Ijtihad dan Penerapannya dalam Ekonomi

Ijtihad dan Penerapannya dalam Ekonomi
Keuangan
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Mata Kuliah : Ushul Fiqih Keuangan
DISUSUN
O
L
E
H
Kelompok 5
SEMESTER 1 Perbankan Syariah
1. Al Hafiz Fuazan
2. Fariz Arkhan
3. Nova Armaya
4. Syahrian

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
JAM’IYAH MAHMUDIYAH
TAHUN
2017


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT,
karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah
Ushul Piqih Keuangan yang berjudul “Ijtihad dan Penerapannya dalam Ekonomi
Keuangan “
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan
bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula
penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah

Ushul Piqih

Keuangan. Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan
kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah
sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis
dan semua pembaca pada umumnya.

Tanjung Pura Oktober 2017
Penulis
Kelompok (Lima)


1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. Pengertian Ijtihad Perkembangan Ijtihad........................................................2
B. Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid...........................................6
C. Peranan Ijtihad dalam Ekonomi Islam Kontemporer......................................8
BAB III PENUTUP..............................................................................................14
A. Kesimpulan....................................................................................................14
DAFTAR PUSAKA..............................................................................................15

2


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada
pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan
oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini.
Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad
tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau
pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad
adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin
kompleks problematikanya.

Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum
Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam
kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain
sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masingmasing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan
ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu,
tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam
menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.


B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Ijtihad dan bagaimana Perkembangan Ijtihad ?

2. Bagaimana Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid ?

3. Bagaimana Peranan Ijtihad dalam Ekonomi Islam Kontemporer ?

1

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Ijtihad dan Perkembangan Ijtihad

2. Mengetahui Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid

3. Mengetahui Peranan Ijtihad dalam Ekonomi Islam Kontemporer

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad Perkembangan Ijtihad


a. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan
segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.
Dalam Al-Qur’an disebutkan:1

1 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97

2

…‫م‬
‫… دوُاَل ل إ‬
‫ن إ إلل ه‬
‫دوُ د‬
‫ج ه‬
‫جهمد دهه م‬
‫ن دل ي د إ‬
‫ذي د‬
Artinya:


“Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan)
selain kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)

Kata al-jahd bbeserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang
dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.

Dalam pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:
‫عاَ ء‬
‫ء‬
‫فىِ الدد ع‬
‫وا ع‬
‫و ء‬
‫ه د‬
‫و و‬
‫ع‬
‫دا و‬
‫ي ع‬
‫صل د و‬
‫عل ع ي‬

‫جت ع ء‬

Artinya:

“Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
‫ع‬
‫ود د ع‬
‫عاَ ء‬
‫ء‬
‫فىِ الدد ع‬
‫وا ء‬
‫فاَ و‬
‫س د‬
‫ماَال د‬
‫وأ ي‬
‫هدد و‬
‫ج و‬
‫ع‬
‫جت ع ء‬


Artinya:

“Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”

Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad
mengandung arti sungguh-sungguh dan tidak disenangi.

Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’
pada kata ja-ha-da menjadi ijtahada pada wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih
sungguh-sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha

3

lebih kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau
pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian,
ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu.
Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan
daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y
atau at-tafkir.


b. Perkembangan Ijtihad

1. Ijtihad Fiqih pada Masa Nabi SAW

Umat Islam pada masa rasul tidak melakukan ijtihad bila menghadapi
suatu masalah yang baru, mereka medatangi Nabi untuk bertanya. Mereka
bertanya, lalu Nabi menjawab dengan petunjuk wahyu yang diturunkan
kepadanya, atau dengan pet unjuk Ijtihadnya yang mendapat kebenaran dari
wahyu. Mereka hanya mempwegunakan ijtihad bila mereka tak dapat bertanya.
Ijtihad itu mereka sampaikan kepada Nabi, lalu Nabi memberikan putusannya.

