BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Pembangunan Ekonomi - Analisis Pendapatan Pengusaha Perikanan Tangkap pada Pelabuhan Perikanan Idi Kabupaten Aceh Timur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Pembangunan Ekonomi

  Pembangunan adalah upaya multidimensional yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya stuktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional upaya mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta perluasan kesempatan kerja (Widodo, 2006:4).

  Sedangkan pembangunan yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat pada intinya diukurnya pembangunan tersebut, menurut Jayadinata (1999), meliputi tiga kegiatan yang saling berhubungan, yaitu (a) menimbulkan peningkatan kemakmuran dan peningkatan pendapatan serta kesejahteraan sebagai tujuan, dengan tekanan perhatian pada lapisan terbesar (dengan pendapatan terkecil) dalam masyarakat; (b) memilih metode yang sesuai untuk mencapai tujuan itu; (c) menyusun kembali (restructuring) masyarakat dengan maksud agar terjadinya pertumbuhan sosial ekonomi yang kuat

  Perekonomian di Negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya tidak memiliki banyak sumber daya keuangan dan tenaga kerja yang terampil sehingga mereka tidak bisa menyia-nyiakannya dalam kegiatab usaha yang lebih produktif. Proyek-proyek investasi harus dipilih secara cermat, bukan semata-mata berdasarkan analisa produktivitas parsial seperti yang ditunjukkan oleh rasio modal output dari sebuah industri, namun juga harus lebih dikaitkan dengan program-program pembangunan secara keseluruhan (Todaro dan Smith, 2006:7).

  10 Tantangan utama pembangunan adalah untuk memperbaiki kehidupan. Kualitas kehidupan yang lebih baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang tinggi. Namun kiranya pendapatan bukanlah satu-satunya ukuran kesejahteraan. Banyak hal lain yang tidak kalah pentingnya yang harus diperjuangkan, mulai dari pendidikan, peningkatan standar kesehatan dan nutrisi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan kondisi lingkungan hidup, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan individual dan penyegaran kehidupan budaya.

  Menurut Jhingan (1999:65), untuk menentukan optimasi pembangunan dapat dilihat dari distribusi pendapatan, komposisi output, selera, biaya nyata dan perubahan tertentu lain yang berkaitan dengan pendapat tersebut. Oleh sebab itu untuk menghindari keracunan pengukuran, ukuran pandapatan nasional rill perkapita dapat digunakan sebagai ukuran dalam pembangunan ekonomi.

  Ukuran pencapaian hasil pembangunan paling tidak harus mencapai lima unsur yang dapat dilihat secara objektif. Pertama, pembangunan pada awalnya dilihat dalam kerangka pertumbuhan ekonomi masyarakat di suatu negara. Pembangunan akan berhasil, manakala indikator pertumbuhan ekonomi masyarakat cukup tinggi, diukur dari produktivitas masyarakat dan negara pada setiap tahun. Secara teknis ekonomis, produktif diukur melalui Product National

  Bruto ( PNB), atau Gross National Product (GNP), dan Product Domestic Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP).

  Kedua, dicapainya pemerataan disuatu masyarakat dalam suatu negara ukuran yang dilakukan adalah memakai perhitungan indeks gini, yang dapat mengukur adanya ketimpangan pembagian pendapatan masyarakat. Negara yang berhasil penbangunannya dengan demikian adalah negara yang produktivitasnya tinggi, penduduknya makmur dan sejahtera relatif.

  Ketiga, kualitas kehidupan yang diukur dari tingkat kesejahteraan penduduk disuatu negara dengan menggunakan tolok ukur PQLI (Physical

  Quality of Life Index ) yang berasal dari tiga indikator meliputi angka rata-rata

  harapan hidup bayi setelah satu tahun, angka rata-rata jumlah kematian bayi dan angka rata-rata persentasi buta dan melek huruf.

  Keempat, kerusakan linkungan hidup harus pula diperhitungkan. Negara yang tinggi produktivitas dapat berada pada sebuah proses pemiskinan penduduk.

  Hal itu bisa terjadi karena produktivitas yang tinggi tidak memperdulikan dampak terhadap lingkungan hidup semakin rusak, sumber daya terkuras hebat, padahal kecepatan alam untuk merehabilitasi dirinya lebih lambat dibandingkan dengan proses perusakan lingkungan. Pabrik-pabrik memang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, tetapi mereka juga menghasilkan limbah kimia yang merusak alam sekitarnya. Pembangunan ternyata tidak memiliki daya kelestarian yang memadai, akibat pembangunan tidak berkelanjutan atau tidak sustainable.

  Kelima, pembangunan harus dapat menciptakan keadilan sosial dan kesinambungan. Pembangunan yang sedang berlangsung seringkali menghasilkan kondisi ketimpangan yang sangat mencolok bagi masyarakat. Pembangunan membuat orang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin terpuruk, kondisi ini jelas akan mendatangkan kerawanan sosial. Oleh karena itu konfigurasi kekuatan sosial disuatu masyarakat akan mengarah kepada kemungkinan pertentangan yang semakin tajam.

  Konseptualisasi pembangunan merupakan proses perbaikan yang bersinambungan pada suatu masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih sejahtera, maka terdapat beberapa cara untuk menentukan tingkat kesejahteraan pada suatu negara tolok ukur pembangunan bukan hanya pendapatan perkapita, tetapi juga harus disertai oleh membaiknya distribusi pendapatan, berkurangnya kemiskinan dan mengecilnya tingkat pengangguran.

  Argumentasinya bahwa pertumbuhan ekonomi haruslah diiringi dengan pemerataan hasil-hasil pertumbuhan untuk dapat dianggap sebagai keberhasilan pembangunan. Perkembangan ekonomi dengan demikian mengandung pengertian bahwa bukan hanya terjadi pendapatan perkapita yang meningkat, tetapi seiring dengan itu meningkat pula kapabilitas rakyat yang ditunjukkan oleh meluasnya pemilikan harta atau sumber-sumber ekonomi dikalangan rakyat.

2.2. Teori Pendapatan, Produksi dan Harga

2.2.1. Pengertian Pendapatan

  Pendapatan perorangan (personal income) adalah pendapatan yang diterima oleh rumah tangga dan usaha yang bukan perusahaan. Pendapatan perseorangan juga mengurangi pajak pendapatan perusahaan dan kontribusi pada tunjangan sosial (Mankiw, 2006:9). Pendapatan adalah penghasilan yang didapat dari aktivitas pribadi/perseorangan dalam bentuk berbeda berdasarkan dari sembilan sektor jenis lapangan usaha.

  Pendapatan merupakan nilai maksimun yang diterima seseorang yang digunakan untuk konsumsi dan tabungan. Pendapatan digunakan untuk dua tujuan yaitu untuk pengeluaran konsumsi (pembelian barang dan jasa) dan ditabung di lembaga keuangan (Sukirno, 2006:60).

  Pendapatan masyarakat dapat berupa gaji, upah, sewa dan laba yang diterima dari jasa produktif (productive service). Pendapatan tersebut diterima akibat penggunaan faktor-faktor produksi untuk mewujudkan barang dan jasa, sehingga diperoleh berbagai jenis pendapatan, yaitu tanah dan harta tetap lainnya memperoleh sewa, tenaga kerja memperoleh gaji dan upah, modal memperoleh bunga dan keahlian keusahawanan memperoleh keuntungan (Sukirno, 2006:85).

  Pendapatan yang diakui setelah adanya proses produksi diikuti dengan terjadinya proses penjualan. Pendapatan yang diberikan dari pihak pengguna jasa tersebut didapat dari hasil penjualan barang produksi yang dibeli oleh masyarakat, dihitung secara kuantitatif selisih biaya produksi dengan penjualan. Pendapatan dan keuntungan atau laba merupakan kompenen dari penghasilan income.

  Pendapatan yang diperoleh pengusaha perikanan atau nelayan pemilik dan nelayan buruh dalam unit usaha perikanan keluatan mengikuti sistem bagi hasil.

  Sistem bagi hasil tangkapan yang mempertimbangkan aset produksi dengan orang yang bekerja dalam proses produksi mulai dikenal sistem mata pencaharian berkembang dan mengikuti adanya hak milik perorangan, serta mempertimbangkan investasi perorangan dalam usaha penangkapan ikan (Wahyono 2003 dalam Mulyadi 2005:75). Sistem bagi hasil ini ditentukan dari jenis teknologi yang dikembangkan dan besarnya kontribusi modal yang di investasikan. Model relasi pemilik modal dan buruh nelayan pada umunya saling menguntungkan kedua belah pihak. Hubugan antara pemilik modal dan nelayan yang berlangsung selama ini bergerak dalam betuk saling ketergantungan kedua belah pihak, meskipun dalam kenyataanya di berbagai komunitas nelayan memperlihatkan bahwa pihak anak buah kapal (ABK) berada pada posisis yang kurang menguntungkan, hal ini karena pendapatan dari para buah kapal (ABK) sangat kecil.

2.2.2. Pengertian Produksi Perikanan

  Produksi yang digambarkan melalui fungsi produksi menghubungkan input dan output. Fungsi produksi menentukan tingkat output maksimum yang biasa di produksi dengan sejumlah input tertentu atau sebaliknya (Arsyad, 2011:206). Fungsi produksi ini ditentukan oleh tingkat teknologi, peralatan, tenaga kerja, bahan-bahan baku dan lain-lain yang digunakan dalam proses produksi. Telah dinyatakan sebelumnya bahwa fungsi produksi menunjukkan sifat hubungan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang dihasilkan.

  Faktor-faktor produksi dikenal pula dengan dengan istilah input, dan jumlah produksi selalu dikenal dengan output. Fungsi produksi selalu dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut (Sukirno, 2008:195):

  Q = f (K,L,R,T) Dimana K adalah stok sejumlah modal, L adalah jumlah tenaga kerja dan ini meliputi bagai jenis tenaga kerja dengan berbagai jenis keahlian dan kewirausahaan. R adalah kekayaan alam, dan T adalah tingkat teknologi yang digunakan. Sedangkan Q adalah jumlah produksi yang dihasilkan oleh barbagai jenis faktor-faktor produksi tersebut (Sukirno, 2008:195).

  Teori produksi dalam ilmu ekonomi membedakan analisisnya kepada dua pendekatan yaitu, teori produksi dengan satu faktor berubah dan teori produksi dengan dua faktor berubah (Sukirno, 2008:195). Teori produksi dalam teori sederhana yaitu menggambarkan tentang hubungan di antara tingkat produksi suatu barang dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan berbagai tingkat produksi barang tersebut. Teori produksi dengan dua faktor berubah menggambarkan bagaimana tingkat produksi akan mengalami perubahan apabila dimisalkan satu faktor produksi yaitu tenaga kerja, terus menerus ditambah tetapi faktor-faktor produksi lainnya dianggab tetap jumlahnya, yaitu tidak dapat diubah lagi (Sukirno, 2008:195).

  Produksi perikanan yang diproleh baik pengusaha perikanan tangkap atau nelayan pemilik hanya memiliki nilai lebih apabila tidak hanya digunakan untuk dimakan, tetapi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup sehari-hari (Mulyadi, 2005:51). Masalah pemasaran merupakan aspek penting dalam kehidupan nelayan pemilik dan nelayan buruh. Permasalahannya adalah akses pemasaran yang tidak dimiliki oleh pengusaha perikanan tangkap atau nelayan pemilik, terutama nelayan pemilik yang berada dilokasi pulau terpencil kondisi ini mengakibatkan ikan hasil tangkapan mudah membusuk, ssehingga ini menjadi masalah besar yang dihadapi para pengusaha perikanan tangkap atau nelayan pemilik dan juga nelayan buruh.

2.2.3. Pengertian Harga

  Harga menggkoordinasikan keputusan-keputusan para produsen dan konsumen dalam sebuah pasar. Harga-harga yang lebih tinggi cenderung mengurangi pembelian konsumen dan mendorong produksi. Harga-harga yang lebih rendah mendorong konsumsi dan menghambat produksi. Harga adalah roda penyeimbangan dari mekanismen pasar (Samuelson dan Norhdaus, 2004:29). Pasar menyediakan kemungkinan terjadinya transaksi antara pembeli dan penjual. Jumlah barang yang dijual dengan harga tertetu.

