The Overview of Helminthiasis Risk Factor of Elementary School Children In Banjarmasin City

  

Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 1, 2015 : 21 - 28

Gambaran Faktor Resiko Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar di Kota Banjarmasin The Overview of Helminthiasis Risk Factor of Elementary School Children In Banjarmasin City Juhairiyah*, Annida, Liestiana Indriyati Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Jl. Lokalitbang, Gunung Tinggi, Batulicin, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Indonesia

  INFO ARTIKEL A B S T R A C T / A B S T R A K Helminthiasisis is an endemic and chronic diseases caused by parasitic worms that tend Article History: not lethal but undermined the health of the human body. Helminthiasis is closely related to Received: 19 May 2015 people's behavior, especially personal hygiene and sanitation. The goal of this research Revised: 3 Jun. 2015 were identify the risk factors of helminthiasis in primary school-student that can be used Accepted: 19 Jun. 2015 as a basic information in determining the model of interventions and prevention for helmint transmission and infestation effectively and efficiently in Banjarmasin. The study

  Keywords: design was observational analytic studies conducted in period of April to December 2011 habit, in Banjarmasin. Data were obtained by interview questionnaire. The population was all helminthiasis, elementary school students and their parents/guardians in Banjarmasin. Stools samples risk was taken from elementary school children and questionnaire sample was done by doing interview to their parents /guardians. Based on stool examination there were 11(3%) positive samples identified (3%), which 7 (1,9%) was caused by T. trichiura, 1 (0,3%) was caused by E. vermicularis, and 3 (0,8%) was caused by Hymenoepis sp. Questioneire data of parents/guardians about helminthiasis showed that 56,3% parents classified as good knowledge category, 66,6% in good attitude category and 56,3% in good behavior category.

  Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik yang diakibatkan oleh cacing Kata Kunci: parasit yang cenderung tidak mematikan namun menggerogoti kesehatan tubuh kebiasaan, manusia. Penyakit kecacingan erat kaitannya dengan perilaku masyarakat dalam hal kecacingan, kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk resiko mengetahui faktor risiko kecacinganpada anak Sekolah Dasar (SD) yang dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan model intervensi pencegahan penularan dan penanggulangan kecacingan secara efektif dan efisien di Kota Banjarmasin.

  Penelitian menggunakan rancangan studi observasional analitik yang dilakukan pada bulan April-Desember 2011 di Kota Banjarmasin. Data diperoleh dengan melakukan wawancara kuesioner. Populasi adalah semua anak SD dan orang tua/ wali anak sekolah dasar di kota Banjarmasin. Sampel untuk pengambilan feses adalah anak SD dan sampel untuk wawancara kuesioner adalah orang tua/ wali anak SD di kota Banjarmasin. Pemeriksaan feses yang dilakukan pada anak SD didapat hasil positif 11 (3%) sampel tinja, 7 orang (1,9%) disebabkan oleh Trichuris trichiura, 1 orang (0,3%) disebabkan oleh Enterobius vermicularis, dan 3 orang (0,8%) disebabkan oleh Hymenoepis sp. Pengetahuan orang tua/wali anak SD mengenai kecacingan dengan kategori baik (56,3%), memiliki sikap pada kategori baik (66,6%) dan memiliki perilaku yang berada pada kategori baik (56,3%).

  © 2015 2015 Jurnal Vektor Penyakit. All rights reserved. Alamat Korespondensi : email : ju2_juju@yahoo.com

  PENDAHULUAN

  Ke c a c i n g a n m e r u p a k a n p e nya k i t endemik dan kronik yang diakibatkan oleh cacing parasit yang cenderung tidak mematikan namun menggerogoti kesehatan t u b u h m a n u s i a , s e h i n g g a b e ra k i b a t menurunnya kondisi gizi dan kesehatan m a s y a r a k a t . U m u m n y a , k e c a c i n g a n disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris

  lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) yang

  d i ke l o m p o k ka n s e b a ga i c a c i n g ya n g ditularkan melalui tanah (Soil Trasmitted

  Helminth/ STH), karena penularannya dari 1 satu orang ke orang lain melalui tanah.

