Krisis Ekologi dan Ancaman bagi Kapitali

Edisi Cetak Lepas
Versi Digital
ISSN: 0852-8489

Krisis Ekologi dan Ancaman bagi Kapitalisme
Penulis: Abdil Mughis Mudhoffir
Sumber: MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102
Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI.

MASYARAKAT Jurnal Sosiologi diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian
Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi
dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT
mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi
untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan
sosiologi di Indonesia. Email: labsosio@ui.ac.id Website: www.labsosio.org

Untuk mengutip artikel ini:
Mudhoffir, Abdil Mughis. 2011. “Krisis Ekologi dan Ancaman bagi
Kapitalisme.” MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 1,
Januari 2011: 93-102.


Krisis Ekologi
dan Ancaman bagi Kapitalisme
Judul Buku: Living in the End Times
Penulis: Slavoj Žižek
Tahun: 2010
ISBN: 978-1-84467-598-2
Penerbit: Verso, London
Tebal: 416 halaman + xiv

Meletusnya gunung berapi di Islandia April 2010 lalu memberikan
dampak yang membuat kita kembali mempertanyakan kemampuan
manusia dan teknologi yang dihasilkannya dalam mengendalikan
alam. Selama lebih dari sepekan, abu vulkanik yang dikeluarkan
oleh letusan itu melumpuhkan seluruh penerbangan yang melintasi
Eropa. Tidak hanya perusahaan penerbangan saja yang mengalami
kerugian finansial, para calon penumpang yang berencana menuju
atau memintasi Eropa juga merugi.
Kerugian sosial-ekonomi yang serius itu, menurut Slavoj Žižek,
penulis Living in the End Times, disebabkan oleh teknologi yang telah

dikembangkan manusia (pesawat terbang). Seabad lalu, erupsi yang
sama tidak menjadi perhatian (masalah), apalagi sampai berdampak
terhadap sektor finansial. Ironis memang; kemajuan teknologi yang
seolah telah membuat manusia lebih independen terhadap alam,
pada saat yang sama di level yang berbeda, justru membuat manusia
menjadi sangat bergantung pada alam. Untuk ironi ini, Žižek
memberikan lelucon begini: dulu saat manusia berhasil menginjakkan
kaki pertama di bulan ada ungkapan, “That’s one small step for
[a] man; one giant leap for mankind ”. Melihat letusan di Islandia,
ungkapan itu berubah menjadi, “It was more a small step back for
nature, but a giant step back for humankind ”.
Dari kasus di atas, tampaknya sebagian besar ancaman yang
kita hadapi saat ini tidak berasal dari sesuatu yang eksternal atau
“natural”, tetapi disebabkan oleh aktivitas manusia melalui sains.

94 |

ABDIL MUGHIS MUDHOFFIR

Secara simultan, sains menjadi penyebab munculnya berbagai

ancaman di muka bumi, seperti timbulnya berbagai konsekuensi
ekologis akibat aktivitas industri atau akibat pengembangan teknologi
rekayasa genetik yang tidak terkendali. Namun, pada saat yang sama,
pada sains pula kita terpulang untuk memahami ancaman-ancaman
itu serta merumuskan cara-cara menghadapinya.
Žižek, filsuf Slovenia yang memperoleh sebutan Elvis-nya teori
kebudayaan ini, menyebut ancaman ekologis itu sebagai salah satu
simptom yang menandai bahwa kita kini hidup di akhir sejarah.
Sejarah apa? Sejarah demokrasi liberal kapitalisme yang tidak lagi
mampu mengatasi berbagai krisis yang disebabkan olehnya dirinya
sendiri. Sementara sains, biang berbagai krisis umat manusia kini,
benar-benar bersangkutan dengan modal dan kapitalisme.
Selain krisis ekologi, Žižek, filsuf yang juga dijuluki sebagai
academic rock star ini, menyebutkan ada tiga krisis lainnya, yaitu
berbagai masalah yang muncul akibat revolusi biogenetik; persoalanpersoalan yang terkait dengan hak milik intelektual atau distribusi
atas apa yang disebut sebagai common goods; serta problematika yang
ditimbulkan oleh munculnya kelompok-kelompok sosial baru (social
divisions) atau yang disebut juga sebagai new forms of apartheid.
Žižek membayangkan keempat krisis itu sebagai four horsemen of
the apocalypse, sebuah penggambaran dalam Kitab Wahyu Perjanjian

