempat perindukan lalat yang paling utama adalah pada kotoran hewan yang lembab dan masih baru (normalnya lebih kurang satu minggu).

  b.

  Sampah dan sisa makanan dari hasil olahan Lalat suka hinggap dan juga berkembang biak baik pada sampah, sisa makanan, serta buah-buahan yang ada di dalam rumah maupun di pasar. c.

  Kotoran organik Lalat berkembang biak pada kotoran organik seperti kotoran hewan dan kotoran manusia.

  d.

  Air kotor 3)

  Kebiasaan Makan Lalat dewasa sangat aktif sepanjang hari, dari makanan yang satu ke makanan yang lain. Lalat suka dengan kotoran serta darah dan lalat juga sangat tertarik pada makanan yang dimakan oleh manusia sehari- hari seperti buah-buahan, gula, susu dan makanan lainnya.

  4) Lama Hidup Pada musim panas, lalat dapat bertahan hidup antara 2-4 minggu.

  Pada musim dingin, lalat dapat bertahan hidup sampai 70 hari. 5)

  Temperatur Lalat mulai terbang pada temperatur 15°C dari aktifitas optimumnya pada temperatur 21°C. Pada temperatur di bawah 7,5°C lalat tidak aktif dan diatas 45°C terjadi kematian. 6)

  Kelembaban Kelembaban erat kaitannya dengan temperatur setempat.

  7) Cahaya

  Lalat merupakan serangga yang bersifat fototrofik, yaitu menyukai cahaya. Pada malam hari lalat tidak aktif, namun dapat aktif dengan adanya sinar buatan.

2.2.4 Penyakit yang Disebabkan Oleh Lalat

  Lalat merupakan vektor mekanis jasad-jasad patogen terutama penyebab penyakit usus dan bahkan beberapa spesies khususnya lalat rumah dianggap sebagai vektor thypus abdominalis, salmonellosis,

  Chrysops dihubungkan dengan penularan parasit filaria loa-loa dan pasteurella tularensis penyebab tularemia pada manusia dan hewan

  (Sucipto, 2011).

  Secara lebih detail, Sucipto (2011) menjelaskan beberapa penyakit yang disebabkan oleh lalat antara lain: 1)

  Disentri, dengan gejala sakit pada bagian perut, lemas karena terhambat peredaran darah dan pada kotoran terdapat mucus dan push.

  2) Diare, dengan gejala sakit pada bagian perut, lemas dan pencernaan terganggu. Disentri dan diare termasuk penyakit karena Shigella spp atau diare bisa juga karena Eschericia coli.

  3) Thypoid, gejala sakit pada bagian perut, lemas dan pencernaan terganggu, penyebabnya adalah Salmonella spp.

  4) Kolera, gejala muntah-muntah, demam, dehidrasi, penyebabnya adalah Vibrio cholera .

  5) Pada beberapa kasus, sebagai vektor penyakit lepra dan yaws (Frambusia atau Patek).

  6) Kasus kecacingan pada manusia dan hewan juga banyak ditularkan oleh lalat rumah, lalat hijau dan Sarcophaga spp. Misalnya seperti cacing jarum atau cacing kremi (Enterobius vermin cularis), cacing giling (Ascaris lumbricoides), cacing kait (Anclyostoma sp., Necator), cacing pita (Taenia, Dypilidium caninum), cacing cambuk (Trichuris

  trichiura ).

  Belatung lalat Musca domestica, Chrysomya dan Sarchopaga dapat juga menyerang jaringan luka pada manusia dan hewan. Infestasi ini disebut myasis atau belatungan.

2.2.5 Kepadatan Lalat

  Upaya untuk menurunkan populasi lalat adalah sangat penting, mengingat dampak yang ditimbulkan oleh lalat itu sendiri. Untuk itu sebagai salah satu cara penilaian baik buruknya suatu lokasi adalah dilihat dari angka kepadatan lalatnya. Dalam menentukan kepadatan lalat, pengukuran terhadap populasi lalat dewasa lebih tepat dan biasa diandalkan daripada pengukuran populasi larva lalat.