  Anemia gizi merupakan dampak yang d i t i m b u l k a n a k i b a t ke c a c i n g a n d a n berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan dan produktivitas penderita. Kecacingan yang b e r a t d a n k r o n i s t e r b u k t i s a n g a t m e m p e n g a r u h i p e r t u m b u h a n d a n perkembangan fisik maupun mental anak- anak, yang pada akhirnya akan berdampak 1,2 pada gangguan kemampuan belajar. Hasil survei kecacingan yang dilakukan oleh Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu tahun

  2008-2009 di 13 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan didapatkan 23% anak sekolah yang menderita kecacingan, dengan prevalensi askariasis 10%, trikuriasis 8%, dan hookworm 3%. Sedangkan prevalensi kecacingan di masing-masing kabupaten, yaitu 21% di Kabupaten Banjar, 16% di Kota Banjarbaru, 16% di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), 8% di Kotabaru, 7% di Kota Banjarmasin, 6% di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), dan 2% di Hulu Sungai Tengah 3 (HST).

  Perbedaan prevalensi kecacingan yang terjadi di Kalimantan Selatan disebabkan oleh perbedaan karakteristik wilayah berupa daerah rawa, pantai, pegunungan, hutan/ a re a l p e r t a m b a n ga n , p e rko t a a n d a n p e d e s a a n , s e r t a a d a nya p e n g o b a t a n kecacingan yang dilakukan sebelum survei penelitian di daerah-daerah tertentu. Banyak fa k to r ya n g m e nye b a b ka n t i n g g i nya prevalensi kecacingan pada anak sekolah, antara lain kurangnya pemakaian jamban sehingga menimbulkan pencemaran tanah oleh tinja. Penyakit kecacingan erat kaitannya dengan perilaku masyarakat dalam hal keb ersiha n p erora n ga n da n sa n it a si lingkungan, oleh sebab itu pemeliharaan kesehatan pribadi dan kebersihan lingkungan jelas akan membantu pengendalian penyakit kecacingan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kecacingan pada anak Sekolah Dasar (SD) yang dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan model intervensi pencegahan penularan dan penanggulangan kecacingan secara efektif dan efisien di Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan.

  Penelitian menggunakan rancangan studi observasional analitik yang dilakukan selama 9 bulan, pada bulan April-Desember 2011 di Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan. Populasi pada penelitian adalah semua anak SD dan orang tua/ wali anak sekolah dasar di kota Banjarmasin. Sampel untuk pengambilan feses adalah anak SD dan sampel untuk wawancara kuesioner adalah orang tua/ wali anak SD di kota Banjarmasin, dengan jumlah sampel minimal secara cluster sampling yaitu SD yang terpilih minimal ¼ dari total SD yang ada di kabupaten tersebut, kemudian jumlah anak SD dan orang tua/wali murid di setiap SD-SD terpilih diambil dengan cara membagi jumlah sampel yang diambil dalam 1 SD dengan jumlah kelas. Kriteria inklusi sampel adalah penduduk yang tinggal menetap lebih dari 3 bulan, dan kriteria eksklusi adalah anak SD yang tidak hadir saat pengambilan feses dan penduduk yang tidak bersedia diwawancara. Jumlah sampel d i h i t u n g b e r d a s a r k a n r u m u s y a n g 4 dikembangkan oleh Snedecor dan Cochran.

  Data penelitian diperoleh dengan melakukan pengambilan dan pemeriksaan feses terhadap anak SD untuk mengetahui proporsi kecacingan. Setiap anak SD yang menjadi sampel diberi pot tinja yang telah diberi label agar tidak tertukar saat pengumpulan. Pengumpulan pot yang telah terisi sampel tinja dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Tinja yang dimasukkan dalam pot kurang lebih sebesar ibu jari. Sampel tinja yang telah terkumpul diperiksa dengan m e n g g u n a k a n m e t o d e K a t o K a t z . 5 Wawancara terhadap kepala keluarga/orang

  Gambaran Faktor Resiko Kecacingan............ (Juhairiyah, et al)

BAHAN DAN METODE

  Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 1, 2015 : 21 - 28

  tua/wali anak SD untuk mengetahui kebiasaan anak, pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua/wali terhadap kecacingan. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Data gambaran umum kota Banjarmasin diperoleh dari data s e k u n d e r d i D i n a s Ke s e h a t a n Ko t a Banjarmasin.