Baru tentang penetapan hari akhir yang disimbolisasikan melalui
empat penunggang kuda, yang masing-masing melambangkan
penaklukan (conquer), peperangan (war), kelaparan ( famine), dan
kematian (death). Empat perlambang ini pula yang digunakan
Žižek untuk menyebutkan isyarat berakhirnya suatu masa. Namun,
Living in the End Times bukan berisi cerita ihwal hancurnya alam
semesta atau ramalan tanda-tanda akhir zaman menuju kiamat besar.
Buku ini mendedah persoalan-persoalan tak terselesaikan pertanda
berakhirnya kapitalisme global. Inilah argumen utama Žižek dalam
Living in the End Times; kapitalisme global telah mendekati ajalnya
menuju ke titik nol (apocalyptic zero-point) akibat keempat krisis yang
tidak mampu diatasinya.
Sungguhpun demikian, sebagian besar orang tampaknya
enggan berbicara perihal kapitalisme. Orang-orang lebih tertarik
mendiskusikan kehancuran alam semesta akibat bencana ekologi
daripada membincang sekelumit perubahan dalam kapitalisme.
Ini juga karena kemampuan sistem ini yang memiliki mekanisme
MASYA R AK AT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

K R ISIS EKOLOGI DA N A NCA M A N BAGI K APITA LISME


| 95

naturalisasi dan netralisasi sehingga kapitalisme tidak dipandang
sebagai persoalan. Istilah kapitalisme ini juga telah disingkirkan
jauh-jauh oleh para politisi, penulis, jurnalis, bahkan ilmuwan sosial;
kadangkala cukup diganti dengan istilah “ekonomi” saja. Gerakan
anti-globalisasi pun masih berada pada aras yang sama karena kritik
kapitalismenya malah ditranformasikan ke dalam kritik imperialisme.
Saat orang berwacana tentang globalisasi dan agen-agennya, musuhmusuhnya justru dieksternalisasi, yang secara vulgar dimanifestasikan
dalam gerakan anti-Amerikanisme, sebut Žižek.
Melihat fenomena di atas, tampaknya masyarakat kontemporer
pasca runtuhnya tembok Berlin tengah mengidap penyakit
“fukuyamanian” akut; bayangan tentang akhir sejarah di mana
kapitalisme tak lagi relevan dipersoalkan seperti yang termaktub
dalam The End of History. Kapitalisme yang berkelindan dengan
demokrasi liberal selama dua dasawarsa ini dianggap sebagai formula
yang paling mujarab dalam mengatur tata kehidupan masyarakat.
Yang perlu dilakukan hanya membuatnya menjadi lebih adil, lebih
toleran, lebih terlihat manusiawi, sehingga kita menyebutnya sebagai

