M010-1 PENGARUH WAKTU TAHAN POURING DAN DESAIN PENGECORAN TERHADAP KARAKTERISTIK GRAFIT NODUL TWDI

  

PENGARUH WAKTU TAHAN POURING DAN DESAIN PENGECORAN

TERHADAP KARAKTERISTIK GRAFIT NODUL TWDI

1) 2) Rianti Dewi Sulamet-Ariobimo dan Johny Wahyuadi Soedarsono 1)

  Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Trisakti 2) Email: Departemen Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia

  

Abstrak

Kebutuhan akan material ringan atau light weight material menyebabkan diproduksinya besi tuang

nodular dinding tipis ( TWDI - Thin Wall Ductile Iron). TWDI yang memenuhi persyaratan dapat

diperoleh dengan mengatur kecepatan pendinginan melalui desain pengecoran dan menjaga kualitas

logam cair. Kualitas logam cair dalam proses pembuatan besi tuang nodular baik dinding tipis maupun

normal sangatlah tergantung kepada keberhasilan proses liquid treatment Penelitian ini dilakukan

untuk melihat pengaruh lama waktu pouring terhadap keberhasilan proses liquid treatment dalam

pembuatan plat TWDI. Keberhasilan dilihat dengan menggunakan parameter jumlah nodul dan

nodularitas. Penelitian dilakukan dengan menggunakan sebuah desain pengecoran vertikal. Dalam 1

kali proses pengecoran akan dihasilkan 5 buah plat. Variasi dilakukan pada ketebalan plat yang dicor.

Pada desain A ketebalan dibuat dari 5 sampai 1 mm. Sdangkan pada desain D ketebalan dibuat sama,

yaitu 1 mm. Analisa dilakukan pada plat berketebalan 1 mm yang dihasilkan dari kedua desain.

  

Sebagai pembanding digunakan juga plat berketebalan 1 mm yang terletak pada urutan ketiga dari

desain D dan plat berketebalan 3 mm yang terletak pada posisi ketiga dari desain A. Kesimpulan yang

dapat diambil dari penelitian ini adalah keberhasilan proses liquid treatment juga dipengaruhi oleh

ketebalan dan posisi plat pada pengecoran vertikal. Selain itu ketika waktu pouring digunakan sebagai

parameter, maka jumlah nodul lebih sensitive dibandingkan nodularitas.

  Kata Kunci: BTN, inokulasi, nodulasi, temperatur proses, waktu proses Pendahuluan

  Penggunaan besi tuang nodular dinding tipis, thin wall ductile iron – TWDI, berkembang sejalan dengan bertambahnya kebutuhan akan material ringan, light weight material, yang memenuhi persyaratan dari suatu desain komponen. Pada dasarnya besi tuang nodular atau FCD memang bukan merupakan material ringan (FTJ, 2004), tetapi dengan fleksibilitas design yang dimilikinya FCD dapat bersaing dengan aluminium untuk masalah berat. Terlebih lagi pada saat FCD dibuat menjadi TWDI, maka dari segi berat maupun sifat TWDI jelas menjadi lebih unggul. Selain desain pengecoran, cara lain untuk memperoleh TWDI yang memenuhi persyaratan adalah kualitas logam cair. Kualitas logam cair sangat bergantung kepada bahan baku dan keberhasilan proses liquid treatment.

  Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh waktu tunggu proses pouring terhadap keberhasilah proses liquid treatment dari plat TWDI. Keberhasilan proses liquid treatment dilihat sebagai fungsi dari jumlah nodul dan nodularitas. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat pengaruh desain terhadap proses liquid treatment dalam proses pembuatan plat TWDI

  Studi Pustaka Proses liquid treatment adalah proses penambahan unsur aditif tertentu ke dalam logam

  cair yang bertujuan untuk memperbaiki struktur ataupun sifat dari logam yang akan dihasilkan (Sulamet, 1995; Soedarsono, 2011). Pada proses liquid treatment unsur-unsur aditif yang ditambahkan ke dalam logam cair tidak akan larut dan tinggal dalam komposisi logam.

  Keberhasilan proses liquid treatment sangat bergantung temperatur dan waktu. Pembuatan besi tuang nodular menggunakan 2 proses liquid treatment, yaitu: inokulasi dan nodulasi.

  Inokulasi adalah proses penambahan unsur yang mengandung unsur silikon (Si) ke dalam logam cair yang bertujuan untuk mendorong terjadinya pembentukan grafit. Inokulasi pada dasarnya adalah proses pengaturan struktur dan sifat-sifat dari besi tuang dengan meminimalkan proses undercooling dan meningkatkan jumlah pengintian selama proses solidifikasi (Soedarsono, 2011; Skalad, 1996), seperti terlihat pada Gambar 1 (Dowson, 1976). Secara umum, proses inokulasi dapat dilakukan baik dalam panci tuang (ladle) atau ketika proses pouring. Dalam pembuatan besi tuang nodular, proses ini dapat dilakukan sebelum dan sesudah proses nodulasi, (Olsen, 2004).

  Nodulasi adalah proses penambahan unsur cerium (Ce) atau magnesium (Mg) ke dalam logam cair yang bertujuan untuk membuat agar grafit yang terbentuk mempunyai bentuk nodular. Proses nodulasi adalah proses modifikasi struktur solidifikasi sehingga phasa grafit akan berpresipitasi dan tumbuh dalam bentuk spherical, (Dowson, 1976). Unsur Mg akan menyebabkan bidang basal memiliki kecepatan pertumbuhan yang tinggi sehingga grafit yang terbentuk adalah grafit nodular (Olsen, 2004). Selain unsur-unsur pengaktif permukaan, beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan keberhasilan proses nodulasi adalah: temperatur tapping, cara

tapping , peletakan nodulan, terak, desain ladle, waktu pouring dan inokulasi (Olsen, 2004).

Unsur Mg lebih banyak digunakan sebagai nodulan karena lebih murah dari unsur Ce.

  

Gambar 1. : Grafik Kecepatan Pendinginan Gambar 2.: Grafik Waktu Efektif Proses Inokulasi dengan

untuk Grafit Serpih dan Nodul (Dowson, 1976) Jumlah Nodul dari Beberapa Inokulan (Fuller, 1991)

  Seperti sudah disampaikan sebelumnya, unsur-unsur aditif yang digunakan dalam proses inokulasi dan nodulasi tidak menetap dalam logam cair (Skalad, 1996; Dowson, 1976; Fuller, 1991). Unsur-unsur tersebut akan meninggalkan logam cair setelah temperatur dan waktu efektifnya terlewati. Kondisi menghilangnya efek inokulasi dikenal dengan istilah fading atau fade (Fuller, 1991). Fading sangat bervariasi dan ditentukan oleh jenis inokulan yang digunakan dan komposisi kimia (Fuller, 1991). Gundlach dalam Huerta dan Popovski menyatakan bahwa fade dalam besi tuang nodular diartikan sebagai hilangnya nodularitas terhadap waktu (Huerta, 2005). Konsep fade dalam besi tuang nodular mencakup menghilangnya efektivitas nodulan dan inokulan (Huerta, 2005). Hilangnya efektivitas nodulan akan berakibat grafit yang terbentuk adalah grafit

  

compacted atau bahkan grafit serpih. Secara umum efek inokulasi akan menghilang sampai

  setengahnya setelah 5 sampai 7 detik, (Lerner, 1999). Dalam besi tuang nodular, efek fading berkurang dengan kehadiran Ce. Pada Gambar 2 terlihat hubungan antara efek inokulasi dengan jumlah nodul dari beberapa inokulan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Huerta dan Popovski menemukan bahwa fading dalam besi tuang nodular akan terjadi setelah 6 menit pertama (Huerta, 2005).

  Metodologi Penelitian

  Penelitian ini membuat plat TWDI dengan menggunakan desain pengecoran vertikal 2 seperti terlihat pada Gambar 3. Dalam 1 kali penuangan dibuat 5 buah plat berukuran 150x75 mm dengan ketebalan 2 macam variasi ketebalan, yaitu variasi ketebalan 5,4,3,2, 1 mm (tipe D) dan variasi semua ketebalan 1 mm (tipe A) . Pada variasi ketebalan 5 sampai 1 mm kelima plat disusun secara pararel berurutan mulai dari plat paling tipis, 1 mm, terletak paling dekat dengan saluran masuk. Proses liquid treatment dilakukan secara bersamaan dengan sistim sandwich. Pengecoran O dilakukan dalam 1 batch. Temperatur tapping adalah 1550 O O

  C. Sedangkan temperatur penuangan tipe A adalah 1385 C dan tipe D adalah 1399 C. Pada penelitian ini dibandingkan plat 1 mm yang terletak dekat saluran masuk untuk desain pengecoran A dan D. Selain itu juga dillakukan perbandingan dengan plat 1 mm yang terletak pada posisi 3 dari desain D dan juga plat posisi 3 dari A dengan ketebalan 3 mm.

  

A D

Gambar 3. : Desain Pengecoran Gambar 4. : Posisi Sampel

  Pengujian komposisi kimia menggunakan spektrometri. Logam cair sampel diambil sebelum dan sesudah dilakukan proses liquid treatment. Pengamatan struktur mikro dilakukan mengikuti JIS G5502. Etsa dilakukan dengan menggunakan nitral. Pengambilan sampel untuk pengamatan metallografi dilakukan pada 6 daerah seperti terlihat pada Gambar 4. Indentifikasi struktur mikro dilakukan dengan mengacu pada ASM. Analisa kuantitatif terhadap struktur mikro dilakukan menggunakan program NIS Element Br 3.1 dengan lisensi yang dimiliki oleh Laboratorium Metalurgi Fisik, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Trisakti.

  Hasil dan Pembahasan Komposisi kimia TWDI yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Penuangan C Si Mn P S Cu Ni Cr Mg CE P6 3,51 2,14 0,34 0,02 0,02 0,12 0,04 0,07 0,02 4,2

Non Etsa Etsa A1 D1 D3 A3 A1 D1 D3 A3

  Gambar 5. Struktur Mikro P6

  Secara umum hasil analisa komposisi kimia dari penuangan, kecuali kadar silikon (Si), memenuhi persyaratan dari standar yang digunakan oleh foundry. Nilai CE adalah 4,2%. Hasil analisa komposisi kimia juga menunjukan bahwa kadar magnesium (Mg) cukup tinggi. Kondisi ini akan menyebabkan jumlah inokulan yang harus ditambahkan menjadi besar (Mullins, 2006). Hasil analisa komposisi kimia juga menunjukan kadar tembaga (Cu) yang cukup tinggi walaupun masih dalam batas yang diijinkan. Unsur tembaga mempunyai fungsi yang sama dengan siliikon (Keough,

  1998). Dengan demikian kadar silikon yang rendah akan dikompensasikan dengan kadar tembaga yang cukup tinggi.

  Secara kualitatif sebelum dilakukan proses etsa terlihat bahwa struktur mikro yang dihasilkan adalah grafit nodular. Grafit nodular yang dihasilkan cenderung memiliki nodularitas yang rendah dan jumlah nodulnya pun terlihat jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya. Diameter nodul pun terlihat sangat heterogen. Terlihat adanya perbedaan kondisi grafit nodul pada setiap daerah sampel. Ada daerah sampel yang memiliki jumlah nodul yang sangat sedikit. Hal ini tidak ditemukan pada penelitian sebelumnya (Soedarsono, 2011; Soedarsono, 2011; Suharno, 2011; Soedarsono, 2012; Sulamet-Ariobimo, 2011) Walaupun demikian terlihat pola yang sama untuk plat A maupun D. Setelah dilakukan proses etsa terlihat bahwa matriks yang terbentuk adalah ferit tetapi mengandung karbida (Goodrich, 1998) untuk posisi tertentu dan juga terlihat terbentuknya gabungan antara grafit nodular dengan lamelar (Ecob, 2005). Ditemukan pola yang sama seperti pada kondisi non etsa dari kondisi matriks yang terbentuk. Lapisan kulit juga terbentuk tetapi tidak setebal penelitian sebelumnya (Soedarsono, 2011; Soedarsono, 2011; Suharno, 2011; Soedarsono, 2012; Sulamet-Ariobimo, 2011).

  Plat dengan ketebalan 1 mm yang dihasilkan oleh desain A dibandingkan dengan desain D maka akan dapat dilihat pengaruh kecepatan pengisian yang menjadi salah satu parameter dalam keberhasilan proses liquid treatment terutama nodulasi (Goodrich, 2011). Desain A akan mempunyai waktu pengisian cetakan yang lebih lama jika dibandingkan dengan desain D karena pada desain A ketebalan setiap plat berbeda ( 1, 2, 3, 4, dan 5 mm). Sedangkan pada desain D semua ketebalan plat sama (1 mm). Hasil pengamatan terhadap waktu pouring membuktikan hal

  

ini. Waktu pouring yang dibutuhkan desain A adalah 9 detik, sedangkan untuk desain D

hanyalah 6 detik. m l/ m 1000 o l
  • - - u 800 d n 600
  • % ri ta s 50 80 60 40 70 u J d la u o N m h 400 200 1 2 A1 D1 D3 (1/3) A3 (3/3) Posisi Sampel 3 4 5 6 la u o N d 30 20 10 1 2 Posisi Sampel 3 4 5 6 A1 D1 D3 (1/3) A3 (3/3) a b

    Gambar 6. Karakteristik Grafit Berdasarkan Posisi Sampel - a. Jumlah Nodul; b. Nodularitas

      Melihat pada kecepatan dan temperatur pouring maka dapat diperkirakan bahwa plat D1 akan memberikan jumlah nodul dan nodularitas yang lebih tinggi dari plat A1. Analisa kuantitatif yang dilakukan, Gambar 6 dan Gambar 7, menunjukan bahwa jumlah nodul rata-rata pada plat yang dihasilkan oleh A1 lebih tinggi 14% dari D1, tetapi nodularitas D1 lebih tinggi 12% dari A1. Hasil ini mendukung pendapat Gundlach dalam Huerta dan Popovski (Huerta, 2005).

      Tidak ditemukan pola khusus pada setiap posisi sampel. Secara umum pada bagian tengah (Gambar 6.a. 2 dan 5) terlihat adanya kesamaan jumlah nodul tetapi tidak diikuti oleh nodularitas. Jika pada hasil perhitungan jumlah nodul tidak terlihat adanya kecenderungan tertentu, tidak demikian halnya dengan nodularitas. Nodularitas D1 pada semua posisi sampel lebih tinggi dari A1 kecuali pada posisi 1. Tidak terlihat adanya pengulangan kecenderungan grafik pada A1 maupun D1 untuk jumlah nodul maupun nodularitas seperti yang dimiliki oleh D3. Walaupun demikian keduanya mempunyai kecenderungan kurva yang sama. Kecenderungan jumlah nodul akan terlihat bahwa setelah nilainya turun dari posisi 1 sampai 3 akan naik terus sampai posisi 5 dan kembali turun pada posisi 6. Sedangkan kecenderungan untuk nodularitas adalah nodularitas turun pada posisi 2 kemudian naik sampai posisi 6. Perbandingan dilakukan juga terhadap D3 karena D3 memiliki ketebalan plat yang sama dengan A1 dan D1, yaitu 1 mm, tetapi terletak pada posisi yang lebih tinggi sehingga proses pengisian yang terjadi pun lebih lama. Perbandingan dilakukan juga terhadap plat A3 yang mempunyai posisi D3 tetapi tebalnya adalah 3 mm. Tidak terlihat adanya kesamaan kecenderungan dengan plat A1, D1, maupun D3. Terlihat ada pengulangan kecenderungan pada nodularitas tetapi tidak pada jumlah nodul.

      2 200 300 700 900 500 -

    • - d
    • N s ri u o la d % ta 20 50 60 40 70 80 30 10 J u m Posis i 1 Posisi 2 Pos isi 3 Pos isi 4 Pos isi 5 Posisi 6 Rata-rata A1 D1 D3 (1/3) A3 (3/3) Jenis Plat Posisi 1 Posisi 2 Posisi 3 Posisi 4 Posisi 5 Posisi 6 Rata-rata A1 D1 D3 (1/3) A3 (3/3) Je nis Pla t a b

      Gambar 7. Karakteristik Grafit Berdasarkan Jenis Plat - a. Jumlah Nodul; b. Nodularitas

         N u 400 l d o 600 o h u l/ m 800 m la 100 n

        Ketika analisa dilakukan terhadap jenis dari masing-masing plat, maka terlihat bahwa untuk jumlah nodul tidak terlihat adanya kesamaan jumlah nodul diantara semua posisi sampel. Hasil ini mendukung hasil analisa kualitatif yang disampaikan sebelumnya. Selisih jumlah nodul terbesar adalah 513% yang terjadi pada plat D3. Sedangkan selisih terkecil ada pada A3 dengan 94%. Ketika dilihat terhadap rata-rata maka selisih jumlah nodul terbesar juga pada D3 dengan 78%, sedangkan yang terkecil adalah juga A3 dengan 32%. Analisa terhadap nodularitas menunjukan bahwa masih terlihat kesamaan nodularitas pada beberapa posisi. Selisih terbesar nodularitas pada 1 jenis plat adalah 165% terjadi pada A3 . Sedangkan selisih tekecil terjadi pada D1 dengan 50%. Kesamaan terbanyak ditemukan juga pada D1 dengan kesamaan sampai 50%. Terhadap rata-rata, selisih terbesar adalah 54% pada A3 . Sedangkan selisih terkecil pada D1 sebesar 25%.

        Jumlah nodul rata-rata tertinggi untuk ketebalan 1 mm terjadi pada plat A1, sedangkan nodularitas pada D1. Terhadap keseluruhan jenis plat, jumlah nodul rata-rata tertinggi ada pada A3 tetapi nodularitas tetap pada D1. Secara umum, jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya maka jumlah nodul yang dicapai pada penelitian ini untuk ketebalan 1 mm rendah. Pada penelitian-penelitian terdahulu, untuk plat dengan ketebalan 1 mm jumlah nodul yang 2 diperoleh berada si atas 1000 nodul/mm . Demikian juga halnya dengan nodularitas. Nodularitas pada penelitian ini untuk ketebalan 1 mm cenderung rendah.

        Kesimpulan

        Melihat hasil-hasil yang diperoleh terlihat bahwa keberhasilan proses liquid treatment pada pengecoran vertikal selain ditentukan oleh: ada tidaknya waktu tunggu [3], temperatur pouring, dan waktu pouring juga ditentukan oleh ketebalan dan posisi plat. Kegagalan proses liquid treatment mengganggu homogenitas dari grafit yang terbentuk. Jumlah nodul memiliki sensitivitas tinggi terhadap waktu pouring jika dibandingkan dengan nodularitas. Tetapi efek fading lebih terlihat pada nodularitas. Pada penelitian ini terlihat bahwa kondisi terhomogen diperoleh plat D1, yaitu plat dengan ketebalan 1 mm yang terletak paling dekat dengan saluran masuk.

        Ucapan Terima Kasih

        Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia atas pemberian hibah penelitian dengan No.346/SP2H/PP/DP2M/VI/2009. Penulis juga menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada PT. Geteka Founindo yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian pada divisi foundry.

        Daftar Pustaka Anonymous, 2004, ADI Solution Aid Vechile Design, Transport, FTJ, Maret, 54.

        Dowson, J. V., 1976, Graphite in As-cast Nodular (SG) Iron – Their Causes and Prevention, BCIRA Report No. 1221, 153. Ecob, C. M., 2005, A Review of Common Metallurgical Defects in Ductile Cast Iron – Causes and th Cures , Paper, Proceeding of the 9 Asian Foundry Congress.

        Fuller, A. G., 1991, Mechanisms and Effects of Inoculation, BCIRA Technology, Maret, 2. Goodrich, G. M., 1998, Explaining The Peculiar: Cast Iron Anomalies and Their Causes, Modern Casting, April, 40.

        Huerta, E. dan V. Popovski, 2005, A Study of Hold Time, Fade Effect and Microstructure in Ductile Iron , Proceeding of the AFS Cast Iron Inoculation Conference, September. Lerner, Y. S. dan M. V. Riabov, 1999, Iron Inoculation: An Overview of Methods, Modern Casting, 6(89), July, 37. Mullins, J. D., 2006, The Most Important Part of Ductile Iron Production – Inoculation, Sorelmetal, Rio Tinto Iron and Titanium Inc. Skalad, T., 1996, Developments in Cast Iron Metallurgical Treatments, Elkem, Norwegia. 1-29. Soedarsono, J. W., B. Suharno, dan R D. Sulamet-Ariobimo, 2011, Pengaruh Waktu Tahan

        

      Pouring Terhadap Struktur Mikro Plat Tipis Besi Tuang Nodular, Proceeding Seminar Nasional

      Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (SNP2M), TK-71.

        Soedarsono, J. W., T. P. Soemardi, B. Suharno, ddan R. D. Sulamet Ariobimo,2011, Effects of

        

      Carbon Equivalent on The Microstructures of Thin Wall Ductile Iron , Journal of Material Science

      and Engineering, ISSN 1934-8969 USA, Vol. 5 No. 3, 266.

        Soedarsono, J. W. dan R. D. Sulamet-Ariobimo, 2012, Effect of Casting Design to Microstructure

        

      and Mechanical Properties of 1 mm TWDI Plate , Applied Mechanics and Materials, Vols. 110-

      116, 3301.

        Suharno, B., J. W. Soedarsono, T. P. Soemardi, dan R. D. Sulamet-Ariobimo, 2011, The Effects of

        

      Plates Position in Vertical Casting Producing Thin Wall Ductile Iron, Advance Material Research

      QIR 12, Vol. 277, 66.

        Sulamet, R. D., 1995 Teknologi Perlakuan Besi Tuang Cair dan Austemper Besi Tuang Nodular dalam Fluidised Bed Furnace, Skripsi, Jurusan Teknik Mesin, FTI, Usakti. Sulamet-Ariobimo, R. D., J. W. Soedarsono dan B. Suharno, 2011, Pengaruh Waktu Tahan Pouring terhadap Struktur Mikro Plat TWDI 1 mm, Proceeding Seminar Nasional AVoER ke 3, Palembang, Indonesia: Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. Olsen, S. O. dan C. Hartung, 2004, Recovery of Magnesium in a Ductile Iron, Elkem, Norwegia. download 19/11/2007, revised by J. R. Keogh, August 1998.