  HASIL

  Gambar 1. Proporsi Kecacingan

  Gambaran Umum Kota Banjarmasin

  di Wilayah Kota Banjarmasin Kota Banjarmasin terletak di muara dan dibelah dua oleh sungai Martapura.

  Wawancara Kuesioner terhadap Orang

  Kemiringan antara 0,13% dengan susunan

  tua/ Wali Anak SD

  g e o l o g i t e r u t a m a b a g i a n b a w a h n ya Wawancara kuesioner berhasil dilakukan didominasi oleh tanah lempung dengan terhadap 320 orangtua/wali sebagai sisipan pasir halus dan endapan aluvium yang responden yang sebagian besar adalah laki- terdiri dari lempung hitam keabuan dan laki 267 (83%) dan mayoritas responden 181 lunak. Kondisi tanah sebagian terdiri dari (56,6%) berpendidikan setingkat SD terlihat rawa-rawa tergenang air, di samping pada (Tabel 1.) pengaruh musim hujan dan musim kemarau sehingga iklimnya bersifat tropis. Suhu rata- o Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin dan rata antara 25-38 C, curah hujan rata-rata

  Tingkat Pendidikan Responden 278,71mm perbulan. Secara geografis Kota o Banjarmasin terletak antara 3 16'46” derajat Variabel N % o dan 3 22'34” derajat lintang selatan serta Jenis Kelamin o o

  Laki-laki 267

  83 114 31'40” derajat dan 114 39'55” derajat bujur timur, pada ketinggian 0,16m di bawah Perempuan

  53

  17 permukaan laut dengan kondisi daerah berpaya-paya dan relatif datar. Pada waktu air Tingkat Pendidikan pasang hampir seluruh wilayah digenangi air. Tidak Tamat SD/

  11 3,4 Wilayah Kota Banjarmasin berada di sebelah Tidak Sekolah Selatan dari wilayah Provinsi Kalimantan 2 Tamat SD 181 56,6 Selatan, dengan luas 72,00km .

  Tamat SLTP 52 16,2 Tamat SLTA 62 19,4

  Pemeriksaan Tinja pada Anak SD

  Tamat Akademi 14 4,4 Data sekolah dasar di Kota Banjarmasin diperoleh dari Dinas Pendidikan Kota

  Banjarmasin. Berdasarkan data tersebut Sebanyak 10,9% responden memberi maka sekolah dasar yang diambil adalah SDN jawaban bahwa anak mereka tidak memiliki Alalak Selatan 2 dan SDN Alalak Selatan 4. kebiasaan mencuci tangan sebelum makan

  S a m p e l t i n j a ya n g d i a m b i l d i Ko t a dan 8 2,5% orang tidak memcuci tangan pakai Banjarmasin sebanyak 362, dengan hasil sabun setelah Buang Air Besar (BAB). positif 11 sampel tinja (3%), 7 orang (1,9%)

  Kebersihan kuku yaitu aktifitas memotong disebabkan oleh T. trichiura, 1 orang (0,3%) dan membersihkan sela-sela kuku, sebanyak disebabkan oleh E. vermicularis, dan 3 orang 10,3% responden yang menjawab bahwa anak (0,8%) disebabkan oleh Hymenoepis sp. mereka memiliki kebiasaan memotong kuku

  (Gambar 1.)

  Gambaran Faktor Resiko Kecacingan............ (Juhairiyah, et al)

  lebih dari seminggu sekali dan sebanyak lantainya terbuat dari tanah. Ketersediaan 74,7% yang memiliki kebiasaan menghisap sarana air bersih responden sebagian besar atau memasukkan jari ke dalam mulut. dari PDAM yaitu sebanyak 91,6%, namun masih ada responden yang sarana air

  Kepemilikkan jamban tempat untuk BAB bersihnya berasal dari sungai yaitu sebanyak bagi keluarga harus memenuhi syarat 5,6% responden seperti pada tabel 2. kesehatan, sebanyak 9,1% responden yang mengatakan bahwa masih BAB di sungai dan Sebagian besar responden memiliki 0,3% responden mengatakan bahwa BAB di pengetahuan mengenai kecacingan dengan lubang yang terbuat dari tanah dan 28,1% kategori baik (56,3%), memiliki sikap pada orang yang menyatakan keberadaan jamban kategori baik (66,6%) dan memiliki perilaku di luar rumah. Berdasarkan keadaan yang berada pada kategori baik (56,3%), lingkungan tempat tinggal, sebanyak sebagaimana disajikan pada tabel 3. 5,9%responden tinggal di rumah yang