capitalism with the human face. Žižek menyebut masyarakat yang
demikian ini sebagai masyarakat pascapolitik atau lebih tepatnya
disebut post-political biopolitics. Pascapolitik adalah politik yang telah
menyingkirkan perdebatan ideologis usang dan lebih memfokuskan
pada perkara keahlian manajemen dan administrasi. Sementara
biopolitik berkenaan dengan regulasi keamanan dan kesejahteraan
umat manusia sebagai tujuan utamanya. Dengan dihempaskannya
politik ke titik nol, satu-satunya elemen yang dapat memobilisasi
orang-orang adalah rasa takut, elemen dasar subjektivitas masa kini.
Tak diragukan lagi, bentuk ekologi saat ini adalah ekologi
yang didasari rasa takut; takut akan terjadinya bencana yang
akan memorakporandakan kehidupan manusia; ketakutan yang
memaksa kita harus membuat perencanaan untuk memperhitungkan
bagaimana melindungi diri kita dari berbagai ancaman (respon
untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, misalnya). Walhasil,
ketakutan ideologis ini dapat menjadi bentuk ideologi kapitalisme
global baru. Dengan mengutip Marx, Žižek menyebut ekologi
sebagai candu baru bagi masyarakat. Ia melenakan diri kita dari
persoalan yang lebih mendasar; bahwa krisis ekologi itu merupakan
bagian dari antogonisme kapitalisme. Ekologi telah menggantikan

fungsi mendasar yang diemban oleh agama dulu; memiliki otoritas
MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

96 |

ABDIL MUGHIS MUDHOFFIR

kebenaran pengetahuan yang tidak perlu dipertanyakan. Yang
diajarkan dari sini adalah bahwa kita bukanlah subjek Cartesian
yang terpisah dari realitas, manusia adalah bagian dari biosfer, alam
yang kita manfaatkan saat ini adalah pinjaman dari anak cucu kita
karena itu bumi tempat kita berpijak mesti diperlakukan dengan
penuh rasa hormat sebagai sesuatu yang suci, yang penuh misteri, dan
sebagai kekuatan yang mesti kita percaya, bukan kita dominasi. Jika
kita tidak mampu menjaga keseimbangan alam maka akan terjadi
kekacauan. Para aktivis lingkungan menuntut kita mengubah secara
radikal cara hidup kita, tetapi di balik tuntutan itu mengandung
keraguan yang mendalam akan suatu perubahan atau kemajuan;
bahwa setiap perubahan radikal akan memicu terjadinya melapetaka.
Keraguan inilah, menurut Žižek, yang menjadikan ekologi sebagai

kandidat ideologi hegemonik yang paling ideal, yaitu semenjak ia
mengumandangkan keraguan anti-totalitarian-pascapolitik terhadap
suatu gerakan kolektif. Inilah problem pertama yang menyingkapkan
bahwa kita kini tinggal di akhir masa (living in the end times).
Pengembangan teknologi biogenetik yang tidak terkendali
juga merupakan perlambang horsemen yang menjadi ancaman
bagi kehidupan manusia kini. Žižek berpendapat, inovasi-inovasi
pengetahuan di bidang biogenetik menandaskan berakhirnya nature.
Begitu kita tahu hukum-hukum yang mengatur alam, organismeorganisme natural berubah menjadi objek yang rentan dimanipulasi.
A lam, baik human maupun inhuman, menjadi kehilangan
substansinya. Alam menjadi tidak natural lagi; ia ringkih dan suatu
saat keringkihan itu dapat mengancam terjadinya malapetaka bagi
kehidupan.
Horsemen yang ketiga adalah persoalan kepemilikan dalam industri
kapitalisme atau yang disebut sebagai intelectual property. Fenomena
ini menghasilkan paradoks yang aneh, tutur Žižek. Masyarakat lokal
di India, misalnya, terheran-heran mengetahui praktik dan bahan
pengobatan yang telah mereka aplikasikan berabad-abad lamanya,
ternyata telah dipatenkan menjadi milik perusahaan Amerika.
Mereka pun harus membeli untuk memperolehnya. Saat perusahaan

biogenetik mematenkan gen-gen, maka kita akan menemukan
bagian-bagian dari diri kita, komponen-komponen genetik tubuh
kita, telah dipatenkan menjadi milik orang lain. Kita menjadi terasing
bahkan dari tubuh kita sendiri. Di bidang teknologi informasi, Bill
Gates menjadi orang terkaya di dunia juga karena konsep hak paten
MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