  Dalam pasar persaingan sempurna, biasanya berlaku satu harga yaitu harga pasar (market price) (Pindyck dan Rubinfeld, 2003:9). Harga pasar ditetapkan oleh intraksi pembeli dan penjual. Dalam pasar persaingan sempurna biasanya hanya satu harga saja yang berlaku. Dalam pasar persaingan tidak sempurna penjual yang berbeda-beda dapat menetapkan harga yang berbeda pula. Maka harga pasar adalah harga rata-rata.

  Harga suatu barang yang diperjualbelikan adalah ditentukan dengan melihat keadaan keseimbangan dalam suatu pasar. Keseimbangan pasar tersebut terjadi apabila jumlah barang yang ditawarkan sama besar degan jumlah barang yang diminta (Sukirno, 2000:27). Hukum harga menyatakan bahwa perubahan penawaran akan menyebabkan berubahnya harga dalam arah yang berlawanan dengan asumsi permintaan tetap. Apabila permintaan tetap kenaikan penawaran akan menyebabkan penurunan harga dan sebaliknya penurunan penawaran akan menyebabkan naiknya harga.

2.3. Nelayan dan Perikanan

  Analisis ekonomi masyarakat pesisir beberapa pengertian mendasar dapat dikaji dalam bentuk hubungan ekonomi kelautan diantaranya yaitu, berdasarkan pendapat Kusumanto mendefinikasikan ekonomi kelautan yaitu sebagai ilmu atau pemikiran ekonomi dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan sebagai basis dalam mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan guna peningkatan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan (Apridar et al, 2011:13). Dewan Kelautan Indonesia mengelompokkan ekonomi kelautan mencakup perikanan, perhubungan, energi, dan sumberdaya mineral kelautan, wisata bahari, jasa kelautan, industri kelautan, dan non keluatan (Apridar et al, 2011:13).

  Perlu kita ketahui bahwa pembangunan perikanan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, baik sebagai pengelola produksi perikanan tangkap atau nelayan pemilik dan juga nelayan buruh dengan meningkatkan produktifitasnya, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Hasil dari peningkatan produksi ini, disamping memenuhi kebutuhan protein hewani, juga untuk meningkatkan devisa negara melalui peningkatan ekspor dan penekanan impor (Reksohadiprodjo dan Pradono, 2007:118). Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini ialah, (1) intensifikasi, (2) ekstensifikasi, (3) diversifikasi, (4) rehabilitasi, (5) peningkatan pengadaan sarana pemasaran ikan, (6) peningkatan prasarana pelabuhan perikanan dan jaringan irigasi untuk pertambakan.

  Usaha intensifikasi perikanan laut dilakukan melalui penyebaran nelayan tradisional keperairan lepas pantai dan samudera atau keperairan pantai yang lain yang potensial. Di Indonesia, modernisasi alat tangkap para nelayan tradisional didorong. Ekstensifikasi dilakukan dengan cara mengarahkan penangkapan ikan ke daerah utara, barat dan Indonesia bagian timur. Diversifikasi dilakukan dengan jalan modernisasi alat tangkap dengan melalui koperasi. Rehabilitasi ditujukan pada sarana dan prasarana penangkapan ikan. Penyuluhan dan latihan terus dilakukan, informasi pasar terus diberikan, bimbingan oleh perusahaan besar juga dilaksanakan (Reksohadiprodjo dan Pradono, 2007:118).

2.3.1 Nelayan

  Secara terminolgi nelayan buruh amat jarang penggunaan dalam soal kehidupan nelayan di Indonesia. Sehingga dalam UU Perikanan No 45 Tahun 2009 hasil revisi UU No 31 Tahun 2004 tak ada terminologi yang mendekati posisi Nelayan Buruh, UU ini hanya mendefinisikan yakni

1. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.

  2. Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton GT.

  3. Pembudidaya Ikan adalah orang yang mata pencaharianya melakukan pembudidayaan ikan

  4. Pembudi Daya Ikan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari. Imron (2003) dalam Mulyadi Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergatung langsung pada hasil laut, baik dengan cara penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal dipinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatan (Mulyadi, 2005:7).

  Pengusaha perikanan tangkap merupakan pelaku kegiatan ekonomi yang menjalankan usahanya di sektor perikanan tangkap. Menjalankan tugas sebagai penyedia sarana penangkapan ikan, baik berupa armada (boat/kapal) alat tangkap dan modal. Para pengusaha perikanan tangkap ada yang hanya sebatas penyedia sarana penangkapan ikan dan ada juga yang ikut langsung dalam proses penangkapan ikan di laut atau disebut nelayan pemilik. Penelitian Kusumawati at

  al (2010) usaha penangkapan ikan merupakan suatu kegiatan ekonomi sehingga

  dalam menjalankan aktifitasnya selalu didasarkan atas dasar pertimbangan- pertimbangan ekonomi agar usaha yang dijalankan dapat menghasilkan keuntungan. Salah satu prinsip-prinsip ekonomi adalah efisiensi.

  Selain itu juga nelayan merupakan bagian dari unit penangkapan ikan yang sangat memegang peranan penting dalam mengoperasikan suatu alat tangkap ikan karena keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan sangat ditentukan oleh keahlian nelayan. Unit penangkapan ikan terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu kapal perikanan, alat tangkap, dan nelayan (Danial, 2007).

  Secara terminologi Nelayan di Indonesia juga di klasifikasikan sebagai Nelayan Buruh, kehidupan nelayan buruh di Indonesia semakin terjepit akibat tidak mendapat perlindungan yang baik secara sosial, ekonomi maupun hukum.

  Nelayan buruh dianggab bukan bagian dari komunitas yang amat berperan dalam penggeloan sumberdaya perikanan di Indonesia. Penyebutan sebagai Anak Buah hanya angin surga padahal mereka tetaplah buruh, mereka butuh

  Kapal (ABK)

  jaminan perlindungan sosial, kesehatan dan hukum dari negara kerana itu amanat dari UUD 1945 (Apridar et al, 2011:90).