  Tabel 2. Kebiasaan Anak dan Jenis Lantai Tempat Tinggal serta Sarana Air Bersih Variabel N %

  Kebiasaan Mencuci tangan sebelum makan Mencuci tangan 242 75,6 Tidak mencuci tangan 35 10,9 Tidak menjawab 43 13,4 Kebiasaan mencuci tangan setelah BAB Mencuci tangan 174 54,3 Kadang-kadang 76 23,7 Tidak mencuci tangan 8 2,5 Tidak menjawab 62 19,4 Kebiasaan menggunting kuku Menggunting kuku lebih dari seminggu sekali 33 10,3 Menggunting kuku seminggu sekali 287 89,7 Kebiasaan menghisap jari Kebiasaan 239 74,7 Tidak biasa 81 25,3 Kebiasaan BAB di Jamban Di Sungai 29 9,1 Di Lubang yang dibuat dari tanah 1 0,3 Di Jamban/kakus/WC di luar rumah 90 28,1 Di Jamban/kakus/WC di dalam rumah 200 62,5 Jenis Lantai Tempat Tinggal Terbuat dari tanah 19 5,9% Terbuat dari keramik/tegel/papan 301 94,1% Sarana Air Bersih PDAM

  293 91,6% Sungai

  18 5,6% Sumur, Tadah Hujan, lainnya 9 2,8% Tabel 3. Karakteristik Responden Bedasarkan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

  PEMBAHASAN Pemeriksaan feses Anak SD

  beras. Telur Hymenolepis yang dimakan serangga tersebut akan segera berkembang menjadi cysticercoid larva dan hidup di hemocele-nya. Manusia akan terinfeksi jika tidak sengaja termakan serangga pada beras atau tepung yang mengandung cysticercoid.

  140 180 43,8 56,3

  Jumlah 320 100 Perilaku Kurang Baik Baik

  123 197 38,4 61,6

  Jumlah 320 100 Sikap Kurang Baik Baik

  157 163 43,8 56,3

  Variabel N % Pengetahuan Kurang Baik Baik

  Cysticercoid yang baru menetas akan langsung 6,7,8 menempel di usus dan tumbuh dewasa.

  Pulex irritans, Xenopsylla cheopis, dan kutu

  Kurang maksimalnya upaya pencegahan kecacingan di suatu daerah disebabkan penyakit tersebut kurang mendapat perhatian

  hidup yang mirip satu sama lain, dimana serangga dapat berfungsi sebagai transmitter- nya, antara lain pada Nosopsyllus fasciatus,

  Hymenolepis diminuta, yang memiliki siklus

  Berbeda dengan STH, Hymenolepis sp. merupakan jenis cacing cestoda yang biasanya menginfeksi tikus sebagai hospes definitif-nya, dan manusia sebagai accidental host-nya. Prevalensi himenolepiasis tertinggi di daerah tropis dan sub tropis yang juga sesuai dengan iklim kota Banjarmasin. Secara epidemiologi sering di daerah yeng berpenduduk padat dengan personal hygiene yang buruk, serta sanitasi yang tidak sehat. Hymenolepis sp. t e r d i r i d a r i H y m e n o l e p i s n a n a d a n

  bisa ditemukan pada dasar sungai bila telur tersebut jatuh ke sungai. Tanah liat memiliki kelembaban yang sangat cocok bagi perkembangan telur cacing tersebut. Sedangkan pada telur yang jatuh ke dasar sungai akan terlindung dari sinar matahari. F a k t o r l a i n y a n g m e m p e n g a r u h i pertumbuhan telur Trichuris adalah curah 5 hujan, vegetasi, dan frekuensi kecacingan. Infeksi Enterobius merupakan suatu infeksi parasit yang lebih banyak menyerang anak-anak. Parasit ini dapat hidup dan berkembang di seluruh dunia (kosmopolit), tetapi lebih banyak ditemukan di daerah beriklim dingin daripada daerah dengan iklim tropis seperti di Kota Banjarmasin. Hal tersebut sesuai dengan hasil survei yang menunjukkan hanya satu anak yang terinfeksi Enterobius. Terinfeksi jika tertelan telur cacing atau makanan yang terkontaminasi. Telur yang termakan menetas di duodenum, larvanya akan bermigrasi dan dewasa di bagian bawah usus. Secara khusus untuk enterobiasis diketahui melalui pemeriksaan anal swab. Namun pada pemeriksaan tinja dalam survei ini kemungkinan ditemukannya telur Enterobius karena sampel tinja yang diperiksa merupakan tinja yang pertama kali keluar saat defekasi pagi hari, sehingga telur yang melekat di perianal melekat pada sampel tinja tersebut. Infeksi cacing Enterobius pada salah satu anggota keluarga biasanya menular pada anggota keluarga lainnya, sehingga pengobatan sangat dianjurkan dilakukan terhadap seluruh anggota keluarga dalam satu 1,6 rumah.

  Trichuris sehingga ikut tenggelam di air dan

  Pemeriksaan feses pada sampel anak SD, terdapat positif telur cacing dimungkinkan sesuai dengan kondisi tanah di Kota Banjarmasin yang terdiri dari rawa-rawa yang t e r g e n a n g a i r y a n g m e m p e n g a r u h i e p i d e m i o l o g i S T H s e c a ra a n a ly t i c a l epidemiology. Telur Trichuris tumbuh lebih baik di tanah liat, atau pada lumpur (silt) yang memiliki berat jenis yang sama dengan telur

  oleh petugas kesehatan. Hal ini karena dampak yang diakibatkan oleh penyakit tersebut tidak dapat terlihat secara langsung atau tersembunyi (silent diseases) dan b e r l a n g s u n g k r o n i s . K e a d a a n i n i menyebabkan seseorang tidak dapat menyadari bila dirinya telah terinfeksi cacing. Diagnosis kecacingan pada seseorang dapat dilakukan dengan menemukan telur dan cacing dewasa dalam feses.

  (neglected diseases) dan kurang terpantau

  Jumlah 320 100 Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 1, 2015 : 21 - 28

  Kebiasaan Anak, J e n i s L a n t a i Te m p a t T i n g g a l d a n Keberadaan Jamban Terhadap Kejadian Kecacingan

  Fa k t o r - f a k t o r ya n g b e r p e n g a r u h terhadap kejadian kecacingan antara lain faktor sosial ekonomi, status gizi, penataan kesehatan lingkungan, higenitas, sanitasi serta pendidikan dan perilaku individu. Pada penelitian ini masih terdapatnya kebiasaan- kebiasaan anak yang mengarah pada resiko t e r t u l a r d a n t e r i n f e k s i k e c a c i n g a n diantaranya tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, tidak mencuci tangan pakai sabun setelah BAB, kebiasaan memotong kuku lebih dari seminggu sekali dan kebiasaan menghisap atau memasukkan jari ke dalam mulut.

  Permasalahan perilaku kesehatan pada anak usia sekolah biasanya berkaitan dengan kebersihan perorangan dan lingkungan, salah satunya adalah kebiasaan mencuci tangan p a k a i s a b u n . Pe n u l a ra n ke c a c i n g a n diantaranya melalui bermain dengan tanah yang telah terkontaminasi dengan telur cacing, kuku yang kotor yang kemungkinan terselip telur cacing akan tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan. Cara yang paling baik dalam memutuskan mata rantai penularan infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah, antara lain dengan menjaga kebersihan p r i b a d i m i s a l n y a m e n c u c i t a n g a n menggunakan sabun sebelum makan dan sesudah BAB.

  Personal hygiene seperti kebersihan kuku merupakan salah satu faktor yang berperan d a l a m t e r i n f e k s i ke c a c i n g a n . I n f e k s i kecacingan dapat dipengaruhi oleh siswa yang sering bermain di tanah, sehingga lebih mudah terinfeksi kecacingan. Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan penyakit cacingan, kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan cacing dari tangan ke mulut. Kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikro organisme diantaranya bakteri dan telur 9,10 cacing. Orang dewasa biasa terinfeksi telur cacing k a r e n a m a k a n s a y u r m e n t a h y a n g terkontaminasi oleh telur cacing, baik dari feces penderita maupun dari tanah yang tercemar feces penderita. Pada anak–anak biasa terinfeksi dengan jalan tangan masuk ke dalam mulut (hand to mouth) atau karena kebiasaan mengulum benda–benda atau 11 mainan yang terkontaminasi telur cacing. Dalam tujuan pembangunan nasional, anak merupakan harapan untuk memajukan bangsa dan sekolah merupakan tempat yang ideal dalam menciptakan kesadaran anak untuk menjaga kesehatannya karena sebagian waktu anak dihabiskan di sekolah. Salah satu pendekatan dalam program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) adalah mengenalkan dan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ( P H B S ) b a g i a n a k - a n a k d i s e ko l a h . Melaksanakan PHBS bermanfaat untuk mencegah, menanggulangi dan melindungi d i r i d a r i a n c a m a n p e n y a k i t s e r t a memanfaatkan pelayanan kesehatan yang 12 bermutu, efektif dan efisien. Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden telah memiliki jamban di dalam rumah, namun masih ada yang mengatakan bahwa BAB di sungai dan di lubang yang tebuat dari tanah. Menurut 13 Notoatmodjo kurangnya perhatian terhadap pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk akan mempercepat penyebaran penyakit yang ditularkan melalui tinja yaitu salah satunya infeksi kecacingan. Sejalan dengan teori yang menyatakan benda- benda yang telah terkontaminasi oleh tinja dari seseorang yang sudah menderita suatu penyakit tertentu merupakan penyebab penyakit bagi orang lain.

  Penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar jenis lantai tempat tinggal responden menggunakan keramik/papan. Berdasarkan 14 penelitian Endriani yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai rumah dengan infestasi cacing. Namun masih terdapat 5,9% rumah yang masih menggunakan lantai yang terbuat dari tanah. Hal tersebut memungkinkan kontak langsung antara kaki dengan tanah yang merupakan factor penularan STH.

  Gambaran Faktor Resiko Kecacingan............ (Juhairiyah, et al) Pembuangan kotoran yang tidak sehat menyebabkan telur cacing dapat dengan mudah menyebar di lingkungan. Oleh sebab itu, diperlukan suatu upaya kebersihan dan penyehatan lingkungan (sanitasi) yang dapat mencegah terjadinya perkembangbiakan dan penyebaran cacing tersebut pada manusia. Hal ini dilakukan agar cacing tidak mudah masuk ke dalam tubuh manusia dan menyebabkan kesakitan. Usaha-usaha kebersihan dan penyehatan lingkungan yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran dan perkembangbiakan telur cacing adalah dengan membuang air besar di jamban/WC yang sehat, memiliki jenis lantai rumah yang t i d a k m e n j a d i t e m p a t t u m b u h d a n berkembangnya telur cacing, dan memiliki ketersediaan air bersih yang cukup guna menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

  Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Orang Tua/Wali Terhadap Kecacingan

  Pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua/wali anak SD mengenai kecacingan berdasarkan hasil penelitian termasuk dalam kategori baik. Hal tersebut dimungkinkan karena kota Banjarmasin merupakan ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan dengan akses yang cenderung mudah untuk mendapatkan informasi terhadap kecacingan.

  Pengetahuan atau kognitif merupakan d o m a i n ya n g s a n g a t p e n t i n g d a l a m membentuk tindakan seseorang. Diketahui pula bahwa pengetahuan akan membantu menjelaskan aspek-aspek penting dalam kehidupan dan dapat memperhitungkan hal- hal yang akan terjadi. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku (berperilaku baru), ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Orang akan melakukan pencegahan tentang kecacingan apabila ia tahu apa tujuan dan manfaatnya bagi kesehatan atau keluarganya, dan apa bahaya- bahayanya jika tidak melakukan pencegahan 15 tersebut. Sikap mempunyai 3 komponen pokok yaitu kepercayaaan, kehidupan emosional dan 15 kecenderungan untuk bertindak. Dalam hal ini orang tua/wali anak SD telah mendengar tentang penyakit kecacingan (pengertian, penyebab, tanda, akibat, pencegahan dan pengobatan). Pengetahuan ini akan membawa orang tua/wali anak untuk berpikir dan berusaha supaya tidak terkena kecacingan. Dalam berpikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga orang tua/walianak SD tersebut berhati-hati dan melakukan pencegahan supaya tidak terkena kecacingan. Orang tua/Walianak SD dapat diartikan mempunyai sikap tertentu terhadap 16 objek yang berupa penyakit kecacingan.

  KESIMPULAN

  Pemeriksaan feses yang dilakukan pada anak SD didapat hasil positif sebanyak 11 sampel tinja (3%), 7 orang (1,9%) disebabkan oleh T. trichiura, 1 orang (0,3%) disebabkan oleh E. vermicularis, dan 3 orang (0,8%) disebabkan oleh Hymenoepis sp. Berdasarkan hasil wawancara kuesioner didapatkan faktor resiko yang paling tinggi yaitu kebiasaan menghisap jari ke dalam mulut (74,4%), kebiasaan BAB di luar rumah (28,1%), kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan (10,9%) dan mengguting kuku lebih dari seminggu sekali (10,3%), sehingga model intervensi yang tepat untuk faktor resiko tersebut yaitu melakukan penyuluhan tentang PHBS kepada anak sekolah dan kebiasaan membuang air besar di dalam rumah serta melakukan upaya kebersihan dan penyehatan lingkungan (sanitasi).

  Pengetahuan orang tua/walianak SD mengenai kecacingan dengan kategori baik (56,3%), memiliki sikap pada kategori baik (66,6%) dan memiliki perilaku yang berada pada kategori baik (56,3%).

  SARAN

  Orang tua hendaknya memberikan edukasi dan pengawasan terhadap anak untuk kebiasaan-kebiasaan yang memungkinkan menjadi faktor resiko penularan kecacingan.

  Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan dan Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin.

  Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 1, 2015 : 21 - 28

UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR PUSTAKA

  11. Joklik WK. Zinsser Microbiology. 20th Editon. Appleton and Lange; 1992. 1186- 1202 p.

  Gambaran Faktor Resiko Kecacingan............ (Juhairiyah, et al)

  2012;7(2):184–90.

  Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Tentang Kecacingan Terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa Madrasah Ibtidaiyah An Nur Kelurahan Pedurungan Kidul Kota Semarang. J Promosi Kesehat Indones.

  16. Presska A.K C, Salawati T, Astuti R.

  15. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta; 2007.

  2011;7(1).

  14. Enriyani, Mifbakhudin, Sayono. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kecacingan pada Anak Sekolah Usia 1-4 Tahun. J Kesehat Masy Indones.

  13. Soekidjo N. Pengantar Pendidikan dan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: Andi Offset; 2007.

  12. Depkes RI. 2006. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga. Jakarta: Depkes RI

  1. Babatunde SK, Adedayo MR, Ajiboye AE, Sunday O, Ameen N. Soil transmitted helminth infections among school children in rural communities of Moro Local Government Area , Kwara State , Nigeria. African J Microbilogy Res.

  2013;7(45):5148–53.

  Jakarta: FK UI; 2004.

  9. Gandahusada S, Ilahude H, Herry D, Pribadi W. Parasitologi Kedokteran.

  8. Sasongko A, Irawan HSJY, Tatang RS, Subahar R, Margono SS. Intestinal Parasitic Infections in Primary School Children in Pulau Panggang and Pulau Pramuka, Kapulauan Seribu. Makara Kesehat. 2002;6(1):8–11.

  7. Barbabosa IM, Cardenas EMG, Gaona E, Shea M. The prevalence of Hymenolepis nana in school children in a bicul- tural c o m m u n i t y . R e v B i o m e d . 2010;21(1):21–7.

  6. Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Surabaya: Sagung Seto; 2011.

  424/MENKES/SK/VI/2006 Indonesia; 2006 p. 1–35.

  5. Keputusan Menteri Kesehatan. Pedoman p e n g e n d a l i a n c a c i n g a n .

  4. Budiarto E. Metodologi Penelitian Kedokteran? : Sebuah Pengantar. Jakarta: EGC; 2003.

  3. Waris L, et al. Distribusi Parasitik Intestinal di Kalimantan Selatan. Tanah Bumbu; 2009.

  2. Zulkoni A. Parasitologi. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010.

  10. Saka M., Aremu A., Saka A. Soil Transmitted Helminthiasis: Prevalence R a t e a n d R i s k F a c t o r s A m o n g Schoolchildren in Ilorin , Nigeria. J Appl Sci Environ Sanit. 2014;9(2):139–45.