K R ISIS EKOLOGI DA N A NCA M A N BAGI K APITA LISME

| 97

dalam kepemilikan. Menurut Žižek, ini adalah persoalan commons,
aneka sumber daya yang dimiliki dan dibagi secara kolektif. Alam
adalah commons, biogenetik adalah commons, demikian pula kekayaan
intelektual. Akan tetapi, kapitalisme telah mengambil bagian dari
commons itu dan mendakunya sebagai milik pribadi yang dilindungi
hak paten. Žižek mengatakan ini memang akan menjadi dorongan
baru bagi kapitalisme untuk berkembang, tetapi dalam jangka
panjang itu tidak akan berhasil; ini akan bergerak di luar kendali.
Yang menjadi masalah bagi suatu perusahaan ialah bagaimana

mencegah sirkulasi bebas produk intelektual yang telah dipantenkan
itu. Padahal antara produk barang dengan pengetahuan memiliki
logika yang berbeda. Semakin pengetahuan itu disebarkan secara
bebas, ia tidak akan merugi atau kehilangan nilainya. Sebaliknya ada
nilai keuntungan yang bisa diperoleh darinya. Akibatnya, kadangkadang suatu perusahaan menghabiskan lebih banyak uang dan
waktu untuk mencegah plagiasi daripada mengembangkan produk
baru.
Terbentuknya segregasi sosial baru (new forms of apartheid)
adalah horsemen keempat yang menjadi ancaman bagi kapitalisme
kontemporer. Žižek membandingkan kejadian serangan terorisme 9/11
dengan runtuhnya tembok berlin 11/9 sebagai penanda kemenangan
dan momen mulai munculnya krisis kapitalisme yang berhubungan
dengan new forms of apartheid di atas. Cara Žižek membolak-balik
angka dalam menalikan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya
ini, sepertinya terkesan berbau klenik. Tapi begini argumentasi
rasionalnya. Runtuhnya tembok Berlin pada 9 November 1989
disebut-sebut sebagai happy ‘90s, impian Francis Fukuyama tentang
The End of History; bahwa demokrasi liberal telah menang, pencarian
bentuk formula yang terbaik untuk tata kehidupan masyarakat
telah berakhir, inilah akhir yang membahagiakan (happy ending).

Sebaliknya, kejadian 11 September 2001 adalah simbol bahwa
masyarakat kini telah memasuki era baru; tembok-tembok baru
justru bermunculan di mana-mana; mensegregasi masyarakat dalam
kelompok-kelompok baru yang tereksklusi, tersingkirkan.
Kendati tersingkir, Žižek justru mengandaikan mereka, para
penghuni daerah-daerah kumuh di perkotaan, yang akan menduduki
posisi kaum proletar baru. Dalam In Defence of Lost Causes (2008),
Žižek menakwilkan ledakan pertumbuhan daerah kumuh dalam
dekade terakhir, khususnya di kota-kota besar Dunia Ketiga seperti
MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