  Penelitian Sabian Ustman (2007) dalam Apridar et al menggolonggkan karakteristik masyarakat nelayan di tinjau dari sudut pandang kepemilikan aset berupa faktor produksi dan teknologi menjadi:

  1. Nelayan yang tidak memiliki alat produksi berupa kelotok atau pukat beserta segala perangkatnya, digolonggkan sebagai nelayan buruh (anak buah) sehingga pekerjaan diatur oleh juragan.

  2. Pengusaha perikanan tangkap atau nelayan yang memiliki alat produksi kelotot atau pukat beserta segala perangkatnya yang disebut juragan, sementara yang menanamkan investasi (pemodal) disebut penampung. Mereka ini tidak termasuk nelayan yang bekerja/mengantungkan dirinya pada pekerjaan nelayan.

  Kusnadi dalam Apridar et al menyatakan bahwa nelayan buruh adalah masyarakat miskin yang dominan di desa-desa nelayan. Faktor kemiskinan inilah yang mendorong mereka terlibat dalam jaringan utang piutang yang kompleks di komunitasnya (Apridar et al, 2011:92).

  Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan atau benang merah soal karakteristik nelayan buruh yakni: a) Tidak memiliki faktor produksi (kalap dan alat tangkap) dan mengoperasikan alat tangkap yang bukan miliknya b) Bermodalkan tenaganya dalam proses penangkapan ikan

  c) Bekerja pada pemiliki faktor produksi (juragan/bos)

  d) Berpendidikan rendah

  e) Minim dan tidak miliki informasi akses pasar

  f) Terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan bermukim di desa

  • – desa miskin

  g) Memiliki ketergantungan ekonomi secara permanen terhadap pemiliki modal

  Pada dasarnya penggolongan masyarakat nelayan dapat ditinjau dari tiga sudut pandang.

  1. Dari segi pengusaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring, dan perlengkapan lainnya.) struktur masyarakata nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi. Dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas 2. Ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya struktur masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil.

  Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil malah sebaliknya.

  3. Dipandang dari segi tingkat teknologi yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi kedalam nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan ikan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional.

  Berdasarkan uraian diatas nelayan buruh dapat bekerja pada unit-unit penangkapan ikan yang dimiliki nelayan besar atau nelayan modern dan nelayan kecil dan atau nelayan tradisional. Sekalipun demikian nelayan buruh yang bekerja pada unit-unit penangkapan ikan yang lebih modern atau canggih, seperti perahu sleret (one boat purse seine), yang digunakan untuk menanggkap jenis- jenis ikan pelagis, tidak mesti lebih baik tingkat kesejahteraan hidupnya dibandingkan dengan nelayan buruh yang bekerja pada unit-unit penangkapan tradisional, seperti sampan pancing, yang digunakan untuk menangkap ikan tongkol, cakalang, dan layang (pelagic fish) atau perahu jaring senar, yang dipakai untuk menangkap jenis-jenis ikan dasar (demersal fish).

  Ketimpangan sistem bagi hasil antara nelayan pemilik dangan nelayan buruh lebih besar terjadi pada unit-unit penangkapan yang lebih canggih/modern, sehingga kecendrungan ini sangat merugikan nelayan buruh. Data dan sebagian hasil studi yang ada selama ini telah menunjukkan bahwa dibandingkan dengan nelayan pemilik, tingkat kehidupan sosial ekonomi nelayan buruh sangat rendah dan bahkan dapat dikatakan sebagai lapis sosial yang paling miskin di desa-desa pesisir (Kusnadi, 2006:4).

2.3.2. Stuktur Ekonomi Masyarakat Nelayan

  Struktur sosial ekonomi masyarakat nelayan oleh sebagian besar orang termasuk para birokrat, dilihat dari suatu yang homogen, seragam dan sebangun ini bisa dilihat sebagimana mereka memperlakukan masyarakat nelayan secara seragam melalui berbagai program seragam yang diluncurkan bagi masyarakat nelayan. Pandangan keliru ini terutama pada masa Orde Baru, paradigma dan berpikir dan berpraksis negara bersifat sentralis, homogen dan hirarkis.

  Kenyataannya masyarakat nelayan beraneka ragam dalam berbagai dimensi, dilihat dimensi pekerjaan, masyarakat nelayan terdiri atas 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok yang terikat (langsung) dan yang tidak terikat dengan aktifitas kelautan/perikanan. Kelompok yang terikat (langsung) dengan aktifitas kelautan/perikanan terdiri dari 2 (dua) sub kelompok yaitu: sub kelompok pencari/penangkap hasil kelautan/perikanan dan pembudidaya hasil kelautan/perikanan. Sedangkan pencari hasil kelautan/perikanan meliputi pemilik alat produksi /tangkap seperti toke, juragan, bos atau nama lain. Mereka juga beragam, bisa berada pada lapisan atas, menengah atau bawah. Kemudian juga masuk didalamnya nelayan pekerja (buruh), nelayan mandiri, dan pedagang ikan (kecil, menengah dan besar). Selanjutnya pembudidaya hasil kelautan/perikanan mencakup alat produksi pekerja (buruh), nelayan pembudidaya mandiri, dan pedagang hasil budidaya kelautan/perikanan (kecil, menengah dan besar). Kelompok yang tidak terikat (langsung) dengan aktifitas kelautan/perikanan seperti pada gang/pemilik warung makanan, pedagang kebutuhan sehari

  • – hari, petugas koperasi dan sebagainya. Pada umumnya masyarakat nelayan yang menyelesaikan pendidikan menengah dan tinggi berasal dari kelompok pembudidaya hasil kelautan/perikanan, sebagian juga berasal dari dari para juragan pemilik alat produksi/alat tangkap ikan (Damsar dan Elfina, 2005).

2.3.3. Modal Awal Produksi Perikanan Tangkap

  Modal produksi perikanan tangkap adalah biaya produski nelayan pemilik maupun nelayan buruh selama melaut. Biaya produksi atau bisa disebutkan ongkos produksi terdiri dari dua kategori, yaitu biaya produksi berupa pengeluaran nyata (actuali cost) dan ongkos yang tidak merupakan pengeluaran nyata (inputed cost) (Mulyadi, 2005:88).