Sesudah Nabi wafat, para ulama mulai melakukan Ijtihad, karena dirasa
sangat perlu. Mereka mulai memutar otak (nadhar) memikirkan soal-soalyang
terjadi karena wahyu telah putus. Memang mereka memerlukan ijtihad karena Al
Quran sebagai Undang-undang dasar yang kulli hanya menetapkan pokok-pokok
undang-undang yang umum (qawaaid kulliyah) yang dapat dipersesuaikan dengan
segala masa dan tempat, yang semuanya itu bertujuan menyelamatkan manusia
baik dunia ataupun di akhirat.2

2. Periode-periode Ijtihad sesudah Nabi SAW


2 Ibid hal. 99

4

Dengan meneliti perjalanan sejarah Islam, terutama sejarah tasyri’nya, kita
dapat menetapkan, bahwa Ijtihad sesudah Nabi wafat adalah memlalui tiga
periode:

a) Periode sahabat bsar, periode Khulafaur Rasyidin

b) Periode sahabat kecil, pemuka tabi’in di Masa bani Umayyah

c) Periode tabiin dan Imam Mujtahiddin di permulaan masa bani abbas

3. Ijtihad dan Fiqih di Masa Khulafaur Rasidin

Para

sahabat


besar,

sepeninggal

Rasul

mengahadapi

berbagai

permasahalan baru. Maka mereka melakukan istinbat terhadap permasalahan
tersebut, namun tidak menetapkan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak
member jawaban (fatwa) terhadap yang belum timbul.

Bila terjadi satu masalah, barulah mereka melakukan Ijtihad. Mereka
berpegang dalam urusan tersebut, kepada:

1) Al Quran, merupakan sendi Islam, yang telah mereka pahami dengan
sempurna karena Al Quran itu diturunkan dalam bahasa merka disamping
itu mereka pun dapat menyaksikan sebab-sebab turunnya.

2) Sunatur Rasul, mereka telah bermufakat mengikuti sunnah yang mereka

Abu bakar bila mengalami peristiwa yang baru, beliau mencarinya dalam
memperhatikan Al quran. Jika terdapat didalamnya, beliau menetapkan hokum
dengannya. Jika tidak terdapat didalamnya beliau lalu mencarinya dalam hadits.
Jika terdapat di Hadits, beliaupun menetapkan hokum dengannya. Jika tidak
mendapati hokum itu didalam hadits, sesudah beliaua memeriksanya dengan

5

seksama, beliau lalu bertanya kepada sahabat. Jika ada seseorang sahabat yang
memberitahukan tentang putusan nabi, beliaupun berpegang kepadanya.3

Umar juga menuruti jejak itu. Apabila Umar tidak mendapatkan hokum
dalam Al Quran dan Al Hadits, beliau bertanya tentang penetapan yang dilakukan
oelh Abu Bakar dan beliau mengamalkannya jika penetapan Abu bakar itu tidak
beliau temukan dalam sumber lain

Utsman dan Ali bersikap demikian pula. Mereka sangat berhati-hati
menerima riwayat. Diantaranya ada yang menerima riwayat sesudah perawi
disumpah dan ada yang meminta saksi.

Adapun cara Ijtihad yang mereka terapkan adalah, sebagai berikut:

a) Mengeluarkan hokum dengan dasar ra’yu perseorangan (Ijtihad Fardi)

b) Menetapkan hokum dengan cara mengadakan ijma’ (Ijtihad Jama’i)

Apabila timbul soal-soal yang tidak ada nash nya di dalam Al Quran dan Al
hadits,para sahabat itu menjalankan ra’yu atau mempergunakan pikiran dan daya
akal, yakni “mendasarkan, hokum pada kemaslahatan dengan bersendikan kaidahkaidah umum.”

Apabila tidak mendapat hokum dalam Kitab dan Sunnanh, abu Bakar
mengumpulkan para ulama di kalangan sahabat dan merembukkan permasalahan
itu. Kemudian bila para ulama itu bermufakat menetapkan suatu pendapat, Abu
Bakar pun menghukumi masalah itu menurut pendapat yang disepakati. Pendapat
yang diambil dengan perembukan harus diikuti oleh rakyat. Mengeluarkan
pendapat (menetapkan hukum) dengan jalan berkumpul itu dinamakan ijma’.

3 Harjan Syuhada et.al. Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011) h.57

6

Pada masa tersebut, jumlah mereka yang dikumpulkan untuk berunding,
masih sedikit. Tegasnya, melakukan ijma’ (menyatukan pendapat) sebagaimana
yang dikehendaki ulama ushul masih dapat dijalankan dengan mudah, yang sesuai
dengan kehendak ahli politik.

Sikap Abu Bakar itu tidak ubahnya seperti yang dilakukan oleh kepala
Negara pada saat inin, yaitu memerintahkan badan eksekutif dan legislatif
bersidang untuk menetapkan undang-undang yang harus dipatuhi oleh Negara dan
masyarakat. Penetapan badan-badan itu yang diambil dengan suara bulat dinamai
ijma’.