98 |

ABDIL MUGHIS MUDHOFFIR

di Meksiko, Afrika, India, China, Pilipina, dan Indonesia, adalah
peristiwa geopolitik penting abad ini. Fenomena ini sungguh
mengejutkan, katanya; betapa banyak penghuni daerah kumuh yang
sumbut dengan pengandaian Marx tentang kelas proletar. Mereka
bebas dalam arti yang sesungguhnya, lebih dari kaum proletar klasik
(bebas dari semua hubungan substansial, tinggal dalam ruang bebas,
dan berada di luar aturan negara). Mereka adalah kolektivitas yang
besar, yang secara paksa dilempar bersama-sama; dijerembabkan ke
dalam situasi di mana mereka harus menemukan cara-cara untuk
menjadi suatu kolektivitas besar. Sementara itu, saat masyarakat
kontemporer sering dicirikan sebagai masyarakat yang berada dalam
kontrol total, daerah kumuh (slum) merupakan teritori yang berada
dalam batas-batas negara tetapi kerap diabaikan dalam kontrol sosial
itu. Slum adalah daerah bukan entitas dalam peta resmi wilayah
negara. Meskipun secara de facto ia masuk dalam wilayah negara
dan diidentikkan dengan daerah hitam (premanisme, kriminalitas),
kontrol negara hampir tidak ada. Daerah kumuh adalah domain yang
berada di luar hukum. Para penghuni daerah kumuh di perkotaan
inilah agen transformatif yang oleh Žižek disebut sebagai part of no
part atau oleh Giorgio Agamben disebut Homo Sacer; bagian dari
hukum tetapi sekaligus disingkirkan dari hukum.
Kendati demikian, sulit rasanya membayangkan para penghuni
daerah kumuh (kaum miskin kota) di bantaran sungai, di kolongkolong jembatan di Jakarta, mengadakan pertalian menjadi kolektivitas
besar dengan tujuan yang mungkin terlampau abstrak untuk
disandingkan dengan hidup mereka yang persisten. Pragmatisme bisa
jadi akan tetap menonjol; kalaupun berhasil membentuk asosiasi di
antara mereka, sangat mungkin itu hanya sementara, setara dengan
perhitungan keuntungan yang mereka peroleh saat mereka diperlukan
membentuk asosiasi itu. Ketika pemilu, misalnya, para politisi berebut
memberi pengakuan hak politik kepada mereka, namun begitu
pemilu usai mereka tidak lagi diperhitungkan. Kalaupun mereka
mau memilih si politisi, tentu pilihan itu lebih karena uang daripada
bayangan tentang kehidupan yang lebih baik. Jadi, selain persoalan
basis kolektivitas yang biasanya lebih berorientasi pragmatis, juga
ada persoalan pada bagaimana sosok agen individual yang mampu
membangkitkan dan menggerakkan pertalian di antara kaum
miskin kota, tetapi bukan semata-mata asosiasi sementara. Mengenai
pesimisme ini, Žižek mencontohkan capaian Hugo Chavez dalam
MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

K R ISIS EKOLOGI DA N A NCA M A N BAGI K APITA LISME

| 99

mempertahankan pemerintahannya dari kudeta yang disponsori
Amerika. Keberhasilan itu sangat dipengaruhi oleh sokongan para
penghuni daerah kumuh yang menjadi pendukung setianya dalam
menghadapi setiap guncangan terhadap pemerintahan Chavez. Inilah
sosok subjek emansipatif dalam konsep Žižek yang menjadi ancaman
bagi kapitalisme global.
Penjelasan empat antagonisme (horsemen) di atas sesungguhnya
tidak banyak ditemui dalam lembar demi lembar buku Living in
the End Times, selain soal kemunculan subjek emansipatoris baru
(new form of Apartheid); itupun di bagian pendahuluan. Agaknya
Žižek memang sengaja ingin memberi penekanan pada anasir
ini; menunjukkan agen transformatif di masa krisis kapitalisme
kontemporer. Dan, buku ini rupanya perturutan dari tulisan-tulisan
Žižek sebelumnya, terutama buku In Defence of Lost Causes, dalam
membabarkan beberapa antagonisme di atas dan karena itu elaborasi
serupa barangkali akan menjadi iterasi yang tidak diperlukan;
meskipun sebenarnya penting. Sementara itu, lima bab buku ini
lebih memusatkan penjelasan soal aneka respon yang mungkin
bisa diberikan terhadap the forhtcoming apocalypse itu. Merujuk
teori psikoanalitik Elisabeth Kubler-Ross tentang penderitaan
(psychoanalytic theory of grief ), ada lima tahap respon yang mungkin
bisa diberikan dalam menghadapi situasi krisis itu, yaitu: penolakan
(denial), kemarahan (anger), penawaran (bargaining), keputusasaan
(depression), dan penerimaan (acceptance). Secara panjang lebar, Žižek
membeberkan lima tahap respon itu dalam lima bab bukunya.
Respon pertama penolakan (denial), mengandung arti seseorang
tidak bisa menerima suatu keadaan atau secara ekspresif tercermin
dalam pernyataan: “ini tidak bisa terjadi, tidak padaku!”. Bagian
ini (Bab 1) menganalisa modus-modus kebingungan ideologis di
balik kasus pelarangan burqa di Prancis. Semula, alasan pelarangan
burqa ada la h demi kehormatan, ha k asasi, dan kebebasan
perempuan, namun pada akhirnya terjadi pergeseran argumentasi;
larangan pemakaian burqa di tempat umum dianggap tidak sesuai
dengan budaya dan identitas masyarakat Prancis. Program BBC
adalah contoh lain bagaimana ideologi kontemporer bekerja; saat
dalam sebuah layar televisi kita ditunjukkan gambaran anak-anak
kelaparan di Afrika yang sekaligus juga mengandung ajakan untuk
membantu mereka, di balik itu mengandung pesan ideologis begini:
“Jangan dipikirkan, jangan dipolitisasi, lupakan tentang sebab yang
MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

