BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisa Tegangan Lentur Efektif Balok Komposit Dengan Variasi Rasio Ketinggian Pelat Beton Dan Profil Baja Berdasarkan Metode LRFD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Umum

  Balok komposit adalah balok yang terdiri dari dua atau lebih material yang bekerja sama dalam memikul beban kerja. Material yang digunakan bermacam- macam, seperti beton, baja, aluminium, juga kayu. Berbagai bahan ini dikombinasi dengan memperhatikan sifat-sifat unggul masing-masing material tersebut sehingga diperoleh sistem balok dengan sifat yang lebih baik dari sifat masing-masing material penyusunnya. Sebagai catatan, balok yang dibuat dari material sama tetapi dengan kekuatan berbeda juga dikategorikan sebagai balok komposit.

  Pada penampang non komposit, pelat beton akan mengalami lendutan yang cukup besar. Hal ini disebabkan oleh besarnya beban yang harus dipikul oleh pelat beton tersebut. Komponen struktur komposit dapat menahan beban sekitar 33%-50% lebih besar daripada beban yang dapat dipikul oleh balok baja saja tanpa adanya perilaku komposit (Setiawan: 2008).

  2.2 Perkembangan Struktur Komposit

  Perkembangan struktur balok komposit tidak terlepas dari perkembangan bidang industri, khususnya dalam hal teknik pengelasan. Kerangka baja yang biasanya direncanakan dengan anggapan bahwa pelat beton dan balok baja bekerja secara terpisah dalam menahan beban.

  Pengaruh komposit dari baja dan beton yang bekerja sama dahulu tidak diperhitungkan. Pengabaian ini didasarkan pada alasan bahwa lekatan antara lantai atau pelat beton dan puncak balok baja tidak dapat diandalkan. Namun, dengan berkembangnya teknik pengelasan, pemakaian alat penyambung geser makanis menjadi praktis untuk menahan gaya geser horisontal yang timbul pada bidang kontak pelat lantai beton dan balok baja ketika batang terlentur.

  Sejak awal abad 19, balok baja yang dicor dalam beton banyak digunakan. Balok seperti model tersebut direncanakan secara komposit, sedangkan untuk bentuk model yang lain tidak direncanakan secara komposit. Pada awal dekade 1930, konstruksi jembatan sudah mulai menggunakan penampang komposit. Meskipun baru pada tahun 1944 dikeluarkan secara resmi peraturan oleh AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials) tentang spesifikasi jembatan jalan raya dengan struktur komposit.

  Pada sekitar tahun 1950, penggunaan lantai jembatan komposit mulai berkembang dengan pesat (terutama di Amerika). Pada jembatan ini gaya geser longitudinal ditransfer dari balok baja kepada pelat beton bertulang dengan menggunakan penghubung geser. Hal ini mengakibatkan pelat beton tersebut akan turut membantu memikul momen lentur yang timbul. Sebelum awal dekade 1960, pemakaian konstruksi komposit masih dipandang tidak ekonomis. Namun pada 1979, konstruksi sudah memanfaatkan aksi komposit pada hampir semua keadaan di mana baja dan beton saling melekat, baik pada jembatan maupun gedung (Salmon: 1995).

2.3 Pengenalan Balok Komposit

  Balok komposit adalah balok yang terdiri dari dua atau lebih material yang bekerja sama dalam memikul beban kerja. Berbagai material yang digunakan untuk balok komposit hanya akan berfungi sebagai komposit jika adanya interaksi diantara material tersebut pada bidang kontaknya. Interaksi ini dimungkinkan dengan keberadaan suatu alat bantu yang dinamakan penghubung geser. Interaksi ini berupa gaya geser yang disebut sebagai aksi komposit.

2.3.1 Aksi Komposit

  Aksi komposit timbul bila dua batang struktural pemikul beban disambung secara integral dan melendut secara satu kesatuan. Perilaku komposit dapat dipahami dengan terlebih dahulu meninjau balok yang tidak komposit seperti diperlihatkan pada Gambar 2.1a.

  Pada keadaan tidak komposit ini, jika gesekan antara plat beton dan profil baja diabaikan, balok dan pelat memikul beban secara terpisah (perhatikan Gambar.2.2a). Ketika struktur mengalami deformasi akibat beban vertikal, permukaan bawah plat akan tertarik dan memanjang sedang permukaan atas profil akan tertekan dan memendek. Jadi, pada bidang kontak antara pelat beton dan profi baja terjadi diskontinuitas. Karena gaya gesekan diabaikan, maka hanya gaya dalam vertikal yang bekerja antara pelat dan balok.

  (a) Balok non-komposit (b) Balok komposit

Gambar 2.1 Keadaan balok dengan dan tanpa aksi komposit yang melendut

  akibat beban vertikal (Charles G. Salmon: 1995) Pada sistem yang bekerja secara komposit seperti diperlihatkan pada

  Gambar 2.1b, Gambar 2.2b dan 2.2c, pelat dan balok tidak akan menggelincir relatif satu dengan yang lain. Terjadi gaya geser pada bidang kontak antara plat beton dan profil baja. Gaya ini menyebabkan permukaan bawah pelat tertekan dan memendek, sementara pada saat yang sama gaya horisontal tersebut membuat permukaan atas profil baja tertarik dan memanjang.

  Dengan memperhatikan distribusi regangan yang terjadi bila tidak ada interaksi antara pelat beton dan profil baja seperti diperlihatkan Gambar 2.2a, maka momen perlawanan total dapat dinyatakan dengan persamaan seperti berikut ini.

   MMM (2.1)

  pelat balok

  Pada kondisi ini terdapat dua garis netral, yang pertama pada titik berat pelat dan yang kedua pada titik berat balok. Pada kondisi ini juga terjadi penggelinciran horisontal akibat tarikan pada dasar pelat dan tekanan pada permukaan atas balok.

  Aksi komposit yang bekerja tidak selalu sempurna. Tetap ada keadaan dimana aksi komposit yang bekerja hanya sebagian (parsial). Pada keadaan yang hanya memiliki interaksi parsial seperti pada Gambar 2.2b, terjadi pergeseran garis netral pada masing-masing bahan. Garis netral pelat bergeser mendekati beton, sebaliknya garis netral beton bergeser mendekati pelat. Dengan keberadaan interaksi parsial, terjadi pengurangan penggelinciran horisontal antara pelat dan balok. Interaksi parsial ini juga menimbulkan gaya tekan dan tarik parsial

  C’ dan

T’ yakni kapasitas maksimum masing-masing pelat beton dan balok baja.

  Sehingga, momen penahan pada penampang sekarang meningkat sebesar

  T’e’

  atau C’e’.

  Untuk kondisi interaksi penuh, maka tidak terjadi penggelinciran antara pelat dan balok. Diagram regangan diperlihatkan pada Gambar 2.2c. Pada kondisi ini, garis netral hanya satu, garis netral gabungan yang terletak di atas garis netral balok dan di bawah garis netral pelat. Pada kenyataannya, semua penghubung geser tetap memiliki kelemahan sehingga tetap saja terjadi pergeseran meskipun sangat kecil. Oleh karena itu, interaksi parsial tetap yang terjadi (Yam: 1981).

  Dalam analisa perencanaan, pergeseran ini sering diabaikan sehingga perencanaan diambil untuk keadaan komposit penuh. Gaya tekan

  C’’ dan gaya

  tarik

  T’’ yang timbul juga lebih besar dari gaya tekan C’ dan gaya tarik T’ yang

  timbul pada interaksi parsial. Sehingga, momen penahan yang timbul pada penampang komposit penuh, yaitu:

   MT ' ' e ' '  C ' ' e ' '

  (2.2)

Gambar 2.2 Variasi regangan pada balok komposit (Charles G. Salmon: 1995)

  Dengan sifat beton yang sangat baik dalam memikul tekan sementara baja sangat baik dalam memikul tarik, maka aksi komposit dengan melibatkan penghubung geser ini terbukti dapat memaksimalkan kekuatan masing-masing material sehingga didapat balok dengan sifat yang lebih baik.

2.3.2 Hubungan Elastis dan Plastis Saat Terjadi Aksi Komposit

  Aksi komposit hanya terjadi ketika dipenuhi dua syarat, yaitu: penghubung geser telah terpasang dengan baik pada sayap atas profil baja dan pelat beton sudah mengeras. Beban yang bekerja pada struktur akan membuat terjadinya tegangan-tegangan pada material penyusun balok, baik pada pelat beton maupun pada balok baja.

  Jika penghubung geser tidak dipasang pada profil baja sehingga aksi komposit tidak bekerja, maka masing-masing material akan mengalami distribusi tegangan secara terpisah sesuai dengan perilaku material tersebut hingga mencapai keadaan plastisnya.

Gambar 2.3 Penampang Balok Beton dengan Diagram Tegangan (Vis: 1994)Gambar 2.4 Distribusi Tegangan Profil Baja pada Level Beban Bekerja

  (Agus Setiawan: 2008) Penghubung geser yang dipasang pada sayap atas profil baja akan membuat kedua material bekerja bersama. Keadaan ini akan menghasilkan garis netral yang baru untuk keseluruhan sistem komposit. Gambar berikut ini menunjukkan perbedaan diagram tegangan lentur dan geser dengan penghubung geser dan tanpa penghubung geser.

Gambar 2.5 Pengaruh Penghubung Geser Terhadap Tegangan Lentur dan Geser

  (R. P. Johnson: 2004) Keadaan diagram tegangan dengan garis netral yang baru ini akan tetap berlangsung untuk pembebanan yang terus bertambah sampai struktur komposit mencapai keadaan plastisnya.

Gambar 2.6 Perbandingan Respon Baja-Beton Dengan Aksi Komposit dan Tanpa

  Aksi Komposit (ESDEP: 2015) Perbedaan ditampilkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2.1 Pengaruh Aksi Komposit Pada Balok Baja-Beton Diagram Tegangan

  Balok Baja-Beton Keadaan Elastis Keadaan Plastis

  Tanpa Aksi Komposit Garis Netral Pada

  Pelat Beton Dengan Aksi Komposit

  Garis Netral Pada Balok Baja

  (a) (b) (c)

Gambar 2.7 Distribusi Tegangan Plastis dengan Aksi Komposit

  (Agus Setiawan: 2008)

2.3.3 Keuntungan dan Kerugian

  Sifat yang lebih unggul akibat kerja aksi komposit secara nyata memberikan berbagai keuntungan. Penggunaan sistem komposit dalam desain struktur dapat memberi keuntungan sebagai berikut (Salmon: 1995):

  a. Penghematan berat baja

  b. Penampang balok baja dapat lebih rendah

  c. Kekakuan lantai meningkat

  d. Panjang bentang untuk batang tertentu dapat lebih besar

  e. Kapasitas pemikul beban meningkat Reduksi berat sekitar 20-30% dapat diperoleh dengan memanfaatkan perilaku sistem komposit penuh. Dengan adanya reduksi berat ini maka secara langsung juga dapat mengurangi tinggi profil baja yang dipakai. Hal ini selanjutnya akan mengurangi tinggi bangunan secara keseluruhan dan berdampak pada penghematan pemakaian material bangunan, terutama untuk dinding luar dan tangga.

  Lantai komposit memiliki kekakuan yang lebih besar dari kekakuan lantai beton dengan balok penyanggahnya bekerja secara terpisah. Biasanya pelat beton bekerja sebagai pelat satu arah yang membentang antara balok-balok baja penyanggah. Pada lantai dengan balok penyanggah bekerja sebagai sistem komposit, aksi pelat beton dalam arah sejajar balok dimanfaatkan dan digabungkan dengan balok baja penyanggah. Hal ini mengakibatkan momen inersia konstruksi lantai dalam arah balok baja meningkat secara signifikan. Kekakuan yang meningkat ini banyak berpengaruh pada pengurangan lendutan akibat beban hidup. Pada keadaan elastis, kekakuan balok komposit bisa mencapai dua sampai tiga kali lebih kaku daripada kekakuan balok non-komposit (Gaylord: 1972).

  Jika perancah diberikan selama proses pembangunan, kekakuan yang meningkat ini juga dapat mengurangi lendutan akibat beban mati. Pada kondisi aksi komposit penuh, kekuatan penampang jauh lebih besar dari jumlah kekuatan pelat dan balok penyanggah yang bekerja secara terpisah sehingga menimbulkan adanya kapasitas cadangan yang tinggi.

  Selain berbagai keuntungan yang bisa didapat dari sistem komposit di atas, juga ada beberapa hal yang harus jadi pertimbangan dalam merencanakan balok komposit (Salmon: 1995), yaitu:

  a. Pengaruh kontinuitas, karena hanya bagian pelat beton tertekan yang dianggap efektif sehingga pada daerah momen negatif pada balok menerus keuntungan aksi komposit berkurang. b. Lendutan jangka panjang, jika sistem komposit memikul sebagian besar beban hidup atau jika beban hidup terus bekerja dalam waktu lama.

2.3.4 Lebar Efektif

  Konsep lebar efektif sangat berguna dalam proses desain suat komponen struktur, terutama ketika proses desain harus dilakukan terhadap suatu elemen yang mengalami distribusi tegangan yang tidak seragam, seperti pada balok komposit. Untuk memahami konsep lebar efektif, tinjaulah penampang komposit dengan lebar pelat tidak berhingga yang mengalami tegangan seperti Gambar 2.3. Intensitas tegangan tekan maksimum terjadi di atas balok baja, kemudian menurun secara tidak linear sampai pada serat terluar pelat bila jarak tepi pelat ke balok penyanggah membesar.

  Lebar efektif sayap untuk balok komposit dapat diambil sebesar

  

bb  2b '

  (2.3)

  E f dengan 2 x maks sama dengan luas di bawah kurva x . b’ kali tegangan maksimum σ σ x E

Gambar 2.8 Distribusi tegangan tekan yang tidak merata dan lebar efektif b

  

σ

  (Charles G. Salmon: 1995) Besarnya lebar efektif dari suatu komponen struktur komposit dapat ditentukan sesuai dengan SNI 03-1729-2002 tentang Tata Cara Perencanaan

  Struktur Baja untuk Bangunan Gedung pasal 12.4.1 sebagai berikut:

  1. Untuk balok-balok interior:

  L bE

  4

  bb E o

  2. Untuk balok-balok eksterior:

  L b  + (jarak pusat balok ke tepi pelat) E

  8

  1

  bb + (jarak pusat balok ke tepi pelat) E o

  2 Lebar efektif yang dipakai dipilih yang terkecil.

Gambar 2.9 Lebar Efektif Struktur Komposit (Agus Setiawan: 2008)

2.4. Metode Konstruksi Balok Komposit

  Perancangan balok komposit disesuaikan dengan metode pelaksanaan yang digunakan di lapangan. Tegangan yang terjadi akibat beban pada balok komposit bergantung pada cara pelaksanaan (konstruksi) balok tersebut. Ada dua metode yang biasanya digunakan dalam pelaksanaan di lapangan, yaitu dengan pendukung (perancah) dan/atau tanpa pendukung. Perancah sementara adalah penahan beban gravitasi yang dipasang pada bagian bawah profil baja yang diletakkan pada interval tertentu di sepanjang bentang balok dan diantara perletakan tetap balok (Smith: 1991).

  Pada metode konstruksi tanpa perancah, balok baja akan mendukung beban mati primer selama beton belum mengeras. Konstruksi ini adalah metode pelaksanaan yang paling sederhana. Konstruksi dimulai dengan meletakkan balok baja yang akan dipakai untuk menyanggah atau mendukung bekisting pelat beton.

  Dalam hal ini balok baja yang bekerja secara tidak komposit (yakni berdiri sendiri) memikul berat bekisting, beton basah, dan beratnya sendiri. Setelah beton mengering dan perancah dilepaskan, maka aksi komposit mulai bekerja pada balok. Semua beban mati dan beban hidup yang bekerja setelah perancah dilepas, dipikul oleh balok yang telah bekerja secara komposit ini.

  Untuk metode konstruksi dengan perancah, selama beton belum mengeras, beban mati primer akan dipikul oleh pendukung sementara. Dalam hal ini perancah akan memikul balok baja, bekisting, dan beton basah sehingga tidak ada tegangan yang terjadi pada balok baja selama beton belum mengeras dan sebelum perancah dilepaskan. Setelah beton mengeras dan penunjang dilepas, maka aksi komposit akan bekerja pada balok komposit untuk memikul seluruh beban, baik beban mati maupun beban hidup (Salmon: 1995).

2.5 Konsep LRFD dalam Perencanaan Struktur

  Dua filosofi yang sering digunakan dalam perencanaan struktur baja adalah perencanaan tegangan kerja/working stress design (Allowable Stress

  

Design/ASD ) dan perencanaan kondisi batas/limit state design (Load and

  

Resistance Factor Design/LRFD ). Metode ASD dalam perencanaan struktur baja

  telah digunakan dalam kurun waktu kurang lebih 100 tahun. Dan dewasa ini, prinsip perencanaan struktur baja mulai beralih kepada konsep LRFD yang jauh lebih rasional dengan berdasarkan pada konsep probabilitas.

  Penelitian yang dilakukan terhadap kedua metode ini dengan meninjau penggunaan penghubung geser menunjukkan bahwa perencanaan dengan menggunakan metode LRFD lebih baik daripada metode ASD. Dari hasil penelitian, didapati bahwa penghematan penggunaan penghubung geser dengan metode LRFD dari segi jumlah penghubung geser maupun jarak penghubung geser rata-rata mencapai 25-30%. Dengan penghematan yang diperoleh maka penggunaan metode ASD sudah dapat ditinggalkan dan diganti dengan merencanakan menggunakan metode LRFD (Marsiono: 2009).

  Dalam metode LRFD tidak diperlukan analisa probabilitas secara penuh, terkecuali untuk situasi-situasi yang tidak umum yang tidak diatur dalam peraturan. Secara umum, suatu struktur dikatakan aman apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

   R   Q (2.4) n i i Persamaan kiri dari persamaan 2.4 di atas menggambarkan tahanan atau kekuatan dari sebuah komponen atau sistem struktur. Sedangkan bagian kanan persamaan menggambarkan beban yang harus dipikul struktur tersebut.

  n

  Jika tahanan nominal R dikalikan suatu faktor tahanan

  ϕ maka akan

  diperoleh tahanan rencana. Namun demikian, berbagai macam beban (beban mati, beban hidup, beban gempa, dan lain-lain) pada bagian kanan persamaan 2.4

  i

  dikalikan dengan suatu faktor beban untuk mendapatkan jumlah beban terfaktor

  γ i Q i (Setiawan: 2008). ∑γ

2.5.1 Faktor Beban dan Kombinasi Beban

  Dalam persamaan 2.4 di atas terlihat dengan jelas bahwa tahanan rencana harus melebihi jumlah dari beban-beban kerja dikalikan dengan suatu faktor beban. Penjumlahan beban-beban kerja ini yang dinamakan sebagai kombinasi

  . Menurut peraturan baja Indonesia, SNI 03-1729-2002 pasal 6.2.2

  pembebanan

  mengenai kombinasi pembebanan, dinyatakan bahwa dalam perencanaan suatu struktur baja haruslah diperhatikan jenis-jenis kombinasi pembebanan yang ditetapkan sebagai berikut:

  a. 1,4D (2.4-1)

  b. 1,2D + 1,6L + 0,5(L a atau H) (2.4-2)

  c. 1,2D + 1,6(L a atau H) + ( L .L atau 0,8W) (2.4-3) γ

  L a

  d. 1,2D + 1,3W + .L + 0,5(L atau H) (2.4-4) γ

  e. 1,2D ± 1,0E + L .L (2.4-5)

  γ

  f. 0,9D ± (1,3W atau 1,0E) (2.4-6)

  Keterangan:

  

D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen,

  termasuk dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan peralatan layan tetap

  

L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk

  kejut, tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan, dan lain-lain

  La

  adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh pekerja, peralatan, dan material, atau selama penggunaan biasa oleh orang dan benda bergerak

  H adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air W adalah beban angin E

  adalah beban gempa, yang ditentukan menurut SNI 03

  • –1726–1989, atau penggantinya dengan,

  γ

  L = 0,5 bila L< 5 kPa, dan

  γ

  

L = 1 bila L

≥ 5 kPa.

  Kekecualian: Faktor beban untuk L di dalam kombinasi pembebanan pada persamaan 2.4-3, 2.4-4, dan 2.4-5 harus sama dengan 1,0 untuk garasi parkir, daerah yang digunakan untuk pertemuan umum, dan semua daerah di mana beban hidup lebih besar daripada 5 kPa.

2.5.2 Faktor Tahanan

  Faktor tahanan dalam perencanaan struktur berdasarkan metode LRFD, ditentukan dalam SNI 03-1729-2002 ditampilkan sebagai berikut:

Tabel 2.2 Faktor Tahanan

  (Sumber: Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung, 2002)

2.5.3 Struktur Lentur

  Balok adalah komponen struktur yang memikul beban-beban gravitasi, seperti beban mati dan beban hidup. Komponen struktur balok merupakan struktur tarik dan tekan akan dikombinasikan dalam analisa struktur lentur (Setiawan: 2008).

  Persamaan umum perhitungan tegangan akibat lentur dapat digunakan pada kondisi yang umum, yaitu:

  Mc

    (2.5)

  I Tegangan lentur pada penampang profil yang mempunyai minimal satu sumbu

  simetri, dan dibebani pada pusat gesernya, dapat dihitung dengan persamaan:

  M M y x f   (2.6) S S x y

  dengan

  I I y

x

Sdan S  (2.7) x y c c y x

  sehingga

  Mc Mc x y y x f   (2.8)

I

x y

  I Dengan: f = tegangan lentur M x , M y = momen lentur arah x dan y x y

  S , S = modulus penampang arah x dan y I x , I y = momen inersia arah x dan y x y c , c = jarak dari titik berat ke tepi serat arah x dan y

  Berikut ini ditampilkan beberapa penampang yang mempunyai minimal satu sumu simetri.

  I I x y

  I x SSSx y x c c c y x y

Gambar 2.10 Modulus Penampang Berbagai Tipe Profil Simetri (Agus Setiawan: 2008).

2.5.3.1 Balok Terkekang Lateral

  Distribusi tegangan pada sebuah penampang WF akibat momen lentur, diperlihatkan pada Gambar 2.6. Pada daerah beban layan, penampang masih elastis (Gambar 2.6a), kondisi elastik berlangsung hingga tegangan pada serat terluar mencapai kuat lelehnya (f y ). Setelah penampang mencapai regangan leleh ( y ), regangan akan terus naik tanpa diikuti kenaikan tegangan (Gambar 2.7).

  ε

Gambar 2.11 Distribusi Tegangan pada level Beban Bekerja Pada saat kuat leleh tercapai pada serat terluar (Gambar 2.6b), tahanan momen nominal sama dengan momen leleh M yx , yang besarnya adalah:

  MMS f (2.9) x yx x y

  Ketika keadaan pada Gambar 2.6d tercapai, semua serat dalam penampang melampaui regangan lelehnya, dan keadaan ini dinamakan kondisi plastis.

  Tahanan momen nominal dalam kondisi ini dinamakan momen plastis M p , yang besarnya:

  MfydAfZ (2.10) p y y

   A Dengan Z dikenal sebagai modulus plastis.

Gambar 2.12 Diagram Tegangan-Regangan Material Baja (Agus Setiawan: 2008)

  p

  Ketika tahanan momen plastis M tercapai, penampang akan terus mengalami deformasi dengan tahanan lentur konstan sebesar M p . Kondisi ini dinamakan sendi plastis. Pada suatu balok dengan perletakan sederhana (sendi- rol), keberadaan sendi plastis pada daerah tengah bentang akan menimbulkan suatu kondisi yang tidak stabil. Keadaan ini dinamakan sebagai mekanisme

  

keruntuhan . Secara umum, kombinasi dari 3 sendi (sendi sebenarnya dan sendi

plastis) akan mengakibatkan mekanisme keruntuhan (Setiawan:2008).

2.5.3.2 Desain Balok Terkekang Lateral

  M M  

  2. Penampang tak kompak :

  (2.12)

  

y p n

Z f M M   

  Tahanan momen nominal untuk balok terkekang lateral dengan penampang kompak adalah:

  

λ < λ

r

  3. Langsing :

  

<

λ < λ r

  λ p

  

λ < λ

p

  (2.11) Dengan:

  Tahanan balok dalam desain LRFD harus memenuhi persyaratan: u n b

  Batasan penampang kompak, tak kompak, dan langsing adalah:

  Dalam perhitungan tahanan momen nominal dibedakan antara penampang kompak, tak kompak, dan langsing seperti halnya saat membahas batang tekan.

  M u = momen lentur akibat beban terfaktor

  = tahanan momen nominal

  M n

  ϕ b = 0,90

  1. Penampang kompak :

  M p

  = tahanan momen plastis

  Z = modulus plastis f y = kuat leleh

Gambar 2.13 Tahanan Momen Nominal Penampang Kompak dan Tak Kompak (Agus Setiawan: 2008).

  Tahanan momen nominal pada saat

  λ < λ r adalah:

    S f f M M r y r n

      (2.13)

  Dengan:

  f y

  = tahanan leleh

  f r = tegangan sisa S = modulus penampang

  Besarnya tegangan sisa untuk penampang gilas panas f

  r

  = 70 MPa, dan untuk penampang yang dilas f r = 115 MPa.

  p r

  Untuk penampang tak kompak dengan nilai < , maka besarnya

  λ λ < λ

  tahanan momen nominal dihitung dengan melakukan interpolasi linear. Langkah ini menghasilkan persamaan sabagai berikut: 

       p r

  MMM (2.14) n p r

        r p r p Dengan:

  = kelangsingan penampang balok (= b/2t f ) λ

  r , p = ditampilkan dalam tabel 7.5-1 Peraturan Baja SNI 03-1729-2002 λ λ

2.5.3.3 Beban Terpusat pada Balok

  Ketika menerima beban terpusat, balok akan mengalami leleh lokal akibat tegangan tekan yang tinggi diikuti dengan terjadinya tekuk inelastik pada daerah web yaitu di sekitar lokasi beban terpusat tersebut. Gaya tumpu perlu (R u ) pada pelat web harus memenuhi:

   (2.15)

  R   R u n

  Dengan: = faktor reduksi

  ϕ R n = kuat tumpu nominal pelat web akibat beban terpusat

  Jika persamaan 2.15 dipenuhi, maka tidak diperlukan pengaku (stiffener) pada

  u

  pelat web. Besarnya R ditentukan menurut SNI 03-1729-2002 dan ditampilkan sebagai berikut:

  1. Lentur lokal pada flens (flange local buckling) 2 (2.16)

  Rn f yf 6 , 25  tf

  ϕ = 0,90 t f = tebal pelat sayap yang dibebani gaya tekan tumpu

  2. Leleh lokal pada web (local web yielding)

  R   kNft   

  (2.17)

  n yw w

  5 jd

     2 ,

  5 jd

  ϕ = 1,0 k = tebal pelat sayap ditambah jari-jari peralihan (mm)

N = dimensi longitudinal pelat perletakan, minimal sebesar k (mm)

  N

  = panjang dukung ≥ k

  k = jarak antara muka sayap terluar ke kaki lengkungan

  badan

  R = beban terpusat yang disalurkan ke gelagar

Gambar 2.14 Balok dengan Beban Terpusat (Agus Setiawan: 2008)

  3. Lipat pada web (local web crippling)

  1 , 5   2 t yf f   Eft w    

    (2.18)

  R   t n w 1     tt f u  

    ϕ = 0,75 N

   , 79 / 2 ;

  3

  jd   d

  

  N

     3 bila : N / d  ,

  2 

   d

  , 39 jd /

  2 

  4 N  

      , 2 bila : N / d  ,

  2  

   d  

  

  4. Tekuk web bergoyang (sidesway web buckling)

Gambar 2.15 Tekuk Web Bergoyang (Agus Setiawan: 2008).

  Ada dua kondisi pada tekuk web bergoyang:

  a. Jika sisi tekan flens dikekang terhadap rotasi pada posisi kerja R u :

  b f h

  untuk   2 ,

  3

  t L w b 3 3

   

  CEtt b r w f h f  

   

  Rn 2 1  , 4  (2.19)

   

  t L h

   w b   

    Jika 3 ,  2  b f w

  L b t h

  → R

  Perencanaan struktur baja dengan metode LRFD mengacu pada penentuan kekuatan batas penampang. Kekuatan batas penampang komposit bergantung pada kekuatan leleh dan sifat penampang balok baja, kekuatan pelat beton, dan kapasitas interaksi alat penyambung geser yang menghubungkan balok dengan pelat atau juga dikenal dengan aksi komposit.

  ϕ = 0,90

  24 (2.21)

    3 08 ,

  E f h t R

  5. Lentur pada pelat web yw w n

  3 ϕ = 0,85

  25 ,

  : 62 , 1 :

  M M untuk M M untuk C

  

y y r

     

  → ∞

  n

  L b t h

  → R

     

  n

  → ∞

  b. Jika sisi tekan flens tak dikekang terhadap rotasi untuk 7 ,

   1  b f w

  L b t h

     

    

   1  b f w

    

     

   3 2 3 4 , b f w f w r n

  L b

t

h

h E t t C

  R

  (2.20) Jika 7 ,

2.6 Konsep LRFD pada Balok Komposit

  Pengertian yang lebih jelas tentang kelakuan komposit akan diperoleh dengan baik ketika kekuatan batas sistem komposit dinyatakan dalam kapasitas momen batas. Penetapan kapasitas momen batas ini juga akan memberi ukuran faktor keamanan sistem komposit yang lebih tepat. Faktor keamanan yang sebenarnya adalah rasio kapasitas momen batas dengan momen yang sesungguhnya bekerja. Pada pembahasan berikut ini, sambungan antara pelat dan balok dianggap memadai, baik untuk untuk kondisi pelat beton “memadai” atau “tidak memadai” dibanding dengan kapasitas leleh tarik dari balok. Pemindahan gaya geser juga dianggap terjadi secara sempurna di pertemuan baja-beton.

  Untuk penyederhanaan analisis, dibuatlah beberapa asumsi dasar yang akan membantu perumusan kapasitas momen batas komposit ini. Dalam penentuan kapasitas momen batas, beton dianggap hanya menerima tegangan tekan. Walaupun beton juga memiliki kemampuan menahan tegangan tarik dalam tingkat tertentu yang terbatas, kekuatan tarik beton pada regangan yang terjadi selama perumusan kapasitas momen plastis ini dapat diabaikan (Salmon: 1995).

  (a) (b) (c)

Gambar 2.16 Kuat Lentur Nominal Berdasarkan Distribusi Tegangan Plastis

  Penentuan kapasitas momen batas bergantung pada letak garis netral. Garis netral dapat berpotongan pada pelat beton atau dapat juga berpotongan pada balok baja. Jika garis netral berpotongan pada pelat beton, maka pelat beton dapat dikatakan memadai, yang berarti bahwa pelat mampu menahan gaya tekan total. Jika garis netral berpotongan pada balok baja, maka pelat beton dianggap tidak memadai, yang berarti bahwa pelat beton hanya mampu menahan sebagian dari gaya tekan dan sisanya ditahan oleh balok baja.

2.6.1 Garis Netral Berpotongan pada Pelat Beton

  Keadaan untuk garis netral yang berpotongan pada pelat ditunjukkan oleh Gambar 2.11b. Dengan memakai anggapan blok tegangan segi empat Whitney, yaitu tegangan merata sebesar 0.85 c yang bekerja sepanjang tinggi a, maka gaya

  f’

  tekan batas C didapat melalui persamaan:

  C  ,

  85 . f ' . b . a (2.22)

  c eff

  Gaya tarik batas T adalah kekuatan leleh balok kali luasnya:

  TA . f (2.23) s y

  Dengan menyamakan antara harga C dan T maka didapat harga a, yaitu sebesar:

  A F s y

  (2.24)

  a

,

85 . f ' . b c eff

  Dengan:

  

at

  2

      

  = tegangan leleh baja b eff = lebar efektif pelat d = tinggi balok baja t = tebal pelat

  y

  f

  c = tegangan ijin tekan beton

  dengan: C = gaya tekan pada balok baja f’

  2 . a t d A f M y s u (2.27)

  2

     

  2

  Karena pelat beton dianggap memadai, maka pelat mampu menahan gaya tekan yang sama dengan kapasitas leleh balok baja penuh. Dengan merumuskan momen batas sebagai fungsi dari gaya pada baja, diperoleh persamaan:

    (2.26)

  1 . . d T d C M u

  1

  (2.25) Dengan demikian didapat kapasitas momen batas M u menjadi:

    

  1 a t

d

d

  Prosedur yang umum ialah menentukan tinggi blok tegangan a dengan Persamaan 2.24, dan jika didapati bahwa a lebih kecil dari tebal pelat t, maka asumsi harus diubah. Hal ini menyatakan bahwa pelat beton tidak cukup kuat untuk mengimbangi gaya tarik yang timbul pada profil baja.

2.6.2 Garis Netral Berpotongan pada Balok Baja

  Pada keadaan dimana didapati bahwa tinggi blok tegangan a yang dihitung dengan persamaan 2.24 melampaui tebal pelat t, distribusi tegangan akan seperti diperlihatkan pada Gambar 2.11c. Pada keadaan ini, maka garis netral berpotongan pada balok baja. Dengan demikian maka gaya tekan batas pada pelat beton C c menjadi:

  C  ,

  85 . f ' . b . t (2.28)

  c c eff

  Gaya tekan pada balok baja yang dihasilkan oleh bagian balok yang berada di atas garis netral ditunjukkan pada Gambar 2.11c sebagai C s sebesar:

  CA '. f (2.29) s s y

  Gaya tarik batas

  s f y . Gaya tarik ini

T’ yang sekarang menjadi lebih kecil dari A

  harus sama dengan jumlah gaya-gaya tekan, seperti ditunjukkan persamaan berikut:

  T '  CC (2.30) c s

  Juga diketahui:

  T '  . A fC (2.31) s y s

  Dengan menyamakan Persamaan 2.30 dan 2.31 sebagai berikut:

  CCA . fC (2.32) c s s y s

  Maka diperoleh nilai C s menjadi:

  A fC s y c

  (2.33)

  Cs

  2 Dengan mensubstitusi nilai C c didapat:

  A f  , s y c eff 85 . f ' . b . t

  (2.34)

  Cs

  2 Dengan menyertakan gaya tekan C c dan C s , persamaan kapasitas momen batas M u

  untuk keadaan garis netral yang berpotongan pada balok menjadi:

  MC . d '  C . d " (2.35)

u c

2 s

  2 Dimana 2 dan 2 adalah lengan momen seperti ditunjukkan pada Gambar d’ d” 2.11c.

  Pada keadaan garis netral yang berpotongan pada balok, balok baja dianggap mengalami regangan plastik tarik dan tekan pada keadaan batas. Hal ini berarti bahwa penampang baja tersebut memenuhi persyaratan penampang terpadu (compact). Penampang terpadu adalah penampang yang memiliki proporsi yang memungkinkan penampang tersebut mengembangkan kapasitas momen plastisnya (Salmon: 1995).

2.7 Alat Penyambung Geser

  Sistem komposit, yang dalam hal ini adalah balok komposit, yang menerima pembebanan akan mengalami gaya geser horisontal yang timbul antara pelat beton dan balok baja. Gaya geser horisontal ini harus ditahan selama pembebanan agar penampang komposit dapat bekerja secara monolit.

Gambar 2.17 Alat penyambung geser yang umum (Charles G. Salmon: 1995)

  Untuk mengatasinya dibuatlah alat penyambung geser mekanis yang disambungkan ke puncak balok. Gambar 2.12 menunjukkan berbagai alat penyambung geser yang umum digunakan.

  Untuk mencapai kesatuan pada penampang komposit, alat penyambung geser harus cukup kaku untuk menghasilkan interaksi penuh seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2c. Kondisi ideal ini akan membutuhkan alat penyambung yang sangat kuat. Berdasarkan bidang geser balok dengan beban merata seperti ditunjukkan pada Gambar 2.13, maka dapat disimpulkan bahwa alat penyambung geser yang dibutuhkan pada daerah ujung-ujung bentang lebih banyak dari pada

Gambar 2.18 Bidang gaya geser untuk beban merata dan distribusi tegangan

  geser pada penampang komposit baja-beton (Charles G. Salmon: 1995) Perhatikan distribusi tegangan geser yang ditunjukkan pada Gambar 2.13b di mana tegangan v

  1 harus ditahan oleh sambungan antara pelat dan balok.

  Tegangan akibat beban kerja pada balok seperti ditunjukkan pada Gambar 2.13 bervariasi mulai dari nol sampai maksimum di tumpuan. Selanjutnya, tinjaulah keseimbangan potongan elementer pada balok seperti ditunjukkan pada Gambar

  2.14. Gaya geser per satuan jarak sepanjang bentang adalah:

  dC

  VQ

   v b  (2.36)

  1 eff dx

  I Karena itu, jika suatu alat penyambung memiliki kapasitas ijin sebesar q, maka

  jarak antara p maksimum untuk menghasilkan kapasitas yang diperlukan adalah:

  q p

  (2.37)

  VQ /

  I

Gambar 2.19 Gaya yang diperlukan dari alat penyambung geser pada beban kerja

  (Charles G. Salmon: 1995) Dengan menerapkan konsep kekuatan batas, maka setiap alat penyambung geser pada momen lentur batas akan memikul bagian yang sama besar dari gaya tekan maksimum total yang timbul pada pelat beton. Dengan memperhatikan Gambar 2.13a, maka hal ini berarti bahwa alat penyambung geser diperlukan untuk memindahkan gaya tekan yang timbul pada pelat beton di tengah bentang ke balok baja dalam jarak L/2, karena tidak terjadi gaya tekan pada pelat beton di ujung bentang yang besar momennya nol.

  Gaya tekan batas yang harus ditahan oleh alat penyambung geser tidak bisa melampaui gaya yang dapat dipikul oleh beton:

  

C  ,

  85 . f ' . b . t (2.38)

  maks c eff maks

  Atau jika gaya tarik batas di dasar pelat beton lebih kecil dari C , maka:

   T A . f (2.39) maks s y ult

  Jadi, jika suatu alat penyambung memiliki kapasitas batas q , jumlah total alat penyambung N yang diperlukan antara titik momen lentur maksimum dan momen nol adalah:

  C

maks

  N  (2.40) q

ult

  atau

  T maks

  

  N

  (2.41)

  q ult

  Nilai yang diambil dari persamaan di atas adalah yang terkecil. Menurut metode kekuatan batas, jumlah alat penyambung total yang diperlukan disebar merata sepanjang daerah balok antara titik momen lentur nol dan titik momen lentur maksimum.

  Secara analitis, penentuan kapasitas alat penyambung geser sangat rumit. Hal ini disebabkan karena alat penyambung geser yang dapat mengalami perubahan bentuk ketika menerima pembebanan. Demikian juga dengan beton yang mengelilinginya juga merupakan material yang dapat mengalami perubahan bentuk. Selanjutnya, besarnya deformasi yang dialami alat penyambung geser juga bergantung pada faktor-faktor lain, seperti: bentuk alat penyambung geser,

  • ukuran alat penyambung geser,
  • letak alat penyambung geser pada balok,
  • letak momen maksimum, dan
  • cara pemasangan alat penyambung geser ke sayap atas balok baja.
  • Selain itu, ada juga alat penyambung geser tertentu yang dapat meleleh sedemikian rupa pada saat menerima pembebanan. Keadaan ini menimbulkan gelinciran antara pelat beton dan balok baja. Apabila hal ini terjadi, alat penyambung geser yang letaknya bersebelahan akan menerima gaya geser

  Oleh karena perilaku alat penyambung geser yang sangat rumit, kapasitasnya tidak hanya didasarkan pada analisa teoritis. Untuk mengembangkan pendekatan yang rasional, telah dilakukan sejumlah kajian dengan tujuan untuk menentukan kekuatan berbagai jenis alat penyabung geser.

  Dari berbagai kajian yang dilakukan diambil kesimpulan bahwa alat penyambung geser tidak akan gagal jika beban rata-rata pada satu alat penyambung lebih rendah dari gaya yang mengakibatkan gelinciran residu 0,003 inci (0,076 mm) antara pelat beton dan balok baja. Besarnya gelinciran juga merupakan fungsi dari kekuatan beton yang mengelilingi alat penyambung geser.

  Pengkaitan kapasitas alat penyambung geser dengan gelinciran yang ditetapkan mungkin realistis untuk perencanaan jembatan yang kekuatan lelahnya sangat penting. Hanya, tindakan pengkaitan ini dipandang terlalu konservatif terhadap beban runtuh. Sebutan kapasitas batas yang digunakan sebelum tahun 1965 didasarkan pada pembatasan gelincir. Hal ini mengakibatkan dihasilkannya kapasitas sekitar sepertiga dari kekuatan batas yang diperoleh bila kegagalan alat penyambung yang sesungguhnya dijadikan kriteria yang ikut menentukan kapasitas batas alat penyambung.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran Dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Satuan Kerja Badan Meteorologi, Klimatologi Dan Geofisika Wilayah I

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Harga Saham 2.1.1.1 Pengertian Harga Saham - Pengaruh Return On Assets (Roa), Debt To Equity Ratio (Der) Dan Earning Per Share (Eps) Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bu

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Return On Assets (Roa), Debt To Equity Ratio (Der) Dan Earning Per Share (Eps) Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (Bei) Tahun 2010-2013

0 0 9

Pengaruh Return On Assets (Roa), Debt To Equity Ratio (Der) Dan Earning Per Share (Eps) Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (Bei) Tahun 2010-2013

0 0 11

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Mikrokontroler - Perancangan Dan Pembuatan Alat Monitoring Cairan Infus Dengan Menggunakan Komunikasi Wireless Pada Pc Berbasis Mikrokontroler Atmega 16

0 0 25

19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Baja 2.1.1 Sejarah Baja

0 0 27

PUSAT BARALEK Ikatan Keluarga Gasan Saiyo ( IKGS ) BAB II TINJAUAN TEORITIS

0 0 17

PUSAT BARALEK IKATAN KELUARGA GASAN SAIYO (IKGS) BAB I PENDAHULUAN - Pusat Baralek Ikgs (Ikatan Keluarga Gasan Saiyo)( Arsitektur Tropis Minangkabau )

0 0 9

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman

0 0 7

Tanggap Pembungaan Bawangmerah Terhadap Aplikasi Ga3 Dan Lama Perendaman Di Dataran Tinggi Samosir

0 1 12