kemiskinan dan kapitalisme negara dan keb

Kapitalisme Global dan Kemiskinan
Kaum Neoliberalis sebagai penyokong kapitalisme global melihat kemiskinan adalah sebagai anomaly
dari system kapitalisasi, dan bukan karena kesalahan structural dari liberalisasi.Menurut Carlos Vilas,
kemiskinan dianggap sebagai patologi, bukan sebagai konsekuensi system. Akibatnya proses
pengurangan kemiskinan berada diluar kerangkan system, yakni diluar proses akumulasi dan
pembangunan ekonomi neolib. Kemiskinan yang semakin menggurita karena kebijakan ekonomi kapitalis
tersebut, hanya berupaya disembuhkan dengan m,endesain program-program social. Padahal jelas, itu
bukanlah jawaban atas persoalan kemiskinan.
Kapitalisme global semakin menguatkan kendalinya setelah sector financial mendominasi perekonomian
dunia. Menurut Dumenill dan Levy, dominasi sector financial dalam perekonomian global berawal dari
fenomena penurunan produktivitas capital. Ini dimulai, ketika Amerika mengalami kontraksi ekonomi
pada tahun 1970an ditandai dengan tingginya harga minyak serta peningkatan yang signifikan terhadap
suku bungan terhadap The FED, sector riil mengalami penyempitan ruang gerak, maka pasar financial
adalah jawabannya.
Terkait dengan isu kapitalisme global dan kemiskinan, dalam diskusi ini hanya akan dibahas dalam tiga
poin. Pertama, hutang dan krisis finansial. Kedua, “pasar” dan akses pasar. Ketiga, Hegemoni dan
konsumerisme.
A. Hutang dan Krisis Finansial
Krisis financial -speculative bubles yang diikuti kolaps- memang telah menjadi sejarah dari
keberlangsungan kapitalisme global. Krisis umumnya terjadi karena pengaruh hutang, dan secara global
ada hutang yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh swasta. Krisis Amerika latin diawal 1980-an

dimulai dari ketidaksanggupan Meksiko membayat hutangnya, dan hutang yang menyebabkan krisis di
asia lebih diakibatkan oleh Krisis di Asia lebih diakibatkan oleh hutang private, Jeffrey D. Sachs
menyebutnya sebagai krisis yang made mainly in the private, albeit under-regulated, financial markets.
Dalam tulisannya yang berjudul The Wrong Medicine for Asia, Jeffrey menyebutnya sebagai krisis yang
dimulai dengan kemunculan masalah di sektor swasta, karena ketidakbijaksanaan pengelola pasar
keuangan internasional yang mendukung investasi jangka panjang dibidang real estate dan sector nonekspor secara massiv. Hal ini kemudian mendorong dominasi sector financial. Soros dalam Open Societynya melihat ini sebagai defenciescies dari rejim kapitalisme global, bukan lagi defects. Karenanya untuk
mengobati dan mencegah krisis maka harus ada perbaikan dari rejim kapitalisme global ini. Hipotesa
bahwa krisis merupakan business cycle, tidak boleh menjadi pembiaran atas kemungkinan terjadinya
krisis.
Wade tetap melihat bahwa utang adalah prilaku yang berbahaya, menurutnya ini terlihat dari equity
rasio dengan membandingkan system yang rendah atau tingginya hutang. Trotsky menyebut ini sebagai
sebuah fenomena yang mendorong transisi dari satu epos keepos lainnya yang kemungkinan akan
menghasilkan ledakan yang berujung pada masa peralihan. Dimasa krisis, masa transisi inilah yang
kemudian menjadi ruang penyembuhan, namun akan ada cost social dan ekonomi yang besar untuk
membawa keadaan kembali normal. Yang paling sulit adalah menghancurkan tumpukan hutang itu
sendiri. Inilah salah satu bentuk market failures, berprilaku speculative dan kemudian memaksa Negara
untuk menanggung hutang tersebut. Lihat saja pada Krisis 1997, dimana sector perbankan Indonesia

ambruk, dan Negara Indonesia Negara paket BLBInya harus membayar 13 Milyar Dolar (hampir setara
dengan setengah anggaran Negara pada saat itu.

