Pengawasan Kedaulatan dan Kapitalisme Gl

JURNAL HUKUM
SEKOLAH TlNGGI HUKUM GALUNGGUNG
TASIKMALAYA
ISSN: 2089-9548

Pelindung
Prof. Dr. Hj Mien R uk mini SH, MS
,

Penasehat
Po. Dr. . Rukmana Amanwinata, SH, H
Penanggungjawab
Dr. Asril Sitompu!, SH, H
Ketua Penyunting
Dr. Syamsuharya Bethan, SH, M.Hum
Sekretaris

Mis Dwi Muladi, SH, MA
Bendahara

Kundang A Su draj at SH, H

,

Penyunting Pelaksana
Dr. H. Imam Santoso, SH, H

Ahmad Ibrahim Badry, S Fil, M.Hum
Rancang Cover/Lay Out
Drs. Dj uned
luma! GALUNGGUNG meupakan jumal sebagai wujud pengabdian
khususnya dalam penyebaran dan pengembangan bidang ilmu hukum scrta
yang terkait di bidangnya.
Juna! hukum diterbitkan 2 (dua) i dalam satu hn setiap bulan Pebruari
dan Agustus yang diterbitkan oleh Pasca Sarjana
"Sekolah Tinggi Hukum Galunggung Tasikmalaya"
Redaksi mengundang para pendidik, peneliti dan profesiona! hukum
untuk berkontribusi melalui junal i.
Alamat redaksi: Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Hukum Galunggung
. H Lukmanul Hakim No. 17 Tasikmalaya
TIp. (0265) 330092 Fx. (0265) 330092 -Eil: sthfllunggung@yahoo.co.id


Daftar Isi

Daftar lsi
Kata Pengantar ------------------------------------------------------1.

2.

3.
4.

5.

6.

7.

1

2


Pengaturan Keimigrasian Dalam Lalo Lintas
Orang antar Negara
Oleh: Dr. Imam Santoso, SH, MH
---------------------------

3

Akibat Hukum Akta Cerai Palsu terhadap
Status Perkawinan Para Pihak
Oleh: Aan Iskandar, SH, MH
---------------------------------

18

Pengawasan, Kedaulatan, dan Kapitalisme Global
Oleh: Ahmad Ibrahim Badry, S Fil, M.Hurn. ----------------

36

Pera nan Ekonomi Negara dalam Per·spektif Hukum

dan Ekonomi
Oleh: Aris Dwi Muladi, SH, MA
----------------------------

51

Masalah-masalah Dalam Penanaman Modal
Di Indonesia
Oleh: Dr. Asril Sitompul, SH, LLM ---------------------------

68

Penerapan Hukum Nasional Anti Dumping Dalam
Perdagangan Internasional di Era Globalisasi
-------------Oleh: Dr. Syamsuharya Bethan, SH, M.Hum

82

Peningkatan Keberdayaan dan Keberhasilgunaan Rua ng
Dalam Upaya Menghindari Konversi Lahan

Oleh: Apip Nur, SH, MH ---------------------------------------

98

8.

Politik Hukum Pidana terhadap Kebijakan Kriminalisasi
Delik Jdeologi Negara dalam UU Nomor 27 Tahun 1999
Tentang Keamanan Negara
O leh: Ifrani, SH, MH ------------------------------------------- 117

9.

Liberalisasi Ekonomi Perdagangan Bebas dan
Rekontruksi Peran Negara
Oleh: Dr. Tatang Astarudin, SH, M .Si
----------------------

Jumal Hukum STHG Vol. l No. l Pebruari 2012 -1


131

PENGAWASAN, KEDAULATAN, DAN
KAPIT ALISME GLOBAL

Oleh: Ahm ad Ibrahim Badry

Abstrak

Kehidupan sekarang ini dihadapkan pada perkembangan teknologi
informasi yang cukup pesat. Namun demikian, di batik itu semua, ada
beberapa masalah yang sebenarnya p erlu dicermati dengan seksama.
Jni terutama terletak pada sisi lain dari pemanfaatan teknologi yang
tidak disadari akan berdampak buruk pada kehidupan manusia itu
sendiri. Hal te1penting yang aka11 met?Jctdi masalah da/am konteks ini
adalah kehidupan pribadi seseorang. Bagaimana seseorang kemudian
menjadi dapat dim,msi dan di monitor setiap .mat apa yang dia lakukan
dan apa yang dimi/ikinya. ft?formasi tentang apa yang dilakukan dan
apa yang dimiliki seseorang temyata dapat mel!/adi sumber daya yang
berguna dalam sistem ekonomi kapitalisme, namun akan berakihat

fatal pada kehidupan pribadi seseorang. Jnilah yang akan menjadi
pembahasan dari tulisan ini.

Pendahuluan

Pernahkah anda semua berpikir kalau hidup yang kita jalani ini ada
dalam pengawasan? Ketika anda bangun, kemudian beraktivitas, entah
pergi kuliah, ke kantor, berbelanja, berpiknik, ataupun aktivitas lainnya
anda mungkin telah dan sedang diawasi tanpa anda menyadarinya.
Lalu, seandainya keadaan ini benar, maka tentu saja anda dapat
bertanya, "Dimanakah kebehasan sayajika saya selalu diawasi?".
Hidup dalam pertanyaan dan bayangan di atas tentu akan membuat
hidup kita tertekan. Anda serasa hidup menjadi seorang agen rahasia
yang ada dalam film-film Hollywood. Hidup dalam ketersembunyian
dan menghindari kejaran agen rahasia Iain sudah menjadi santapan
sehari-hari. Anda beruntung kalau anda bisa berlaku seperti tokoh
utama dalam film 1he Saints, yang sangat ahli dalam penyamaran dan
pengubahan identitas melalui nama-nama orang suci dalam tradisi
36 - Jurnal Hukum STHG Vol. 1 No. 1 Pebruari 2012


Kristiani_ Namun, kalau anda seorang yang malas, mungkin sudah
dipastikan anda akan tertangkap dan berada di bawah pengawasan
selamanya.
Gambaran di atas mungkin hanya sebuah ilustrasi ketika
pengawasan (surveillance) telah diterapkan secara total dalam
kehidupan masyarakat. Ini tentu saja hanya sebuah khayalan, seperti
telah ditulis novelis George Orwell dalam Nineteen Eighty-Four
dengan istilah Big Brother. Tapi, khayalan Orwell itu tidak lama lagi
akan menjadi kenyataan. Sebab, ternyata kita sudah masuk dalam suatu
keadaan yang disebut dengan pengawasan elektronis (electronic
surveillance). Pertanyaan yang kemud ian muncul tentu saja adalah:
"Kenapa hisa ha/ ini te1jadi dan bagaimana caranya?"_
Adalah David Lyon, seorang sosiolog Inggris, yang telah menaruh
perhatian besar tentang masalah ini. Dalam bukunya yang berjudul lhe
FJectronic Eye: The Rise of Surveillance Society, (Lyon, D, 1994:4),
Lyon menjelaskan bahwa pengawasan elektronis ini terjadi setiap hari
dalam kehidupan kita pada saat kita bertransaksi di mall, saat kita
menggunakan telepon, saat kita mengemudi, dan juga pada saat kita
beke1ja. lni dimungkinkan dengan adanya pengkoleksian data tentang
kita dalam database komputer. Pada saat transaksi di mall, kita

menggunakan kartu kredit atau kartu member yang notabene akan
tercatat dalam database komputer di bank atau di supermarket tersebut.
Ketika menggunakan telepon, proses registrasi mensyaratkan kit a untuk
mencatatkan identitas dalam database komputer penyedia jasa telepon
terlebih dahulu. Begitu pula saat kita membuat SlM sebagai syarat
untuk mengemudi dan kartu absensi di perusahaan tempat kita bekerja.
lntinya, semua yang disebutkan oleh Lyon di atas adalah bentuk
lain dari pengawasan. Walaupun demikian, mungkin akan ada yang
bertanya, "Hal il11 memang sudah terjadi dalam kehidupan kita semua.
La/11, apa yang menjadi persoalannya?"_ Lyon mengatakan bahwa
ketika data tentang kita tersimpan dalam database komputer, maka data
kita itu dapat dijual kepada siapapun yang membutuhkan. Ia
mencontohkan bahwa satu saat para pelanggan toko Ice Cream Parlour
milik Farrel di Amerika dikejutkan oleh kiriman surat draft pendaftaran
di perusahaan yang tidak pernah mereka ikuti sebelumnya. Ini terjadi
Jurnal Hukum STHG Vol. I No. 1 Pebruari 2012 - 37

karena data mereka pada saat berulang tahun di toko es krim itu telah
dijual tanpa sepengetahuan pelanggan kepada perusahaan tersebut.
(Lyon, D, I 994 :4)

Kasus yang sejenis juga terjadi di Indonesia pada tahun 2008,
walaupun berbeda konteks. Hal ini terjadi pada Prita Mulyasari yang
haru s berhadapan dengan Rumah Sakit Omni Internasional. Prita
menuli s keluhan pelayanan Rumah Sakit Omni Internasio nal kepada
rekannya melalui email. Tapi, email tersebut menyebar hingga
diketahui oleh Rumah Sakit Omni Internasional. Prita akhirnya harus
mendekam di penjara hanya gara-gara curhat melalui email. lnilah
model pengawasan elektronis yang membawa mal apetaka pada
indi vidu ketika dikuasai oleh korporasi. (Mulyasari, P, 2008: 11-17)
Kejadian yang dicontohkan Lyon dan juga kasus Prita di atas
mungkin akan membuat kita berpikir secara lebih kritis atas masalah
pengawasan elektronis ini. Bayangkan, jika saya atau anda yang
mengalaminya sendiri. Ini seperti born waktu yang setiap saat dapat
meledak dan siap menelan korban-korban lainnya, setiap saat dan tanpa
pandang bulu.
Kondisi ini, selain menyiratkan persoalan praktis seperti telah
disebutkan dalam contoh-contoh sebelumnya, juga membawa kita
kembali pada pertanyaan awal dalam tuli san ini . Adakah kebebasan
dalam masyarakat yang terawasi? Dalam rumusan yang lebih politis,
pertanyaan ini akan berupa: "Apakah mungkin kita akan berdaulat alas

diri sendiri sementara hidup kita selalu diawasi ?". Namun, sebelum
menjawab pertanyaan ini, kita akan masuk pada pembahasan mengenai
apa yang dimaksud dengan pengawasan itu sendiri secara lebih luas,
termasuk jenis dan modusnya.

Wacana Pengawasan, Jenis, dan l\fodusnya
Berbicara mengenai pengawasan, hal ini mungkin dapat diawali
dengan perbincangan diri kita sebagai manusia. Bukannya apa-apa,
ternyata kita sebagai manusia pada dasarnya seringkali melakukan
pengawasan itu sendiri. Kita ini pengamat sekaligus pengawas atas
sesuatu hal. Misalnya, dalam konteks keluarga, orang tua melakukan
pengawasan pada seorang anak yang masih balita untuk menjaganya
38 - Jurnal Hukum STHG Vol. 1 No. 1Pebruari 2012

dari marabahaya, seperti terjatuh, sakit, ataupun terkena sesuatu yang
tidak diinginkan. Namun demikian, pada sisi lain, seorang suami atau
juga istri seringkali mengawasi satu sama lain terutama bila kedua
pasangan itu memiliki rasa curiga karena masing-masing pasangan
menganggap pasangannya itu merniliki hubungan khusu s dengan orang
lain.
Dengan contoh di atas, kita dapat melihat dua sisi dari
pengawasan_ Yang satu cenderung kepada perbuatan positif, sedangkan
yang lain cenderung pada perbu atan yang mengarah negatif. Namun,
intinya ternyata sama, yaitu pengawasan pada kasus di atas
mengandaikan pada adanya penjagaan atas sesuatu yang tidak
diinginkan (securing). Meskipun begitu, pengawasan menjadi sesuatu
yang bermasalah bila muncul dari sisi ekstemal yang mengancam
subjek yang diawasi . Pada sisi ini, pengawasan menj ad i pengamatan
atau penguasaan atas diri yang tidak diinginkan (manipulating).
Mi salnya pada saat kita tidak ingin diketahui seberapa besar kekayaan
yang kita miliki, namun informasi ini diketahui pihak lain (petugas
pajak ataupun perampok), membuat kita merasa terancam dan merasa
terus-menerus diawasi .
Apa yang diungkapkan di atas ini tentang kasus pengawasan dalam
keluarga, pada dasarnya lebih merupakan bagian dari pengawasan
pribadi (personal surveillance) menurut Gary T. Marx. Lebih tepatnya,
ini di sebut dengan pengawasan hubungan yang berperanan (role
relationship surveillance). Namun, ada juga yang disebut dengan
pengawasan hubungan yang tak-berperanan (non-role relationship
sun1ei!lcmce). Ini dicontohkan Gary dengan, "in the free-floating