Kesimpulannya, para sahabat yang memegang Ijtihad (yang dapat
dikatakan menjadi anggota badan perancang) pada periode iini, mengeluarkan
hokum dari dalil-dalilnya (Al Kitab dan Sunnah). Sesudah menyelidikanya
dengan seksama, barulah mereka mempergunakan penyelidikan akal dan
membuat keputusan yang sempurna.

Ahli-ahli fatwa dimasa itu, yang member fatwa secara pribadi, tidak
menentukan hokum untuk masalah yang belum terjadi. Karena itu, pemakaian
qiyas kurang terjadi dalam masaini. Bahkan sebagaian mereka mencela
pemakaian qiyas (dengan tdak memakai batas) dalam urusan menetapkan hokum.
Dan perlu ditegaskan bahwa hokum-hukum yang mereka tetapkan secara pribadi
dengan kekuatan Ijtihad mereka masing-masing, tidak harus dituruti oleh rakyat.4

Abu Bakar apabila berijtihad mengatakan, “Ini pendapatku. Jika benar
maka dia dari Allah. “Umar apabila berijtihad mengatakan, “Inilah pendapat
Umar. Jika benar maka dia dari Allah. Jika salah, maka dia dari Umar sendiri.
Sunah itu, hanyalah yang di sunahkan Allah dan Rasul Nya; jangan kamu
menjadikan pikiran yang salah, sunah bagi rakyat.”

4 Ibid Hal. 58

7

Adapun para ulama setelah masa sahabat menetapkan pokok-pokok
dengan memperhatikan sikap-sikap para sahabat dalam menetapkan hokum bahwa
“pokok-pokok pegangan” dalam menetapkan hokum dan menciptakan hokum
fiqih ada empat perkara.

1) Kitabullah

2) Sunatur Rasul

3) Al Ijtihad (Ar Ra’yu) ; menetapkan suatu hokum berdasarkan kemaslahatan
dan berdasarkan kaidah syara’ yang umum dan illat-illat hokum.

4) Al Ijma ; menetapkan hokum dengan dimusyawarahkan bersama-sama, baik
penetapan itu berdasarkan kaidah pada keterangan Kitab, ataupun
keterangan Sunah, maupun ketetapan Ra’yu, Al Ijma adalah cara
membuahkan hokum yang di istinbatkan dari Al Quran dan As Sunah,
secara tersendiri dan secara bersama.5

B. Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid
a. Syarat-syarat mujtahid

Berbicaratentang syarat-syarat ijtihad tidak lain dari berbicara tentang
syarat-syarat mujtahid. Demikian pula sebaliknya, yaitu berbicara syarat-syarat
mujtahid tidak lain berbicara

ilmu syara’, mampu melihat yang dzon didalam hal-hal yang syar’i, tentang
syarat-syarat ijtihad.

Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasyfa [5](II/102) menyatakan mujtahid
mempunyai dua syarat :
5 Ibid Hal. 59

8

1. Mengetahui dan menguasai mendahulukan apa yang wajib didahulikan dan
membelakangkan apa yang mesti dikemudiankan.

2. Ia hendaknya sorang yang adil. Menjauhi segala ma’siyat membuat cemarkan
sifat dan sikap keadilan (‘adalah). Ini yang penting karena syarat ini menjadi
landasan apakah fatwanya dapat dijadikan pegangan atau tidak. Orang yang
tidak mempunyai sifat yang demikian , fatwanya tidak boleh dijadikan
pegangan. Adapun sifat yang tidak adil untuk dirinya sendiri, artinya fatwa
atau ijtihadnya itu untuk dirinya sendiri, sifat tidak adil itu tidaklah menjadi
halangan. Artinya didalam ia bersifat tidak adil itu boleh saja boleh saja
berijtihad untuk dirinya sendiri, dan fatwanya menjadi pegangan untuk
dirinya sendiri.

adapun syarat lebih rincinya pendapat ulama ushul terhadap orang yang
mengemukakan ijtihad adalah sebagai berikut:

a. Mempunyai pengetahuan yang luas tentang al-Qur’an serta memahaminya
mencakup ilmu yang berkaitan denganya, seperti nasikh mansukh, asbabu
al-Nuzul mujmaldan mubayyan, muthlaq muqayyad, mantuq dan mafhum
lafadz ‘amm khas.

b. Hafal al-Qur’an seluruhnya (Imam syafi’i )

c. Mempunyai pengetahuan Sunnah Nabi meliputi al-Jarh wata’dil,
asbabulwurud al-Hadist, ilmu hadist dirayah wa riwayah dan ilmu lain
yang berhubungan dengan hadist.

d. Mengetahui masalah-masalah hukum yang menjadi ijma’ para ulama
terdahulu.

9

e. