PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IMAM ASY Syaibani

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

  IMAM ASY – SYAIBANI Kelompok 2 Arie Pratiwi

  Diah Rahmawati Maya Irmawati M. Fajri Firdaus Nurul Azizah

  Selly Yolanda

  Pendidikan Ekonomi Koperasi Jurusan Ekonomi dan Administrasi

  Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

  2014

  

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IMAM ASY – SYAIBANI

A. Biografi Imam Asy - Syaibani

  Abu Abdilah Muhamad Bin Al Hasan bin Fargad Al Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota washit, ibu kota irak pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di jazirah Arab. Bersama orang tuanya, Asy Syaibani pindah ke kota Kuffah yang ketika itu merupakan salah satu kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, ia belajar fiqh, sastra, bahasa, dan hadis kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri, Umar bin Dzar, dan Malik bin Maqhul Pada usia 14 tahun Asy Syaibani berguru kepada Abu Hanifah selama 4 Tahun. Setelah itu Ia berguru kepoada Abu Yusuf.

  Setelah memperoleh ilmu yang memadai, Asy Syaibani kembali ke Bagdad yang pada saat itu berada pada kekuasaan Daulah Bani Abasiyah. Ia mempunyai peranan penting dalam majelis ulama dan kerap didatangi penuntut ilmu. Berkat keluasan ilmunya tersebut, setelah Abu Yusuf meninggal dunia, Khalifah Harun Al Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kota Riqqah, Irak. Hal ini hanya berlangsung singkat karena ia kemudian mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada pengajaran dan penulisan fiqh. Asy Syaibani meninggal dunia pada tahun 189 H (804 M) di kota Al-Ray, dekat Teheran, dalam usia 58 tahun.

  Asy-Syaibani cukup produktif dalam menulis buku. Kitab-kitab yang ditulisnya dapat diklasifikasi dalam dua golongan berikut:

a. Zhahi al-Riwayah

  Kitab-kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis yang mengungkapkan pokok-pokok pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani lah yang menukilkan dan merekam pandangan Imam Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah ini. Kitab Zahir ar- Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ as- Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir, dan az-Ziyadat.

  Keenam kitab ini berisikan pendapat Imam Abu Hanifah tentang berbagai masalah keislaman, seperti fikih, usul fikih, ilmu kalam, dan sejarah. Keenam kitab ini kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al- Maruzi (w.334 H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab yang berjudul al-Kafi.

b. Al-Nawadir Kitab-kitab yang ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri.

  Kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir adalah Amali Muhammad fi al- Fiqh (pandangan asy-Syaibani tentang berbagai masalah fikih), ar Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap masalah hilahdan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di Riqqah (Irak).

  Ar-Radd ‘ala ahl al-Madinah (penolakan pandangan orang-orang Madinah), az- Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Asar. Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik tentang hak-hak non-muslim di negara Islam dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitabny al-Umm. Imam asy-Syafi’I menulis bantahan dan kritik secara khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan asy- Syaibani).

  Asy-Syaibani telah menulis beberapa buku antara lain Kitab al-Iktisab fiil rizq al- Mustahab (book on Earning a clean living) dan Kitab al-Asl. Buku yang pertama banyak membahas berbagai aturan syari’at tentang ijarah (sewa-menyewa) yaitu suatu transakasi terhadap suatu manfaat yang dituju,tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu., tijarah (perdagangan) yaitu suatu tansaksi dengan cara tukar-menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat , zira’ah (pertanian) yaitu suatu usaha dengan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuha hidup, dan sina’ah (industri).

  Perilaku konsumsi ideal orang muslim menurutnya adalah sederhana, suka memberikan derma (charity), tetapi tidak suka meminta-minta. Buku kedua membahas berbagai bentuk transasksi atau kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya Syaibani ini mengandung tinjauan normative sekaligus positif.

  Dan buku al-Siyar al-Kabir adalah buku karangannya yang terakhir. Pembahasannya mencakup semua hal yang berkaitan dengan peperangan dan kaitannya dengan kaum musyrikin, musuh kaum muslim, dan hukum-hukumnya.

  Selain itu, bukunya membahas tentang tawanan perang (laki-laki, perempuan, dan anak-anak), masuk Islamnya orang musyrik, keamanan mereka, utusan yang diutus tanah yang dikuasai oleh musuh di negeri musuh, orang Islam yang berada di negeri musuh, pelanggaran perjanjian, kejahatan dalam perang, dan beratus masalah yang berkaitan dengan musuh dan hubungan kaum muslimin dan mereka pada saat perang maupun damai.

  Asy-Syaibani bersandar sepenuhnya kepada alquran dan hadis yang meriwayatkan peperangan Rasul yang berbicara tentang peristiwa yang betul-betul terjadi, dan hukum-hukum yang terjadi pada saat terjadinya peperangan kaum Muslim dan penaklukan wilayah yang mereka lakukan. Dia juga menggunakan perbandingan kepada masa-masa tertentu. Harun al-Rayid terheran-heran ketika menyimak isi buku ini dan memasukkan ke dalam daftar hal-hal yang patut dibanggakan pada masa kekahalifahannya. Perhatian terhadap buku ini juga terlihat pada masa daulah Utsmaniyah, karena buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, dan dijadikan sebagai dasar bagi hukum-hukum pejuang daulah Utsmaniyah ketika mereka berperang melawan negara-negara Eropa. selain itu Muhammad bin al-Hasan al- Syaibani adalah salah seorang tokoh penulis dalam hukum internasional.