activities qf the voyeur whose watching is unconnected to a legitimate
role" . (Marz, G.T, 2007: 538)
Selain jenis pengawasan yang serupa ini, ada yang oleh Gary
di sebut
dengan
pengawasan
organisasional
(organfaational
surveillance)_ lni terdiri dari dua macam. Pertama ia sebut dengan
pengawasan internal konstituensi (internal constituency surve;/lance).
Pada konteks ini, individu termasuk (belong) dalam organisasi dengan
pengertian ganda, yaitu sebagai anggota dan juga milik (belonging)
organisasi. A.nggota organisasi oleh karenanya menjadi subjek yang
Jumal Hukum STHG Vol. 1 No. 1 Pebruari 2012 - 39

dikendalikan oleh pengawasan.
Berikutnya adalah pengawasan eksternal konstituensi (external

constituency surveillance). Jni adalah pengawasan yang dilakukan
untuk seseorang yang memiliki hubungan langsung dengan organisasi,
namun mereka bukanlah anggot a organisasi. Pada pengawasan jenis
ini, kalau kita ambil contoh yang nyata, ini t iada lain daripada
pengawasan atas pelanggan oleh perusahaan, pasien oleh rumah sakit,
juga warga oleh negara.
Selain apa yang telah disebutkan, masih ada apa yang disebut
sebagai pengawasan eksternal atas yang bukan konstituensi (external

non-constituency surveillance). Dalam konteks pengawasan jenis ini,
Gary menjelaskan bahwa: "organizations monUor their broader
environment in watching other OJganizations and social trends. The
rapidly growing field of business illlelligence seeks h!formation about
competitors. social conditions, and trendy that may L?ffect an
organization."
Demikian, kita sudah melihat bahwa pengawasan pun dapat
beragam macamnya. D ari mulai pengawasan yang bersifat pribadi
hingga

kepada

yang

o rgani sasional.

Namun

begitu,

dalam

penjelasannya ini, Gary tidak menyebutkan modus atau cara bekerjanya
pengawasan dalam model tahapan. Ia hanya menyebutkan bahwa
pengawasan dapat dianalisis dengan pengandai an hubungan satu arah

(non-reciprocal) ataupun dua arah (reciprocal). Dalam hubungan dua
arah, ini dapat terjadi pola yang simetris dan yang asimetris bergantung
pada relasi yang ada pada hubungan tersebut. Pada konteks negara
demokrasi, polanya dapat berlaku simetris karena warga dapat
mengawasi negara dengan hak-hak publik yang mereka miliki . Namun
yang terj adi akan sebaliknya, yaitu pola asimetris, bila ini ada dalam
konteks negara otoriterianisme. Sebab, warga tidak dapat mengawasi
negara.
Kembali pada soal modus pengawasan, oleh karena penulis belum
menemukan penjelasan mengenai modus pengawasan ini dalam
referensi yang dibaca, penulis pada akhirnya akan mencoba menyusun
ha! ini dalam tahapan sebagai berikut.

40 - Jumal Hukum STHG Vol. 1 No. I Pebruari 2012

1.

Pengawasan rnelalui kekerasan (surveillance via violence).
Ini adalah pengawasan paling dasar yang dilakukan manusia.
Utamanya untuk menunjukkan siapa yang berkuasa melalui
kekuatan fisik. Contohnya seperti dilakukan oleh pemilik budak
yang mencambuki budaknya itu demi penguasaan yang penuh atas
diri budak tersebut . A.tau, ini dapat saja dilakukan oleh orang tua
ketika ia memukul anaknya yang tidak taat pada perintahnya.

2.

Pengawasan melalui tekanan (surveillance via pressure) .
Pengawasan melalui tekanan lazim dilaksanakan oleh seseorang
untuk mengawasi orang lain tanpa menggunakan kekerasan fisik.
Ini adalah tahapan lanjut dari pengawasan yang dilakukan melalui
kekerasan. Bentuk pcngawasan seperti ini biasanya muncul lewat
kata-kata yang mengancam atau kata-kata larangan. Yang
mengeluarkan ancaman atau larangan sudah tentu memiliki posisi
yang cukup kuat dibandingkan dengan subjek yang diawasi
rnelalui tekanan.

3.

Pengawasan melalui aturan (surveillance v;a regulat;on).
Berbeda dengan pengawasan rnelalui tekanan yang rnenunjukkan
pengawasan secara praktis, pengawasan melalui aturan merupakan
pengawasan yang bekerja secara prosedural. la menjadi suatu
pengawasan tidak langsung namun sangat efektif bila
dibandingkan dengan pengawasan melalui tekanan. Ini karena ada
unsur kesepakatan bersama yang muncul dalam pengawasan
melalui aturan. Subjek yang diawasi tentu saja tunduk pada aturan
yang telah ditetapkan. Contohnya pengawasan pegawai melalui
surat kontrak ataupun pengawasan warga melalui Undang-Undang.

4.

Pengawasan melalui pengamatan (surveillance via observation).
Ketika aturan telah ditetapkan, yang ada kemudian adalah
pengamatan. Kondisinya sudah tertentukan (maksudnya sesuai
dengan kerangka peraturan) sehingga pengawasan yang dilakukan
cukup dengan pengamatan. Dalam konteks ini, antara perampok
yang mengamati bank sasarannya dengan pialang saham yang
mengamati naik turunnya harga saham akan dapat dipandang sama
posisinva. Ini karena perampok dan pialang sama-sama memaharni
Jumal Hukum STHG Vol. 1 No. 1 Pebruari 2012 - 41

aturan roam yang ditetapkan untuk kasus yang mereka hadapi .
Perampok tahu kalau bank sasarannya memiliki jadwal buka dari
jam berapa hingga jam berapa, berapa petugas keamanan yang
menjaga bank itu, jam berapa pengiriman uang keluar, hingga rute
yang akan ditempuh mobil pembawa uang kiriman tersebut.
Pialang saham pun demikian. Ia tahu pada rate berapa seharusnya
ia membeli saham yang diminatinya, pada kondisi pasar macam
apa seharusnya saham itu dijual kembali, dan bagaimana tren yang
5.

akan terjadi dalam pasar saham selanjutnya.
Pengawasan melalui teknologi (surveillance via technology).
Di tahap ini, pengawasan dilaksanakan melalui bantuan perangkat
yang telah diciptakan oleh manusia itu sendiri. Namun, tentu saja
ini akan berbeda dengan " cambuk" sebagai alat yang dipakai untuk
melakukan pengawasan melalui kekerasan. Yang dimaksud
teknologi di sini akan berasosiasi dengan teknologi termuktahir
yang pernah diciptakan manusia. Efeknya tentu saja akan
melahirkan pengawasan yang luar biasa efektif. Sebab, dengan
bantuan teknologi muktahir, manusia akan dapat mengawasi
manusia lainnya tanpa yang diawasinya itu menyadari kalau ia
diawasi . CCTV atau kamera pengawas tersembunyi, pemantauan
posisi melalui satelit, penyadapan perangkat komunikasi dan lalu
lintas data informasi komputer, hingga teknologi identifikasi DNA,
semuanya merupakan perangkat teknologis yang digunakan
manu sia untuk pengawasan.

Sebagai tambahan penjelasan atas modus pengawasan ini , perlu
diungkapkan apa yang disebut sebagai kapasitas dari pengawasan.
Menurut Lyon, hal ini terdiri dari empat kornponen, yaitu: "one; size qf

files, two; comprehensivity of reach, three; speed of flow, and four;
subject-transparency". (Lyon, 52). Kriteria kapasitas pengawasan ini
pun dapat diterapkan pada modus pengawasan untuk menguji sejauh
mana efektivitas yang dimiliki oleh modus pengawasan tersebut.
Nah, telah kita peroleh gambaran yang cukup lengkap tentang apa
yang disebut pengawasan berikut jenis dan modusnya. Dalam
pembahasan selanjutnya, kita akan menguji konsep pengawasan yang
telah dijelaskan ini dalam konteks kedaulatan. Seperti apakah kiranya
42- Jumal Hukum STHG Vol. 1 No. 1 Pebruari 2012

kedaulatan itu bila direlasikan dengan ko nsep pengawasan?

Persoalan Kedaulatan dalam Bayang Pengawasan
Masalah kedaulatan sudah sejak lama menjadi pusat perhatian para
pe mikir filsafat, hukum, dan juga polit ik. lni sudah dipikirkan oleh
Aristoteles hingga Hans Kelsen. Namun demikian, meski tersebar
dalam bahasan banyak pemikir, tema kedaulatan dapat diringkaskan
menjadi 7 pokok masalah yang mendasar menurut Stanley I. Be nn .
Pertama, konsep kedaulatan dirumuskan menjadi

norma apabila

seseorang atau institusi itu memiliki oto ritas yang lebih daripada yang
lainnya dalam sistem hukum, sehingga ia t idak dapat ditolak/diabaikan
oleh yang lainnya itu. Konsep k edau latan yang serupa ini tentu saja
mengandaikan kompetensi hukum yang tak terbatas. (Benn, S,l,
2006: 139).
Nampaknya, dalam konsep pertama yang dibahas dalam kerangka
serupa itu, telah timbul suatu masalah. Apakah ada orang atau institusi
yang sedemikian berkuasanya di bidang hukum? Hal ini menjadi
problernatik mengingat pada kenyataannya tidak ada yang memenuhi
kriteria yang ditetapkan dala m konsep kedaulatan pertama ini. Oleh
karenanya, ada beberapa pemikir yang mencoba untuk mengatasi
ma salah ini dengan mengandaikan bahwa kedaulat an itu tiada lain
daripada "a constitution or basic norm from which all other rules of a

system derive validity". lnilah konsep kedua mengenai kedau latan.
Para pemik ir lain, yang juga mengakui kesulitan dalam konsep
yang pertama, merumuskannya dengan cara yang berbeda. Sebab,
mereka tidak sepakat jika kedaulatan itu berupa konstitusi atau norma
dasar. Mereka ingin konsep kedaulatan itu diterapkan pada orang atau
pribadi. Dalam konteks ini, kedaulatan itu berwujud orang yang
memiliki kekuasaan tertinggi pada suatu negara yang dibedakan dari
otoritas, karena orang ini juga sanggup mengatasi oposisi yang muncul
melawannya. Konsep ketiga kedaulatan ini tampak lebih mirip dengan
kekuasaan seorang diktator.
Berbeda dengan konsep kedua da n ketiga, pemikiran yang muncul
pada perumusan kedaulatan d i empat konsep terakhir lebih tertuju pada
pemba hasan

mengenai

negara.

Keempat

rumusan

mt,

Jurnal Hukum STHG Vol. l No. l Pcbruari 20 12 -43

seperti

dirangkumkan oleh Benn, dapat dibaca sebagai berikut ini .

"The state itself is often sa;d to be so1 ereign. This may mean any
of at least.four distinct {though possibly related) things: (4) that
the state as an organized association will in fac t prevail in conflict
with any person or any other association in its territory; (5) that
the rights of all such associations and persons derive from the
legal order that is supported by the state or that (according to
Hans Kelsen) is the state; (6) that the stale is a moral order with
claims to obedience and loyalty which have precedence over all
others; (7) that the state is autonomous vis-a-vis other states,·
according to some the01-fes, the slate has ッョ セ ケ@ such obhgations,
whether in lmv or in morals, as it chooses to recognize."
1

Meskipun demikian, apa yang dikatakan Benn sebagai konsep
kedau latan serupa ini tetap tidaklah memadai bila dikaitkan dengan
kehidupan kontemporer dewasa ini . Dengan berkembangnya konsep
baru yang di sebut hak asasi manusia (human rights), (Weithman, P ,
J 45), kedaulatan individu tidak berada lagi di bawah konsep petiama

dan ketiga. Indi vidu memiliki hak-hak yang dij am in secara hukum oleh
negara sehingga membuatnya " berdaulat", seperti hak untuk berbicara
d i depan umum, rnendapat pekerjaan, maupun mengecap pendidikan.
Namun, seandainya hak asasi rnanusia sebagai suatu bentuk dari
kedaulatan ini dapat dikatakan sebagai perwujudan ke bebasan manusia
itu sendiri, bila hal ini dikaitkan dengan apa yang sudah kita bahas
dalam wacana pengawasan, maka ha! ini terasa janggal adanya.
Mengingat bahwa temyata modus pengawasan pun berlaku melalui
aturan. Oleh karena hukum adalah suatu aturan, maka secara otomatis
rnanusia tetap akan berada di bawah pengawasan. Baik pengawasan
yang sifatnya positif, maupun yang sifat nya negatif. D i sisi ini,
seseorang yang berada d i lingkungan hukum akan mengandaikan
bahwa ia diawasi oleh negara.
Sebenamya, dalam pos1s1 yang demikian ini-di bawah
pengawasan negara, ha! tersebut tidak menjadi masalah besar jika t idak
ada "orang" yang berkepentingan atas itu. Kenapa ini menjadi
demikian penting untuk diperhatikan? T idak lain dan tidak bukan
karena " orang" yang berada dalam posi "i " menjadi negara" akan
44 - Jumal Hukum STHG Vol. 1 No. 1 Pcbruari 2012

cenderung menggunakan pengawasan dalam kerangka relasi kuasa
seperti diandaikan oleh Michel Foucault ketika ia menganalisis praktek
penghukuman. Warga yang ada dalam kondisi seperti inilah yang
disebut Foucault sebagai masyarakat yang terdisiplinkan (disciplinary
society). (Foucaul, M, 2001:52).
Tentu saja keadaan serupa ini membawakan masalah yang cukup
serius dalam pembicaraan kedaulatan manusia. Apa yang menjadi
pertanyaan dalam pendahuluan kini terjawab sudah walaupun
jawabannya nampak sebagai sesuatu yang muram sifatnya. Kedaulatan
manusia atas dirinya ada dalam ancaman yang serius bila dihadapkan
pada modus pengawasan. Pada titik ini, ia akan berdaulat jika ia dapat
berlaku sebagai pengawas dan bukannya subjek yang diawasi.
Meskipun begitu, pada taraf yang ekstrim, pengawasan yang dilakukan
negara akan dapat diminimalisir bila konteks demokrasi dapat
ditegakkan dan dilaksanakan dengan baik.
Walaupun ada sed ikit nafas lega bila kita masih bisa berharap
dengan adanya penegakkan demokrasi, pengawasan jenis lainnya
temyata sudah menunggu di depan kita semua. Ini tiada lain daripada
yang disebut pengawasan oleh kapitalisme global. Yang melakukan
pengawasan bukan lagi negara, melainkan korporasi besar. Mereka
melakukan hampir semua yang diandaikan oleh modus pengawasan.
Seperti apakah kiranya hal ini berlaku? Ini akan membawa kita pada
seksi ketiga pembahasan makalah ini.

Kancah Kapitalisme Global dalam Modus Pengawasan
Kapitalisme mulai muncul secara intensif ketika revolusi industri
di Inggris Iahir. Jni karena pabrik-pabrik pembuatan tekstil mulai
berkembang secara massal. Apa yang terjadi adalah pengarahan
masyarakat untuk menjadi buruh pabrik besar-besaran di awal abad
XIX. Proses ini disebut oleh Jean-Paul de Gaudemar sebagai mobilisasi
absolut. Dalam konteks ini pula terjadi apa yang dinamakan
labour, waged
pendisiplinan. "On the one hand, the division セヲ@
employment, time-1.hrift, and the discipline of I.he 'factory-prison'; on
the other hand, the undermining of traditional culture (fairs, sports,
etc.), the control of social space, and the moralisation of the worliforce
Jumal Hukum STHG Vol. 1 No. I Pebruari 2012 - 45

through religion and schooling." (Robins, K, 1999: 109).
Namun, pada pertengahan abad XIX, yang terjadi adalah
mobilisasi relatif Proses ini menggantikan pola sebelumnya dengan
suatu "internal factory discipline in which technology came to play a

core role and in 'rt'hich control coincided with the goal of productivity
and swplus value extraction: the machine as dual instrument of c:omrol
and of increased productivity." Proses ini ditunjang dengan penemuan
ilmu manajemen oleh Frederick Winslow Taylor dan adanya proses
otomatisasi pabrik seperti dijalankan oleh Henry Ford.
Di abad XX, proses komodifikasi yang dilakukan kapitalisme
menjadi sangat ekstensif. Melalui teknologi informasi dan
telekomunikasi, kapitalisme telah menjadikan apapun sebagai suatu
bentuk dari komoditas yang siap dikonsumsi. Meminjam argumentasi
Andre Gorz, proses ini dijelaskan oleh Kevin Robins dan Frank
Webster sebagai berikut.

"Through the Information Revolution capital is invading the ve1y
cracks and pores セO@ social l(fe: 'the industrialisation, through
home computers, of physical and p::,ychical care and hy7iene,
children's education, cooking or sexual technique is precisely
designed to generate capitabst pNiflts from activities still le.fi to
individual.fantasy' "
Pada konteks seperti ini, kancah kapitalisme global dalam modus
pengawasan mendapatkan tempatnya yang paling pas. Penjelasan dari
Robins dan Webster mencerminkan hal ini secara eksplisit. Mereka
mengatakan bahwa: "Technologies, as they have actually existed, have

been constituted to watch and control, to control throu7h watching.
Ne-w information and communications technologies extend this
cap acity. In them is pe1.fected the ability to mobilise and control
through watching and monitoring: power expresses itse(f as
surveillance and Panopticism, now on the scale of society as a whole.
The electronic grid is a transparent structure in which activities taking
place at the periphe1y- remote working, electronic banking, the
consumption of entertainment or information, tele-shopping,
communication- are visible to the electronic 'eye' of the central
computer systems that manage the network(s). The 'technical' process
46 - Jumal Hukum STHG Vol. 1 No. l Pebruari 2012

of administrating the numerous electronic transactions is
simultaneously, and integrally, a process of observation, recording,
remembering, surveillance. The electronic worker, con.sumer or
communicator is comtantly scanned, and h;s or her needs/
preferences activities are delivered up as information to the agencies
and institutions at the heart of the network."
Namun, catatan yang paling signifikan diberikan oleh mereka
berdua adalah bahwa negara juga terlibat dalam proses ini. Negara yang
secara integral berhubungan dengan kapitalisme korporasi menebarkan
ancaman pengawasan yang luar biasa berbeda seperti yang telah
mengemuka dalam pembahasan seksi kedua. Dalam kata-kata Robins
dan Web ster, ini dirumuskan sebag,ai: " lt is worth noting that, although

this surve;//ance has been developed chiefly as an extension of market
endeavours, capital has not been entirely responsible for its spread.
The growth of the modern stale, inlegra!ly connected as if is with the
rise of corporate capitalism, has contributed independently and
massively to the expansion of surveillance."
Apalagi kalau mempertimbangkan bahwa kapitalisme global
"memiliki" institusi seperti Bank Dunia dan IMF . Melalui kedua
institusi ini mereka sccara leluasa mengendalikan pasar, juga sekaligus
aspek moneter ya ng ada di seluruh dunia. Melalui konsensus
Washington misalnya, (Danuwijaya, B, 2010). IMF dapat mendikte
suatu negara untuk mengikuti pola kapitalisme yang mereka bangun.
Ini adalah suatu pengawasan yang intens melalui aturan. Mekanisme
relasi kuasa ditentukan oleh kapitalisme yang notabene terdiri dari para
korporasi g lobal.
Bila memperhatikan ini semua, manusia sebagai individu yang
memiliki hak asasi manusia nampak sebagai seseorang yang tak
memiliki kedaulatannya sendiri Kedaulatan dalam hak asasi manusia
mungkin dipenuhi, namun tidak berlaku sebagai kedaulatan yang
diangankan oleh kaurn liberalisme sendiri, sebagai manusia yang bebas.
Ini terlihat troms mengingat kedaulatan manusia seutuhnya
diperjuangkan oleh liberalisme melalui kapitalisme itu sendiri.
Apa yang menjadi motif liberalisme bahwa " .. . it is the mandate