10 0 |

ABDIL MUGHIS MUDHOFFIR

sebenarnya akan sebuah kemiskinan, lakukan saja, sumbangkan
sebagian hartamu, dengan begitu kau tidak perlu berpikir!” Respon
kedua, kemarahan (anger) menunjukkan bahwa kita tidak bisa lagi
menolak suatu keadaan seperti tercermin dalam ujaran: “Bagaimana
ini bisa terjadi padaku?”. Babak ini (Bab 2) bercerita tentang
gerakan-gerakan protes yang menggunakan cara-cara kekerasan
dalam melawan sistem global, terutama berkaitan dengan munculnya
fundamentalisme agama. Sementara dalam modus respon ketiga,
penawaran (bargaining), seseorang memiliki harapan untuk sedikit
menunda atau mengurangi penderitaan yang dihadapinya: “Biarkan
aku hidup sebentar untuk melihat anakku tumbuh”. Seksi ini (Bab 3)
menerangkan kritik politik-ekonomi; mempertahankan keberlanjutan
teori Marxisme dengan mengkritik cara Alain Badiou memaknai
kemungkinan gerakan revolusioner kontemporer. Adapun dalam
modus respon keempat, keputusasaan (depression), seseorang hanya
bisa mengatakan: “Aku akan mati, tak perlulah mempermasalahkan
sesuatu”. Seksi ini (Bab 4) membahas munculnya patologi subjektif
baru (subjek pascatraumatik) dengan menilik kasus masyarakat di
India dan Cina. Di India, seorang programer komputer terkenal setiap
pagi sebelum bekerja melakukan pemujaan kepada dewa-dewanya.
Praktik semacam ini disebut sebagai trans-fungsionalisasi tradisi ke
dalam komponen mesin teknologi global. Tradisi tidak lagi dipahami
sebagai suatu cara hidup yang otentik melainkan bagian dari gaya
hidup yang dapat dipilih secara bebas. Di Cina, terjadi perdebatan
soal prosedur pemilihan Dalai Lama (living Buddha) antara otoritas
Cina dengan Dalai Lama; apakah akan mempertahakan tradisi
suksesi melalui reinkarnasi atau melalui prosedur pemilihan yang
demokratis. Sementara itu, ekspresi yang terwujud dalam respon
terakhir, penerimaan (acceptance) adalah, “Aku tidak bisa melawannya,
aku akan mempersiapkan diriku menghadapinya saja”. Bagian
terakhir ini (Bab 5) membahas tanda-tanda munculnya subjektivitas
emansipatoris.
Selain terdiri dari lima bab, buku ini juga memuat jeda (interlude)
antarbab. Interlude 1 membeberkan ideologi yang melambari film
The Dark Night dan Kung Fu Panda. Interlude 2 membahas gerakan
anti-Semitisme sebagai ilustrasi ihwal ideologi yang bekerja dalam
ketaksadran. Interlude 3 menerangkan perkembangan arsitektur
kontemporer. Terakhir, interlude 4 mengulas kasus “monster” Austria
Josef Fritzl dan film musikal tersohor The Sound of Music.
MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