Berdasarkan sejarah, ada 4 (empat) jalan untuk “mengatasi” masalah hutang, Inflasi, bangkrut,
repayment of the debt out of cash flow, debt-to-equity swaps. Namun, keempatnya tentu mempunyai
dampak social, ekonomi dan politik,yang berujung pada backlash oleh para nasionalis dan kelompok
anti-pasar. Akar persoalan utang adalah pemberian kredit, memang kredit berperan penting dalam
pertumbuhan ekonomi. Dengan logika kapitalisme, bahwa semakin banyak investasi dapat di-levarage,
semakin tinggi rasio pengembaliannya. Namun sering kali, ini mengabaikan sifat kredit yang refleksif,
kredit padahal tidak memperlihatkan kecendrungan untuk seimbang dalam equilibrium, bahkan mungkin
factor dalam menentukan siklus boom-bust yang tidak seimbang. Karenanya kredit dapat dikatakan
sebagai sumber ketidakstabilan. Credit crunch kemudian dalam pandangan Marx akan menyebabkan
krisis dan kemudian menyebabkan kelangkaan uang, bukan “likuiditas” yang menyebabkan krisis. Kredit
menurutnya akan menjadi sumber dilemma keuangan nasional lewat, over produksinya. Dalam Capital,
Marx menjelaskannya ;
Mari kita abaikan transaksi dan spekulasi tipuan ini, yang disukai oleh sistem kredit. Dari sini,
krisis bisa dijelaskan sebagai akibat dari disproporsi produksi antara konsumsi para kapitalis dan
akumulasi mereka. Namun sebagaimana masalah tersebut ada, penggantian modal yang
diinvestasikan dalam produksi sangat tergantung pada daya konsumsi kelas-kelas yang tidak
berproduksi; sementara daya konsumsi pekerja sebagian dibatasi oleh hukum upah, sebagian
oleh fakta bahwa mereka digunakan sejauh mereka bisa dipekerjakan secara menguntungkan
oleh kelas kapitalis. Alasan pamungkas untuk semua krisis nyata selalu tetap kemiskinan dan
konsumsi massa yang dibatasi berlawanan dengan dorongan produksi kapitalis untuk

mengembangkan kekuatan produktif seakan-akan hanya daya konsumsi masyarakat membentuk
batas mereka." (Marx, Capital, vol. 3, p. 472.)
Penjelasan Marx diatas tentu akan menjelaskan pengaruh antara hutang, overproduksi, pengangguran,
kemiskinan dan kesenjangan akibat kredit, sebagai salah satu intrumen kapitalisme untuk melebarkan
dominasinya.
Baru-baru IMF melansir data, nilai kerugian akibat krisis finansial global mencapai US$ 4 triliun. Atau US$
4.000.000.000.000,-. Kalau satu dolar setara dengan Rp. 10.000,-, maka nilainya dalam hitungan rupiah
sama dengan 40.000 triliun rupiah. Ini adalah salah satu instrument biaya yang harus dikeluarkan untuk
mengatasi krisis. Belum lagi jika terjadi inflasi yang akan semakin memiskinkan rakyat, dan inflasi akan
dilakukan sebagai salah satu intrumen untuk mengurangi tumpukan hutang. Karenanya tidak salah jika
ada hipotesa bahwa kemiskinan adalah mata rantai dari kapitalisme global.
Selain itu, setelah krisis di Amerika latin, John Williamson merealease Washington Consensus yang
kemudian di adopsi oleh IMF menjadi Structural Adjustment Program (SAP), yang instrumennya semakin
menyusahkan dan memperbesar angka kemiskinan. Beberapa diantaranya yang berpengaruh langsung
pada peningkatan angka kemiskinan adalah ; Price Decontrol, Penghapusan kontrol atas harga komoditi,
faktor produksi, dan matauang. Public Expenditure Priorities, Pengurangan belanja pemerintah, dan
pengalihan belanja dari bidang-bidang yang secara politis sensitif, seperti administrasi pemerintahan,
pertahanan, subsidi yang tidak terarah, dan berbagai kegiatan yang boros ke pembiayan infrastruktur,
kesehatan primer masyarakat, dan pendidikan. Financial Liberalization, Exchange Rates, Untuk


meningkatkan ekspor dengan cepat, negara-negara berkembang memerlukan tingkat nilai tukar mata
uang yang tunggal dan kompetitif. Domestic Savings, Penerapan disiplin fiskal/APBN, pengurangan
belanja pemerintah, reformasi perpajakan, dan liberalisasi finansial sehingga sumberdaya negara bisa
dialihkan sektor-sektor privat dengan produktivitas tinggi, dimana tingkat tabungannya tinggi. Model
pertumbuhan neo-klasik sangat menekankan pentingnya tabungan dan pembentukan kapital bagi
pembangunan ekonomi secara cepat. Foreign Direct Investment, Penghapusan hambatan terhadap
masuknya perusahaan asing. Perusahaan asing harus boleh bersaing dengan perusahaan nasional secara
setara; tidak boleh ada pilih-kasih. Deregulation, Penghapusan peraturan yang menghalangi masuknya
perusahaan baru ke dalam suatu bidang bisnis dan yang membatasi persaingan; kecuali kalau
pertimbangan keselamatan atau perlindungan lingkungan hidup mengharuskan pembatasan itu.
(Sumber: Mas’oed: 2002 p. 5 – 7)
B. “Pasar” dan akses pasar
Ditangan para kapitalis, pasar tidak ubahnya epos kolonialisme. ruang ekspansi untuk mendapatkan
bahan baku dan pekerja yang murah melalui serangkaian tindakan yang eksploitatif. Untuk menjual hasil
produksi dari proses yang eksploitatif tersebut, mereka kemudian membuka pasar baru, dan begitulah
seterusnya. Melalui kolonialisasi inilah dominasi sebahagian kecil manusia atas mayoritas manusia
dilakukan, penjajahan dan penindasan inilah yang kemudian memasifkan kemiskinan. Jika siklus ini terus
dibiarkan, maka pasar tidak ubahnya menjadi ruang dimana “demolition of society”, berawal. Jika pada
era kolonialisme klasik yang berkuasa atas pasar adalah Negara-negara colonial, maka diera modern yang
mendapatkan keuntungan adalah para pemodal, terutama pemilik dari Multi National Corporate, tentu

dengan bahan baku yang murah, gaji tenaga kerja yang besar mereka akan terus merengguk untuk.
Implikasi dari bebasnya pasar tersebut adalah sulitnya akses terhadap pasar itu sendiri. Masyarakt local
akan terus terdegradasi dan semakin kehilangan kendali atas produk mereka sendiri, mereka juga akan
kalah bersaing dengan produk perusahaan besar yang sudah barang tentu jauh lebih murah. Tidak hanya
mereka para pekerja yang berada dipabrik juga akan terus dipaksa untuk bekerja dengan gaji yang
rendah. Dengan demikian mereka akan terus berada dalam siklus kemiskinan.
Selain pemodal dari luar, pasar kemudian juga akan dikuasai oleh “birokrat borjuis” dan para kroninya.
Mereka yang kemudian dengan kuasanya mengambil alih pasar milik para petani dengan pembiaran
terhdap masuknya impor barang dengan tiada terkendali. Garam, ikan, gula hampir seluruh komoditi
pokok telah diimpor, sehingga para petani, nelayan dan rakyat seperti tidak mendapatkan akses atas
pasarnya. Ketiadaan akses ini kemudian akan membuat mereka terpaksa berkerja dipabrik yang
konsekuensinya adalah mereka akan masuk lagi dalam lingkaran kemiskinan.
C. Hegemoni dan konsumerisme
Gramsci dalam Prison Notebooknya berkata “If you can occupy peoples' heads, their hearts and their
hands will follow”. Inilah yang kemudian telah dilakukan kapitalisme melalui hegemoninya. Lewat
kampanye mereka mendorong prilaku konsumtif yang kemudian juga akan berujung pada jebakan
menuju kemiskinan. Selain jebakan kemiskinan, hegemoni melalui kampanye konsumerisme juga akan
mendorong proses akumulasi capital. Inilah rumusan m-c-m 2-(Kapital-komoditi-kapital yang lebih

banyak), prilaku eksploitatif inilah yang kemudian semakin mendorong perkembangan kapitalisme dan

Karena itu, menurut Heilbroner, kapital bukanlah suatu benda material melainkan suatu proses yang
memakai benda-benda material sebagai tahap-tahap dalam eksistensi dinamiknya yang berkelanjutnya.
Kapital adalah suatu proses sosial, bukan proses fisik. Kapital memang mengambil bentuk fisik, tetapi
maknanya hanya bisa dipahami jika kita memandang bahwa benda-benda material ini mewujudkan dan
menyimbolkan suatu totalitas yang meluas.
Analisis kapital sebagai suatu proses ekspansif seperti yang diuraikan di muka, ditelaah lebih dalam lagi
oleh Heilbroner melalui pendekatan psikoanalisis, antropologis, dan sosiologis. Menurut Heilbroner,
gagasan kapital sebagai suatu hubungan sosial menyingkapkan inti hubungan itu, yaitu dominasi.
Hubungan dominasi memiliki dua kutub. Pertama, ketergantungan sosial kaum yang tak berpunya
kepada pemilik kapital di mana tanpa ketergantungan itu kapital tidak memiliki pengaruh apa-apa.
Kedua, dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital. Heilbroner melontarkan
pertanyaan: Apakah alasan pembenaran dari proses tanpa henti ini? Ia menyebutkan bahwa dorongan
ini digerakkan oleh keinginan untuk prestise dan kemenonjolan (realisasi diri) Dalam bahasa Abraham
Maslow, dorongan mengakumulasi kekayaan yang tidak puas-puas ini merupakan manifestasi aktualisasi
diri. Namun, Heilbroner mengingatkan bahwa kebutuhan afektif ini hanyalah suatu kondisi yang perlu
(necessary condition) namun belum menjadi syarat cukup (sufficient condition) untuk dorongan
mengejar kekayaan. Lalu Heilbroner menemukan bahwa kekayaan memberikan pemiliknya kemampuan
untuk mengarahkan dan memobilisasikan kegiatan-kegiatan masyarakat. Ini adalah kekuasaan. Kekayaan
adalah suatu kategori sosial yang tidak terpisahkan dari kekuasaan. Dengan demikian, hakekat
kapitalisme menurut Heilbroner, adalah dorongan tiada henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi

kapital sebagai sublimasi dorongan bawah sadar manusia untuk merealisasi diri, mendominasi, berkuasa.
Karena dorongan ini berakar pada jati diri manusia, maka kapitalisme lebih merupakan salah satu modus
eksistensi manusia. Mungkin inilah sebabnya mengapa kapitalisme mampu bertahan dan malah menjadi
hegemoni peradaban global.
Tiga varian diatas adalah sedikit dari korelasi antara kapitalisme global dan peningkatan angka
kemiskinan, dengan pembahasan yang sangat sederhana. Sangat berasalan kemudian jika ada beberapa
analis yang menyebutkan bahwa untuk mereduksi kemiskinan maka yang harus dirombak adalah
struktur kapitalisme itu sendiri,berdaulat atas kekayaan alam sehingga menghindari pembangunan yang
berbasis hutang yang berujung pada krisis dan menguasai pasar sehingga affirmative commodity dari
masyarakat local dapat tertampung.
Sumber :
Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme, (terjemahan), LP3ES, Jakarta, 1991.
International
Marxist
Tendency,
In
defence
of
Marxism
(online),

2002,
, accessed 21 April
2012.
G.Dumenill and D.Levy, Capital Resurgent ; Roots of the Neoliberal Revolution, Harvard University Press,
London, 2004
G.Soros, Open Society ; Reforming Global Capitalism,2nd edn, Edisi Bahasa Indonesia, Diterjemahkan oleh
Sri Koesdiyantinah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007