  Pengeluran nyata ada yang kontan dan ada yang tidak kontan. Pengeluran kontan adalah bahan bakar dan oli, bahan pengawet (es dan garam), pengeluaran untuk makanan/konsumsi nelayan, pengeluaran untuk reparasi dan pengeluaran untuk retribusi pajak. Pengeluaran tidak kontan adalah gaji/upah nelayan anak buah kapal (ABK) yang umumnya bersifat bagi hasil dan dibayar sesudah hasil tangkapan dijual. Pengeluaran tidak nyata lainnya penyusutan dari kapal (boat), mesin-mesin dan alat-alat tangkap. Pengeluaran ini hanya merupakan penilaian yang tidak pasti, yang dilakukan disini hanya taksiran kasar.

  2.3.4. Teknologi Penangkapan Ikan

  Teknologi penangkapan ikan oleh para nelayan di indonesia pada umumnya masih mengalami keterbatasan teknologi dalam penangkapan ikan (Mulyadi, 2005:50). Alat tangkap yang digunakan masih sangat sederhana, sehingga wilayah tangkapan masih sangat terbatas hanya sekitar diperairan pantai.

  Hal ini terkecuali jika pengusaha perikanan tangkap atau nelayan pemilik bersedia mengeluarkan biaya yang besar untuk meningkatkan teknologi yang lebih modern dalam penangkapan ikan.

  Rendahnya teknologi penangkapan ikan mengakibatkan hasil tangkapan menjadi terbatas, dengan kesederhanaan alat tangkap yang dimiliki, pada musim tertentu tidak ada tangkapan yang bisa diperoleh. Kondisi ini merugikan nelayan karena secara riil rata-rata pendapatan perbulan menjadi lebih kecil. Namun apabila teknologi yang digunakann lebih modern itu tidak terlepas dari peran pihak ketiga dalam proses produski perikanan tangkap, sehingga ini akan menekan harga produksi perikanan tangkap.

  2.3.5. Pasar Produksi Perikanan

  Dalam suatu komunitas nelayan biasanya terdiri dua kelompok besar, yaitu kelompok produsen (para penangkap ikan) dalam kelompok pemasaran (para pedagang yang membeli dan menjual kembali ikan hasil tangkapan nelayan). Dalam hal ini kelompok pemasaran dapat dikatakan sebagai institusi yang menjebatani antara nelayan dengan pasar. Sementara itu kelompok produsen dapat dibedakan menjadi nelayan pemilik perahu dan peralatan perikanan (juragan) serta nelayan yang bekerja sebagai buruh nelayan (Mulyadi, 2005:79).

  Dewasa ini, hubungan hutang-piutang berdampak pada ketergantungan secara ekonomi dengan mudah dapat dilihat pada hampir semua masyarakat nelayan. Pada awalnya hubungan tersebut masih bersifat mutualisme, dalam arti nelayan sebagi klien membutuhkan pertolongan ekonomi dari patron pada saat paceklik. Sebaliknya pengusaha perikanan tangkap atau nelayan pemilik harus menjual ikan hasil tangkapannya pada patronnya. Pada tahap-tahap awal harga yang ditetapkan oleh patron terhadap ikan hasil tangkapan kliennya masih cukup memadai, tetapi lama kelamaan dengan berbagai alasan harga tersebut seringkali terus merosot. Kalau dominasi patron ini sudah sangat mencengkram kliennya, hubungan yang terjalin kemudian lebih tepat dikatakan sebagai bentuk eksploitasi (Mulyadi, 2005:81).

  Kondisi semacam itu tetap lebih baik bagi nelayan pemilik meskipun berada dalam ketergantungan, tetapi hidupnya tetap terjamin bila sedang menghadapi masa paceklik ikan atau kebutuhan ekonomi yang mendesak. Adapun alternatif pinjaman dari sumber lain seperti koperasi atau bank, sangat sulit karena koperasi atau bank cenderung tidak mempercayai nelayan pemilik kalaupun dipercaya, diperlukan prosedur yang rumit serta agunan yang jelas, disamping hambatan status sosial diantara petugas dan peminjam (Mulyadi, 2005:82).

2.3.6. Strategi dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat Nelayan

  Strategi dalam pemberdayaan masyarakat nelayan yang dikembangkan untuk mencapai tujuan secara optimal. Masyarakat nelayan membuka diri terhadap partisipasi pihak-pihak lain, seperti swasta, LSM, atau perguruan tinggi yang memiliki kepedulian terhadap masyarakat pesisir diantaranya yaitu: (Kusnadi, 2007:24) 1.

  Masyarakat nelayan yang diposisikan dan diperlakukan sebagai subjek pemberdayaan karena merekalah yang nantinya akan pelaku aktif atau aktor utama pembangunan di daerahnya, pemberdayaan masyarakat diletakkan sebagai mediator dan fasilitator pemberdayaan.

  2. Kegitan pemberdayaan pada masyarakat nelayan bukan bersifat fisik, seperti membangun atau membantu fasilitas sarana dan prasarana ekonomi dan sosial, melainkan labih ditekankan pada kegiatan nonfisik karena substansi pemberdayaan diarahkan sepenuhnya untuk investasi pembangunan sumber daya manusia yang dalam jangka panjang.

  3. Kegiatan pemberdayaan ini berbasis kelembagaan sosial ekonomi kerakyatan, serta bertujuan memperkuat eksistensi kelembagaan/organisasi sosial ekonomi.

  4. Kegiatan pemberdayaan bersifat berkelanjutan, minimal 3 (tiga) tahun yang dilaksanakan secara terus

  • –menerus disertai dengan pendampingan instensiif dan target pencapaian tujuan yang lebih jelas.

  5. Tujuan kegiatan pemberdayaan akan tercapai dengan lancar apabila didukung oleh jaringan kemitraan yang luas. Artinya pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Pencapain hasil yang optimal jika di dukung kebijakan pemerintah, partisipasi pihak swasta (pengusaha), keterlibatan lembaga perbankan, dan kotribusi dari pihak lain yang peduli terhadap pengembangan pembagunan masyarakat dikawasan pesisir.

