dan tuhan tidak bermain dadu

DAN TUHAN TIDAK BERMAIN DADU
REVIEW
Diajukan untuk memenuhi tugas Mandiri
Mata kuliah : Keterpaduan Islam dan Iptek
Dosen : Edy Chandra, M.Si. M.A

Disusun oleh :
AZZAH FARIHAH
59461260

Tarbiyah / Biologi-D / VII

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2012

A. IDENTITAS BUKU

Judul Buku : DAN TUHAN TIDAK BERMAIN DADU
Pengarang : keith ward
Pemerjemah : Larasmoyo

Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, 2002
Terbitan Oneworld, Oxford : 1996
Jumlah Halamn Buku : 287 Halaman
Jumlah Bab : 10 Bab
Tentang Buku: Buku ini sebuah kritik yang cerdas, gamblang, dan mengena
terhadap kaum ateis reduksionis. Sebuah perdebatan antara teisme dan
materialisme dalam format yang canggih.

B. REVIEW

Asal Muasal Alam Semesta
Menurut pengetahuan terkini dalam fisika modern, planet bumi
kita yang mengelilingi matahari, sebuah bintang berukuran sedang,
terbentuk jutaan tahun lalui debu-debu bintang. Gugus galaksi bintangbintang tempat matahari kta berada merupakan satu dari jutaan galaksi
yang terbesar pada sistem ruang-waktu yang berkembang dari ledakan
energi miliaran tahun lalu. Kosmos maha luas ini, yang menakjubkan baik
dari keindahan maupun keluasannya, berawal dari ledakan energi tiba-tiba
dari suatu singularitas, yakni sebuah titik dengan kerapatan dan gaya
gravitasi yang tak terhingga yang meledak pada “ Dentuman Besar” (Big

Bang) purba.
Lalu muncul pertanyaan , lalu apa yang ada pada titik awal mula
semesta? Mengapa itu terjadi, dan mengapa mengambil bentuk semesta
seperti yang sekarng ada? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang
menyibukkan umat manusia semenjak dahulu. Ada tiga kemungkingan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pertama, sederhana saja,
tidak ada penjelasan apa pun. Semesta ada begitu saja, tanpa alasan, dan ya
hanya itu. Kedua, semua terjadi karna satu keniscayaan. Tak ada alternatif
lain. Ketiga semesta diciptakan oleh Tuhan demi tujuan tertentu. Mereka
yang tidak percaya adanya Tuhan mau tak mau harus mengambil dua
laternatif jawaban pertama.
Tidak satupun dari ketiga alternatif itu mengharuskan bahwa alam
semesta tidak ada titik awalnya. Sekalipun sebagin besar ilmuan menerima
bahwa semesta, ruang-waktu ini, memang punya titik awal eksistensinya,
mungkin ada saat-saat lain ketika ekspensi dan kontraksi ruang-waktu
pernah terjadi, dan karena itu mungkin waktu sudah selalu ada, tanpa titik
awal.

Stephen Hawkng, agak naif ketika dia mengatakan, “ sejauh
semesta ada titik awalnya, kita dapat mengira ada penciptanya. Namun,

seandanya semesta benar-benar sepenuhnya mencukupi pada dirinya
sendiri, tidak memiliki batas atau titik ujung, semsta tidak memiliki baik
titik awal maupun akhir, semsta hanya sekedar ada. Kalau begitu dimana
tempat bagi sang pencipta? “ Dia menyajkan gambaran tentang semesta
tanpa ruang bagi Tuhan, yang telah didekapi keluar dari alam semesta oleh
hukum-hukum alam universal.
Sesungguhnya Dentuman besar tidaklah sederhana itu. Alam
semesta mulai mengembang dalam rangkaian yang sangat teratur, seturut
kelompok konstanta dan hukum matematis yang mengatur perkembangan
berikutnya menjadi alam semesta yang kita lihat sekarang. Di dalamnya
sudah ada rangkaian hukum-hukum kuantum yang sangat kompleks yang
mengatur kemungkinan interaksi partikel-pertikel elementer, dan alam
semesta, menurut salah satu teori utama, dibentuk oleh operasi fluktuasi
dalam medan kuantum seturut hukum-hukum tersebut.
Ketika seseorang mempertimbangkan seluruh elemen yang terlibat
dalam Dentuman Besar, mulai tampak bahwa peristiwa itu merupakan
peristiwa yang sangat kompleks, dan sama sekali bukan fakta elementer
yang sederhana. Karena itu, tetap perlupenjelasan yang memadai.
Mengatakan bahwa semseta yang begitu kompleks dan teratur itu mengada
tanpa sebab atau alasan adalah sama saja dengan menyerah dan

mengatakan bahwa semua hal bisa terjadi, bahwa tidak perlu bersusah
payah mencari alasan . dan itulah lonceng kematian sains.
Alam Semesta Dapat Sepenuhnya Dipahami
Dengan demikian, beberapa fisikawan, seperti Steven Weinberg,
yang tidak suka pada kemungkinan “sekedar kebetulan”, sesuatu yang
sama sekali tidak dapat dipahami secara rasional, mengajukan jawaban
utama kedua tentang asal muasal alam semesta. Mereka menganggap

bahwa semesta ada bukan karena kebetulan, melainkan keniscayaan, dan
karenanya dapat, pada perinsipnya, dipahami sepenuhnya.
Jelas nampak bahwa Dr. Atkins bermula dengan keyakinan yang
hampir sama seperti iman religius, suatu postulat fundamental mengenai
semesta yang dapat dpahami, yang indah, dan harmonis (secara
matematis), serta kemungkinan pemenuhan dorongan manusiawi untuk
memahami lingkungannya yang paling dasar. Kaum monoteis dengan
segera dapat melihat keyakinan seperti itu adalah imam mereka sendiri,
dan dapat mengklaim, tanpa menipu dri, bahwa keyakinan dalam sains,
dalam struktur rasional alam, secara historis didorong kuat oleh iman pada
Tuhan yang Mahabijak yang memberi struktur seperti itu.
Dunia Abstrak Fisika, The Fallacy Of Misplaced Concreteness

Tugas ilmiah pertama adalah memisahkan elemen-elemen itu
hingga dapat dikuantifikasi dan dhubung-hubungkan dalam fsika Newton,
elemen-elemennya adalah massa, posisi, dan waktu. Alam sangat baik
pada kita, karna mengandung elemen-elemen yang saling terhubung dalam
relasi-relasi konstan dan secara matemats dapat dikuantifikasikan. Ini
memampukan kita mencapai kemampuan prediksi dan kontrol atas prosesproses fisik.
Hubungan Antara Matematika dan Dunia
Yang mengajukan pandangan bahwa “ realitas fsik adalah
matematika dan matematika adalah realitas fisik.”identifikasi dua hal yang
berbeda ini merupakan bentuk paling ekstrim yang dapat diperoleh oleh
seseorang. Ranah matematika merupakan ranah universalitas yang niscaya,
abadi, abstrak, dan persis. Sementara ranah fisika merupakan ranah
partikularitas yang kontingen, temporal, konkret, dan tak terduga.
Sebagian filosof menemukan salah satu misteri seni filosofisnya adalah
dalam menentukan cara yang tepat untuk menggambarkan hubungan
dantara kedua ranah itu.

Batas-Batas Pemahaman Manusia
Keterbatasan manusia yang sangat penting adalah bahwa intelek
kerja secra diskursif. Maksudnya, intelek tidak dapat menangkap hal-hal

dalam satu pengalaman yang melingkupi segalanya. Intelek harus
mempertimbangkan satu demi satu, membuat secara teratur dari satu unsur
ke unsur lainnya. Suatu intelek yang komprehensif, seperti milik Tuhan,
mampu memahami segala hal dalam satu tindakan intuitif, nonddiskursif.
Tuhan tidak perlu menarik kesimpulan atau membuat ekstrapolasi, karena
Dia mengetahui segalanya dalam partkularitas penuhnya melalui
pemahaman langsung. Pengetahuan seperti itu tidak mungkin bagi
manusia. Jadi, inilah aspek lain ketika pikiran manusia tidak akan pernah
mampu memahami segalanya secara utuh, dalam seluruh kepenuhannya,
seperti yang sesungguhnya.
Sesuatu dari Ketiadaan, Empat Jebakan Logis
Jebakan logis pertama, mencapai kesimpulan bahwa semesta yang
sangat kaya dan kompleks ini sesungguhnya merupakan “reorganisasi
ketiadaan yang menakjubkan.” Ini adalah klaim yang terjadi ketika
seseorang berkata bahwa tiada yang ada, yang tmaksud adalah setidaknya
ada sesuatu, yakni tiada itulah yang ada.
Jebakan logis kedua adalah mengatakan bahwa karena yang tiada
itu ada, maka dapat memiliki banyak sifat, sejauh sifat-sifat ini saling
menadakan satu sama lain, seperti angka “1” dengan “-1”, atau seperti
kubu positif dengan negatif dalam listrik, atau seperti materi dengan

antimateri. Jad, “tiada” ternyata mengandung suatu kesetimbangan gayagaya yang tak terbatas yang setara dan bertentangan.
Jebakan logs ketiga adalah mengira bahwa, karena gaya-gaya yang
banyak dalam kesetimbangan ini ada, maka fluktausi dapat lahir di
dalamnya, semntara ketidak seimbangan kecil senantiasa ada. Dalam
bentuk itu, menurut Atkins, sesuatu (gaya kecil posistif atau negatif) dapat

muncul, secara acak, dari sesuatu yang secara absolut tiada. Untuk
menolak jebkan ini, seseorang perlu memegang teguh pikiran bahwa ada
medan kuantum, maka jelas tidaklah mungkin “tiada yang absolut” itu.
Jebakan keempat adalah pandangan bahwa salah satu fluktuasi
tersebut dapat melahirkan ruang-waktu empat dimensi hingga tdak lagi
dibutuhkan Sang Pencipta, dan orang dapat melihat bahwa semesta berasal
dari ketiadaan dan mengandung ketiadaan.
Bagaimana Beberapa Kemungknan Tidak Mungkin
Boleh jadi, apa yang diusulkan Atkins adalah, dalam waktu yang
tak terbatas, semesta yang serba mungkin ini akan terwujud, cepat atau
lambat, hinggga merupakan kebetulan tanpa tujuan yang pada akhirnya,
secara niscaya, akan mewujudkan semesta ini. Namun, “sebelum”
keberadaan ruang-waktu semesta ini, kita tidak memiliki waktu yang tak
terbatas, atau bahkan tidak memiliki waktu sama sekali.

Memotong Jebakan Kosmik
Bagi sebagian besar kita, bagaimanapun juga, tidak ada tang lebih
jelas ketimbang kenyataan bahwa semsta itu sesuatu yang ada, bukan
ketiadaan. Dan saya dapat memahami kekuatan pandangan kuno itu,
yang membuat orang berfikir bahwa segala yang aktual harus, entah
disebabkan oleh sesuatu yang aktual dan dengan sedikitnya meliki
aktualitas yang sama di dalamnya, atau sesuatu yang sedemikian rupa
hingga tidak dapat disebabkan oleh apapun.
Kemana Semesta Bergerak
Entropi dan Tujuan
Apabila semsta diciptakan oleh Tuhan, maka jelas semesta memiliki
tujuan. Jika seseorang memandang semesta, akan jelas terlihat bahwa
semesta merealisasikan banyak hal yang berharga, penciptaan dan

komplentasi terhadap Simfoni kelima

Beethoven, salah satunya.

Pertanyaan sebenarnya bukanlah apakah pada akhirnya semesta akan
hancur, yang memang mungkin begitu, tetapi apakah sesuatu seperti

simfoni dapat dipandang sebagai sesuatu yang dicita-citakan sejak titik
awal semesta. Jika benar, maka itu direncanakan oleh akal kosmik.
“Apabila atom-atom yang ada diikat sedikit saja lebih longgar, atau sedikit
lebih kuat, semesta akan kehilangan unsur kimiawinya, apabila gaya
elektrik sedkit saja lebih kuat dari yang ada, evolusi tidak akan mencapai
organisme

sebelum matahari lenyap. Apabila semua ini sedikit lebih

lemah,bntang-bintang tidak akan mempunyai planet, dan tak ada yang tahu
bagaimana kehidupan.
Hampir seluruh filsuf klasik seperti Plato, Aristoteles,Descartes,
Hegel,dan Berkeley berpandangan bahwa alamsemesta berasal dari suatu
realitas yang transenden. Kaum pemikir agama juga memandang bahwa
objek yang mereka sembah sebagai Tuhan adalah yang menjadikan alam
semesta. Karena itu, semesta bukanlah realitas yang independen,
melainkan berasal dari sumber spiritual di luar dirinya. Pandangan itu
tidak saja ada pada rumpun agama Semit, tetapi juga pada sebagian besar
tradisi dari India. Namun, pada abad ke-20, lahir gerakan baru yang
dengan percaya diri mengklaim bahwa teisme semacam itu sudah usang:

teori tentang penciptaan tidak lagi dibutuhkan, dan kebenaran ilmiah
dipertentangkan dengan kepercayaan agama.
Gerakan itu semakin tegas ketika Nietzsche menabuh genderang
"Tuhan sudah mati" dan August Comte mengumumkan bahwa sains
positivistik yang berdasar pada data empiris telah menyingkirkan mitologi
agama. Lalu, terbukalah jalan bagi kaum ateis yang kebetulan seorang
ilmuwan. Mereka semakin menegaskan bahwa sains memang bertentangan
dengan agama.

Buku yang ditulis oleh Keith Ward ini melucuti bangunan
pemikiran dunia sains yang melakukan penyingkiran agama dan Tuhan
serta penentuan kebenaran yang dilakukannya. Ward melihat bahwa
sebentuk materialisme yang sepenuhnya memusuhi agama dan mengolokolok gagasan tentang tujuan objektif dan makna semesta telah menjadi
mode di kalangan sebagian ilmuwan.
Kaum ilmuwan ternama, seperti Stepen Hawking, Richard
Dawkins,

Jacques

pandangannya


yang

Monod,
telah

dan

Peter

dibukukan,

Atkins
secara

dengan
terbuka

berbagai
mengejek

kepercayaan religius. Kita lihat misalnya teori kosmologi kuantum,
sebagaimana direpresentasikan Jacques Monod, yang menegaskan bahwa
manusia dan makhluk hidup lainnya adalah produk rangkaian kebetulan
belaka.
Ahli biokimia Prancis pemenang hadiah Nobel 1965 itu lewat
bukunya Le Hasard et La nicessitiberargumen bahwa asal usul kehidupan
dan juga proses evolusi sebagai kelanjutannya adalah hasil dari kebetulankebetulan belaka. Hanya kebetulan itulah, menurutnya, yang menjadi
sumber setiapinovasi dan setiap kreasi di dalam biosfera. Melengkapi
pandangan itu, Stephen Hawking dan James Hartle mengajukan teori jagat
raya yang radikal: bahwa awal jagat raya bukanlah singularitas yang tajam,
melainkan suatu lengkungan waktu. Dengan nada provokatif ia
mengatakan, "Bila alam semesta adalah sesuatu yang mandiri, tanpa batas
atau ujung, hal itu tak mempunyai awal dan akhir; dia semata-mata hanya
ada. Di manakah sekarang tempat Sang Pencipta?".
Klaim kosmologis semacam itu jelas menegaskan bahwa gagasan
tentang Tuhan setidaknya tak berguna atau bahkan suatu konstruksi yang
irasional. Dalam kaitan itu, ada dua medan utama yang menjadi perhatian
dan kritik Ward dalam buku ini. Pertama, pandangan tentang kemunculan
alam semesta dari ketiadaan menurut teori kosmologi kuantum. Kedua,

pandangan tentang kehidupan menurut teori evolus Darwin seperti
ditafsirkan oleh para neo-Darwinis.
Fisika modern yang secara teologis sebagian sepertinya merajuk
pada gagasan ateisme itu, sebenarnya telah digugat oleh para ilmuwan
terkenal lain, seperti Chris Isham, Paul Davis, dan John Polkinghorne.
Ward dalam kasus ini dengan tegas menolak pandangan materialistik yang
digunakan sebagian ilmuwan untuk menafsirkan teori kosmologis
kuantum dan teori evolusi biologis. Ia mempertanyakan: jika teori
kosmologis kuantum, seperti dilansir Hawkingdan Monod itu benar, di
manakah sebenarnya hukum-hukum alam yang dinyatakan oleh persamaan
matematik teori tersebut berada sebelum alam semesta muncul? Jelasnya
tentu bukan dalam ketiadaan karena hal itu merupakan kontradiksi logis.
Di situlah Ward menunjukkan bahwa argumentasi kaum materialis itu
runtuh justru dengan teori kosmologi kuantum, karena menurut mereka,
hukum alam tidak lain dari sifat material di alam semesta.
Teori itu bagi Ward justru memperkuat pandangan teisme bahwa
semesta ada karena diciptakan Tuhan. Dan hukum-hukumnya juga dariNya. Dalam soal seputar teori Darwin, Ward juga melontarkan kritikkritiknya yang tajam. Pernyataan dalam episteme Darwinian bahwa variasi
genetik dan seleksi lingkungan adalah acak tanpa tujuan di satu sisi, dan
kenyataan bahwa evolusi menunjukkan peningkatan kompleksitas di sisi
lain adalah satu kontradiksi. Sebab, kompleksitas manusia yang berpikir
dan kemauan bebas, menurut Ward, tidak mungkin dihasilkan dari evolusi
acak.
Kenyataan evolusioner semacam ituhanya bisa dipahami secara
logis jika variasi dan seleksi itu mempunyai tujuan. Paham teleologis yang
dibangun Ward itu jelas mengantarkan kritik-kritiknya itu pada kesimpulan
teistik. Seperti diakuinya sendiri, Ward sebenarnya menerima pandangan
bahwa kehidupan di bumi dan bahkan seluruh alam semesta, telah

berevolusi dari kondisi-kondisi fisik sebelumnya yang lebih sederhana.
Tetapi konfliknya, menurutnya, terletak pada bagaimana evolusi itu
berlangsung: apakah melalui kesemena-menaan yang buta atau oleh
bimbingan Ilahi. Dengan bukti-bukti yang ada, Ward dengan tegas
mengatakan bahwa pandangan yang kedua itu yang lebih bisa
dipertanggungjawabkan. Dengan kritik-kritiknya di atas, Ward ingin
menegas-kan bahwa sebagian ilmuwan dengan pandangan ilmiahnya telah
meletakkan sains modern jauh dari altar kebenaran Tuhan, yang kemudian
menjadikannya ateis. Mereka itu bagi Ward memiliki pandangan yang
sangat terbatas mengenai apa kebenaran karena mereka beranggapan
bahwa kebenaran hanya terletak pada apa yang dapat diukur dan diuji
secara eksperimental.
Jalan satu-satunya untuk mencapainya adalah melalui analisis dan
pengamatan. Itulah rancangan naturalisme yang telah menyembunyikan
ide tentang yang transendental. Buntutnya, muncul semacam barbarisme
saintifik: segala kajian (humaniora, kesusastraan, seni, sejarah dan yang
lain) dianggap sebagai upaya sia-sia yang menghamburkan waktu, dan
pada saat yang sama refleksi dan kontemplasi menjadi memudar.
Ateisme, yang dulu berlindung di balik spekulasi nonilmiah dan
kini telah berwajah saintisme, seperti terlihat pada sosok Hawking,
Richard Dawkins, Peter Atkins, dan Michel Ruse, oleh Ward dikritik
dengan jawaban-jawaban yang meyakinkan.
Lewat buku ini, Ward menegaskan bahwa tafsiran teistik mengenai
evolusi dan penemuan sains alam jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan
dan postulat tentang Tuhan, dengan akibat logisnya mengenai tujuan dan
makna objektif, merupakan pandangan terbaik dan meyakinkan yang
mampu memberi penjelasan mengapa alam semesta ada seperti sekarang.
Yang diserang Ward dalam kasus itu, seperti ditegaskan Armahedi
Mahzar,

bukan

sains,

melainkan

interpretasi

ideologis

yang

membungkusnya atau paradigma filosofis yang mendasarinya. Sebagai
seorang teolog, Ward tampak ingin menyelamatkan dunia sains dari saintis
yang dengan pongah menepuk dada dan ramai-ramai "mengasingkan"
bahkan "membunuh" Tuha dari kesadaran dunia sains."

C. KOMENTAR

Pemikiran mereka telah mengalami “sekularisasi” yang mana ini di
awali oleh para ilmuan modern. Dahulu penjelasan ilmiah harus meliputi
empat sebab sebagaimana yang diungkapkan Aristoteles yaitu: efisien,
materil, formal dan final. Sementara para ilmuan modern melepas sebab
formal dan final karena dianggap berkenaan dengan makna, padahal kajian
ilmiah harus hanya berkaitan dengan fakta dan realitas. Yang mana
menurut mereka dimensi makna berkaitan dengan kepercayaan atau
agama.
Maka tidak mengherankan jika kemudian banyak para ilmuan
brilian yang masih mengakui eksistensi Tuhan. salah satunya adalah Albert
Einstein dengan ungkapan metaforiknya yang terkenal tentang ciptaan
alam semesta”Tuhan tidak bermain dadu”. Yang kemudian menjadi judul
buku yang ada di tangan pembaca ini.
Mungkin bisa di katakan buku ini adalah sebagai buku tandingan
dari bukunya seorang saintis yang pernah meraih Nobel 1965 pada bidang
fisiologi dan kedokteran, yang berjudul Chance and Necessity yaitu
Jacques

Monod,

dalam

bukunya

ia

menjelaskan

bahwa”hanya

kebetulanlah yang merupakan sumber setiap inovasi dan setiap kreasi di
dalam biosfera. Kebetulan murni, yang mutlak bebas tetapi buta, itulah
yang berada pada akar bangunan besar bernama evolusi”. Dimana pada
saat itu mampu menggesar paradigma pemikiran dan mementahkan teoriteori yang berkembang pada saat itu.