K R ISIS EKOLOGI DA N A NCA M A N BAGI K APITA LISME

| 101

Membaca tulisan Žižek, terkadang dapat membuat pembacanya
tersesat; saat separuh buku terbaca kadang kita lupa apa judul
bukunya. Begitu pula kesan yang diperoleh saat membaca buku
Living in the End Times. Pertama membaca judulnya, yang terbayang
di kepala adalah buku ini bicara soal kehancuran kehidupan di
muka bumi akibat ancaman pemanasan global; setidaknya ini kesan
yang dikonstruksikan gambar sampul depan buku ini. Memang
tidak seharusnya menghakimi buku dari sampulnya. Namun, saat
membaca bagian pendahuluan kita akan tahu buku ini mengulas
krisis kapitalisme global akibat ancaman-ancaman yang datangnya
dari sistem itu sendiri dan salah satunya menyangkut persoalan
ekologi. Sayangnya, ancaman-ancaman yang menyebabkan krisis
itu tidak banyak diulas. Jesse Ramirez bahkan menyebutkan bahwa
studi Žižek soal apocalypticism sangat tidak memadai; dengan hanya
mengumpulkan informasi dari surat kabar, webblog, atau wikipedia
sulit untuk menarik simpulan kapitalisme global mendekati apocalyptic
zero-point. Menurutnya, Žižek memerlukan bahan lebih dari yang
sekedar dapat ditawarkan bagian interlude. Namun, Ramirez juga
menyadari Žižek tidak akan berurusan dengan persoalan kebenaran
objektif dalam membuktikan apocalypticism tersebut. Jika demikian,
lanjutnya, Living in the End Times seharusnya dapat dibuat lebih tipis;
hanya terdiri dari pendahuluan, interlude 4 yang soal apokaliptik,
dan bab 5 soal acceptance. Jika melihat karya-karya Žižek sebelum
ini, kritik Ramirez di atas menjadi tidak relevan. Penjelasan soal
apocalypticism itu di antaranya dapat diperoleh melalui buku In
Defence of Lost Causes serta beberapa ceramahnya yang berjudul
Ecology as a New Opium for the Masses atau Ecology Without Nature.
Terlepas dari kritikan di atas, Living in the End Times sebagai
buku filsafat tidak banyak membuat kening pembacanya berkerut
karena gaya penulisan Žižek yang mengalir seperti tuturan.
Banyaknya ilustrasi kasus, cerita-cerita mitos, dan terutama film
membuat kita lebih mudah memahami maksud gagasan yang ingin
disampaikan penulisnya. Namun, pembaca yang tidak memahami
cerita yang menjadi ilustrasi penjelasan Žižek bisa jadi akan menemui
kesulitan dalam menangkap maknanya. Beberapa tulisan Žižek
seringkali juga sama seperti isi kuliah-kuliahnya yang telah banyak
didokumentasikan; terkadang sulit membedakan mana yang lebih
dulu apakah tulisannya atau tuturan kuliahnya. Dan, tampaknya
Žižek tidak membedakan bahasa oral dengan bahasa tulisnya; ini
MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

102 |

ABDIL MUGHIS MUDHOFFIR

juga yang membuat tulisannya enak dibaca. Saat berceramah, Žižek
seolah dapat berbicara lebih cepat dari pikirannya. Dia juga seorang
pembicara yang akan selalu mengundang tawa pendengarnya. Žižek
adalah kombinasi yang unik antara seorang filsuf radikal beraliran
kiri dengan seorang badut komedian. Namun, oleh Majalah The New
Republic ia dijuluki sebagai filsuf yang paling berbahaya di Barat
abad ini.

ABDIL MUGHIS MUDHOFFIR

Email: abdil.mughis@yahoo.com

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102