  Sehingga pemberdayaan masyarakat nelayan merupakan sebuah proses sosial yang cukup panjang untuk memcapai tujuan. Disamping sebagai proses sosial, pemberdayaan adalah strategi, sarana, fasilitas, media atau instrumen lain.

  Adapun strategi pembangunan masyarakat nelayan yaitu membantu masyarakat untuk dapat membangun dan berkembang atas kemampuan dan kekuatan sendiri, dengan mendasarkan pada pengembangan potensi alam lingkungannya, adapun kebijakan yang diambil dalam pembangunan masyarakat nelayan meliputi: (Mulyadi, 2005:127) 1.

  Program masyarakat nelayan diarahkan untuk mencegah dan meniadakan kemiskinan dan kesengsaraan yang dapat terjadi di kalangan masyarakat.

  Untuk itu perlu selalu dilakukan usaha

  • – usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan hidup minimum, sehingga dapat terpenuhinya kebutuhan ini akan dapat mendorong masyarakat desa untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang dengan kekuatan sendiri/madiri.

  2. Mendorong dan meningkatkan aktivitas, kreatifitas, prestasi dan partisipasi, masyarakat dalam pembangunan.

  3. Usaha menghapus kemiskinan di kalangan masyarakat perlu diusahakan peningkatan sumber daya alam, swadaya serta produktivitas masyarakat guna dapat menciptakan kehidupan ekonomi yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan dan taraf hidup masyarakat.

  4. Meningkatkan dan memanfaatkan peranan lembaga – lembaga masyarakat yang berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

  5. Pembangunan masyarakat nelayan diarahkan untuk lebih mengutamakan desa dengan masyarakat yang relatif miskin, masyarakat terpencil, masyarakat diwilayah kritis, wilayah pantai, kepulauan, perbatasan dan sebagainya.

2.3.7. Kemitraan Masyarakat Nelayan

  Masyarakat nelayan yang melakukan kerjasama dalam bentuk Co

  Management dan CBCR. Co Management perikanan dapat dirumuskan sebagai

  pengaturan kemitraan kedinasan pemerintah, nelayan, LSM dan stakeholder lainnya (pedagang ikan, pemilik boat, para pengusaha dan sebaginya) berbagi tanggung jawab dan otoritas untuk melakukan manajemen perikanan.

  Co Management meliputi berbagai bentuk kemitraan dan tingkat

  pembagian kekuasaan dan keterpaduan lokal (informal, tradisional, adat istiadat) dengan sistem manajemen pemerintahan terpusat ataupun otonomi daerah sedangkan Community Based Coastral Resource Management (CBCRM) ialah cental Co Management sebagai proses dimana masyarakat pantai sendiri diberikan peluang untuk tanggung jawab mengatur sumber daya alam pantai yang mendaftarkan sendiri kebutuhannya serta menentukan arah dan tujuan aspirasinya, (Mulyadi, 2005:123).

  Menurut Sajise (1995) dalam Mulyadi (2005:124) Community Based

  Coastral Resource Management (CBCRM) sebagai pendekatan yang

  menitikberatkan kemampuan masyarakat serta tanggung jawab mereka mengelola sumber daya alam pentai. Pada dasarnya pendekatan tersebut ialah memberdayakan masyarakat, meningkatkan produktivitas sumber daya alam agar proses pembangunan dapat diwujudkan.

  Co Management meliputi aneka ragam kemitraan dan jenjang keterpaduan

  antara berbagai kekuasaan dan integrasi antara masyarakat lokal (intelektual dan pengetua adat istiadat) dan sistem pemerintahan pusat dan daerah. Jumlah tanggung jawab dan kewenangan yang dikuasai oleh pemerintah dan masyarakat nelayan akan tergantung atas kondisi

  • – kondisi lokal daerah masing – masing (Mulyadi, 2005:125).

2.3.8. Kebijakan Pemerintah

  Salah satu akar kemiskinan masyarakat nelayan adalah keterbatasan mengakses permodalan yang ditunjang oleh kultur kewirausahaan yang tidak kondusif yang dilandasi dengan sifat usaha yang individual, tradisional dan subsistem. Kebijakan pemerintah Dahuri (2004) dalam (Mulyadi, 2005:139) adalah sebagai berikut: 1.

  Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PPEM) Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat yang disingkat PPEM yang setiap tahapan kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan. Usaha yang didanai dan dikembangkan dalam program PPEM diproritaskan pada jenis usaha yang dapat memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut serta usaha lainnya yang terkait. Jenis usahannya seperti penangkapan, budidaya, pengolahan hasil perikanan, pengadaan bahan alat perikanan, BBM, es, serta pupuk dan obat-obatan.

2. Program COFISH

  COFISH merupakan proyek pembangunan masyarakat pantai/nelayan dan pengelolaan sumber daya perikanan yang bertujuan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan dengan cara mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang merusak dan berlebihan, memperbaiki mutu sumberdaya perikanan serta habitatnya.

  3. Program PUPTSK Program Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil (PUPTSK) berorientasi pada upaya untuk memberdayakan nelayan kecil, menengah berserta anggotanya di lokasi Pelabuhan Perikanan, di Indonesia seperti meningkatkan produksi dan produktivitas yang optimal, meningkatkan mutu dan pengolahan ikan serta pemasaran.

  4. Program KUB Program Kelompok Usaha Bersama (KUB) adalah suatu kelompok yang melakukan kegiatan usaha dibidang perikanan berdasarkan hasil kesepakatan atau musyawarah seluruh anggota yang dilandasi oleh kepentingan kebutuhan keinginan bersama.

2.3.9. Partisipasi Lembaga Keuangan

  Kerja sama Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan lembaga keuangan dalam hal ini dicontohkan lembaga keuangan adalah PT. Bank Bukopin yang berkaitan dengan tindak lanjut program PPEM dimasa yang akan datang. Selain itu ada bentuk kerjasama yang dilakukan oleh departemen kelautan dan perikanan (DKP) dengan lembaga keuangan lainnya yaitu PT. Permodalan Nasional Madani (PNM) dalam hal ini berperan sebagai pemberi tambahan modal bagi operasional Bank Perkreditan Rakyat (BPR), ada juga bentuk kerja sama lainnya yang di lakukan oleh departemen kelautan dan perikanan (DKP) dengan PT. Bank Mandiri dalam bentuk Kredit Mina Mandiri (KMM) yang dilaksanakan dalam upaya untuk menyediakan modal usaha masyarakat pesisir terutama segmen mengah keatas (Mulyadi, 2005:147).

2.3.10. Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan

  Dalam mengukur kesejahteraan nelayan dilihat dari pendapatan yang diperoleh nelayan dipengaruhi oleh beberapa faktor Sujarno (2008) ada tiga faktor lain yang mempengaruhi peningkatan pendapatan nelayan yaitu :

  1. Teknologi Teknologi terkait dengan peralatan yang digunakan oleh nelayan dalam penangkapan ikan adalah perahu tanpa mesin atau perahu dengan mesin, jaring dan pancing. Peralatan atau Biaya nelayan adalah nilai dari peralatan yang digunakan seperti harga perahu, harga peralatan penangkapan ikan, dan bahan makanan yang dibawa melaut dan yang ditinggalkan dirumah. Ini merupakan

  input bagi nelayan dalam melaut (menangkap ikan). Selain itu jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam melaut.

  2. Sosial Ekonomi Beberapa faktor sosial ekonomi adalah usia, pendidikan, pengalaman, peralatan, keikutsertaan dalam organisasi nelayan, dan musim. Usia mempengaruhi pendapatan nelayan karena seseorang yang telah berumur 15 tahun ke atas yang dapat disebut nelayan. Pendidikan yang ditempuh nelayan juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan nelayan. Pengalaman menentukan keterampilan nelayan dalam melaut, semakin terampil nelayan maka hasil tangkapan cenderung semakin baik. Faktor kepemilikan peralatan yang digunakan nelayan apakah nelayan memiliki peralatan sendiri atau tidak. Apabila nelayan tidak memiliki peralatan sendiri dan hanya menerima gaji, maka dikatakan buruh nelayan. Keberadaan organisasi dan keikutsertaan nelayan dalam organisasi diharapkan dapat memberi dampak positif bagi pendapatan nelayan.

  3. Tata Niaga Ikan adalah komoditi yang mudah rusak, jadi proses penyimpanannya harus baik. Kualitas ikan mempengaruhi harga jual ikan di pasaran. Jadi dilihat nilai efisiensi penggunaan tata niaga perikanan tersebut, semakin baik dan efisien tata niaga perikanan tersebut, berarti semakin baik pula harganya.

  Menurut (Fauzi 2010 dalam Fauziah 2011) sektor perikanan mengalami masalah yang cukup serius terkait dengan perubahan iklim dan dampaknya terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap maupun budidaya. Perubahan gradual peningkatan suhu yang terjadi secara global berakibat pada perubahan aspek biofisik seperti perubahan cuaca yang ekstrem, kenaikan paras muka laut, perubahan jejaring makanan, dan perubahan fisiologis reproduksi akan berdampak pada aspek sosial ekonomi perikanan.

  Setidaknya ada dua fenomena ekstrem terhadap lautan akibat perubahan iklim global yakni kenaikan suhu air laut dan permukaan laut. Kenaikan suhu air laut mempengaruhi ekosistem terumbu karang yang menjadi fishing ground dan

  

nursery ground ikan yang hidup di wilayah itu. Ikan-ikan yang hidup di daerah

  karang akan mengalami penurunan populasi. Sementara itu, kenaikan permukaan air laut berdampak luas terhadap aktivitas nelayan tambak di wilayah pesisir.

  Menurut (Muttaqien 2010 dalam Fauziah, 2011) produktivitas nelayan diperkirakan turun 60% akibat anomali iklim yang ditandai tingginya curah hujan dan ombak besar, sehingga kegiatan melaut menjadi membahayakan. Pengaruh cuaca ekstrim yang ditandai dengan curah hujan yang tinggi menyebabkan kadar keasaman air laut menurun. Sehingga wilayah penangkapan semakin jauh dan tidak terjangkau oleh nelayan kecil yang hanya menggunakan perahu tradisonal.

  Selain itu, gelombang tinggi dan angin kencang menyebabkan nelayan tidak dapat melaut. Ombak yang biasanya hanya setinggi satu meter akan meningkat drastis hingga mencapai dua meter atau lebih antara udara dan laut terjadi interaksi yang erat.

2.4. Pelabuhan Perikanan

  Departemen perhubungan menggolongkan pelabuhan perikanan termasuk dalam pelabuhan khusus. Artinya pelabuhan khusus yaitu pelabuhan yang penggunaannya khusus untuk kegiatan sektor perindustrian, pertambangan, atau pertanian dalam arti luas.

  Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian RI (1984) Pelabuhan perikanan adalah pelabuhan yang secara khusus menampung kegiatan masyarakat perikanan baik dilihat dari aspek produksi, pengolahan maupun aspek pemasarannya.

  Menurut Departemem Pertanian dan Departemem Perhubungan (1996) Pelabuhan Perikanan adalah sebagai tempat pelayanan umum bagi masyarakat nelayan dan usaha perikanan, sebagai pusat pembinaan dan peningkatan kegiatan ekonomi perikanan yang dilengkapi dengan fasilitas di darat dan di perairan sekitarnya untuk digunakan sebagai pangkalan operasional tempat berlabuh, bertambat, mendaratkan hasil, penanganan, pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil perikanan.

  Menurut Lubis, (2012:14) pelabuhan perikanan adalah suatu wilayah perpaduan antara wilayah daratan dan lautan, yang digunakan sebagai penangkalan kegiatan penangkapan ikan dan dilengkapi dengan barbagai fasilatas sejak ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Secara singkat pelabuhan perikanan merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran, baik berskala lokal, nasional, maupun internasional. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994) aspek-aspek tesebut dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Produksi Pelabuhan perikanan sebagai tempat para nelayan untuk melakukan kegiatan-kegiatan produksinya, mulai dari memenuhi kebutuhan perbekalan untuk melaut sampai pada membongkar hasil tangkapanya.

