Studi Kerentanan Gerakan Massa Batuan dan Daerah Rawan Longsor Lahan di Kabupaten Purworejo

  

STUDY KERENTANAN GERAKAN MASSA BATUAN DAN DAERAH RAWAN LONGSOR

LAHAN DI KABUPATEN PURWOREJO

(Study of Mass Movement And Critical Landslide On Purworejo District)

  

Sutarno

  Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

  

Contact Author : sutarno.uns@gmail.com

ABSTRACT

  The objective of the research is to study of mass movement and critical landslide

area and also agricultural area degradation in Purworejo. Research method use in the

cheking the real condition and also deviation occuring in the field.

  The research result was the critical area of mass movement and landslide

concentrated hilly and mountainous area spreading the nortern and eastern area at 9

Sub District Bruno, Kaligesing, Bagelen and some part of Bener, loano, Pituruh, kemiri

and somepart of Purworejo City Sub District. The cause of the mass movement and

critical landslide area is the very steep topography used for mixed agriculture area and

high intensity rain. The protection conducted is by guidance for society to implement

concervation and replanting and also to relocated the resettlement to a safety area.

  Keywords : topography, presipitation, mass movement/ land slide PENDAHULUAN

  Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Morfologi lahan di muka bumi bervariasi dari datar hingga pegunungan. Perbedaan morfologi berakibat pada gradasi suhu dan penyebaran curah hujan. Penyebaran curah hujan yang tidak merata pada morfologi dan ketinggian yang berbeda menyebabkan perkembangan tanah tempat satu dengan yang lain berbeda- beda ketebalannya.

  Yang dimaksud daerah rawan bencana lahan longsor adalah suatu daerah yang dimungkinkan akan terjadi adanya gerakan massa batuan dan lahan serta terdegradasinya lahan pertanian. Karakteristik fisik-mekanik setiap massa batuan/ tanah terbentuk sebagai sifat bawaan (genesis). Dalam proses pembentukan suatu morfologi perbukitan termasuk lereng-lerengnya, massa batuan/ tanah menentukan ukuran geometris morfologi lereng yang dibentuknya, bisa curam atau landai. Massa batuan yang kuat dan resisten terhadap pelapukan, yakni bernilai parameter ketahanan yang tinggi mampu membentuk profil lereng yang curam dan panjang, sebaliknya massa batuan/ tanah yang berketahanan rendah hanya mampu membentuk lereng yang landai dan pendek-pendek (Zakaria 2010). Tanah longsor atau gerakan tanah adalah gerakan massa batuan atau tanah pada suatu lereng karena pengaruh gaya gravitasi. Gerakan masa batuan atau tanah terjadi karena adanya gangguan terhadap kesetimbangan gaya penahan (shear

  strength) dan gaya peluncur (shear stress) yang bekerja pada suatu lereng.

  Ketidakseimbangan gaya tersebut diakibatkan adanya gaya dari luar lereng yang menyebabkan besarnya gaya peluncur pada suatu lereng menjadi lebih besar daripada gaya penahannya (Naryanto 2011). Kekerasan dan kekuatan serta kekompakan batuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kemantapan lereng. Pelapukan batuan menunjukkan mudah tidaknya batuan terganggu oleh kekuatan dari luar, sehingga semakin lapuk batuan semakin rentan terhadap gerakan (Pangluar dan Nugroho,1989. dalam Harjana. 1992). Beberapa ahli yang lain menyebutkan faktor yang menyebabkan gerakan massa/ rawan bencana longsor (Sampurna, 1976 dan Prakoso, 1988) yaitu yang bersifat geologi dan non geologi. Faktor geologi adalah morfologi, struktur geologi, stratgrafi, dan jenis batuan. Faktor non geologi yaitu aktifitas manusia yang berupa pembuatan tebing jalan, penggundulan hutan, pengolahan tanah dan sebagainya.

BAHAN DAN METODE

  3 S pecah oleh pukulan lemah palu geologi

  Sumber : Dackombe and Gardener. 1983

  5 SL = sangat lunak, L =lunak, S=sedang, K=keras, SK =sangat keras

  5 S L mudah dipotong dengan tangan

  4

  4 L dapat dipotong dengan pisau

  3

  Berbagai penyebab terjadinya gerakan massa (tanah dan batuan) adalah topografi, geologi, tanah, penggunaan lahan dan iklim (curah hujan). Begitu pula kandungan air tanah pun yang terjadi akan berbeda dan mengakibatkan kepadatan penduduk yang berada diatasnya pun berbeda- beda. Hal tersebut juga berdampak pada tingkat ketersediaan hara dan tumbuh tanaman berbeda pula. Tingkat kerentanan terhadap bencana longsor/ gerakan massa untuk daerah berbukit hingga bergunung akan lebih rentan.

  Tujuan penelitian adalah mengkaji gerakan massa (batuan dan tanah) serta daerah rawan longsor dan degradasi lahan pertanian serta arahan RLKT dan konservasinya daerah Purworejo

  2 K pecah oleh sekali pukulan palu geologi

  1

  1 S K pecah oleh berkali-kali pukulan keras palu

  Tabel 1. Kriteria Penilaian Pengharkatan Kekuatan Batuan No Klas Uji Lapang Batuan Skor

  Penelitian dilakukan dengan uji lapang pada unit lahan yang diperoleh dari metode overlapping peta-peta: peta geologi, peta kemiringan lereng, peta perkiraan hujan, peta penggunaan lahan, peta jenis tanah. Variabel dependen atau variabel output/ variabel indogen adalah kerentaan massa batuan dan longsor lahan. Sedangkan variabel independen/ variabel eksogen (Sugiyono.2007) adalah a). kekuatan batuan, b). Kemiringan lereng, c).kedalaman batuan lepas,

  Bahan – bahan yang digunakan adalah dengan mengumpulkan data-data sekunder dan peta-peta seperti : peta administrasi, peta kemiringan lereng, peta perkiraan hujan, peta geologi, peta penggunaan lahan , peta jenis tanah.

  2 Tabel 2. Kemiringan Lereng

  Tabel 5. lahan/ penutup

  Penggunaan

  Lahan No Klas Slope % Skor

  1 L 0 - 8

  1 No Penggunaan Lahan/ Skor

  2 M 8 - 15

  2 Penutup Lahan

  3 AC 15- 25

  3

  1 Hutan

  1

  4 C 25 -40

  4

  2 Perkebunan

  2

  5 SC >40

  5

  3 Pemukiman, sawah

  3

  4 Kebun campuran

  4 L= landai; M=miring; AC=agak curam

  5 Tegalan, semak, tanah

  5 C;=agak curam; C=Curam, SC = sangat kosong curam. Sumber : Van Zuidam, 1983 dengan Sumber: Prakoso. 1988 modifikasi

  Tabel 6. Faktor Curah Hujan Tabel 3. Kriteria Penilaian Kedalaman

  No Kelas Curah hujan Skor Material Lepas

  (mm)

  No Kelas Kedalaman cm Skor

  1 R < 2000

  1

  1 SDL >150

  5

  2 S 2000 – 2500

  2

  2 DL 100 – 150

  4

  3 AB 2500 – 3000

  3

  3 S 50 – 100

  3

  4 B 3000 – 3500

  4

  4 DK 25 – 50

  2

  5 SB >3500

  5

  5 SDK < 25

  1 R= rendah, S= Sedang, AB= agak besar, B= SDL=sangat dalam, DL= Dalam, S=sedang, Besar, SB sangat besar. DK =dangkal, SDK= sangat dangkal.

  Sumber: Sutrihadi.1995 Sumber : Zuidam, et al.1979

  Tabel 7. Tingkat kerentanan Gerakan Massa/ longsor lahan

  Tabel 4. Kriteria Penilaian Permeabilitas Tanah

  No Jumlah Tingkat Ket

  Permeabilitas Skor Kerentanan No Kelas Skor cm/jam

  (harkat)

  1 L- SL <0,5

  1

  1 6-10

  I KSR

  2 L- AL 0,5 – 2,0

  2

  2 11-15

  II K R

  3 S 2,0 – 6,25

  3

  3 16-20

  III K S

  4 AC 6,25 – 12,25

  4

  4 21-25

  IV K T

  5 AC-SC >12,25

  5

  5 26- 30

  V K S T

  L = Lambat, SL =Sangat Lambat, AL = Agak KSR=kerentanan sangat rendah Lambat, S= Sedang, AC = Agak Cepat, SC = KR=kerentanan rendah KS=kerentanan Sangat Cepat. sedang; KT=kerentanan tinggi; Sumber : Karmono M., 1981 dalam KST=kerentanan sangat tinggi Sutrihadi 1995. Sumber : perhitungan

  d).Permeabilitas Tanah, e). Penggunaan Lahan , f). Curah hujan. Untuk ceking

HASIL DAN PEMBAHASAN

  lapang digunakan acuan pedoman kriteria Kabupaten Purworejo terdiri dari ukuran yang tersaji pada beberapa tabel dataran tinggi dan dataran rendah yang

  o

  termasuk untuk menskor hubungan terbentang antara 109 47’ 28” BT –

  o o

  antara faktor kepekaan gerakan masaa 109

  8’20” BT dan 7 32’LS dengan luas batuan dan rawan longsor lahan 103.482,612 ha. Kabupaten Purworejo terdiri dari 16 Kecamatan dengan ketinggian tempat 0 – 325 m dpl. Kabupaten Purworejo secara garis besar terdiri dari 16 kecamatan.

  Pannekoek dalam Basri B.1991, mengatakan bahwa morfologi zone Selatan Jawa Tengah kurang lebih berupa plato berlereng miring kearah selatan menuju laut Hindia dan sebelah utaraberbentuk tebing patahan yang telah terkikis sehingga kehilangan bentuk platonya. Zone selatan sebagian telah tertutup oleh dataran aluvial akibat adanya penenggelaman/ penurunan zone plato sampai dibawah permukaan laut.

  Secara garis besar daerah Purworejo dapat dibedakan menjadi dua. Pertama : Morfologi perbukitan hingga pegunungan > 25% menempati daerah Purworejo sebelah utara dari barat hingga ke timur dan bersambung hingga bagian timur dari utara sampai selatan. Diantaranya adalah Kecamatan Kaligesing, Kecamatan Bruno, Bagelen dan sebagian besar Kecamatan Pituruh, Kecamatan Gebang, Kecamatan Bener, Kecamatan Loano dan sebagian kecil Kecamatan Purworejo dan Kecamatan Kutoarjo bahkan pada tempat-tempat tertentu lebih dari 45 %.

  Geologi daerah ini didominasi oleh batuan ini terdiri formasi breksi, formasi peniron, formasi Jonggrangan, formasi Dasit, formasi Andesit, formasi Halang, Formasi Sentolo, formasi Kebobutak. Kecamatan Kutoarjo juga ada perbukitan yang didominasi formasi Peniron.

  Daerah ini didominasi oleh tanah- tanah latosol coklat tua dan latosol coklat kemerahan, latosol merah kekuningan serta tanah lithosol. Penggunaan lahan daerah ini adalah kebun campuran, hutan dan ladang.

  Kedua: Dataran rendah Purworejo menempati bagian tengah, barat dan selatan diantaranya Kecamatan Kutoarjo, Banyu Urip, Purwodadi, Butuh, Bayan, Ngombol, Grabag, sebagian Kecamatan Purworejo dan Kecamatan Kutoarjo.

  Dataran ini didominasi dari bahan alluvium sedangkan daerah pesisir pantai didominasi endapan pantai. Daerah penelitian bagian barat didominasi tanah assosiasi glei humus dan alluvial kelabu. Untuk dataran bagian tengah didominasi tanah alluvial kelabu, tanah latosol coklat kemerahan dan latosol coklat tua. Daerah pesisir pantai didominasi oleh tanah regosol coklat dan daerah dekat garis pantai adalah tanah regosol kelabu. Lahan daerah ini digunakan untuk sawah, pemukiman maupun kegiatan ekonomi dan jasa. Gambar 1. Peta Rawan Bencana Longsor dan Degradasi Lahan di Kab. Purworejo Secara mekanika tarjadinya pelapukan akan mengurangi terjadinya kekuatan geser batuan dan akan memacu proses gerakan massa. Dari overlapping beberapa peta kemiringan lereng, peta penggunaan lahan, peta geologi dan peta tanah dan peta hujan ditemukan peta data-data bentuk lahan dan gerakan massa batuan dan tanah longsor sementara.

  Untuk kajian evaluasi medan terhadap kerentanan gerakan massa tanah dan batuan/ longsor lahan digunakan unit lahan/ satuan medan. Pada penelitian ini secara garis besar kerentanan gerakan massa / longsor lahan dibedakan menjadi 5 (lima) kelas pengharkatan. Cara penghakatan adalah sebagai berikut dari penjumlahan semua pengharkatan sejumlah nilai 30 dan nlai terendah adalah 6. Menggunakan rumus I = R/N , maka I = (30)/6 =5. Dari data tersebut untuk acuan pengharkatan tentang kerentaan gerakan massa tanah/ batuan dan longsor lahan termasuk pula degradasi lahan pertanian.

  Selanjutnya ceking lapangan diperoleh bahwa wilayah yang rawan bencana longsor terletak didaerah

  Purworejo bagian utara dan bagian timur, meliputi beberapa kecamatan yaitu: Kecamatan Purworejo, Kaligesing, Loano, Bener, Gebang, Kemiri, Pituruh dan Bagelen. Daerah tersebut merupakan daerah perbukitan terkikis sedang hingga kuat pada bentukan batuan formasi Peniron, formasi Halang, batuan andesit dan formasi kebobutak. Sedikit formasi Sentolo dan formasi jonggrangan. wilayah ini memiliki kemiringan antara miring hingga sangat terjal. Untuk Kecamatan Pituruh merupakan kecamatan dengan jumlah desa terbanyak merupakan daerah paling rawan. Penyebab longsor di daerah ini adalah kemiringan lerengnya terjal hingga sangat terjal. Harjadi dan Paimin (2013) menambahkan bahwa daerah Purworejo memiliki kemiringan lereng yaitu > 45%, hasil tersebut lebih tinggi daripada Karanganyar yang juga merupakan daerah rawan longsor. Jenis tanah didaerah ini merupakan komplek latosol dan lithosol yang mempunyai tingkatan dari peka hingga sangat peka terhadap erosi dan pengikisan. Tanah ini terbentuk dari formasi geologi Halang. Tanah jenis ini merupakan tanah gembur dan subur sehingga masyarakat lebih banyak menggunakan lahannya untuk lahan pertanian dan tegalan dan sedikit hutan sejenis. Hal tersebut juga terjadi di daerah yang penutup lahannya jarang. Zona merah berarti kawasan yang mudah terkena longsor dan mudah terdegradasi baik kecil maupun besar. Di

  Kecamatan Pituruh yang masuk daerah

  rawan longsor tinggi (Zona merah ) adalah Desa kaligondang dan Desa Somagede. Sedangkan daerah rawan longsor menengah adalah Desa Kalijereng,

  Gambar 2. Hypothetical nine-unit landsurface model (Sumber : Zuidam,et al.,1979 ‎) Desa Polowangi, Desa Prapak Lor, Desa Girigondo. Untuk kecamatan Bruno, zona merahnya berada di Desa Brunosari dan Desa Plipir. Untuk Kecamatan Bagelen adalah Desa Semono dan Desa Soko Agung. . Penyebab terjadinya daerah rawan longsor dan degradasi lahan pertanian lainnya adalah besarnya curah hujan yang tinggi yaitu berkisat antara 2551

  2. Perlu pendataan pemukiman yang berpotensi terjadi rawan longsor serta penyediaan areal untuk relokasi pemukiman bagi masyarakat daerah rawan terkena dampak perlu dipikirkan.

  Saran 1.

  Penggunaan lahan pada daerah yang memiliki kelerengan tinggi perlu ditingkatkan konservasinya yaitu kombinasi antara konservasi dengan reboisasi yang ramah lingkungan.

  • – 3551 mm / tahun. Besarnya curah hujan pada lahan menambah besar beban massa tanah dan batuan sehingga pada kemiringan yang tinggi akan menyebabkan tanah mudah longsor/ terdegradasi.

DAFTAR PUSTAKA

  2. Daerah tersebut mendominasi wilayah perbukitan dan pegunungan pada formasi Halang, Kebobutak, Peniron, andesit, dasit, formasi Sentolo dan Jonggrangan. Jenis tanah yang mendominasi daerah ini adalah latosol merah kuning, latosol coklat tua, latosol coklat kemerahan dan litosol. Penggunaan lahannya didominasi kebun campur, sebagian kecil hutan dan ladang dan rerumputan.

  Daerah yang rentan terhadap gerakan massa/ potensi rawan bencana longsor dan menyebabkan terjadinya degradasi lahan pertanian ditemukan di daerah Purworejo bagian utara dan timur, dengan kemiringan lereng curam hingga sangat curam yang diikuti curah hujan yang sangat tinggi 2500 hingga 3500 mm/ tahun, bahkan di Kaligesing mencapai 3500 hingga 4500 mm/tahun (tersaji pada peta yang tergambar merah ).

  Basri B. 1991. Garis Besar Geomorfologi Pulau Jawa. Terjemahan: Out Line of the Geomorphology of Java. By.

  Pannekoek. 1949, Hal 270-326. Jakarta. Prakoso R.1988.Penerapan Foto Udara

  KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.

  Geomorphological Field Manual.

  George Allen & Unwin.London. Harjadi B dan Paimin 2013. Teknik

  Identifikasi Daerah yang Berpotensi Rawan Longsor pada Satuan Wilayah Daerah Aliran Sungai. J Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 10(2): 163-174.

  Harjana. 1992. Evaluasi Medan

  Terhadap Kerentaan Kerusakan Jalan Pada Jalur Jalan Antara Cilacap Dan Ajibarang Jawa Tengah. Skripsi: Fakultas Geografi

  UGM. Yogyakarta. Naryanto HS 2011. Analisis Kondisi

  Bawah Permukaan dan Risiko Bencana Tanah Longsor untuk Arahan Penataan Kawasan di Desa Tengklik Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. J Sains dan Teknologi Indonesia 13(2):74-81.

  Dackombe R.V. and Gardener. 1983.

  Untuk Pengkajian Gerakan Tanah Di Daerah Semarang Selatan Jawa Tengah. Thesis , Fakultas Pasca

  Geografi UGM. Yogyakarta Varnes D.J. 1978.Slope Movement Type

  Zuidam,R.A. and F.I. Van Zuidam Cancelado.1979. Terrain Analysis

  Usulan untuk Mitigasi Bencana Longsor dengan Pendekatan Genetika Wilayah (Studi Kasus: Longsoran Citatah, Padalarang, Jawa). J Geologi Indonesia 5(2): 93-112.

  Science.Washington Zakaria Z 2010. Model Starlet, Suatu

  Control. Natural Academic of

  R.J Krizek: Landslide, Analysis and

  and Processes, in R.L. Schuster and

  Infra Merah Berwarna Untuk Studi Gerakan Massa Di sebagian Kulon Progo DIY. Skripsi. Fakultas

  Sarjana UGM. Yogyakarta Rib dan Ta Liang, 1978.Recognition and

  Sutrihadi.1995.Penggunaan Foto Udara

  /Volume 3 No 1 halaman 45-52 Sugiyono.2007. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.

  Indonesia. Majalah IAGI. Jilid

  Sampurna, 1976 .Geologi Daerah Longsor Jawa Barat . Geologi

  R.J Krizek: Landslide, Analysis and Control. Natural Academic of Science. Washington

  Identification, in R.L. Schuster and

  and Classification Using Areal Photograph. Ageomorphological Approach. Enschende : ITC