  Tujuan dari pengukuran angka kepadatan lalat adalah untuk mengetahui tentang: Tingkat kepadatan lalat

  • Sumber-sumber tempat berkembang biaknya lalat
  • Jenis-jenis lalat
  • Lokasi pengukuran kepadatan lalat adalah yang berdekatan dengan kehidupan atau kegiatan manusia karena berhubungan dengan kesehatan manusia, antara lain (Depkes RI, 2001):

  Pemukiman penduduk

  • Tempat-tempat umum (pasar, terminal, rumah makan, hotel dan sebagainya)

  • Lokasi sekitar Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sampah yang berdekatan dengan pemukiman

  Lokasi sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang berdekatan dengan pemukiman Untuk mengetahui angka kepadatan lalat di suatu wilayah dilakukan dengan cara mengukur angka kepadatan lalat. Pengukuran populasi lalat hendaknya dapat dilakukan pada:

  • Setiap kali dilakukan pengendalian lalat (sebelum dan sesudah)
  • Memonitoring secara berkala yang dilakukan sedikitnya 3 bulan sekali

  Ada beberapa cara yang digunakan untuk mengukur tingkat kepadatan lalat, antara lain (Balittro, 2008): 1)

  Perangkap Model 1 Perangkap model ini dibuat dari bahan sederhana, yaitu botol plastik bekas kemasan air 600 ml. Sepertiga bagian kepala botol dipotong, kemudian potongan dimasukkan ke botol dengan mulut botolnya dibuka. Bagian depan dan belakang botol diikat segumpal kapas yang ditetesi 2-4 ml metil eugenol, kemudian botol diisi dengan air seperempat bagian (jangan sampai mengenai kapas). Dengan adanya air, lalat yang masuk ke dalam botol akan tenggelam dan mati. Perangkap dipasang agak miring agar air tidak tumpah.

  Dalam waktu satu minggu, perangkap ini dapat menjebak 50-150 ekor lalat. Keunggulan dari perangkap model ini adalah menggunakan bahan yang murah dan mudah diperoleh, cara membuatnya pun cukup mudah dan dapat dibawa ke lapangan. Kelemahannya yaitu kalau merendam kapas yang mengandung metil eugenol, akibatnya perangkap tidak berfungsi. Oleh karena itu, sebaiknya setelah turun hujan dilakukan pengecekan untuk mengetahui kondisi perangkap.

Gambar 2.6 Perangkap Model 1

  2) Perangkap Model 2

  Bahan yang digunakan untuk membuat perangkap model 2 adalah toples plastik bertutup dengan tinggi 8-10 cm dan diameter 14 cm.

  Bagian pinggir toples diberi tiga buah lubang bulat sebagai tempat untuk menempelkan corong plastik kecil. Tangkai corong dimasukkan ke dalam lubang toples yang direkatkan sedemikian rupa sehingga corong tidak jatuh. Pada bagian tengah toples digantungkan segumpal kapas yang telah ditetesi metil eugenol. Bagian atas perangkap dipasang tiga buah kawat untuk menggantungkannya di pohon.

  Aroma yang ditimbulkan akan menarik lalat untuk masuk ke dalam toples melalui corong. Lalat yang telah masuk tidak dapat keluar lagi, kemudian akan mati dengan sendirinya. Agar lalat cepat mati, masukkan satu butir kapur barus (kamper) ke dalam toples. membuang lalat yang sudah kering. Lalat yang tertangkap dalam waktu 2 bulan dapat mencapai 600-800 ekor. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.7 Perangkap Model 2

  3) Perangkap Model 3

  Perangkap dibuat dari toples plastik dengan ukuran tinggi 13 cm dan diameter alasnya 12 cm. Tutup toples dilubangi sesuai ukuran gelas plastik bekas kemasan air mineral. Dalam gelas plastik dipasang corong kecil yang menghadap ke bawah atau ke botol dan tangkai corong dipotong sebatas pangkalnya. Toples dicat warna gelap, hitam atau abu-abu. Pada bagian tepinya dibuat lubang dengan lebar 0,6 cm dan panjang 4 cm sebanyak 3 buah dengan jarak yang sama. Kapas yang ditetesi atraktan digantungkan pada lubang corong, sehingga kapas berada dalam toples gelas (2/3 tinggi toples). Pada leher toples diberi ikatan kawat untuk menggantungkan perangkap di pohon.

  Lalat yang tertarik atraktan akan masuk melalui lubang toples yang dicat gelap. Lalat tidak menyukai keadaan gelap sehingga lalat akan plastik. Untuk mempercepat kematian lalat, masukkan satu butir kapur barus (kamper) ke dalam gelas plastik. Jumlah lalat yang tertangkap mencapai 50-100 ekor lalat tiap minggu atau rata-rata 7-15 ekor/hari.

Gambar 2.8 Perangkap Model 3

  4) Scudder Grill

  Scudder grill adalah metode yang secara luas digunakan untuk

  memperkirakan kepadatan lalat rumah. Terdiri dari bingkai kayu yang biasanya dicat warna putih dengan bilah kayu sebanyak 16-24 dengan panjang 61 cm. Scudder grill diletakkan di atas umpan, misalnya sampah atau kotoran hewan, lalu dihitung jumlah lalat yang hinggap di atas scudder grill itu dengan menggunakan hand counter (alat penghitung) (Marquardt, 2004).

  5) Sticky Trap

  Pemasangan sticky trap dilakukan untuk menjebak lalat dalam

  

sticky trap dilakukan selama 24 jam. Populasi lalat yang tertangkap

  pada sticky trap dihitung dengan menggunakan hand counter (alat penghitung).

  6) Fly Grill

  Fly grill dapat dibuat dari bilah-bilah kayu yang lebarnya 2 cm dan

  tebalnya 1 cm dengan panjang masing-masing 80 cm sebanyak 16-24 dan dicat warna putih. Bilah-bilah yang telah disiapkan dibentuk berjajar dengan jarak 1-2 cm pada kerangka kayu yang telah disiapkan dan pemasangan bilah kayu pada kerangka sebaiknya memakai sekrup sehingga dapat dibongkar pasang. Fly grill dipakai untuk mengukur tingkat kepadatan lalat dengan cara meletakkan fly grill ditempat yang akan diukur kepadatan lalatnya lalu dihitung jumlah lalat yang hinggap di atas fly grill itu dengan menggunakan hand counter (alat penghitung) selama 30 detik. Sedikitnya pada setiap lokasi dilakukan 10 kali perhitungan kemudian dari 5 kali hasil perhitungan lalat yang tertinggi dibuat rata-ratanya dan dicatat dalam lembar hasil perhitungan.

  Hasil rata-rata pengukuran ini kemudian diinterpretasi dengan satuan block grill. Berdasarkan Depkes RI (2001), interpretasi hasil pengukuran dengan satuan block grill adalah sebagai berikut: a. : rendah atau tidak menjadi masalah.

  0 – 2 3 – 5 tempat perkembangbiakan lalat.

  c. : tinggi atau populasi cukup padat, perlu 6 – 20 pengamanan terhadap tempat-tempat perindukan lalat dan bila mungkin direncanakan upaya pengendalian.

  d. : sangat tinggi sehingga perlu dilakukan ≥ 21 pengamanan terhadap tempat-tempat perkembangbiakan lalat dan pengendalian lalat.

Gambar 2.9 Fly grill

2.3 Personal Hygiene

2.3.1 Pengertian Personal Hygiene

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014), higiene diartikan sebagai ilmu tentang kesehatan dan berbagai usaha untuk mempertahankan

  personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya

  perorangan dan hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis.

  Personal hygiene merupakan perawatan diri sendiri yang dilakukan

  untuk mempertahankan kesehatan baik secara fisik maupun psikologis (Hidayat, 2006). Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa

  personal hygiene merupakan kegiatan atau tindakan membersihkan

  seluruh anggota tubuh yang bertujuan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang.

  Menurut Maharani dan Yusiana (2013), salah satu faktor penyebab diare pada balita adalah makanan yang terkontaminasi dan umumnya karena higiene perorangan yang buruk dalam pengolahan makanan yang dilakukan oleh pengasuh balita khusunya ibu.

  Higiene perorangan merupakan ciri berperilaku hidup sehat. Beberapa kebiasaan berperilaku hidup sehat antara lain seperti kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah BAB dan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan (Depkes RI, 2006).

2.3.2 Macam-Macam Personal Hygiene

  Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010), personal hygiene dibagi menjadi:

1. Perawatan kulit kepala dan rambut

  Perawatan mata 3. Perawatan hidung 4. Perawatan telinga 5. Perawatan kuku kaki dan tangan 6. Perawatan genitalia 7. Perawatan kulit seluruh tubuh 8. Perawatan tubuh secara keseluruhan

  2.3.3 Tujuan Perawatan Personal Hygiene

  Tujuan dari perawatan personal hygiene antara lain (Tarwoto dan Wartonah, 2010): 1.

  Meningkatkan derajat kesehatan seseorang 2. Memelihara kebersihan diri seseorang 3. Memperbaiki personal hygiene yang kurang 4. Pencegahan diri dari penyakit 5. Meningkatkan kepercayaan diri seseorang 6. Menciptakan keindahan

  2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Personal Hygiene

  Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010), ada beberapa faktor yang memengaruhi personal hygiene seperti:

  1. Citra tubuh Gambaran individu terhadap dirinya sangat memengaruhi kebersihan diri. Misalnya, karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli terhadap kebersihannya. Praktik sosial

  Pada anak-anak yang selalu dimanja dalam hal kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.

  3. Status sosioekonomi

  

Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta

  gigi, sikat gigi, sampo dan alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk memperolehnya.

  4. Pengetahuan Pengetahuan tentang personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes melitus yang harus selalu menjaga kebersihan kakinya.

  5. Budaya Sebagian masyarakat menganggap jika individu menderita penyakit tertentu, maka individu tersebut tidak boleh mandi.

  6. Kebiasaan seseorang Beberapa orang memiliki kebiasaan seperti menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sampo, sabun dan lain-lain.

7. Kondisi fisik

  Pada keadaan sakit, tentu kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.

2.3.5 Dampak yang Sering Timbul pada Masalah Personal Hygiene

  personal hygiene yang kurang, maka dirinya akan dengan mudah terkena

  penyakit. Penyakit merupakan dampak dari kurangnya personal hygiene pada seseorang. Berikut dampak yang sering timbul pada masalah

  personal hygiene menurut Tarwoto dan Wartonah (2010): 1.

  Dampak fisik Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan fisik yang sering terjadi adalah gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga, serta gangguan fisik pada kuku.

2. Dampak psikososial

  Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.

2.3.6 Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Sabun Setelah Buang Air Besar

  Menurut Depkes RI (2007), mencuci tangan adalah proses yang secara mekanis melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air. Kegiatan mencuci tangan sangat penting untuk bayi, anak-anak, penyaji makanan di restoran atau warung serta orang-orang yang merawat dan mengasuh anak. Setiap tangan kontak dengan feses, urin atau dubur sesudah buang air besar (BAB) maka harus dicuci pakai sabun dan kalau bisa disikat. terkontaminasi dapat memindahkan bakteri atau virus patogen dari tubuh, feses atau sumber lain ke makanan. Oleh karenanya kebersihan tangan dengan mencuci tangan perlu mendapat prioritas tinggi walaupun hal tersebut sering disepelekan. Pencucian dengan sabun sebagai pembersih serta penggosokkan dan pembilasan dengan air mengalir akan menghanyutkan partikel kotoran yang banyak mengandung mikroorganisme.

2.3.7 Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Sabun Sebelum Makan

  Tangan merupakan bagian dari tubuh manusia yang sangat sering menyebarkan infeksi. Tangan terkena kuman sewaktu kita bersentuhan dengan bagian tubuh sendiri, tubuh orang lain, hewan, atau permukaan yang tercemar. Walaupun kulit yang utuh akan melindungi tubuh dari infeksi langsung, kuman tersebut dapat masuk ke tubuh ketika tangan menyentuh mata, hidung, atau mulut. Oleh karena itu sangat penting untuk diketahui dan diingat bahwa perilaku cuci tangan pakai sabun termasuk perilaku sehat yang sangat efektif untuk mencegah penyebaran berbagai penyakit menular seperti diare (Anggrainy, 2010).

  Menurut Rompas, Tuda dan Ponidjan (2013), cuci tangan belum menjadi budaya yang dilakukan masyarakat luas di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari saja masih banyak yang mencuci tangan hanya dengan air sebelum makan, cuci tangan dengan sabun justru dilakukan yang menjadi perilaku sehat dan baru dikenal pada akhir abad ke 19. Tangan yang kotor dapat memindahkan bakteri dan virus patogen dari tubuh, feses atau sumber lain ke makanan. Oleh karena itu kebersihan tangan dengan mencuci tangan perlu mendapat prioritas yang tinggi walaupun hal tersebut sering disepelekan.

  Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air bersih dan sabun oleh manusia agar menjadi bersih dan juga memutuskan mata rantai kuman. Perilaku sehat cuci tangan pakai sabun yang merupakan salah satu Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), saat ini juga telah menjadi perhatian dunia. Hal ini karena masalah kurangnya praktek perilaku cuci tangan tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang saja, tetapi ternyata di negara-negara maju pun kebanyakan masyarakatnya masih lupa untuk melakukan perilaku cuci tangan (Anggrainy, 2010).

  Cara mencuci tangan yang baik dan benar adalah sebagai berikut (Proverawati dan Rahmawati, 2012):

  1. Cuci tangan dengan air yang mengalir dan gunakan sabun. Tidak perlu harus sabun khusus antibakteri, namun lebih disarankan sabun yang berbentuk cairan.

  2. Gosok tangan setidaknya selama 15-20 detik.

  Bersihkan bagian pergelangan tangan, punggung tangan, sela-sela jari dan kuku.

  4. Basuh tangan sampai bersih dengan air yang mengalir.

  5. Keringkan dengan handuk bersih atau alat pengering lain.

  6. Gunakan tisu atau handuk sebagai penghalang ketika mematikan keran air.

Gambar 2.10 Langkah-langkah Mencuci Tangan Menurut Tietjen (2004), mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak di tempat basah juga air yang menggenang, maka apabila menggunakan sabun batangan sediakan sabun batangan yang berukuran kecil dalam tempat sabun yang kering. Hindari mencuci tangan di baskom berisi air walaupun telah ditambahkan antiseptik karena mikroorganisme dapat bertahan dan berkembang biak pada larutan ini.

  Apabila menggunakan sabun cair, jangan menambahkan sabun jika terdapat sisa sabun pada tempatnya. Penambahan dapat menyebabkan kontaminasi bakteri pada sabun yang baru dimasukkan. Apabila tidak tersedia air mengalir, gunakan ember dengan kran yang dapat dimatikan sementara menyabuni kedua tangan dan buka kembali untuk membilas atau gunakan ember dan kendi/teko (Ray dkk, 2011).

2.3.8 Kebiasaan Buang Air Besar

  Buang air besar (BAB) merupakan bagian yang penting dari ilmu perilaku dan kesehatan masyarakat. Pembuangan tinja yang memenuhi syarat merupakan suatu kebutuhan kesehatan masyarakat, yang selalu bermasalah (setidaknya sampai saat ini), diakibatkan perilaku buang air besar yang tidak sehat. Perilaku buang air besar yang tidak sehat ini misalnya buang air besar di sungai yang menjadi sarang penularan penyakit, buang air besar di pekarangan atau tanah terbuka, buang air besar di parit atau selokan, buang air besar di saluran irigasi sawah dan buang air besar di pantai atau laut. Tempat-tempat ini adalah tempat yang tidak layak dan tidak sehat untuk buang air besar karena dapat menimbulkan masalah baru yang dapat membahayakan kesehatan manusia (Kusnoputranto, 2001).

  Tinja atau kotoran manusia merupakan media sebagai tempat berkembang dan berinduknya bibit penyakit menular misalnya seperti sembarang tempat maka bibit penyakit tersebut akan menyebar luas ke lingkungan dan akhirnya akan masuk ke dalam tubuh manusia serta berisiko menimbulkan penyakit pada seseorang dan bahkan menjadi wabah penyakit pada masyarakat yang lebih luas (Daryanto, 2004).

  Pertambahan penduduk yang tidak sebanding dengan area pemukiman menyebabkan masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari segi kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah yang pokok untuk sedini mungkin diatasi. Kotoran manusia (feces) merupakan sumber penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit yang bersumber pada feces dapat melalui berbagai macam cara. Beberapa penyakit yang dapat disebabkan oleh tinja manusia antara lain tifus, disentri, diare, kolera, schistosomiasis dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

2.4 Sanitasi Dasar

  Berdasarkan Kamus Ringkas Oxford dalam Franceys (1992), sanitasi mengacu pada semua kondisi yang mempengaruhi kesehatan, terutama yang berkaitan dengan kotoran dan infeksi dan khusus untuk saluran air, pembuangan limbah dan sampah dari rumah tangga.

  Sanitasi dasar merupakan salah satu persyaratan dalam rumah sehat. Sarana sanitasi dasar berkaitan langsung dengan masalah kesehatan terutama masalah kesehatan lingkungan. Sarana sanitasi dasar menurut Depkes RI (2002), yaitu meliputi penyediaan air bersih, jamban,

2.4.1 Sarana Air Bersih

  Menurut Permenkes Nomor 416 Tahun 1990, definisi air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah direbus terlebih dahulu.

  Air sangat penting bagi kehidupan manusia karena sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci (bermacam- macam cucian) dan sebagainya. Menurut penelitian WHO di negara- negara maju, setiap orang memerlukan air antara 60-120 l per hari. Masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia, setiap orang memerlukan air antara 30-60 l per hari (Notoatmodjo, 2007).

  Sarana air bersih adalah semua sarana yang dipakai sebagai sumber air bersih bagi penghuni rumah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga perlu diperhatikan dalam pendirian sarana air bersih. Apabila sarana air bersih dibuat memenuhi syarat teknis kesehatan diharapkan tidak ada lagi pencemaran terhadap air bersih, maka kualitas air yang diperoleh menjadi baik (Waluyo, 2009).

  Ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan air bersih yang terbatas yang memudahkan timbulnya penyakit di masyarakat. Volume rata-rata kebutuhan air setiap individu per hari berkisar antara 150-200 l atau 35-40 galon. Kebutuhan air tersebut bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan dan kebiasaan masyarakat (Chandra, 2007).

  Penyediaan air bersih harus memenuhi dua syarat yaitu kuantitas dan kualitas yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 yaitu: a.

  Syarat Kuantitas Syarat kuantitas adalah jumlah air yang dibutuhkan setiap hari tergantung kepada aktifitas dan tingkat kebutuhan. Makin banyak aktifitas yang dilakukan maka kebutuhan air akan semakin besar. Secara kuantitas, di Indonesia diperkirakan dibutuhkan air sebanyak 138,5 l/orang/hari dengan perincian yaitu untuk mandi dan cuci kakus 12 l, minum 2 l, cuci pakaian 10,7 l, kebersihan rumah 31,4 l (Slamet 2002).

  b.

  Syarat Kualitas Syarat kualitas meliputi parameter fisik, kimia, mikrobiologi dan radioaktifitas yang memenuhi syarat kesehatan menurut Peraturan

  Menteri Kesehatan RI Nomor 416/Menkes/Per/1990 tentang syarat- syarat dan pengawasan kualitas air (Slamet, 2002).

  Air yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia harus berasal dari sumber yang bersih dan aman. Menurut Sumantri (2010), batasan sumber air yang bersih dan aman ini antara lain: a.

  Bebas dari kontaminasi kuman atau bibit penyakit.

  Bebas dari substansi kimia yang berbahaya dan beracun.

  c.

  Tidak berasa dan tidak berbau.

  d.

  Dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik dan rumah tangga.

  e.

  Memenuhi standar minimal yang ditentukan oleh WHO atau Departemen Kesehatan RI.

  Menurut Chandra (2007), air yang berada di permukaan bumi ini dapat berasal dari berbagai sumber. Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi air angkasa (hujan), air permukaan dan air tanah. 1)

  Air Angkasa (Hujan) Air angkasa atau air hujan merupakan sumber utama air di bumi.

  Walau pada saat presipitasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung mengalami pencemaran ketika berada di atmosfer.

  Pencemaran yang berlangsung di atmosfer itu dapat disebabkan oleh partikel debu, mikroorganisme dan gas, misalnya saja seperti karbon dioksida, nitrogen dan amonia. 2)

  Air Permukaan Air permukaan yang meliputi badan-badan air semacam sungai, danau, telaga, waduk, rawa, terjun dan sumur permukaan, sebagian besar berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Air hujan tersebut kemudian akan mengalami pencemaran baik oleh tanah, sampah, maupun lainnya. 3)

  Air Tanah permukaan bumi yang kemudian mengalami perkolasi atau penyerapan ke dalam tanah dan mengalami proses filtrasi secara alamiah. Proses-proses yang telah dialami air hujan tersebut, di dalam perjalanannya ke bawah tanah membuat air tanah menjadi lebih baik dan lebih murni dibandingkan air permukaan.

  Air tanah memiliki beberapa kelebihan dibanding sumber air lain. Pertama, air tanah biasanya bebas dari kuman penyakit dan tidak perlu mengalami proses purifikasi atau penjernihan. Persediaan air tanah juga cukup tersedia sepanjang tahun bahkan saat musim kemarau sekalipun. Sementara itu, air tanah juga memiliki beberapa kerugian atau kelemahan dibanding sumber air lainnya. Air tanah mengandung zat-zat mineral semacam magnesium, kalsium dan logam berat seperti besi yang dapat menyebabkan kesadahan air. Selain itu, untuk menghisap dan mengalirkan air ke atas permukaan, diperlukan pompa.

  Sumur merupakan sumber utama persediaan air bersih bagi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan maupun di perkotaan Indonesia.

  Secara teknis sumur dapat dibagi menjadi 2 jenis (Chandra, 2007):

  1) Sumur dangkal (shallow well)

  Sumur semacam ini memiliki sumber air yang berasal dari resapan air hujan di atas permukaan bumi terutama di daerah dataran rendah.

  Jenis sumur ini banyak terdapat di Indonesia dan mudah sekali (MCK) sehingga persyaratan sanitasi yang ada perlu sekali diperhatikan.

  2) Sumur dalam (deep well)

  Sumur ini memiliki sumber air yang berasal dari proses purifikasi alami air hujan oleh lapisan kulit bumi menjadi air tanah. Sumber airnya tidak terkontaminasi dan memenuhi persyaratan sanitasi.

2.4.2 Penyediaan Jamban

  Menurut Depkes RI (2005) yang dikutip oleh Umiati (2009), jamban merupakan sarana yang digunakan masyarakat sebagai tempat buang air besar. Sebagai tempat pembuangan tinja, jamban sangat potensial untuk menyebabkan timbulnya berbagai gangguan bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan estetika, kenyamanan dan kesehatan.

  Sesuai dengan Kementrian Kesehatan (2009), jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkan.

  Menurut Mubarak dan Chayatin (2009), jenis-jenis jamban dibedakan berdasarkan konstruksi dan cara menggunakannya yaitu:

  1. Jamban Cemplung Bentuk jamban ini adalah yang paling sederhana. Jamban lantai dan tempat jongkok. Lantai jamban ini dapat dibuat dari bambu atau kayu tetapi dapat juga terbuat dari batu bata atau beton. Jamban semacam ini masih menimbulkan gangguan karena baunya.

  2. Jamban Plengsengan Jamban semacam ini memiliki lubang tempat jongkok yang dihubungkan oleh suatu saluran miring ke tempat pembuangan kotoran. Jadi, tempat jongkok dari jamban ini tidak dibuat persis di atas penampungan tetapi agak jauh. Jamban semacam ini sedikit lebih baik dan menguntungkan daripada jamban cemplung karena baunya agak berkurang dan keamanan bagi pemakai lebih terjamin.

  3. Jamban Bor Dinamakan demikian karena tempat penampungan kotorannya dibuat dengan menggunakan bor. Bor yang digunakan adalah bor tangan yang disebut bor auger dengan diameter antara 30-40 cm. Jamban bor ini mempunyai keuntungan, yaitu bau yang ditimbulkan sangat berkurang. Akan tetapi kerugian jamban bor ini adalah perembesan kotoran akan lebih jauh dan mengotori air tanah.

  4. Angsalatrine (Water Seal Latrine) Di bawah tempat jongkok jamban ini ditempatkan atau dipasang suatu alat yang berbentuk seperti leher angsa yang disebut bowl. Bowl ini berfungsi mencegah timbulnya bau. Kotoran yang berada di tempat selalu terdapat dalam bagian yang melengkung. Dengan demikian dapat mencegah hubungan lalat dengan kotoran.