  2. Pengolahan Pelabuhan perikanan menyediakan berbagai sarana yang dibutuhkan untuk mengolah hasil tangkapannya.

  3. Pemasaran Pelabuhan Perikanan merupakan pusat pengumpulan dan tempat awal pemasaran hasil tangkapannya.

2.4.1 Klasifikasi Pelabuhan Perikanan

  Pelabuhan perikanan berdasarkan jenis dan skala usaha perikanan dapat dijelaskan sebagai berikut: (Lubis, 1989:57)

  1. Pelabuhan perikanan berskala besar atau perikanan laut dalam, yaitu pelabuhan untuk perikanan industri atau bersandarnya kapal-kapal penangkapan yang berukuran besar dan ukuran panjangnya antara 40 sampai 120 m; berat > 50 GT. Pelabuhan yang mempunyai kolam pelabuhan dalam dan dermaga yang lebih panjang dari pelabuhan skala menengah. Di pelabuhan ini terdapat juga perusahaan-perusahaan industri pengolahan dan grosir atau pedagang-pedagang besar. Hasil tangkapan yang didaratkan, didistribusikan untuk tujuan nasional maupun internasional.

  2. Pelabuhan bersakala menengah, yaitu pelabuhan untuk perikanan semi industri atau tempat berlabuh dan bertambatnya kapal-kapal penangkapan ikan berukuran antara 15 sampai 50 GT. Di palabuhan ini terkadang terdapat juga perusahaan-perusahaan pengolahan ikan dan pada umumnya hasil tangkapannya untuk tujuan nasional dan sedikit untuk lokal.

  3. Pelabuhan perikanan berskala kecil/perikanan pantai, yaitu pelabuhan untuk perikanan kecil atau perikanan tradisional atau tempat berlabuh dan bertambatnya kapal-kapal penangkapan ukuran <15 GT. Pelabuhan ini mempunyai kolam pelabuhan tidak dalam. Hasil tangkapan yang didaratkan pada umumnya dalam bentuk segar atau dipertahankan kesegarannya dengan menambahkan es. Hasil tangkapan ditujukan terutama untuk pemasaran lokal.

  Sedangkan menurut daerah operasi penangkapan pelabuhan perikanan di bagi menjadi :

  1. Pelabuhan perikanan laut lepas, yaitu pelabuhan tempat berlabuh atau bersandarnya kapal-kapal ikan yang melakukan penangkapan di laut lepas atau diperairan zona ekonomi eksklusif (ZEE).

  2. Pelabuhan perikanan lepas pantai, yaitu pelabuhan tempat berlabuh atau bersandarnya kapal-kapal ikan yang melakukan penangkapan di lapas pantai atau diperairan nusantara.

  3. Pelabuhan perikanan pantai, yaitu pelabuhan tempat berlabuh atau bersandarnya kapal-kapal ikan yang melakukan penangkapan di perairan pantai. Menurut Murdiyanto (2004) dalam Agustianur dan Fitriana klasifikasi besar-kecil usahanya pelabuhan perikanan dibedakan menjadi empat tipe pelabuhan, yaitu : 1.

  Pelabuhan Perikanan Tipe A (Pelabuhan Perikanan Samudera) Pelabuhan perikanan tipe ini adalah pelabuhan perikanan yang Pelabuhan perikanan tipe ini adalah pelabuhan perikanan yan diperuntukkan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di perairan samudera yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan jarak jauh sampai ke perairan ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia) dan perairan internasional, mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah sumber daya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah hasil ikan yang didaratkan. Adapun jumlah ikan yang didaratkan minimum sebanyak 200 ton/hari atau 73.000 ton/tahun baik untuk pemasaran di dalam maupun di luar negeri (ekspor). Pelabuhan perikanan tipe A ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran lebih besar daripada 60 GT (Gross Tonage) sebanyak sampai dengan 100 unit kapal sekaligus.

  Mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 30 Ha.

  2. Pelabuhan Perikanan Tipe B (Pelabuhan Perikanan Nusantara) Pelabuhan perikanan tipe ini adalah pelabuhan perikanan yang diperuntukkan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di perairan nusantara yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan jarak sedang ke perairan ZEEI, mempunyai perlengkapan untuk menangani dan/atau mengolah ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang didaratkan. Adapun jumlah ikan yang didaratkan minimum sebanyak 50 ton/hari atau 18.250 ton/tahun untuk pemasaan di dalam negeri. Pelabuhan perikanan tipe B ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran sampai dengan 60 GT (Gross Tonage) sebanyak sampai dengan 50 unit kapal sekaligus. Mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 10 Ha.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pembuatan Bonded Anisotropi Magnet NdFeB dan Karakterisasinya

0 2 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Antara Ukuran Partikel Pada Pembuatan Bonded Permanen Magnet Nd-Fe-B Terhadap Struktur Mikro dan Sifat Magnet

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Komposisi Dan Lama Perendaman Serat Palem Saray Terhadap Sifat Komposit Dengan Matriks Poliester

0 0 17

2.1 Analisis Survival - Penerapan Regresi Cox Proportional hazard pada Analisis Survival dan Identifikasi Faktor Lama Studi Mahasiswa S-1 Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 0 13

Penerapan Regresi Cox Proportional hazard pada Analisis Survival dan Identifikasi Faktor Lama Studi Mahasiswa S-1 Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

1 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku - Perilaku Suami Dalam Merawat Ibu Masa Nifas di Klinik Niar Medan Amplas Tahun 2012

0 1 18

CHAPTER I INTRODUCTION - Analysis Of Translation Techniques And Shifts Of Batak Toba Cultural Terms In Inside Sumatera: Tourism And Life Style Magazine

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Formal Ibu 1. Pengertian Ibu - Hubungan Tingkat Pendidikan Formal Ibu dengan Pola Pengasuhan Balita di Dusun X Medan EstateTahun 2012

0 0 10

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Inisiasi Menyusu Dini 1. Defenisi - Gambaran Peran Bidan Dalam Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini di wilayah Kerja Puskesmas Padang Bulan Medan Tahun 2012

0 0 20

Analisis Pendapatan Pengusaha Perikanan Tangkap pada Pelabuhan Perikanan Idi Kabupaten Aceh Timur

0 2 48