Media Sosial dan Persekusi docx

Media Sosial dan Persekusi
Kentos Artoko

Perang dalam media siber antar pendukung yang terjadi pasca Pilkada DKIJakarta ternyata makin menjadi usai terpilihnya pasangan Anies Baswedan-Sandiaga
Uno menggantikan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)- Djarot Syaiful Hidayat.
Penggunaan media sosial (medsos) yang semula hanya digunakan untuk menarik
simpati dan menaikkan elektabilitas pasangan, kini berubah menjadi saling hujat
dan saling mengumbar keburukan tokoh yang menjadi ikon masing-masing
pasangan.
Seorang tokoh agama yang memiliki isteri lebih dari satu menjadi bahan
ejekan (bullying) dari pendukung pasangan lainnya. Kisahnya dibuatkan parodi,
kemudian menjadi viral di media sosial. Ironisnya pemeran dari parodi tersebut
adalah mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Tidak terima tokohnya
dijadikan bahan bullying, jamaah sang tokoh lalu membuat dan merekam video

tandingan yang berisi, bila pemeran tidak memohon maaf maka akan diburu terus
hingga dapat.
Kontan saja, pemeran parodi yang ketakutan, kemudian mendatangi markas
tokoh agama tersebut dan berupaya untuk meminta maaf, akan halnya sang tokoh
agama memberikan maaf secara tulus dan kemudian memberikan buah tangan
kepada pemeran adegan parodi itu.

Bukan hanya itu, kesaksian isteri mantan Gubernur DKI-Jakarta Ahok pun
menjadi bahan bullying dari pihak pesaing dalam ajang kontestasi perebutan kursi
gubernur. Tindakan saling hujat dalam media sosial seakan tidak mengenal waktu
dan jeda, meski kita sudah memasuki bulan Ramadhan.
Penggunaan media sosial tersebut dilakukan mengingat jaringan yang luas
dan tidak terbatas, sifatnya seketika (instan) serta memiliki klasifikasi tersendiri bagi
pembaca, pendengar dan pemirsanya. Kelebihan inilah yang digunakan oleh para
pengguna media sosial untuk menyebarkan informasi (Lazarfeld, 2007).
Tindakan membully seseorang atau sekelompok, dalam ajaran agama
apapupn dan etika sosial, tidak dapat dibenarkan. Namun, ditengah arus dunia
maya yang tanpa batas, maka siapa saja bisa dengan mudahnya menyiarkan dan
menayangkan adegan apapun dalam lingkup dunia maya.

Persekusi
Hari-hari belakangan ini, dunia maya pun dipenuhi oleh suasana mencekam,
dimana seseorang atau sekelompok yang dengan sengaja mengunggah tayangan
tidak senonoh akan diburu sampai ke liang lahat sekalipun. Tindakan pemburuan ini
dikenal dengan nama persekusi. Tindakan ini telah menyebar ke seluruh bagian di
wilayah Indonesia dan menebar ancaman yang sangat serius bagi kebebasan
berpendapat dan berekspresi.

Seseorang tokoh, bisa dengan mudahnya memberikan imbalan kepada
sekompok orang yang dipercaya untuk memburu pihak lain yang telah dengan
sengaja melakukan bullying.
Jaringan relawan kebebasan berekspresi (SAFENET) telah meminta
pemerintah untuk mewaspadai aksi persekusi yang terjadi pasca pilkada DKI-Jakarta
yang mereka sebut The Ahok Effect, karena tingkat ancamannya amat serius.
Persekusi tersebut dilakukan dengan, pertama, melacak (tracking) pengguna
media sosial yang dengan sengaja menghina tokoh agama, tokoh politik dan ikon
suatu gerakan politik. Kedua, memberikan instruksi kepada anggotanya untuk

memburu target yang telah dibuka indentitasnya dengan mencantumkan foto,
alamat, nomor telepon dan identitas lainnya. Ketiga, adalah dengan menggerebek
dan menggelandang dari rumah ke tempat yang telah ditentukan. Keempat dibawa
ke pihak yang berwajib dan dikenakan pasal 28 UU ITE atau pasal 156 a KHUP
(penodaan agama).
Perlindungan
Sebagai satu negara hukum, maka tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan
mengingat ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang pelaku pengunggah
bullying yaitu mediasi, somasi dan pengadilan. Untuk itu diperlukan upaya dan
perlindungan hukum bagi masyarakat dan pengguna media sosial untuk menjamin

kebebasan berekspresi yang bertanggungjawab.
Apabila hal ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin akan terjadi tindak
penghakiman sendiri di masyarakat dan terancamnya nyawa seseorang dan sudah
tentu hal ini melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Secara politis, tindakan persekusi merupakan bentuk intimidasi tidak
langsung yang secara tidak kasat mata memiliki motif politik tertentu. Bukan hal
yang mustahil, bila tidak diberikan koridor hukum tindak persekusi yang melibatkan
banyak orang akan menghadirkan suasana mencekam.

Situasi dan kondisi tertekan itu dapat dengan mudahnya digunakan oleh satu
kelompok atau golongan untuk “menggiring” pada tindak politik tertentu.
Disamping itu upaya persekusi dapat dilihat sebagai upaya untuk mendelegitimasi
peran aparat penegak hukum.
Untuk itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi
dituntut untuk segera membuat aturan terkait masalah ini, disamping jaminan
keamanan dari pihak yang berwajib sebelum seseorang dinyatakan bersalah secara
hukum.
Atau mungkin upaya persekusi tersebut merupakan bagian dari strategi
politik suatu kelompok tertentu untuk memberikan citra kepada masyarakat bahwa
telah terjadi kriminalisasi terhadap kehidupan beragama di Indonesia. Semoga saja

pemerintah dan aparat penegak hukum cepat tanggap mengantisipasi masalah ini
melalui mekanisme yang benar.
Penulis, Pemerhati Komunikasi Politik dan pengajar di beberapa perguruan
tinggi di Jakarta.