B. Pemikiran Ekonomi Asy Syaibani

  Secara garis besar, pemikiran ekonomi Asy Syaibani dibagi menjadi 5 kelompok yaitu antara lain:

1. Al-Kasb (Kerja)

  Dalam kitab Al-Kasb (Kerja) ini, asy-Syaibani mendefinisikan al-Kasb (kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas produksi. Definisi ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi Islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional. Dalam sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat dengan halal- haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya.

  Dengan kata lain, aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi. Dalam memproduksi, kita harus mengetahui apa produk yang akan diproduksi, bagaimana cara memproduksi barang tersebut, apa tujuan dari produk yang diproduksikan, dan kepada siapa produk akan dituju. Itu

  Produksi suatu barang atau jasa, seperti yang dinyatakan dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena barang atau jasa itu mempunyai utilitas (nilai-guna). Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai utilitas jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal dan harta. Dengan demikian seorang muslim termotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahah tersebut. Hal ini berarti bahwa konsep maslahah merupakan konsep yang objektif terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqasid) syari’ah, yakni memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

  Pandangan Islam tersebut tentu jauh berbeda dengan konsep ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna selama masih ada orang yang menginginkannya. Dengan kata lain, dalam ekonomi konvensional, nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subjektif. Dalam pandangan Islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban ‘imaratul kaum, yakni menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Berkenaan dengan hal tersebut, Asy-Syaibani menegaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sanga penting kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah SWT dan karenanya, hukum bekerja adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil berikut: i. Firman Allah QS. Al-Jumu’ah ayat 10

  Artinya: “apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi

  dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.

  “Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim.” iii. Amirul Mukminin Umar ibn al-Khattab r. a.

  Lebih mengutamakan derajat kerja daripada jihad. Sayyidina Umar menyatakan, dirinya lebih menyukai meninggal pada saat berusaha mencari sebagian karunia Allah Swt di muka bumi daripada terbunuh di medan perang, karena Allah Swt mendahulukan orang-orang yang mencari sebagian karunia-Nya daripada para

  mencari sebagian karunia Allah dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah….”( QS. Al-Muzammil: 20).

  Asy-Syaibani menyatakan bahwa sesuatu yang dapat menunjang terlaksananya yang wajib, sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya. Lebih jauh ia menguraikan untuk melaksanakan berbagai kewajiban, seseorang memerlukan kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani itu sendiri dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan yang di dapat dari hasil kerja keras. Dengan demikian, kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunaikan kewajiban, maka hukum bekerja adalah wajib.

  Asy-Syaibani juga menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para rasul terdahulu dan kaum muslimin diperintahkan untuk meneladani cara hidup mereka. Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa orientasi bekerja dalam pandangan Asy- Syaibani adalah hidup untuk meraih keridhaan Allah SWT. Di sisi lain, kerja merupakan usaha untuk mengaktifkan roda perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi dan distribusi yang berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

  2. Kekayaan dan Kefakiran

  Menurut Asy-Syaibani walaupun telah banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegaas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikan sebagai kondisi yang cukup (kifayah) bukan kondisi meminta-minta (kafafah).

  Dengan demikian Asy-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan, baik untuk diri sendiri maupun untuk keluarganya. Di sisi lain ia kemewahan. Sekalipun begitu ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya dipergunakan untuk kebaikan.

  3. Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian

  Asy-Syaibani membagi usaha perekonomian menjadi empat macam, yaitu sewa menyewa (ijarah), perdagangan (tijarah), pertanian (zaira’ah) dan perindustrian mengutamakan usaha pertanian. Menurutnya pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya. Dari segi hukum Asy-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain.

  Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu kifayah, apabila telah ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda perekonomian akan terus berjalan dan jika tidak seorang pun yang menjalankannya, tata roda perekonomian akan hancur berantakan yang berdampak pada semakin banyaknya orang yang hidup dalam kesengsaraan. Maka dari itu kita disuruh untuk bekerja dan berusa di muka bumi ini.

  Sedangkan usaha perekonomian dihukum fardu ‘ain, apabila usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang-orang yang ditanggunganya. Bila tidak dilakukan usaha-usaha perekonomian, kebutuhan dirinya tidak akan terpenuhi, begitu pula orang yang ditanggungnya, sehingga akan menimbulkan akan kebinasaan bagi dirinya dan tanggungannya.

  4. Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi

  Asy-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara, yaitu makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Para ekonom lain mengatakan bahwa keempat hal ini adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut.

  5. Distribusi Pekerjaan

  membutuhkan yang lain. Asy-Syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan orang kaya dan orang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong menolong itu, manusia jadi lebih mudah dalam menjalankan aktivitas kepada-Nya. Dalam konteks dmikian, Allah berfirman (Al-Maidah/5:2) :

  “… dan saling menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan ketakwaan”

  Lebih jauh Asy-Syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti yang di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.

  Sumber: