Desain Cover : Andreas Kusumahadi Lay-out dan Redesain cover : Priyanto Redaksi : Anick HT Jakarta 2012

Inteligensia

Muslim dan Kuasa

Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20

Penulis: Yudi Latif

Pengantar: Prof. James J. Fox

EDISI DIGITAL

Desain Cover : Andreas Kusumahadi Lay-out dan Redesain cover : Priyanto Redaksi : Anick HT

Jakarta 2012

ISI BUKU

Tentang Penulis — ix Pengantar — xi Ucapan Terima Kasih — xiv

1. PENDAHULUAN —1 Dasar-Dasar Analisis —6 • Genealogi — 6 • Muslim — 10

Inteligensia dan Intelektual — 14 • Inteligensia — 17 • Intelektual — 20 • Inteligensia dan Intelektual dalam Konteks Indonesia — 29

Kuasa(Power) — 39 • Indonesia — 47

Studi-Studi Terdahulu Mengenai Inteligensia dan Intelektual (Muslim)

Indonesia — 48 Pendekatan Alternatif, Tujuan, dan Metodologinya — 57 • Dinamis — 57 • Interaktif — 59 • Pendidikan — 60 • Praktik-Praktik Diskursif — 62

- Ruang Publik — 63 - Permainan-Permainan Kuasa (Power Games) — 67

Pendahuluan | III

• Intertekstual — 68 - Metodologi — 73 - Susunan Penulisan Buku — 76

• Catatan tentang Ejaan — 79 2. FORMASI INTELIGENSIA — 87

Akar-Akar Pendidikan Islam dari Inteligensia (Muslim) Modern — 94

• Pendidikan Barat di Bawah Kebijakan Liberal — 97 • Pendidikan Barat di Bawah Politik Etis — 102 • Pendidikan Barat dan Lahirnya Inteligensia — 107

Akar-Akar Pendidikan Islam dari Inteligensia (“Klerikus”) Muslim — 112 • Pendidikan Islam pada Abad Ke-19 — 113 • Pembaruan Sekolah-Sekolah Islam Selama Era

• Politik Etis — 130

Praktik-Praktik Diskursif dan Terciptanya Identitas

Kolektif — 143 • Praktik-Praktik Diskursif Selama Masa Liberal — 144 • Praktik-Praktik Diskursif pada Masa Awal

Politik Etis — 150 Terciptanya Ruang Publik Modern di Hindia — 158 • Masa Persiapan Ruang Publik Hindia pada Akhir Abad Ke-19 — 161 • Terbentuknya “Ruang Publik Inteligensia” — 166 Kaoem Moeda Islam dan Tranformasi Ruang Publik — 178 • Adopsi Teknologi Percetakan Modern dan Klub-Klub Sosial oleh Kaum Muslim — 181 • Perluasan Ruang Publik oleh Kaum Muslim — 186 Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 190 • Lahirnya Perhimpunan-Perhimpunan Proto-Nasionalis — 196 • Kelahiran Pers dan Karya-Karya Sastra Proto Nasionalis — 216 Kesimpulan — 220

IV | Inteligensia Muslim dan Kuasa

3. MENCIPTA INDONESIA, MENCIPTA TRADISI-TRADISI

POLITIK INTELEKTUAL — 245 Pemajuan dan Ketergangguan Sekolah-Sekolah Sekuler — 250 • Kemajuan Pendidikan di Tingkat Dasar dan Menengah — 251 • Pengembangan Pendidikan Universitas — 253 • Dampak Pendidikan terhadap Generasi Kedua

Inteligensia — 258 • Pendidikan Sekuler Selama Pendudukan Jepang — 260 Pemajuan Sekolah-Sekolah Islam — 260 • Modernisasi Sekolah-Sekolah Tradisionalis — 262 • Perluasan Sekolah-Sekolah Reformis-Modernis — 266 • Studi Islam Tingkat Tinggi di Timur Tengah — 269 • Pendidikan Islam Selama Pendudukan Jepang — 270

Praktik-Praktik Diskursif dan Pembentukan Blok Historis — 272 • Dari Perhimpunan Indonesia Menuju Pembentukan Blok Historis — 277 • Dari Djama’ahal-Chairiah ke Pembentukan Sebuah

Blok Historis — 286 • Dari Gerakan-Gerakan Mahasiswa di Hindia ke Pembentukan Sebuah Blok Historis — 289 • Dari Aktivitas Kesusastraan ke Pembentukan Sebuah

Blok Hisroris — 293

Keretakan Ruang Publik dan Terbentuknya Tradisi-Tradisi Politik

Intelektual — 296 • Kesamaan dalam Ruang Publik — 296 • Perdebatan-Perdebatan dalam Ruang Publik — 299

- Lahirnya Tradisi Politik Intelektual Komunis dan Muslim Modernis — 300

- Kelahiran Tradisi Politik Intelektual Muslim Tradisionalis — 306 - Kelahiran Tradisi-Tradisi Politik Intelektual “Nasionalis” dan “Sosialis” — 311 • Kelahiran Tradisi-Tradisi Politik Intelektual Kristen — 315

Pendahuluan | V

- Fragmentasi Dalam Tradisi-Tradisi Politik Intelektual — 317 Pembentukan dan Transmisi Tradisi Politik “Intelektual” Islam — 319 • Terbentuknya Identitas Kolektif dan Ideologi Muslim — 321 • Transmisi Tradisi Politik Intelektual Muslim — 331 • Kepemimpinan Generasi Kedua Inteligensia

Muslim — 340 Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 344 • Dari Perhimpunan-Perhimpunan Bentukan Jepang

Menuju Nasionalisme Kerakyatan — 346 • Dari Gerakan Bawah Tanah Menuju Nasionalisme

Kerakyatan — 354 • Dari Aktivitas Sastra dan Media Menuju Nasionalisme

Kerakyatan — 358 • Menuju Proklamasi Kemerdekaan Indonesia — 360 Kesimpulan — 367

4. INTELIGENSIA SEBAGAI ELITE POLITIK

NEGARA BARU — 393 Kesetaraan Akses ke Pendidikan Publik (Sekuler) — 401 Pendidikan Agama dan Ekspansi Universitas-Universitas Islam — 408 Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413

• Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan — 414 • Pembentukan Tradisi Politik Militer Indonesia — 417

Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 420 • Rintangan bagi Eksperimen Demokrasi — 421 • Represi dan Resistansi — 429

Jatuh-Bangun Islam Politik — 440 Transmisi Tradisi Politik Intelektual Muslim — 459

• Kemunculan HMI — 461 • Kemunculan PII — 465 • Kelahiran IPNU dan PMII — 468

VI | Inteligensia Muslim dan Kuasa

• Kemunculan IMM — 472 • Kemunculan Persami — 473 • Pembentukan Identitas Kolektif Mahasiswa

Muslim — 474 Kesimpulan — 482

5. DEVELOPMENTALISME-REPRESIF ORDE BARU

DAN RESPONS INTELEKTUAL ISLAM — 503 Pendidikan secara Massal dan Devaluasi Intelegensia — 509

Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik: Modernisasi

dan Represi — 514 Jalan Buntu Islam Politik — 526

Respons Intelektual dari Generasi Kedua Inteligensia

Muslim — 543 Respons Intelektual Generasi Ketiga Inteligensia Muslim — 548 Respons Intelektual dari Generasi Keempat Inteligensia Muslim — 554 Permainan-Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 565

• Perkembangan Gerakan Dakwah — 577 • Perkembangan Gerakan Pembaruan — 601 • Perkembangan Gerakan “Jalan Ketiga” — 611 • Perkembangan Gerakan “Sektor Kedua” — 618

Kesimpulan — 620

6. PASANG-SURUT IKATAN CENDEKIAWAN MUSLIM

SE-INDONESIA (ICMI) — 641

Profil Pendidikan pada Penghujung Abad ke-20: Ledakan Sarjana

Muslim — 646 Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik — 651

Usaha-Usaha Awal untuk Mempersatukan para Intelektual

Muslim — 657 Kelahiran ICMI — 669 Permainan-Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 677

• Prestasi Politik ICMI yang Sesungguhnya — 692 • Pergeseran ke Gerakan Reformasi — 697

Pendahuluan | VII

Kemunduran ICMI — 702 Kesimpulan — 714

7. KESIMPULAN — 723

Kontinuitas dalam Perkembangan Historis Inteligensia

Muslim — 730 • Diskontinuitas dalam Perkembangan Historis

Inteligensia Muslim — 744 Poskrip — 753

Kepustakaan — 759 Indeks — 809

VIII | Inteligensia Muslim dan Kuasa

TENTANG PENULIS

Yudi Latif lahir di Sukabumi, 26 Agustus 1964. Menamatkan studi SI pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (1990), S2 dalam Sosiologi Politik dari Australian National University (1999), dan S3 dalam Sosiologi Politik dan Komunikasi dari Australian National University (2004). Sejak Sekolah Dasar hingga menamatkan studi doktoralnya, ia selalu meraih predikat outstanding student. Tesis masternya tentang “Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia” memberikan kartografi yang berharga tentang sosiologi politik Indonesia lewat pembacaan sejarah dari “atas” dan “bawah”. Disertasi doktoralnya tentang “Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20” memberikan terobosan baru dalam studi sosiologi dan sejarah intelektualisme Islam hingga menuai ban yak pujian.

Karier penelitiannya dimulai ketika bergabung dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1993. Sejak itu, ia terlibat sebagai editor tamu pada Center for Information and Development Studies (CIDES, 1995-1996), peneliti senior pada Center for Presidential and Parliamentary Studies (CPPS, 1998- 1999), dan Direktur PusatStudi Islam dan Demokrasi (PSI D) Universitas Paramadina (2002-2003). Ketika menempuh studi doktoralnya, ia juga dipercaya untuk memberikan kuliah dalam

Pendahuluan | IX Pendahuluan | IX

Di luar bidang akademik, Yudi juga seorang penulis yang subur (prolific). Ia menulis dan mempunyai rubrik tetap di sejumlah media massa dan jurnal. Selain itu, ia juga pernah menjadi pemimpin redaksi dari sebuah majalah politik, Kandidat, menulis dan menyunting sejumlah buku dan sesekali tampil di televisi dan radio sebagai komentator isu-isu sosial politik.

Dalam bidang organisasi, Yudi pernah menjadi Ketua Ikatan Pemuda Masjid Agung Bandung (IKAPMA, 1985-1986), Koordinator Gelanggang Seni Sastra, Teater, dan Film (GSSTF) Universitas Padjadjaran (1987-1988), Sekretaris Jenderal Senat Gabungan Universitas Padjadjaran (1989), Presidium Majelis Sinergi Kalam (1997-1998), dan Ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Canberra (1999-2000).

Dalam bidang profesi, Yudi saat ini menjadi Wakil Rektor untuk Urusan Kemahasiswaan, Riset, dan Kerja Sama Kelembagaan pada Universitas Paramadina, juga menjadi Direktur Eksekutif pada Reform Institute—sebuah lembaga riset swasta yang tengah menanjak.[]

X | Inteligensia Muslim dan Kuasa

PENGANTAR PROF. JAMES J. FOX *

Inteligensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, karya Yudi Latif, merupakan sebuah studi dengan lingkup dan signifikansi yang luas dan penting. Studi sejenis ini tak ada bandingannya dalam kelimpahan khazanah literatur tentang Indonesia. Dengan mempertimbangkan cakupan yang luas dan argumen historis yang kritis, buku ini harus men - jadi bacaan wajib dalam upaya memahami masyarakat Indonesia dan perkembangan politiknya terkini.

Sebagai sebuah kajian sosiologis yang fundamental, buku ini mendefinisikan dan menemukan subjeknya sendiri. Fokusnya adalah pada “inteligensia” Muslim Indonesia. Argumennya adalah bahwa “stratum” masyarakat ini—yang jarang diidentifikasi seperti itu oleh para penulis lain—telah menyediakan wacana Islam kritis dalam ruang publik yang memungkinkan Muslim untuk mendefinisikan diri mereka sendiri dan memberikan arah kepada bangsa Indonesia. Kajian ini menawarkan sebuah persepsi

* Prof. James J. Fox adalah Direktur Research School of Pacific and Asian Studies, the Australian National University.

Pengantar Prof. James J. Fox | XI Pengantar Prof. James J. Fox | XI

Sebagai sebuah kajian tentang sejarah intelektual, buku ini bertitik tolak dari abad ke-19, memotret konteks kolonial yang di dalamnya individu-individu intelektual Muslim mendapatkan pendidikan dan menciptakan ruang aktualisasi bagi diri mereka sendiri di tengah masyarakat kolonial. Pembahasan kemudian bergerak ke abad ke-20 dengan kemunculan “inteligensia” dan pelbagai pergulatannya dalam mencari pengakuan dan otoritas politik. Dalam memberikan hal itu, buku ini memetakan peralihan antargenerasi yang identifikasi populernya, di setiap periode, memberikan pengertian tentang keterlibatan historis dari horizon intelektual mereka. Dari kaoem moeda, bangsawan pikiran, pemoeda peladjar hingga sarjana dan cendekiawan Muslim Indonesia dari generasi ke generasi bergumul dengan persoalan bagaimana menentukan posisi mereka di tengah arena nasional dan merespons isu-isu penting di dunia Muslim.

Secara khusus harus diakui bahwa buku ini pada dirinya sen - diri merupakan suatu keterlibatan dengan wacana yang dikajinya. Apa-apa yang dikajinya mencerminkan keterlibatan yang itens dari penulisnya, karena Dr. Latif sendiri adalah seorang intelektual yang terlibat (engaged intellectual). Konsep-konsep analitis kritis yang dipakai dalam buku ini diambil dari ide-ide Mannheim, Gramsci, Foucault, dan Habermas—untuk menyebut beberapa sumber inspirasinya. Penulis memodifikasi dan menyesuaikan gagasan-gagasan ini ke dalam kerangka analitisnya sendiri guna menghadirkan sebuah persepsi yang koheren atas masa lalu bang sa Indonesia. Buku ini,dengan demikian, melengkapi khazanah studi-studi klasik tentang Indonesia oleh beberapa penulis, seperti Benda, Feith, Legge, dan McVey.

XII | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Diskursus intelektual Muslim di Indonesia dan kaitan-eratnya dengan diskursus global yang lebih luas kini harus diakui keberadaannya. Dengan mempertimbangkan fondasi-fondasi dari diskursus publik dan melacak perkembangannya dari abad ke-20 hingga sekarang, buku ini menjadi kunci penting bagi diskusi mutakhir tentang peran Islam pada abad ke-21. Lebih dari sekedar tinjauan atas masa lalu, buku ini merupakan titik tolak untuk memikirkan masa depan.[]

Pengantar Prof. James J. Fox | XIII

UCAPAN TERIMA KASIH

Sejarah buku yang bertolak dari disertasi ini merupakan sejarah kasih sayang dan saling pengertian. Meskipun saya sendirilah yang bertanggungjawab atas hasil akhir dari buku ini, adalah mustahil karya ini bisa dituntaskan tanpa dukungan dan kontribusi dari banyak pihak.

Saya terutama berutang budi kepada para pembimbing dan dosen di Fakultas Studi Asia dan Research School of Pacific and Asian Studies (RSPAS), Australian National University (ANU), yang dengan murah hati telah memberikan bimbingan dan dorongan.

Profesor Virginia Hooker tidak hanya seorang pembimbing yang sabar dan rendah hati, tetapi juga seorang“Ibu” yang penuh kasih sayang yang senantiasa memperlihatkan simpati dan pengertiannya terhadap masalah-masalah psikologis dan material yang saya hadapi. Selama penulisan disertasi, beliau juga telah memberi saya kesempatan berharga untuk memberikan kuliah baru bersama “Reading the Indonesian Media” bagi para mahasiswa yang menggeluti studi Indonesia, yang telah membantu memperluas pemahaman saya sendiri akan pentingnya peran media dalam perkembangan sejarah inteligensia Indonesia.

Profesor James J. Fox merupakan seorang pembimbing lainnya yang bersahabat dan terbuka. Beliau bisa menerima pandangan-

XIV | Inteligensia Muslim dan Kuasa XIV | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Dr. Greg Fealy adalah seorang pembimbing yang merangsang pemikiran. Pandangan-pandangan kritisnya tentang beberapa poin dalam disertasi, memberi saya tantangan yang konstruktif untuk mempertajam analisis. Keahliannya dalam kajian tradisi - onalisme Islam Indonesia juga telah membantu memperluas pemahaman saya tentang genealogi inteligensia Muslim dari kalangan tradisionalis.

Dr. Ann Kumar di Centre for Asian Societies and Histories, ANU, dan Profesor Emeritus John D. Legge di Departemen Sejarah, Monash Univesitiy, telah banyak meluangkan waktu untuk membaca sebagian besar dari disertasi ini. Koreksi-koreksi mereka terhadap beberapa poin persoalan sejarah dan saran mereka tentang struktur organisasi dari disertasi ini sungguh amat berharga.

Saya juga berterimakasih kepada Dr. Gail Craswell di Academic Skills and Learning Centre, ANU, atas bantuan-bantuannya yang berharga sehubungan dengan masalah-masalah penulisan dalam bahasa Inggris. (Aki) Achdiat Karta Mihardja juga patut diberikan ucapan terimakasih atas bantuan-bantuannya terutama dalam penerjemahan teks-teks berbahasa Belanda.

Penulisan disertasi yang menjadi buku ini tidak mungkin terwujud tanpa dukungan finansial yang saya terima dari Australian National University dan pemerintah Australia, khususnya Departemen Pendidikan, Pelatihan, dan Urusan

Ucapan Terima Kasih | XV

Pemuda. Kedua institusi tersebut telah menganugerahi saya beasiswa yang sulit diperoleh, International Postgraduate Research Scholarship, yang memungkinkan saya mengikuti program doktoral di ANU. Saat menempuh program doktoral ini, saya juga diberi grant oleh Australia-Indonesia Institute untuk melakukan penelitian tentang Islam dan Demokrasi di Indonesia. Riset tentang isu ini memberikan masukan-masukan yang berharga untuk memperkaya penulisan disertasi.

Saya juga patut mengekspresikan apresiasi saya kepada Perpustakaan ANU dan Perpustakaan Nasional Australia. Koleksi- koleksinya yang kaya tentang studi Indonesia dan Islam telah memberikan kontribusi penting dalam memperkaya pengetahuan saya. Akses saya terhadap koleksi perpustakaan-perpustakaan tersebut dimungkinkan oleh layanan yang baik dari para pegawainya, yang tak bosan-bosannya membantu memenuhi hasrat perburuan saya.

Kredit juga harus diberikan kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Universitas Paramadina di Jakarta, dua institusi yang telah memberi jalan bagi studi doktoral saya, Apresiasi terutama harus diberikan kepada Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Sugeng Sarjadi, Benjamin Prawoto, Djoko Pitono, Dipo Alam, Erman Aminullah, Taufik Abdulah, Mochtar Pabottingi, dan Dewi Fortuna Anwar atas bantuan, dorongan, dan nasihat-nasihatnya yang berharga.

Saya juga berterima kasih kepada para staf administratif di Fakultas Studi Asia, RSPAS, dan Internasional Education Office, ANU, khususnya kepada Andrea Haese, Ludmila Mangos, Vera Joveska, Pamela Wesley-Smith, Heather Mann, dan Ann Bell atas bantuan-bantuannya yang berkaitan dengan masalah-masalah logistik dan mekanisme birokratis.

Terima kasih juga patut dilayangkan kepada teman-teman seperguruan, Edward Chunck, Ros Matthews, Matthew Byrne,

XVI | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Marshall Clark, dan teman-teman Indonesia di Canberra—yang nama-namanya tak mungkin disebutkan satu persatu--atas persahabatan yang hangat dan pertukaran pikiran yang bernas. Kehadiran mereka di sekitar saya membantu menciptakan lingkungan multikultural yang stimulatif, yang membuat hidup saya di Canberra lebih bermakna dari sekedar memburu gelar akademik.

Tak luput saya sampaikan terimakasih kepada teman-teman saya di Indonesia, terutama Idi Subandy Ibrahim, Ida Ayu Mustika Dewi, Tatat Rahmita Utami, Yudhie Haryono, Abdul Hamid, Indah Dachlan, Yon Hotman, Angga Pribadi, Yossie, dan Ray Rangkuti, yang dengan caranya sendiri-sendiri telah memberi kontribusi yang penting bagi penyelesaian disertasi dan buku ini.

Lebih dari semua pihak yang telah disebutkan, orangtua, istri, dan anak-anak saya patut diberikan penghargaan yang se - tinggi-tingginya. Doa, dorongan, dan kehadiran mereka yang senantiasa hadir dan mengalir, telah memberikan obat yang ampuh untuk mengusir kepenataan dan kejenuhan serta meneguhkan spirit untuk tetap melangkah di jalur pengetahuan. Keluarga saya telah menanggung banyak penderitaan demi tuntasnya disertasi dan buku ini. Semoga Allah Swt. membalas pengorbanan mereka dengan ganjaran yang berlipat.

Akhirnya, ucapan terima kasih saya haturkan kepada Eko Prasetyo, Ahmad Baiquni, dan Penerbit Mizan yang telah berkenan menerjemahkan dan menerbitkan buku ini. Semoga buku ini memberi tetesan pengetahuan baru yang membawa hikmah bagi kemaslahatan kita semua! []

Ucapan Terima Kasih | XVII

XVIII | Inteligensia Muslim dan Kuasa

BAB 1 PENDAHULUAN

Para intelektual telah turut membentuk kehidupan politik di negara-negara sedang berkembang; merekalah para inisiator, para pemimpin, dan para pelaksana dari kehidupan politik itu. —Edward Shils (1972) 1

Strata inteligensia berkembang...manakala para anggota terdidik dari kelompok yang mapan tak sanggup menghadapi dan memecahkan problem-problem bangsanya yang kian berkembang. Sebagai jawaban atas situasi itu, inteligensia tampil sebagai sebuah

elemen baru dalam struktur sosial, sebagai sebuah strata yang menempati posisi di antara ‘penguasa yang mapan’ (the power establishment) di satu sisi, dengan semua kelas yang lainnya di sisi yang lain. —Aleksander Gella (1976) 2

Islam Indonesia merupakan sebuah realitas yang tak lagi bisa diabaikan oleh para akademisi. Gelombang kebangkitan kembali Islam telah menerpa negeri itu sepanjang dua dekade terakhir sehingga semakin sulit untuk menyebut Islam sebagai sebuah kekuatan marjinal yang berada di tepi peradaban Indonesia. —Mark R. Woodward (1996) 3

Dari sela-sela krisis akut dalam ‘galaksi politik’ 4 Indonesia pada senjakala abad yang lalu, sinar ‘bulan sabit’ baru mulai terbit di

ufuk langit Jakarta: yaitu munculnya inteligensia Muslim sebagai elit politik dan birokratik yang tengah menanjak.

Pendahuluan | 1

Pada masa akhir kekuasaan Suharto, setelah sejak tahun 1960-an berlangsung proses demoralisasi yang melanda politisi Muslim, berbagai figur inteligensia Muslim secara mengejutkan memainkan peran sentral dalam wacana sosial-politik Indonesia. 5 Hampir bersamaan, banyak anggota lainnya dari inteligensia Muslim yang berhasil menduduki eselon-eselon atas dalam birokrasi pemerintahan. 6 Isu-isu yang menyangkut sepak-terjang inteligensia Muslim ini semakin mendapatkan liputan media yang luas, menyusul pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Se- Indonesia (ICMI) pada bulan Desember 1990.

Ketika gerakan reformasi muncul pada 1997/1998, beberapa figur inteligensia Muslim memainkan peran-peran yang krusial dalam proses pengunduran diri Suharto. Signifikansi politik dari inteligensia Muslim ini semakin nyata pada masa pemerintahan (transisi) Habibie, yaitu ketika para anggota kabinet dan pejabat senior birokrasi kebanyakan berasal dari para anggota ICMI. Saat yang bersamaan, kepemimpinan partai Golkar (yang merupakan penerus dari mesin politik Orde Baru) mulai didominasi oleh para mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Capaian politik inteligensia Muslim ini memuncak dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid (mantan ketua tanfidziyah Nahdlatul Ulama) sebagai Presiden pasca-Habibie, yang disusul dengan penunjukan figur-figur Muslim sebagai pejabat-pejabat senior negara.

Meskipun inteligensia Muslim pada akhir abad ke-20 telah mampu mencapai kredibilitas intelektual yang lebih kuat, selain juga menempati posisi-posisi politik dan birokratik yang lebih baik, partai politik Muslim secara keseluruhan tak kunjung memperoleh dukungan suara mayoritas. Pada Pemilihan Umum tahun 1998, jumlah suara yang diperoleh oleh semua partai Muslim, termasuk partai-partai yang menjadikan Pancasila

2 | Inteligensia Muslim dan Kuasa 2 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

total 462 kursi yang ada). 7 Lebih dari itu, saat posisi politik dan birokratik dari inteligensia Muslim meningkat, sebagian besar dari para pemimpin senior Islam menjadi kurang terobsesi dengan klaim-klaim Islam. Mereka tak lagi terlalu berobsesi dengan agenda pencantuman kembali ‘Piagam Jakarta’ 8 dalam konstitusi negara.

Gambaran mengenai inteligensia Muslim pada akhir abad ke-20 ini kontras dengan gambaran mereka pada awal abad ke-

20. Sepanjang dekade-dekade awal abad ke-20, hanya sedikit dari lapisan berpendidikan terbaik dari inteligensia Indonesia yang bersedia bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan Islam, seperti Sarekat Islam (SI), karena sebagian besar dari mereka lebih suka bergabung dengan organisasi-organisasi yang memiliki kaitan-kaitan dengan kaum priyayi seperti Budi Utomo. Namun, dengan keberhasilannya membela dan memenangkan hati masyarakat terjajah di akar rumput, SI muncul sebagai perhimpunan Hindia Belanda pertama yang memiliki konstituen yang tersebar luas—melintasi batas-batas kepulauan Nusantara— dan berhasil memiliki jumlah keanggotaan yang terbesar dibandingkan dengan perhimpunan-perhimpunan yang ada pada masa itu. Sementara, pada akhir abad ke-20, ada banyak sekali lapisan terdidik terbaik dari masyarakat Indonesia yang bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan mahasiswa dan inteligensia Islam (seperti HMI, ICMI, dan KAMMI), serta juga partai- partai Muslim. Namun daya tarik Islam politik di kalangan masyarakat akar rumput cenderung merosot.

Meski pengaruh inteligensia Muslim meningkat dan sikap politik inklusif di kalangan kaum Muslim menguat, partai-partai Islam dan identitas-identitas komunal masih juga bertahan.

Pendahuluan | 3

Terus bertahannya politik identitas Muslim ini bisa dilihat dari upaya-upaya yang dilakukan oleh lapisan-lapisan tertentu dari inteligensia Muslim, terutama di kalangan generasi mudanya, untuk berjuang demi diterapkannya Hukum Islam (syariah). Saat yang bersamaan, label-label Islam masih tetap dipakai secara luas sebagai nama-nama bagi organisasi-organisasi kaum terpelajar dan politik. 9

Seiring dengan kemunculan partai-partai Muslim yang liberal maupun yang tak liberal (illiberal), pertarungan ideologi dan identitas politik baik antar maupun intra tradisi-tradisi intelektual yang ada terus berlangsung dengan agenda yang berbeda serta intensitas dan ekspresi yang beragam. Di sini, politik Muslim mengalami fragmentasi internal dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti ditunjukkan oleh kemunculan secara berlimpah partai-partai politik Muslim. Sepanjang era reformasi, bahkan inteligensia Muslim yang pernah bersatu dalam ICMI menjadi tercerai-berai ke dalam beragam orientasi partai.

Semua gambaran tersebut mencerminkan adanya ke - sinambungan (continuity) dan perubahan-perubahan (changes) dalam gerak perkembangan inteligensia Muslim. Adanya gambaran diakronik dan sinkronik dari inteligensia Muslim ini patut memperoleh perhatian yang serius dari kaum akademisi. Inteligensia Indonesia, dengan meminjam kata-kata Shils, telah menjadi ‘penyeru’, ‘pemimpin’, dan ‘pelaksana’ dari politik nasional (Shils 1972: 387). Untuk satu atau lebih alasan, tingginya keterlibatan politik dan keasyikan inteligensia Indonesia dalam pertarungan memperebutkan kekuasaan masih tetap menjadi sebuah gambaran pokok dari dunia perpolitikan Indonesia. Maka, upaya untuk memahami kesinambungan dan perubahan- perubahan yang berlangsung dalam gerak perkembangan inteligensia Indonesia merupakan sesuatu yang penting untuk

4 | Inteligensia Muslim dan Kuasa 4 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Lebih dari itu, transformasi inteligensia Muslim dari posisi marjinal menuju posisi sentral dalam dunia politik dan birokrasi Indonesia tampak membingungkan jika kita berusaha memahaminya dalam konteks studi-studi yang telah ada mengenai elit Indonesia modern dan politiknya. Clifford Geertz dalam karyanya yang berpengaruh, The Religion of Java (1960, 1976), menggambarkan bahwa elemen-elemen aristokratik dan birokratik (priyayi) dari masyarakat Jawa merupakan kalangan yang merepresentasikan pandang dunia pra-Islam. Dia bahkan cenderung melukiskan priyayi dan santri (elemen Muslim yang taat) sebagai kategori-kategori yang bersifat saling berlawanan. 10 Robert van Niel (1970) melukiskan elit Indonesia modern sebagai ‘para peniru cara-cara Barat’ yang secara gradual tercerabut ‘akarnya dari masyarakat Indonesia’ (1970: 23-7). R. William Liddle (1973) menyoroti dominasi ‘para intelektual modern yang sekuler’ (secular modernising intellectuals) dalam kemunculan Orde Baru. Donald K. Emmerson (1976) mengamati bahwa ‘pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, rezim militer, teknokratik dan birokratik Indonesia tidak bisa disebut sebagai Muslim, baik dalam namanya maupun dalam praktiknya’ (1976: 23). 11 Ruth McVey (1989) sendiri menggambarkan ‘iman’ (Islam) sebagai unsur luar dalam dunia politik Indonesia.

Meningkatnya pengaruh inteligensia Muslim, baik secara intelektual, politik, dan birokratik, setelah sekian lama mengalami marjinalisasi Islam politik, menghadirkan wawasan-wawasan baru yang menyiratkan betapa pentingnya mempertimbangkan beragam faktor penentu politik dan beragam medan relasi kuasa dalam dunia perpolitikan Indonesia. Di sisi lain, melemahnya daya tarik partai-partai Islam buat para pemilih akar rumput

Pendahuluan | 5 Pendahuluan | 5

Studi penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk menelaah genealogi inteligensia Muslim dalam hubunganya dengan pertarungan ‘kuasa’ (power) di Indonesia abad ke-20. Dalam upaya ini, pendekatan dengan kerangka waktu longue durée akan dikombinasikan dengan sebuah metode interaktif, interdisipliner dan intertekstual untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai beragam impuls dan interaksi yang turut memberikan sumbangan bagi kesinambungan dan perubahan dalam gerak perkembangan jangka panjang dari inteligensia Muslim dalam relasinya dengan ‘kuasa’.

Dasar-Dasar Analisis

Dalam studi mengenai ‘genealogi inteligensia Muslim (dan kuasa) di Indonesia abad keduapuluh’, paling tidak terdapat lima istilah konseptual yang perlu dijelaskan secara lebih jauh: yaitu ‘genealogi’, ‘Muslim’, ‘inteligensia’, ‘kuasa’ (power), dan ‘Indonesia’.

Genealogi

Istilah ‘genealogi’ di sini didefinisikan baik dalam artian konvensional maupun artian Foucauldian. Mengikuti studi-studi sejarah dan antropologi tradisional, ‘genealogi’ bisa didefinisikan sebagai studi mengenai evolusi dan jaringan dari sekelompok orang sepanjang beberapa generasi. Konsep genealogi ini berguna untuk memperhatikan gerak perkembangan diakronik dan rantai

6 | Inteligensia Muslim dan Kuasa 6 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Dalam artian Foucauldian, ‘genealogi’ merupakan sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian (concerns) masa kini. Dalam pandangan Foucault, sejarah selalu ditulis dari perspektif masa kini. Sejarah merupakan pemenuhan atas sebuah kebutuhan masa kini. Fakta bahwa masa kini selalu berada dalam sebuah proses transformasi mengandung implikasi bahwa masa lalu haruslah terus-menerus dievaluasi-ulang. Dalam artian ini, ‘genealogi tak berpretensi untuk kembali ke masa lalu dengan tujuan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang tak terputus.’ Justru sebaliknya, ‘genealogi berusaha mengidentifikasi hal-hal yang menyempal (accidents), mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan yang kecil (the minute deviations)’. Genealogi memfokuskan diri pada retakan-retakan, pada kondisi- kondisi sinkronik dan pada tumpang tindihnya pengetahuan yang bersifat akademis dengan kenangan-kenangan yang bersifat lokal (Foucault 1994, 1996; Lechte 1995: 110-115). ‘Genealogi’ dalam artian ini berguna untuk memperhatikan dinamika, transformasi dan diskontinuitas dalam gerak perkembangan historis dari inteligensia Muslim.

Maka, dengan menerapkan pembacaan secara genealogis, penelitian ini akan menempatkan keadaan-keadaan sinkronik (perubahan pada saat-saat tertentu) dalam kerangka waktu yang diakronik (lama-sinambung). Penekanan Saussurean dan Foucauldian mengenai pentingnya mempelajari momen-momen yang bersifat sinkronik, dalam penelitian ini akan diimbangi dengan memberikan perhatian kepada sebuah proses diakronik yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Seperti pertanyaan yang diajukan secara retoris oleh Penelope J. Corfield (1991: 6): ‘Bagaimana bisa struktur-struktur yang bersifat sinkronik akan bisa ditelaah tanpa merujuk kepada arus ruang-

Pendahuluan | 7 Pendahuluan | 7

Studi atas kontinuitas yang bersifat diakronik yang dikombinasikan dengan studi atas perubahan yang bersifat sinkronik adalah penting untuk bisa mengamati proses ‘strukturasi’ (structuration), -dalam artian Giddens (1984),- dari tradisi- tradisi intelektual. Ide-ide, peran, dan persepsi-diri kaum intelektual dipengaruhi oleh batas-batas tradisi intelektual dan kultural terentu yang terbangun secara historis serta kemungkinan tindakan dan kemauan-kemauan aktor-aktor sosial (human agencies). Dengan demikian, inteligensia dan/atau para intelektual merupakan bagian dari sebuah proses historis dimana di dalamnya para aktor manusia membentuk-kembali (reinvent) tradisi-tradisi kultural dan intelektualnya dalam konteks-konteks yang berbeda (Eisenstadt 1973).

Fokus perhatian buku ini terhadap proses diakronik dari gerak perkembangan inteligensia Muslim sungguh penting karena para analis arus-utama dalam bidang kajian politik Indonesia terlalu mengarahkan perhatiannya kepada keadaan-keadaan sinkronik dalam Islam politik. Konsentrasi analisis politik terhadap peristiwa-peristiwa politik harian (day-to-day political events) akan beresiko memberikan perhatian yang terlalu banyak terhadap, meminjam pandangan Fernand Braudel (1980), waktu

8 | Inteligensia Muslim dan Kuasa 8 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Karena mengabaikan kerangka waktu ‘longue durée’, trikotomi Geertz mengenai ‘santri-abangan-priyayi’ 13 gagal untuk melihat

konstruksi pandangan dunia (worldview) priyayi di masa lalu (backward) maupun di masa depan (forward). Dia mungkin akan heran bahwa jauh sebelum dia melakukan penelitian lapangnya pada tahun 1950-an, beberapa figur dari inteligensia Hindia Belanda yang baru muncul pada awal abad ke-20, seperti Tjipto Mangunkusumo, Tirto Adhi Surjo, Agus Salim, Tjokroaminoto, Djajadiningrat bersaudara, dan Sutomo dalam kenyataannya merupakan anak-anak dari keluarga priyayi yang memiliki latar belakang keagamaan santri yang kuat (lihat bab 3). Dia juga mungkin akan heran bahwa beberapa dekade setelah penelitiannya, gambaran mengenai santri sebagai elemen pedagang dalam masyarakat Indonesia telah mulai dikalahkan oleh gambaran santri sebagai birokrat-baru.

Di sisi lain, fokus buku ini terhadap perubahan sinkronik penting untuk menyelamatkan sejarah intelektual dari asumsi- aumsi esensialisme. Mochtar Pabottingi (1982), misalnya, dalam studinya mengenai para intelektual Indonesia pada masa sebelum Revolusi Kemerdekaan 1945 sampai pada kesimpulan bahwa intelektual Indonesia telah selalu terikat dengan, dan tak pernah terasing dari, massa rakyat. Sementara dalam kenyataan, para intelektual dari generasi pertama inteligensia Indonesia pernah mengalami masa dimana ruang publik mereka pada awalnya hanya terbatas pada sebuah kelompok inti priyayi terdidik, sementara publik dalam artian massa yang lebih luas, masih merupakan pihak ketiga yang bersifat anonim, tak berbentuk dan tak acuh.

Pendahuluan | 9

Fokus perhatian kepada perubahan-perubahan sinkronik juga akan memperlihatkan bahwa identitas-identitas politik inteligensia Muslim tidaklah merupakan sebuah konstruk yang bersifat baku (fixed) dan stabil, yang bertahan sejak awal sampai akhir melewati segenap perkembangan sejarah tanpa ada perubahan. Meminjam kata-kata Stuart Hall (1997: 4): ‘Identitas adalah persoalan mengenai bagaimana menggunakan sumberdaya sejarah, bahasa dan kebudayaan dalam proses menjadi (becoming)... Identitas- identitas itu tunduk pada proses menyejarah secara radikal (radical historicization), dan secara terus-menerus berada dalam proses perubahan dan transformasi; individu-individu sendiri tersusun dari banyak identitas, dan keberagaman identitas individu ini dikonstruksikan dalam konteks yang berbeda-beda’ (Mouffle 2000). Dalam proses transformasi dan konstruksi ini, praktik-praktik diskursif memainkan peran yang menentukan. Seperti yang dicatat oleh Hall (1997: 4): ‘Identitas-identitas ter - bangun di dalam, bukan di luar, discourse (wacana perbincangan), dan karena itu kita harus memahami identitas-identitas tersebut sebagai sesuatu yang terbentuk dalam ruang-ruang historis dan institusional yang spesifik lewat struktur dan praktik-praktik diskursif yang spesifik.’

Muslim

Istilah ‘Muslim’ dalam buku ini bukanlah sebuah penanda (signifier) terhadap setiap orang yang menganut agama Islam dan juga bukan sebuah rujukan (reference) terhadap sikap kesalehan dalam beragama. Mereka yang termasuk dalam inteligensia Muslim tidak dengan sendirinya merupakan Muslim yang saleh, dan mereka yang tidak termasuk inteligensia Muslim tidak dengan sendirinya merupakan Muslim yang tak saleh. ‘Muslim’ di sini merupakan sebuah penanda (signifier) dari

10 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

tradisi-tradisi politik dan intelektual yang berorientasi Islam yang terkonstruksikan lewat praktik-praktik diskursif dalam suatu momen historis tertentu dalam sejarah Indonesia. ‘Orientasi Islam’, merujuk pada keterikatan tradisi-tradisi politik dan intelektual ini dengan ideologi-ideologi dan/atau kolektivitas- kolektivitas Islam. Ideologi-ideologi Islam sendiri beragam dan berbeda-beda karena adanya pertarungan dan ragam posisi yang saling berlawanan; sementara yang disebut sebagai kolektivitas- kolektivitas Islam meliputi ‘komunitas-komunitas epistemik’ (epistemic communities, seperti sekolah-sekolah, lembaga dakwah, zawiyah dan sebagainya.), perhimpunan-perhimpunan Islam (seperti yayasan, perkumpulan-perkumpulan dan partai-partai politik) dan kelompok-kelompok aksi Islam. Konsep ‘Islam’ sebagai kata sifat dari kolektivitas-kolektivitas tersebut sekali lagi terkonstruksikan dalam ruang-ruang historis dan institusional yang spesifik lewat struktur dan praktik-praktik diskursif yang spesifik. Dengan demikian, maka konsep ‘Islam’ itu pun tunduk pada proses pertarungan, perubahan, dan transformasi.

Istilah ‘Muslim’ berkembang dari hasil pertarungan wacana serta perbenturan dengan identitas-identitas yang lain, dan karena itulah, istilah tersebut memiliki sebuah dimensi politis. Istilah tersebut telah dipolitisasi untuk beberapa alasan. Pertama, istilah ini bisa jadi merupakan sebuah refleksi dari suatu sikap nasionalisme yang terfragmentasi. Fragmentasi ini lahir dari adanya kenyataan pluralitas bangsa dan dari adanya keragaman kenangan-kenangan dan identitas-identitas kolektif, selain juga dari adanya kepelbagian dalam posisi subjek (subject positions), tradisi dan jaringan intelektual dari masyarakat Indonesia.

Dari sudut pandang perspektif-perspektif ini, keasyikan dengan politik identitas dan simbol-simbol Islam menandakan suatu situasi ganda. Di satu sisi, keasyikan itu bisa ditafsirkan

Pendahuluan | 11 Pendahuluan | 11

Yang kedua, politisasi atas simbol-simbol Islam tampaknya merupakan residu yang bersifat menular dari apa yang pernah disebut W.F. Wertheim (1980) sebagai sindrom ‘mayoritas dengan mentalitas minoritas’, yang lahir karena posisi ironis Islam di negeri ini:

Mayoritas besar orang Indonesia menganut agama Islam. Dari sudut pandang kuantitatif, Indonesia bahkan bisa dianggap sebagai ‘negara Islam’ terbesar di dunia. Namun, sikap-sikap mental dari ummat Islam di negeri tersebut menunjukkan sikap- sikap mental yang khas dari sebuah kelompok minoritas. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa dalam medan politik, sepanjang sejarah abad-abad yang lalu, para wakil ummat Islam secara konsisten lebih diposisikan sebagai orang luar (Wertheim 1980: 1)

12 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Yang ketiga, istilah ‘Muslim’ telah secara sering dipolitisasi karena adanya konflik internal dalam ummat Islam dalam pertarungan memperbutkan klaim sebagai wakil ‘sejati’ dari Islam. Heterogenitas latar belakang Muslim Indonesia, baik dalam kerangka etnis, kultur, geografi dan mazhab-mazhab keagamaan, yang berkombinasi dengan tidak terlalu besarnya tekanan dari non-Muslim (paling tidak dalam hal jumlah) di sebagian besar daerah di Indonesia, telah menciptakan sebuah kesempatan yang lebih besar bagi terciptanya variasi internal dalam tubuh ummat Islam. Akibatnya, politik Islam Indonesia lebih dicirikan oleh keberagaman, oleh pertarungan, dan oleh beragam pemikiran yang saling bertentangan, yang seringkali merangsang terciptanya sebuah proses politisasi yang intens terhadap Islam.

Yang terakhir, namun yang juga sama pentingnya, bagi banyak generasi muda Muslim, terutama mereka yang dibesarkan sepanjang masa-masa akhir dari era modernisasi Orde Baru, obsesi akan simbolisme Islam mungkin didorong oleh adanya intrusi dari kondisi-konsisi post-modern serta penetrasi budaya massa yang bersifat global. Hidup dalam sebuah dunia post- modern, seperti yang dijelaskan Baudrillard (1992) kepada kita, berarti hidup dalam sebuah gerak interpenetrasi pengalaman- pengalaman kultural dan pluralisasi alam kehidupan yang dialami manusia sehingga melahirkan ketidakjelasan nilai-nilai ideal dan menumbuhkembangkan gaya hidup konsumerisme yang menyebabkan terdiferensiasi dan terfragmentasinya cara pandang atas dunia (worldview). Perkembangan-perkembangan ini memiliki sebuah dampak yang serius terhadap kaum Muslim Indonesia, sebagaimana yang juga dialami oleh umat beragama yang lain di dunia, dan dampak ini bagi para aktivis Muslim dianggap sebagai sebuah ancaman penetrasi kolonialisme baru yang bersifat tak

Pendahuluan | 13 Pendahuluan | 13

Dengan kata lain, keasyikan dalam identitas-identitas dan simbol-simbol Islam ini merupakan sebuah indikasi dari apa yang disebut Geertz sebagai ‘pergulatan demi menyatakan-diri’ (struggle for the real) (1972: 324) 14 yang tak pernah lelah dari kaum Muslim, yang merefleksikan adanya jurang-jurang yang sangat lebar dan adanya pergulatan yang begitu lama antara nilai-nilai ideal Islam dan kenyataan. Sebuah ancangan terhadap sudut pandang ini pernah diungkapkan oleh Abu-Rabi’: ‘Maka, Islamisme merupakan sebuah cermin dari suatu krisis patologis yang berurat berakar dalam masyarakat Islam’ (Abu-Rabi’ 1996: 59).

Inteligensia dan Intelektual

Fokus perhatian utama dari buku ini ialah genealogi dari entitas kolektif ‘inteligensia’ Muslim—yang merupakan sebuah sub- stratum dari inteligensia (kaum terdidik modern) Indonesia— ketimbang genealogi dari para ‘intelektual’ Muslim secara individual. Namun, pada saat melukiskan gerak perkembangan dari sebuah kelompok inteligensia tertentu, secara tak terelakkan perhatian juga akan terarah pada peran para intelektual secara individual sebagai perumus dan artikulator dari identitas-identitas dan ideologi-ideologi kolektif.

Mendefinisikan ‘inteligensia’ dan ‘intelektual’ merupakan sesuatu yang sangat problematik. Kedua istilah tersebut telah

14 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dipergunakan secara tumpang tindih dalam wacana mengenai sejarah dan politik Indonesia. Tak ada pemahaman bahwa masing-masing memiliki genealogi dan formasi sosialnya sendiri- sendiri, sehingga karena itu, keduanya merujuk pada suatu konsep dan fenomena sosial yang berbeda. Mohammad Hatta, dalam pidatonya yang bersejarah di hadapan sivitas akademika Universitas Indonesia pada tanggal 11 Juni 1957 yang berjudul ‘Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia’ menafsirkan ‘inteligensia’ sebagai sinonim dengan ‘intelektual’ dan menggunakan konsepsi intelektual yang dipakai Benda dalam karyanya La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Intelektual) sebagai kerangka konseptualnya (Hatta 1957). Selo Soemardjan pernah menulis ‘The Changing Role of intellectuals in Indonesian National Development’ (1981) untuk menjelaskan peran ‘inteligentsia’. Dia berargumen: ‘...konsep intelektual dalam artian mereka yang dianggap atau menganggap diri mereka sendiri sebagai intelektual haruslah diartikan identik dengan kata ‘inteligensia’ (Soemardjan 1981: 139-140). Pada saat yang bersamaan, Arief Budiman menulis ‘Students as Intelligensia: The Indonesian Experience (1981), dengan menggunakan kerangka literatur-literatur Eropa Barat mengenai ‘intelektual’, dimana di dalamnya istilah ‘intelektual’ dan ‘inteligensia’ dipakai dengan saling dipertukarkan. Pada satu kesempatan, dia menyatakan bahwa para mahasiswa Indonesia termasuk ke dalam ‘kelompok intelektual’ (h. 224). Pada kesempatan yang lain, dia melukiskan para mahasiswa sebagai inteligentsia (h. 225). Hanya beberapa bulan sebelum saya menyelesaikan tesis ini, Daniel Dhakidae menerbitkan bukunya mengenai para intelektual Indonesia sepanjang Orde Baru dengan judul Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003). Namun, dalam buku itu, dia tak memberikan pembedaan yang jelas antara konsep ‘intelektual’

Pendahuluan | 15 Pendahuluan | 15

Ambiguitas semacam itu bukan hanya tampak nyata dalam studi mengenai Indonesia, namun juga berlangsung umum dalam wacana ilmiah Barat. Menurut Aleksander Gella (1976), para ahli sosiologi Barat selama jangka waktu yang lama ‘bahkan tidak melihat adanya perbedaan antara para intelektual di Barat dengan formasi sosial yang unik dari suatu stratum, yang disebut intelligentsia, yang mulai berkembang di Rusia dan Polandia sepanjang pertengahan abad kesembilanbelas’. Dia bahkan menunjukkan bahwa istilah ‘inteligensia’ tidak diberikan entri tersendiri baik dalam Encyclopaedia of the Social Sciences maupun dalam International Encyclopedia of the Social Sciences. Lebih dari itu, dia mengamati bahwa dalam karya Robert Michels (1932) dan Edward Shils (1968), kedua istilah tersebut tidak dianggap sebagai dua konsep yang berbeda. Sementara Michels menggunakan istilah-istilah tersebut secara saling dipertukarkan, Shils ‘lebih konsisten dan menulis hanya semata- mata mengenai para intelektual, dengan meniadakan hampir semua rujukan mengenai pasangan imbangan dari konsep itu (yaitu, intelligentsia), yang muncul di Eropa Timur’ (Gella 1976: 19).

Deskripsi yang diuraikan oleh Gella tersebut merupakan sebuah indikasi mengenai adanya kontras dalam pendekatan untuk memahami istilah ‘intelektual’ dan ‘inteligensia, yaitu antara pendekatan formalistik dan historis. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang khas para sosiolog Eropa Barat dan Amerika, yang secara umum cenderung mengidentikkan inteligensia dengan intelektual. Dalam pendekatan ini, baik intelektual maupun inteligensia menunjuk pada seorang individu

16 | Inteligensia Muslim dan Kuasa 16 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Inteligensia

Berbeda dengan intelektual, inteligensia tampil sejak awal sebagai sebuah strata sosial. 15 Strata sosial ini muncul di Polandia dan Rusia pada masa kekuasaan Peter Agung (Peter the Great)— namun baru mendapatkan bentuknya pada tahun 1860-an. Strata ini terdiri dari lapis masyarakat yang lebih terdidik, namun berbeda dengan kalangan terdidik lainnya dari kelas atas. Elemen pembentuk utama dari strata yang sedang menanjak ini adalah pendidikan dan orientasinya pada kebudayaan Eropa, terutama pada bidang pengetahuan teknis dan sains, yang melampaui pengadopsian perilaku dan tata krama Eropa yang telah lama dilakukan oleh para bangsawan (Gella 1976; Eyerman 1994).

Disebutkan bahwa sampai abad ke-18, kehidupan intelektual Rusia berwatak keagamaan. Namun, dalam abad-abad berikutnya, kaum Muskovit (intelligenty) Rusia semakin terpengaruh sekulerisme Eropa Barat sebagai konsekuensi dari ekspansi Rusia lewat penaklukan-penaklukan dan aneksasi-aneksasi militernya, sehingga terbukalah ‘jendela baru’ menuju Dunia Barat, dan terjalinlah kontak-kontak yang lebih erat dengan negara-negara

Pendahuluan | 17

‘di seberang lautan’ (beyond the seas). Proses Westernisasi-yang diiringi dengan-sekularisasi ini berkembang luas pada masa kekuasaan Peter Agung, melalui kebijakannya untuk melakukan ‘peminjaman’ budaya secara besar-besaran yang menjadikan kaum Muskovi sepenuhnya terbuka terhadap pengaruh-pengaruh Barat di bidang pengetahuan teknik dan sains (Nahirny 1983: 19-20). Perintis awal dari misi suci (mission sacre) peminjaman budaya ini ialah kaum bangsawan—suatu strata yang terdiri dari mereka yang mengabdi pada negara. Namun, ketergantungan pada bangsawan sebagai pengusung utama dari misi suci tersebut gagal total karena memang bangsawan merupakan strata masyarakat yang paling enggan memikul peran tersebut. Pada paruh kedua abad ke-19, orang-orang dari kelas-kelas dan strata sosial yang lebih beragam terlibat dalam proses ini, 16 sehingga menyebabkan terbentuknya strata inteligensia yang memiliki karakteristiknya sendiri (Nahirny 1983: 22-24).

Vladimir C. Nahirny (1983) dan Aleksander Gella (1976) memiliki pemahaman yang sama mengenai karakteristik- karakteristik utama dari strata yang baru tersebut. Menurut Nahirny, inteligensia, sebagai sekelompok orang yang memiliki karakteristiknya sendiri, tak dapat disangkal berada di atas dan di luar tatanan sosial yang ada, baik yang berupa sistem kelas maupun status tradisional (estates). Lebih jauh, dia melukiskan:

Karena keunggulan posisinya, para anggota dari strata inteligensia tidak terikat baik oleh kepentingan-kepentingan kelas maupun profesi, dan juga tidak membentuk sebuah kelompok status yang terdiri dari para individu yang menikmati hak-hak dan kekebalan-kekebalan tertentu yang diterima dari adat kebiasaan dan/atau hukum. Oleh karena itu, inteligensia berbeda dari

18 | Inteligensia Muslim dan Kuasa 18 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Sejalan dengan pandangan Nahirny, Gella berargumen bahwa dalam kedudukannya sebagai sebuah strata sosial, inteligensia jauh lebih dari sekedar sekelompok orang yang disatukan oleh kepentingan-kepentingan intelektual tertentu, oleh tingkatan- tingkatan pendidikan ataupun oleh relasi-relasi pekerjaan. ‘Inteligensia klasik disatukan bukan oleh standar kehidupan dan pendapatan yang bersifat ekonomis maupun oleh kepentingan- kepentingan profesi, namun terutama oleh kesamaan sikap- sikap tertentu, dan oleh penerimaan terhadap suatu warisan budaya yang lebih luas dari batas-batas nasional’ (Gell 1976: 13). Sebagai tambahan: ‘Anggota-angota dari kominitas inteligensia, tanpa mempedulikan status pekerjaan dan ekonominya, dipersatukan oleh suatu panggilan bersama: ‘mengabdi pada bangsamu’’ (h. 14). Panggilan ini dalam pengalaman Rusia dikobarkan oleh dorongan untuk menghapuskan Tsarisme, untuk menghancurkan negara lama lewat jalan damai ataupun revolusioner. Di Polandia, yang menjadi motivasinya ada dua: yaitu untuk menghapuskan kekaisaran para penindas dan juga untuk membangun kembali negara Polandia yang merdeka (h. 15).

Tidak seperti Rusia dan Polandia, dalam masyarakat-masyarakat

Pendahuluan | 19 Pendahuluan | 19

Kepemimpinan strata ini dipegang oleh sekelompok relatif kecil pemimpin moral dan intelektual. Menurut Gella: ‘Keyakinan- keyakinan, sikap-sikap moral, dan perilaku politik dari para pemimpin ini tidak sepenuhnya diadopsi oleh para anggota komunitas intelligentsia’ (Gella 1976: 13). Namun, pada umumnya seorang anggota biasa dari strata inteligensia mempertahankan identitas kolektif inteligensia dengan menirukan perilaku, dan paling tidak secara verbal, norma-norma dasar serta orientasi nilai dari para (pemimpin) ‘intelektual’ dari strata ini. Jadi singkatnya, strata inteligensia ini memiliki intelektual-intelektualnya sendiri yang menjalankan peran sebagai perumus dan artikulator identitas kolektif.

Intelektual

Kalimat terakhir di atas mengaitkan wacana ‘inteligensia’ dengan wacana tentang ‘intelektual’ yang berkembang di masyarakat Barat. Istilah ‘les intellectuels’ yang diperkenalkan oleh Clemenceau

20 | Inteligensia Muslim dan Kuasa