Gunawan Undang, Husni Thamrin; Konflik dan Integrasi Islam Politik
Negara Indonesia Berasas Pancasila
Partai Komunis
Berasas Islam:
Berasas Kebangsaan:
Partai Islam
Gambar 1
Hubungan Islam-Negara, dan Islam-Politik
Gunawan Undang, Husni Thamrin; Konflik dan Integrasi Islam Politik
Bertitik tolak dari hubungan antara Islam dan modernisasi, fiqh siyasah, hubungan Islam dan negara, dan hubungan Islam dan politik di atas, relatif rasional apabila Chaidar (1999: vi) mendefinisikan bahwa partai Islam adalah partai yang tidak selalu berasaskan Islam, selama memberikan maslahat bagi Islam, seperti didefinisi-kan berikut: “Partai yang dipimpin oleh tokoh Islam, memakai asas Islam maupun bukan Islam (ghairul Islam) sebagai fundamen partai dan orientasi partai yang terbuka dan tertutup, yang menerima anggota dari berbagai kalangan dan yang hanya menerima anggota dan golongan Islam saja dan berusaha meraih simpati untuk merebut suara dari kalangan Islam sebagai basis utama dukungan, maka itulah partai Islam”.
Bertitik tolak dari definisi tersebut, indikator pokok definisi istilah partai politik Islam dalam penelitian ini adalah (1) tokoh pendiri, (2) induk organisasi pendiri, (3) berbasis massa induk orga-nisasi, (4) menggunakan asas Islam maupun bukan (ghairul Islam), dan (5) memberikan maslahat bagi tegaknya ajaran keislaman. Dalam penelitian ini, partai politik Islam diinterpretasikan sebagai institusi partai politik yang didirikan oleh tokoh (elit politik) Islam, memiliki induk organisasi Islam, berbasis massa Islam berdasarkan induk organisasi pendiri, berasaskan Islam maupun Pancasila dan UUD 1945, serta memberikan maslahat bagi tegaknya ajaran keislaman. Partai Islam dimaksud adalah PBB, PPP, PPNUI, PKS, PBR, PKB, dan PAN. Penetapan indikator tersebut pun mengacu pada pendapat Liddle (1993) tentang penge- lompokkan dan orientasi partai politik Islam yang tidak hanya menekankan terhadap formalisme asas sebagai dasar perjuangan partai,
yakni
kelom-pok
substansial- kontekstual (modernis) yang lebih berorientasi pada “isi” daripada “bentuk”, selain kelompok
skriptual-literal (tradisionalis) yang lebih mengedepankan “simbol” daripada “isi”.
Gerakan Pembaruan Pemikiran Politik Islam di Indonesia
Menurut Harun Nasution (1975: 11—
12) modernisme (bukan moderni-sasi, pen.) dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Modernisme dalam kehidupan agama di Barat mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katholik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan dan falsafah modern. Aliran ini akhirnya menimbulkan sekularisme di masyara-kat Barat.
Permulaan abad modern Islam; sebagai pengaruh modernisme Barat, masuk ke dunia Islam pada awal abad ke-19 melahirkan ide- ide baru, seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya sehingga dalam hal tertentu menimbulkan persoalan baru dan merangsang kebangkitan pemikir-pemikir Islam
untuk melepaskan umat dari kemunduran menjadi kemajuan, terutama setelah kalangan orientalis mengadakan studi tentang keislaman, seperti yang dilakukan C.
C. Adams (1933), W. C. Smith (1943), dan H.
A. R. Gibb (1946).
Karena dalam hal-hal tertentu kata “modernisme” dapat diinterpre-tasikan negatif (seperti dianggap identik dengan Westernisasi, Westernisme); di samping arti positif, maka oleh para pemikir kontemporer; termasuk misal-nya oleh Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, terminologi tersebut diterjemahkan ke dalam kata “pembaha-ruan” (pembaruan). Dalam arti pembaruan tradisi pemikiran berlandas-kan hukum dan etika Islam.
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 2 , Juli – Desember 2016
Menurut Nurcholish Madjid modernisasi ialah Rasyid Ridha ini melakukan pembaruan rasionalisasi; bukan Westernisasi, yang
melalui lembaga-lembaga pendidikan yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral dengan
didirikannya.
berpijak pada prinsip-prinsip iman kepada Selain itu, sejarah pembaruan di Tuhan Yang Maha Esa (Madjid, 1968; dalam
Indonesia pun tidak terlepas dari peranan- Madjid, 1998: 17--18).
peranan Haji Agus Salim, Said Umar Menurut Harun Nasution (1986: 110—
Tjokroaminoto (Sarekat Islam), Hasan
11) sebelum timbulnya ide pembaruan, Bandung (Persis), Nahdatul Ulama, Jamiatul gerakan
Washliah, dll.
Minangkabau terlebih dulu masuk ke Gerakan pembaruan berikutnya di Indonesia yang dibawa oleh para haji yang
bidang tradisi pemikiran Islam di Indonesia pulang dari Mekah, di antaranya Haji Miskin.
mulai menampakkan intensitasnya pada Gerakan ini bertujuan menentang adat yang
tahun 1970-an. Ide gerakan pembaruan bertentangan dengan syari’at Islam. Kaum
periode ini dipengaruhi pembaruan pemikiran adat meminta bantuan pada Belanda
Islam abad pertengahan dan kontemporer, di sehingga pecahlah Perang Padri.
mana nama Nurcholish Madjid sering disebut Ide pembaruan masuk ke Indonesia
sebagai tokoh utamanya, selain Ahmad pada permulaan abad ke-20 melalui Majalah
Wahib, Djohan Effendy, Dawam Rahardjo, Al-Imam yang terbit di Malaysia oleh Said
Jalaluddin Rakhmat, dan Abdurrahman Muhammad Agil, Syeh Muhammad Al-Kalali,
Wahid.
dan Syeh Taher Jalaluddin.
Generasi pembaru ini oleh R. William mengan-dung ide-ide pembaruan Majalah Al-
Al-Imam
Liddle (1993: 53) disebutnya sebagai kaum Manar kepunyaan Rasyid Ridha. Pengaruh
substansialis (modernis) yang dimotori majalah tersebut terlihat dalam Majalah Al-
Nurcholish Madjid. Oleh Masdar F. Mas’udi Munir, terbit di Padang tahun 1911, di bawah
(1993: 28) dan Mohamad Sobari (1993: 26) asuhan Abdullah Ahmad, Abdul Karim
kaum ini disebutnya sebagai neo-modernis. Amarullah, dan Muhammad Taib.
Dalam pembaruan pemikiran; menurut Liddle, Menurut Nasution, tahun 1901 di
kaum substansialis ini mempunyai “rival” yang Jakarta berdiri Jamiat Khair yang melakukan
sangat kontras, yakni kaum skriptualis pembaruan di bidang pendidikan yang
Secara kelembagaan, memasukkan ke dalam kurikulumnya bahasa
(tradisionalis).
“representasi” kaum skriptualis ini adalah dan ilmu pengetahuan Barat. Siswanya kemu-
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dian meneruskan studi ke Istambul. Atas
dan Media Dakwah.
undangan Jamiat Khair, datang seorang
terminologi lain; untuk ulama Sudan pengikut Muhammad Abduh ke
Dalam
kepentingan alat analisis dan untuk Indonesia; Syeh Ahmad Surkati. Kemudian ia
“membedakan” kedua kaum ini, dapat membentuk Al-Islah wal Irsyad yang
dipasangkan ke dalam dua pasangan kata: melakukan pembaruan di bidang pendidikan
modernis - dan pemikiran melalui Majalah Al-Zakhirah.
substansialis-skriptualis,
tradisionalis, dan kontekstual-tekstual. Pembaruan
Kaum substansialis melakukan berbagai pengaruhnya di Indonesia dilakukan K. H.
pembaruan pemikiran Islam, seperti di bidang Ahmad
pluralitas dan toleransi keagamaan, ekonomi, Muhammadiyah tahun 1912. Organisasi yang
politik, dan pendidikan. Menurut Liddle, kaum banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran
substansialis selama Orde Baru banyak
Gunawan Undang, Husni Thamrin; Konflik dan Integrasi Islam Politik
muncul ke permukaan, mendapatkan liputan berdasarkan iman, namun tidak lepas dari media yang jauh lebih luas, karena punya
konteks sejarah (Madjid, 1998: 315). aspirasi politik yang dekat dengan pemerintah,
Menurut Mohamad Sobary, pemikiran- dan
pemikiran pembaruan bersifat responsif keuntungan dan bergantung pada politisi-
bahkan banyak
mendapatkan
zaman. Mereka politisi otoritarian Indonesia. Hal ini sudah
terhadap
tuntutan
“menyimpan” gagasan-gagasan generasi barang tentu berbeda dengan kaum
pendahulu dan menelorkan gagasan baru skriptualis-tradisionalis yang tidak memiliki
yang sesuai dengan tuntutan dan kondisi akses ke pusat kekuasaan Soeharto yang
sosio-politik dan kultural dalam masyarakat menutup aspirasi politik mereka dalam
kita. Konsep pribumisasi Islam dan Islam memperjuangkan syari’at Islam bahkan
kontekstual; misalnya, merupakan contoh Negara Islam yang dianggap bersebrangan
model gagasan kalangan pembaruan dengan ideologi Pancasila.
(Sobary, 1993: 26).
Kalangan substansialis melaku-kan Gagasan pembaruan Madjid dalam pembaruan pemikiran bermula dari pidato
pidatonya tentang “Keharusan Pembaharuan Nurcholish Madjid di tahun 1970 (3 Januari
Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” 1970, di Jakarta, -pen.) tentang “Keharusan
tanggal 3 Januari 1970 di Jakarta dalam Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah
malam silaturahmi organisasi pemuda, pelajar, Integrasi Umat” (Liddle, 1993: 55).
mahasiswa, dan sarjana Muslim yang Upaya pembaruan dalam konteks
tergabung dalam HMI, GPI, PII, dan Persami, modernitas, Nurcholish Madjid meman-dang
penggunaan terminologi bahwa modernisasi adalah suatu keharusan,
terutama
“sekulerisasi” yang dianggap sebagai salah malah kewajiban yang mutlak. Modernisasi
satu bentuk “liberalisasi”, sempat memicu berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya
polemik di kalangan intelektual Islam -- guna dalam berpikir dan bekerja yang
khususnya dari kalangan yang disebut Masdar maksimal, guna kebahagiaan umat manusia
F. Masdudi (1993: 28) sebagai kaum neo- adalah perintah Tuhan yang imperatif dan
revivalis yang nenekankan Islam formal- mendasar. Modernisasi berarti berpikir dan
partikular atau yang disebut R. William Liddle bekerja menurut fitrah atau Sunnatullah
(1993: 53—55) sebagai kaum skriptual-literal -- (Hukum Illahi) yang haq (sebab, alam adalah
sehingga Madjid sempat dituduh “modernis haq). Ilmu pengetahuan diperoleh manusia
dalam berbagai melalui akalnya (rasionya), sehingga modern
sekuler”.
Meskipun
kesempatan Madjid berupaya menjelaskan berati ilmiah, berati pula rasional. Sekalipun
apa yang dimaksud dengan “sekulerisasi” kemodernan
tersebut tidak sama dengan “sekulerisme” kemodernan (modernity) sifatnya relatif,
(ideologi), namun tuduhan sebagai “sekularis” karena terikat oleh ruang dan waktu. Sesuatu
terhadap dirinya terus berlanjut, bahkan yang sekarang dianggap modern, di masa
hingga sekarang, dengan alasan sekularisasi yang akan datang dapat dipastikan bersifat
tanpa sekulerisme adalah mustahil. Bantahan kolot. Sedangkan yang modern secara mutlak
Madjid tentang “sekularisasi” tidak berati ialah yang benar secara mutlak, yakni Tuhan
“sekulerisme” dituangkan di dalam Madjid Yang Maha Esa (Madjid, 1998: 172—174).
(1998: 221—233, dan 257--260). Intinya; Hakikat sejarah pemikiran dalam Islam ialah
menurut Madjid, karena pengertian “sekular”, kelangsungan dialog integral, yaitu dialog
“sekularisasi”, dan “sekulerisme” dalam konteks terminologi yang digunakannya, maka
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 2 , Juli – Desember 2016
ia berketetapan istilah-istilah tersebut lebih baik (John Naisbitt dan Patricia Aburdene, 1991, menggunakan istilah teknis lain yang lebih
dalam Madjid, 1993: 8).
tepat dan netral. Tentang perlunya pembaruan pemikiran Agaknya; menurut hemat penulis,
akhir makalahnya kesimpangsiuran tersebut bersumber dari
Keagamaan di ketidaktepatan
“Penyegaran
Paham
Kalangann Generasi Muda Mendatang” yang “sekularisasi”. Gagasan “sekulerisasi” Madjid;
penggunaan
terminilogi
disampaikan dalam acara memperingati 20 sejak awal bergulirnya di tahun 1968-an
tahun pembaruan Islam di Taman Ismail seperti di dalam makalah “Modernisasi ialah
Mazuki, Jakarta, 21 Oktober 1992 Madjid Rasionalisasi, bukan Westernisasi” (1968),
mengemukakan:
secara substansial tidak berubah dengan apa “Untuk dapat melakukan itu semua yang digulirkannya kembali tahun 1970-an,
(pembaruan tradisi pemikiran-pen.) amat bahkan hingga tahun 1992-an sebagaimana
usaha-usaha pengkayaan tertuang di dalam makalahnya “Penyegaran
diperlukan
intelektual (intellectual encrichment), baik Paham Keagamaan di Kalangann Generasi
tentang masa lalu, masa kini, maupun Muda Mendatang” yang disampaikan di
perkiraan masa depan. Dan karena khazanah Taman Ismail Mazuki, Jakarta, 21 Oktober
Islam di masa lalu sedemikian kayanya, maka 1992. “Sekulerisasi” tidak identik dengan
salah satu usaha pengkayaan intelektual itu “sekulerisme”
ialah dengan membaca kembali, memahami “Westernisme” yang “menegasikan” al-Haqq
sebagaimama
faham
dan memberikan apresiasi yang wajar kepada (Maha Benar). “Sekularisasi” Madjid dapat
warisan budaya umat. Tetapi (apabila-pen.) diinterpretasikan sebagai proses modernisasi
pembacaan dan pemahaman masa lalu untuk “membebaskan” kejumudan umat pada
hanya untuk mencari otoritas adalah tidak masa kini berdasarkan tradisi pemikiran masa
benar, sebab masa lalu tidak selamanya lalu untuk direaktualisasikan sesuai dengan
absah dan otentik. Sejarah, termasuk sejarah tuntutan zaman yang dilandasi keimanan dan
pemikiran, harus dipahami secara kritis, dalam etika Islam, yakni dari tradisionalis ke
kerangka dinamika faktor ruang dan waktu modernis, dari skriptual ke substansial, atau
yang menjadi wadah atau lingkungannya. dari tekstual ke kontekstual.
Pandangan kepada masa lalu sebagai Seperti di bidang keilmuan lainnya,
dengan sendirinya absah dan otentik, sambil beberapa pemikiran Madjid khususnya di
meninggalkan sikap kritis kepada fakta dalam politik Islam, ia lebih mementingkan
historisnya, adalah pangkal sikap tertutup, substansi daripada simbol-simbol formal
konservatif, dan beku yang justru amat keparatain. Jargon politiknya di tahun 1970-an,
berbahaya. Tetapi pemahaman kepada masa “Islam, Yes; partai Islam, No” merupakan
lalu secara kritis dan dinamis, disertai apresiasi salah satu refleksi model pendekatannya.
ilmiah yang adil, akan menjadi pangkal tolak Menurut Madjid, semboyan yang ia
pengkayaan intelektual yang subur dan pertahankan sampai sekarang (1992-pen.)
produktif. Sebab manusia tidak mungkin tersebut benar adanya. Bahkan setelah selang
sesuatu dalam dua dasawarsa, semboyan yang mirip sekali
menciptakan
segala
budayanya mulai dari nol setiap saat. Manusia diperkenalkan oleh dua orang futurolog, John
bagaimana pun harus mengembangkan Naisbitt dan Patricia Aburdene, yang
unsur-unsur warisan masa lalu yang sehat, berkenaan
dengan digabungkan kepada unsur-unsur “Spirituality, Yes; Organized Religion, No”
baru yang lebih sehat lagi. Tidak adanya
Gunawan Undang, Husni Thamrin; Konflik dan Integrasi Islam Politik
kontinuitas kultural dan intelektual masa formalistik. Kelompok modernis cenderung sekarang
mementingkan “isi”, sedangkan kelom-pok mengakibatkan pemiskinan (impoverishment)
tradisionalis lebih mementingkan “bentuk”. kultural dan intelektual; dan pemahaman
Dalam melakukan revitalisasi Islam dan masa lalu secara dinamis, kritis dan dalam
politik, kalangan “modernis” cenderung semangat penghargaan yang adil dan wajar
menganggap tidak terlalu penting masalah adalah yang amat diperlukan untuk
bentuk kenegaraan dengan catatan ajaran, pengkayaan kultural dan intelektual guna
etika, dan moral Islam dapat eksis dan memperoleh pijakan konfidensi baru yang
sedangkan kalangan kukuh menghadapi masa depan.
dijunjung
tinggi,
“tradisionalis” mensyaratkan bentuk “negara Jadi yang amat kita perlukan ialah
Islam” dan konstitusi berdasarkan syari’at. kembali kepada makna dalil lama kaum
Berkaitan dengan hal ini, Azyumardi Azra ulama: Memelihara yang lama yang
mengemukakan:
baik, dan mengambil yang baru yang
pengalaman historis lebih baik. Itulah keterbukaan yang
“Melihat
masyarakat-masyarakat kebangsaan Islam, dinamis, dan itulah jalan untuk membuat
khususnya di Timur Tengah, harus diakui sebuah generasi menjadi kaya gagasan
amat sulit untuk menunjuk secara tegas dan (resourcefull) untuk menghadapi segala
tepat negara yang betul-betul merupakan tantangan zaman. Dan secara nasional,
representasi dari konsep dan sistem “negara yaitu dalam konteks Indonesia, ... (?,
Islam”. Perkembangan yang diungkapkan di kalimat terputus, pen.). Dengan begitu
atas menjelaskan bahwa Islam pada akhirnya diharapkan Islam akan tampil lagi untuk
tidak menjadi faktor terpenting dalam konsep memerankan dirinya sebagai faktor
dan sistem kenegaraan dan politik. Pada yang membawa demokrasi, modernisasi
gilirannya, Islam tidak pula menjadi dan civilisasi bangsa” (Madjid, 1993:
pertimbangan pokok dalam kultur politik dan 21—22).
kebijaksanaan. Meskipun Gagasan pembaruan Madjid amat jelas
pengambilan
demikian, perlu dicatat bahwa Islam sebagai dalam deskripsi di atas. Untuk melakukan
suatu sistem kepercayaan tidak pernah pembaruan pemikiran diperlukan inovasi
kehilangan signifikasinya” (Azra, 1993: 15). dalam
proses pengayaan
intelektual
berdasarkan warisan budaya masa lalu yang Hal tersebut dipertegas Ahmad Syafii dianggap baik untuk membangun kekayaan
Maarif berikut:
intelektual pada masa kini dan yang akan “Akibat langsung dari iklim politik imperial Islam datang yang lebih baik. Inilah kontinuitas tradisi
itu, negeri-negeri Muslim yang memperoleh pemikiran dalam membangun pembaruan
kemerdekaan pada abad ini menjadi bingung intelektual Islam.
dalam menentukan sistem politik yang akan Salah satu gagasan pembaruan
dilaksanakan. … Di Indonesia ide Negara pemikiran di bidang politik dari kalangan
Islam harus berhadapan dengan ide Negara “modernis” cendekiawan Muslim Indonesia
Nasional berdasarkan Pancasila. Akhirnya adalah
melalui Dekrit 5 Juli 1959 ide Negara Islam substantivistik. Hal ini sangat kontras dengan
pendekatan
rasionalistik-realistik-
“dikalahkan” (dalam Piagam Jakarta, pen.), model yang dikembang-kan kalangan
sementara dasar Pancasila dimenangkan. … “tradisionalis” yang lebih menekankan
Para cendekiawan Muslim yang muncul sejak terhadap pendekatan skriptualistik-idealistik-
1970-an (kalangan pembaru; substansialis-
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 2 , Juli – Desember 2016
modernis yang dimotori Nurcholish Madjid, dengan komplikasi politis, legal-konstitusional, pen.) telah menerima dengan mantap ide 8 dan kultural-sosiologis.”
Negara Nasional berdasarkan Pancasila, baik
modernis-rasional yang secara teoritis maupun dalam praktek.
Kalangan
dimotori Nurcholish Madjid, dkk. memperoleh Perjuangan selanjutnya adalah menjadikan
tentangan yang kontras dari kalangan Negara Pancasila itu sebagai kendaraan
tradisionalis-skriptual, seperti dari aktivis dan untuk mewujudkan suatu tata sosio-politik
cendekiawan Dewan Dakwah Islamiyah yang adil, demokratis, dan egaliter, di atas
Indonesia (DDII) melalui “corongnya” Media landasan moral-transendental” (Maarif, 1993:
Dakwah (MD). MD dan DI menurut R. 3).
William Liddle (1993: 55--59) merupakan Demikian pula dalam aktualisasi
cerminan Muhammad Natsir; seorang kepartaian; kelompok “modernis” cenderung
pimpinan Masyumi yang pernah ikut mengedepankan “substansiasi” agama ke
mendukung pemberontakan PRRI dan dalam proses politik, sedangkan kelompok
pendukung utama ide Negara Islam pada “tradisionalis” cenderung mengede-pankan
masa Demokrasi Parlementer (1950-an). simbol-simbol formal institusi atau lembaga
Liddle menjelaskan, bagi pemimpin-pemimpin kepartaian (partai politik) dalam proses
politik Orde Baru, mengangkat masalah aktualisasi agama.
Negara Islam atau yang semacamnya adalah mengemukakan:
Azyumardi Azra
sesuatu yang tabu. Tapi bagi MD, ide Negara Demikian pula dalam aktualisasi
Islam itu tetap hidup, meski diungkap secara kepartaian; kelompok “modernis” cenderung
hati-hati (halaman 57).
mengedepankan “substansiasi” agama ke Kedua kelompok ini sering melakukan dalam proses politik, sedangkan kelompok
“perang” pemikiran yang sangat tajam. “tradisionalis” cenderung mengede-pankan
Menurut Ade Armando dalam tulisannya “Citra simbol-simbol formal institusi atau lembaga
Kaum Pembaru Islam dalam Propaganda kepartaian (partai politik) dalam proses
Media Dakwah”; misalnya, MD mencurigai aktualisasi agama.
Nurcholish Madjid tidak berdasarkan pada mengemukakan:
Azyumardi Azra
pandangan-pandangan yang sebenarnya, “Agama tidak efektif dipakai dalam politik.
seperti dicurigai melakukan konspirasi dengan Peningkatan penggunaan simbol dan konsep
Yahudi, antek Barat bahkan disebut “neo- Islam akhir-akhir ini membuktikan bahwa
Marxis” (Armando, 1993: 66—76). MD melihat agama tetap potensi penting dalam
Islam saat ini berada dalam kebangkitan perkembangan politik Indonesia. Meskipun
sehingga musuh-musuh Islam termasuk masuknya dalam kancah politik menjadi gejala
Nurcholish Madjid sendiri mesti menyesuaikan global, sejumlah indikator memperlihatkan tren
diri dengan kekuatan baru Islam ini; MD politik Indonesia tidak efektif menggunakan
mengklaim bahwa “secara keseluruhan tidak agama dalam politik. Paling tidak, Pemilu 1999
ada yang baru dari pemikiran Nurcholish, dan 2004 memperlihatkan rendahnya suara
karena pemikiran-pemikiran semacam itu partai Islam. … Problem kedua, keinginan
telah lama dikembangkan oleh kaum Yahudi untuk menerapkan syari’ah Islam berbenturan
di Indonesia (Liddle, 1993: 56—57).
8 Azyumardi Azra, dalam HU Kompas, 1 Mei 2006, hlm. 2, dikemukakan dalam diskusi di
Universitas Paramadina, Jakarta.
Gunawan Undang, Husni Thamrin; Konflik dan Integrasi Islam Politik
menerima struktur pemerintah sekarang modernis, Liddle merasa optimis dan berbeda
Terhadap kalangan
substansialis-
sebagai bentuk final dari negara Indonesia, pandangan; misalnya, dengan Clifford Geertz
terutama Pancasila dan UUD 1945 yang (1967, dan 1990) yang merasa pesimis
dianggap sesuai dengan prinsip politik Islam. terhadap posisi kaum substansialis-modernis
Terhadap kebijakan-kebijakan politik yang semakin merosot. Menurut Liddle (1993:
rezim Soeharto, respon kaum substansialis 53—65) ide-ide kalangan substansialis lebih
lewat jargon, “Islam, Yes; Partai Islam, No” , berpengaruh daripada kalangan skriptualis di
diterima pemerintah. Efek positif yang dalam maupun di luar masyarakat Islam
diterimanya di antaranya semakin bertambah- Indonesia, walaupun Liddle tidak secara tegas
nya populasi santri yang terdidik. Generasi bahwa Orde Baru menjadi penyebab
Nurcholish Madjid merupakan generasi langsung atau bahkan prasyarat bagi
diuntungkan dengan kemunculan pembaru ini. Demikian pula
pertama
yang
meluasnya kesempatan pendidikan ini. dalam konteks pasca-Orde Baru, Lidlle tidak
Sebaliknya, kalangan skriptualis sejak awal secara tegas berargumen apakah ide-ide
tidak diuntungkan oleh sistem karena mereka kalangan pembaru ini masih dapat
tetap ingin menerapkan syari’ah (Liddle, 1993: dipertahankan atau tidak dalam menghadapi
59—61). Pada masa Orde Baru sejumlah Islam politik yang terus sedang berubah
Muslim memperoleh secara dramatis.
generasi
muda
kenikmatan untuk mengenyam pendidikan Menurut Liddle, ada empat gagasan
tinggi dalam dan luar negeri pada perguruan pokok dari kaum substansialis yang saling
tinggi yang sangat menonjol, seperti Amien terkait, yakni pertama, yang paling mendasar
Rais, Ahmad Syafii Maarif, Kuntowijoyo, adalah bahwa substansi atau kandungan
Yahya Muhaimin, Ahmad Watik Pratignya, iman dan amal lebih penting daripada
Umar Anggoro Jeni, Jamaluddin Ancok, bentuknya. Kaitan dengan ini, Liddle memberi
Sofian Effendy di Yogyakarta; Abdurrahman contoh mematuhi perintah al-Qur’an secara
Wahid, Nurcholish Madjid, Johan Effendi, literal, termasuk yang berkaitan dengan rukun
Amin Azis, Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Sri Islam, nilainya kurang positif dibandingkan
Bintang Pamungkas, Aswab Mahasin; di berperilaku secara bermoral dan etis sesuai
Bogor di antaranya A. M. Saefuddin, dll. Dari dengan semangat al-Qur’an. Kedua, pesan al-
generasi ini tumbuh persepsi baru hubungan Qur’an dan hadis, yang tidak mengalami
Islam dan negara tidak lagi memperjuangkan perubahan karena perubahan zaman dan
Islam sebagai ideologi negara, tetapi mereka esensinya bersifat
melakukan hubungan akomodasi politik dan ditafsirkan oleh generasi selanjutnya (dalam
universal, haruslah
low profile dalam membina komunikasi politik pengembangan ijtihad, fiqih, dan tradisi
dengan non-Muslim dan Angkatan Bersenjata pemikiran, pen.) sesuai dengan kondisi yang
(Gaffar, 1993: 22—23).
ada pada waktu itu. Kaum substansialis telah Inilah model hubungan “simbiosis menggunakan
mutualisma” yang dilakukan para pembaru; menggambarkan penerapan prinsip-prinsip itu
mereka tidak menggunakan formalisme bagi Islam Indonesia akhir abad ke-20 ini,
pendekatan kepartaian secara langsung, yakni sekulerisasi, desakralisasi, reaktualisasi,
tetapi lebih mementingkan “isi” daripada dan pribumisasi. Ketiga, kaum Muslimin perlu
“bentuk”. Oleh Liddle kelompok pembaru inilah toleran terhadap kalangan non-Muslim. Dan
yang disebutnya sebagai kaum substansialis. keempat, kaum Muslimin substansialis
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 2 , Juli – Desember 2016
Selanjutya Liddle (halaman 61—65) Selain konsep tersebut, memasuki memprediksikan, ada tiga faktor yang bisa
tahun 1995-an, muncul pemikiran tentang mendorong kuatnya posisi kaum skriptualis,
pembaruan Islam dari Herman Soewardi terutama jika iklim politik pasca-Soeharto lebih
dengan konsep Adab-Karsa. Konsep Adab- terbuka, yakni pertama, lebih diterimanya
Karsa Herman Soewardi dalam buku doktrin skriptualis oleh kebanyakan kaum
Mempersiapkan Kelahiran Sains Tauhidullah Muslim Indonesia, seperti al-Qur’an adalah
(2001b), dikembangkan dari teori David kalam Illahi yang harus ditangkap secara
McClelland (1961) tentang “culture and literal; Islam mencakup seluruh kehidupan
personality”. Teori McClelland ini kemudian ia (termasuk terintegrasinya Islam dan politik,
hubungkan dengan teori Myrdal, tentang pen.),. Hal ini akan ditunjang potensi
“hard” dan “culture”. Pada masyarakat dengan pertumbuhan
n-ach tinggi atau “achieving society”, terdapat kebanyakan tinggal di pedesaan, berkemba-
“hard culture”, dan pada masyarakat yang ngnya popularitas kursus-kursus al-Qur’an
“non-achieving society” terdapat “soft culture”. (dan pendidikan ke-Islam-an lainnya, pen.) di
Selain dari kedua orang tersebut, kampus-kampus pada kalangan mahasiswa,
Soewardi pun dipengaruhi oleh pemikiran dan meningkatnya pengalaman keagamaan
Herbert Mead, Znaniecki, Robert K. Merton, kalangan sufisme. Kedua, kemugkinan
dan Eric Fromm. Dari pandangan-pandangan beraliansinya kaum skriptualis dengan
terpenting McClelland, Myrdal, Herbert Mead, kelompok-kelompok lain, seperti dengan
Znaniecki, Merton, dan Eric Fromm; di satu kelompok kelas bawah yang dicitrakan
pihak, dan sejarah Nabi Muhammad SAW; di bermusuhan
lain pihak, Soewardi mencetuskan konsep pengusaha keturunan Cina, perusahaan asing
Adab-Karsa khususnya dalam memandang (terutama Barat), yang sering disampaikan
keadaan sosio-kultural komunitas masyarakat skriptualis seperti melalui MD atau beraliansi
Islam dengan dasar logika substitutabel dengan kelompok-kelompok pengusaha dan
(bukan necessary). Menurutnya, adab birokrat yang tidak puas terhadap pemerintah.
menunjukkan ketaatan masyarakat terhadap Selan itu, kemungkinan beraliansi dengan
perintah-perintah Tuhan (yang bisa tinggi dan orang yang menginginkan otonomi daerah
bisa rendah), dan karsa menunjukkan yang selama Orde Baru pembangunan
kekuatan psikologis (bisa kuat dan bisa lemah) perekonomian terpusat di Jakarta, terutama
mencapai yang dari daerah-daerah yang pernah mendukung
masyarakat
untuk
diinginkannya. Karenanya, timbul Adab Tinggi “pemberontakan” Masyumi (dalam PRRI,
dan Adab Rendah, dan Karsa Kuat dan Karsa pen.). Ketiga, keinginan para politisinya yang
Lemah. Ia menunjukkan bahwa timbul- ambisius untuk membangun basis massa. Hal
tenggelamnya sivilisasi itu berlatar belakang ini bertitik tolak dari kemungkinan semakin
pada adab-karsa tersebut. banyaknya politisi pasca-Orde Baru yang
Kekeliruan persepsi teologis tentang ambisius berkuasa yang memerlukan basis
Islam, menimbulkan lima sifat dasar massa Islam seperti yang dilakukan Orde
kelemahkarsaan, yaitu 1) tidak ada orientasi Baru dengan kebijakan politik mendorong
ke depan; 2) tidak ada growth philosophy; 3) tumbuhnya
cepat menyerah; 4) berpaling ke akhirat menentang politik Islam, seperti yang terjadi
keshalehan
ummat tetapi
(retreatism); dan lamban atau inertia. mulai tahun 1980-an.
Ada beberapa pokok pikiran teori sosiologi politik Herman Soewardi yang dapat
Gunawan Undang, Husni Thamrin; Konflik dan Integrasi Islam Politik
dijadikan pegangan, di antaraya: pertama, Menurut Soewardi, kekalahan partai- Indonesia pasca-Orde Baru sedang dilanda
partai Islam pada Pemilu 1999; yang pada sisi pelapukan politik, disintegrasi bangsa, dan
lain banyak yang meremehkannya, namun keberantakan ekonomi (Soewardi, 2001b: 80).
bagi dirinya justru kekalahan tersebut sebagai Kedua, kekalahan kaum Muslimin (partai
kunci (titik tolak, pen.) ke arah pemahaman politik Islam) di Indonesia pada Pemilu tidak
kita tentang Islam (termasuk politik, pen.) di terlepas dari “kekalahan” kaum Muslimin
Indonesia ke arah yang lebih baik. Kekalahan Indonesia sebelumnya yang sudah kita lihat
tersebut disebabkan oleh “Islamo-phobie” sejak empat abad lalu dengan terjadinya
(takun akan Islam) bahkan dapat dikatakan perubahan “budaya pantai” (perdagangan) di
“tidak menyukai Islam”. Islam banyak zaman Kerajaan Demak ke “budaya
dikonotasikan negatif; seperti peraturan- pedalaman” (agraris) yang terisolir pada
peraturan yang ketat, tidak boleh bersenang- zaman Kerajaan Mataram. Mengapa hal
senang, dan hukuman-hukuman yang berat. tersbut terjadi dan bagaimana jalan
bahwa Islam pemecahannya, Ia menganalisisnya dengan
Mereka
memandang
membenamkan mereka di dalam keterpu- pendekatan inkonvensional (transendental-
rukan, kemiskinan, dan kebodohan. “Image” deduktif),
tentang Islam adalah: “kopeah dilelepkeun, konvensional (empirikal-deduktif).
sarung belel, dan mata belek”. Jelas hal Menurut
tersebut salah pandang tentang Islam, mewujudkan sistem parternalistik dengan
Soewardi,
Mataram
sehingga perlu mengubah struktur kognitif hirarki yang ketat. Di samping itu,
tentang Islam melalui penelusuran sejarah mengakibatkan hilangnya “Weisya Culture”
(dan belajar dari masa keemasan, pen.) Islam. atau budaya dagang, sehubungan Mataram
sosiologi politik, harus unggul terhadap bangsawan pantai
Dalam
konteks
pemikiran Soewardi tersebut dapat ditafsirkan yang hidup dari perdagangan. Sistem
bahwa umat Islam perlu melakukan reorientasi paternalistik merupakan hubungan dengan
teologi, dari pendekatan empirikal-induktif- atas desa (raja), maka hubungan sudra
ke pendekatan dengan ksatria. Kelas menengah atau weisya
positivistik-weternisasi
transendental-deduktif-Qur’ani sebagaimana atau pedagang yang bersifat dinamik dan
“kemajuan ideal” pada “tujuh abad yang egaliter dengan demikian menjadi tidak
benar” masa Rasulullah SAW. Kekalahan berkembang. Orang-orang Timur Asing
partai-partai Islam pada masa yang lalu, difungsikan oleh Belanda untuk melakukan
hendaknya disikapi oleh human motivation- perdagangan dengan interior, suatu rentang
transendentalistik melalui kognisi baru dengan yang kita rasakan sampai sekarang.
Karsa Kuat-Adab Tinggi yang mengede- Sistem paternalistik tersebut sangat
pankan harmoni sosial (integrasi) dalam menerpurukkan inisiatif dan kreativitas rakyat
tatanan politik-ideologis sehingga mengidap penyakit Lemah Karsa,
membangun
sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. baik dalam mobilitas horizontal maupun mobilitas vertikal. Menghendaki loyalitas
Konflik dan Integrasi
mutlak, tanpa kreativitas, dan tanpa business Dalam Islam, terminologi konflik diartikan culuture merupakan akibat lain dari budaya
sebagai ikhtilaaf (perbedaan, perselisihan, Mataram tersebut. Dengan demikian; menurut
pertukaran, berlain-lainan). Kata ikhtilaaf Soewardi, dalam game theory-nya, umat
digunakan dalam Al-Quran, seperti di dalam Islam harus meninggalkan status quo.
surah Al-Baqarah ayat 213 dan 253, surah
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 2 , Juli – Desember 2016
Aali Imraan ayat 105, surah An-Nisaa ayat keributan atau kekatjauan, jang seterusnja 157, surah Yuunus ayat 93, serta surah An-
dapat mengakibatkan penghantjuran dan Nahl ayat 39, 64, dan 124. Dalam sebuah
pemusnahan manusia. Karena itulah maka hadis Rasulullah SAW bersabda, “Ikhtilaaf
pemeliharaan djenis umatmanusia adalah ummati rahmah” yang artinya perbedaan
salah satu dari maksud-maksud jang daruri pendapat (di kalangan) umatku adalah rahmat
(sangat penting) dari Sjari’at Islam” (Khaldun, (H. R. Al-Baihaki). Selain kata ikhtilaaf, dalam
terminologi Islam, dikenal pula istilah iftiraaqun Konflik bisa terjadi akibat dari tidak (perpecahan) dan an-nizaau (persengketaan).
terkendalinya kekuasaan, ketamakan, berlaku Menurut Ibn Khaldun (1377), agama
zalim, tidak adil, dan agresif (merampas hak- mempunyai pengaruh terhadap kekuatan
hak orang lain) yang didasari oleh rasa negara. Jika pertikaian (konflik) terjadi di
amarah dan rasa benci. Agar masyarakat kalangan penguasa, maka negara pun akan
tidak berkonflik dan bertindak anarki, maka lemah, cepat hancur, dan musnah (Khaldun,
memerlukan pemerintahan yang dipimpin oleh dalam Ralliby, 1962: 41). Ilmu politik
seseorang yang memiliki kekuasaan wibawa menghendaki agar hanya (ada) satu
untuk mengendalikannya (Khaldun, 1962: penguasa
Kekuasaan wibawa perlu pemerintahan. Jika banyak orang, maka akan
dipusatkan pada tangan satu orang yang kuat menimbulkan kehancuran suatu pemerin-
dan mampu mengendalikan kepemimpinan tahan (Khaldun, 1962: 222). Pimpinan politik
(Khaldun, 1962: 220—221). Semangat memerlukan bantuan dari orang-orang di
agama bisa meredakan pertentangan (konflik) sekitarnya.
dan iri hati serta akan menuntun manusia ke hendaknya mampu mengendalikan konflik
arah kebenaran sehingga dapat mempersa- dan stabilitas keamanan, mampu mengawasi,
tukan (mengintegrasikan) pandangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
tujuan mereka (Khaldun, 2000: 192—193). serta mampu mempengaruhi masyarakat
Namun, gerakan keagamaan tidak akan secara psikologis (Khaldun, 1962: 229—230).
berhasil tanpa solidaritas sosial yang kuat Tujuan akhir dari solidaritas sosial (‘ashabiyah)
(Khaldun, 2000: 194). Untuk mengeliminir adalah kedaulatan (al-mulk). Jika tidak ada
konflik, Khaldun menjelaskan: satu solidaritas sosial yang lebih kuat dari
meniadakan pertentangan seluruh solidaritas yang ada, maka
“Untuk
(tanazu’) cukuplah setiap orang mengetahui perpecahan, pertikaian, dan pertentangan
bahwa kezaliman diharamkan atasnya (konflik) antar-kelompok solidaritas sosial tidak
berdasarkan hukum akal. Dengan demikian, bisa dihindari. Akibatnya, kedaulatan tidak
dugaan mereka (sebagian filosof/ilmuwan) akan tercapai (Khaldun, 2000: 166). Lebih jauh
bahwa pertentangan hanya mungkin ada ia mengemukakan:
dengan adanya syari’at di satu sisi, dan “Satu di antara akibat-akibat lazim dari
kedudukan imam di sisi lain, tidaklah benar. organisasi
Pertentangan itu dapat dilenyapkan, baik pertikaian (at-tanaazuu) jang disebabkan oleh
dengan adanya kekuatan para pemimpin atau tekanan-tekanan dari pendapat-pendapat jang
dengan usaha rakyat menjauhkan diri dari berbeda-beda (at-tanaazuu li izdihaam al-
pertikaian dan saling berlaku zalim, maupun aghraadh). Selama tidak ada penguasa jang
dengan adanya jabatan imam tersebut. akan melaksanakan sesuatu kewibawaan,
Dengan demikian, dalil aqli (akal) yang maka pertikaian ini akan menimbulkan
didasarkan kepada premis itu tidak tahan uji.
Gunawan Undang, Husni Thamrin; Konflik dan Integrasi Islam Politik
Maka dengan itu teranglah keharusan adanya sifat dari alam maupun masyarakat (Lauer, imam diindikasikan oleh syari’at melalui
1993: 90). Konflik dan integrasi bukanlah dua konsensus atau ijma’” (Khaldun, 2000: 236).
aspek yang kontradiktif di dalam politik; kedua- Konflik bisa disebabkan oleh perbedaan
duanya saling melengkapi (Duverger, 1998: ijtihad. Menurut Khaldun:
251). Teori konflik lebih memusatkan “Harmoni dan solidaritas sosial benar-benar
perhatiannya pada perbedaan, ketegangan, memainkan peranan di sana (dalam komuitas
dan perubahan (Horton & Hunt, 1996: 21). Islam). Solidaritas sosial merupakan faktor
Soewardi menentang rahasia Illahi yang mengendalikan rakyat
Herman
pandangan ilmuwan Barat bahwa yang supaya tidak terpecah belah dan bermusuhan
membawa kemajuan manusia adalah konflik: (berkonflik). Solidaritas sosial adalah sumber
Ia mengemukakan:
persatuan dan kesepakatan (integrasi) serta “Menurut ideologi Marxis, yang membawa penjamin dari tujuan dan syari’at agama Islam.
kemajuan manusia adalah konflik (bukan Peperangan dan perpecahan di antara para
harmoni atau “brotherhood”) dan justru sahabat dan tabi’in, hanyalah persoalan
dengan harmoni semangat manusia menjadi agama dan timbul dari ijtihad. Perselisihan
lemah. Asas konflik ini oleh Adam Smith pasti muncul di kalangan orang yang
self-interest, yakni berijtihad. Puncak perselisihan yang terjadi di
“diperas”
menjadi
kepentigan-kepentingan diri manusia yang antara para sahabat dan tabi’in adalah
menjadi motor penggerak kemajuan. Panda- perselisihan aijtihad mengenai masalah-
ngan self-interest Smith pun bertentangan masalah agama yang belum jelas” (Khaldun,
motivation dari 2000: 263—264).
dengan
achievement
McClelland (Soewardi, 2003: 8—17). Menurut Sedangkan menurut perspektif teori
pandangan Barat, konflik itu asas yang Barat, masyarakat manusia sebagai sebuah
merupakan sifat dasar manusia, dan karena proses perkembangan akan menyudahi
itu tidak bisa mengkonsepsikan suatu sistem konflik melalui konflik (Marx; dalam Campbell,
ekonomi tanpa konflik. Justru konflik itulah 1999: 134). Menurut Max Weber (1864—
menurut mereka sebagai pendorong ke arah 1920), konflik adalah sebuah bentuk
kemajuan (Soewardi, 2001: 58). Berbeda hubungan yang di dalamnya mengandung
dengan pandangan tersebut, McClelland tindakan yang sengaja diarahkan untuk
dalam The Achieving Society (1961) manusia melaksanakan kehendak si pelaku sendiri
maju bukan karena konflik, tetapi karena faktor untuk melawan serangan partai atau partai-
motivasi berupa need for achievement atau partai lain (Campbell, 1999: 211). Konflik
kebutuhan berprestasi” (Soewardi, 2001: 63). adalah
perubahan. Hubungan antara konflik dan Sementara itu, Juhaya S. Pradja perubahan cenderung menjadi satu proses
mengemukakan:
yang berlangsung dengan sendirinya terus “Menurut aliran teori konflik, masyarakat yang menerus (Smeslund, 1961; dalam Lauer,
baik dan sehat adalah masyarakat yang hidup 1993: 287--290).” Tampak adanya hubungan
dalam situasi konfliktual. Masyarakat yang erat
berada dalam keseimbangan (equilibrium) (Dahrendorf, 1959: 208, dalam Lauer 1993:
antara konflik
dan
perubahan
dianggapnya sebagai masyarakat yang 281). Sesuatu yang ada, ditandai oleh
tertidur dan berhenti dalam proses kemajuan. kesatuan dan konflik dengan lawannya;
Karena konflik atau bentrokan sosial ditandai oleh kontradiksi; kontradiksi menjadi
dianggapnya sebagai kekuatan utama dari
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 2 , Juli – Desember 2016
perkembangan masyarakat yang ingin maju permusuhan dalam kelompok masyarakat; (2) ke tahap-tahap yang lebih sempurna. Dalam
ketidakselarasan posisi dan perbedaan konteks ini, pengaruh perilaku agama yang
pandangan; (3) tidak terpenuhinya kebutuhan; dianggap memiliki “daya disintegratif”, menjadi
(4) keterancaman identitas atas peristiwa positif (Pradja, 2000: 45).”
masa lalu yang tidak terselesaikan; (5) Menurut bentuknya, konflik terdiri atas
ketidakcocokan budaya; dan (6) ketidakseta- konflik vertikal dan konflik horizontal. Dalam
raan dan ketidakadilan. Selain itu, konflik pun konteks penelitian ini, konflik vertikal adalah
dapat disebabkan perbedaan persepsi, konflik antara pemerintah (negara) dengan
pengetahuan, tata nilai, kepentingan, dan partai politik, sedangkan konflik horizontal
pengakuan hak kepemilikan (Tadjudin, 2000: adalah konflik antar-partai politik. Berdasarkan
39); atau disebabkan oleh sentralisme sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi
kebijakan pemerintah (Adimihardja, 2000: 59). konflik terbuka dan konflik tertutup (latentif).
Dampak konflik bisa bersifat fungsional Jenis-jenis konflik terdiri atas (1) konflik
(positif) dan disfungsional (negatif). Menurut pribadi; (2) konflik sosial (budaya, ekonomi,
Soekanto (2002: 112—113), konflik yang suku, agama, rasial, golongan/kelompok,
positif dapat meningkatkan keeratan solidaritas kelas sosial, dll.); (3) konflik politik atau
in-group suatu kelompok; sedangkan dampak kekuasaan, dll. Konflik politik, merupakan
negatif konflik mengakibatkan retaknya fokus utama yang akan dikaji dalam penelitian
persatuan kelompok, perubahan kepribadian ini.
individu karena tekanan mental, hancurnya Konflik ada yang fungsional dan yang
harta benda dan korban manusia, serta tidak fungsional terhadap perubahan. Menurut
timbulnya akomodasi (apabila pertikaian Sutrisno (2003: 14--16) konflik fungsional
seimbang), dominasi (apabila pertikaian tidak adalah konflik yang menghasilkan perubahan
seimbang), dan takluknya salah satu pihak atau konsensus baru yang bermuara pada
(apabila salah satu pihak kalah berkuasa). perbaikan. Menurut Tadjudin (2000: 36)
Resolusi konflik berarti menangani konflik fungsional adalah konflik yang
sebab-sebab konflik (Fisher, dkk.: 2001: 7). mendukung terhadap pencapaian tujuan dan
Konflik perlu dikelola dan dikendalikan mampu meningkatkan kinerja kelompok.
sehingga dapat menciptakan dinamika sosial Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik
yang positif (Johnson, 1989: 138). Menurut yang menghambat kinerja kelompok. Dari dua
Margono (2004) dan Usman (2003) dalam pendapat tersebut; dalam konteks perubahan,
Nulhaqim (2005), cara penanganan konflik dapat
dapat secara konvensional, yakni secara fungsional adalah konflik yang menghasilkan
litigasi (di muka pengadilan) atau dengan cara perubahan sosial ke arah yang positif,
non-litigasi, yakni melalui ADR (Alternatif sedangkan konflik yang disfungsional adalah
Dispute Resolution). Penyelesaian konflik konflik yang tidak berpengaruh positif terhadap
model ADR menekankan terhadap proses perubahan
negosiasi (kesepakatan melalui proses berdasarkan
interaksi langsung antar-pihak yang bertikai), dibedakan menjadi konflik fungsional dan
mediasi (kesepakatan yang melibatkan pihak konflik disfungsional.
ketiga sebagai mediator atau penengah; Menurut Fisher, dkk. (2001: 8—9),
mediator bersifat aktif), konsiliasi (kesepakatan konflik dapat disebabkan oleh (1) polarisasi
yang melibatkan pihak ketiga sebagai yang terus terjadi, ketidakpercayaan, dan
konsiliator; konsiliator bersifat pasif, dan
Gunawan Undang, Husni Thamrin; Konflik dan Integrasi Islam Politik
arbitrasi (kesepakatan yang melibatkan pihak ketiga sebagai arbitrator; arbitrator harus netral dan disepakati kelompok yang bertikai, mempunyai wewenang untuk memutuskan, dan keputusannya bersifat mengikat pihak- pihak yang bertikai).
Dalam konteks integrasi politik, teori interaksi simbolik pun dapat dijadikan salah satu sandaran untuk menganalisis dinamika gerakan partai politik (Islam): apakah ia konsisten (istiqamah) di “dunia nyata” atau tidak. Teori interaksi simbolik yang berasal dari filsafat
dikembangkan George Herbert Mead ini memandang bahwa realitas sebenarnya tak berada “di luar” dunia nyata; bila kita ingin memahami aktor, kita harus mendasarkan pemahaman itu di atas apa-apa yang sebenarnya mereka kerjakan dalam dunia nyata (Ritzer & Goodman, 2005: 266). Oleh Irving Goffman (1959) teori interaksi simbolik dikembangkan menjadi konsep dramaturgi, yakni pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama, seperti yang ditampilkan di atas pentas. Dramaturgi Goffman memperhatikan proses yang dapat mencegah gangguan atas penampilan diri. Dengan menggunakan analogi teatrikal, Goffman berbicara mengenai panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Front stage yang terdiri atas setting dan front personal, dan front personal terdiri atas penampilan dan gaya. Dalam back stage, fakta disembunyikan di depan atau berbagai jenis tindakan informal lainnya yang mungkin timbul.
Teori dramaturgi Goffman dapat diinterpretasikan bahwa penampilan dan gaya seorang aktor di front stage, dapat berbeda dengan “dunia nyata” yang sesungguhnya terjadi di back stage. Seorang aktor yang berada di back stage dengan “dunia nyata”- nya bukan seorang pemabuk dan shaleh, di dalam front stage ia harus mampu
memerankan dan “memanipulasi” dirinya menjadi seorang pemabuk berat dengan wajah yang garang. Aktor tersebut berhasil mementaskan
dan
menyampaikan komunikasi simbolik “di luar” dunia nyata.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif; sebagai prosedur penelitian, menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor, 1975; dalam Moleong, 1997: 2—3). Metode kualitatif indikasinya tampak dari membiarkan sesuatu masalah itu dipecahkan oleh jawaban yang berasal dari alam itu sendiri. Pendekatan kualitatif dalam penelitian adalah untuk mencari kebenaran relatif (Garna, 1999: 29 dan 38). Bertitik tolak dari kedua pendapat tersebut, data-data kualitatif hasil pengamatan di lapangan, merupakan fenomena sebab-akibat sehingga sesuatu hal yang menjadikan timbulnya suatu peristiwa dapat teridentifikasi secara kualitatif.
Penelitian kualitatif mengacu pada strategi penelitian observasi partisipan dan wawancara mendalam, yang bertujuan untuk memahami aktivitas yang diselidiki, yang memungkinkan peneliti memperoleh informasi dari tangan pertama mengenai masalah sosial empris yang hendak dipecahkan (Chadwick, et. al., 1988: 235).
Dilihat dari maksud dan tujuannya, penelitian ini bersifat deskriptif (descriptive research) yang bertujuan untuk “menggambar dan memperoleh gambar” fenomena setepat realita (Rusidi, 1999: 18--19). Metode deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Nazir, 1988: 63). Sedangkan menurut Withney (dalam Aminudin, 1999: 49) penelitian deskriptif adalah pencarian fakta dengan
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 2 , Juli – Desember 2016
interpretasi yang tepat dengan tujuan untuk Data empirik hasil pengamatan dari lapangan membuat deskripsi, gambaran atau lukisan
tersebut selanjutnya akan dideskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat
sehingga diharapkan dapat menghasilkan mengenai
suatu rekonstruksi perubahan sosial politik hubungan-hubungan antar-fenomena yang
Islam berdasarkan hasil berpikir induktif. diselidiki. Bertitik tolak dari ketiga pendapat
Konflik dan Integrasi
tersebut, deskripsi atau gambaran hubungan Berdasarkan hasil wawancara dengan antar fenomena yang akan diteliti dan
informan kunci dan pengamatan partisipatif di dianalisis bersifat kausalitas (hubungan sebab-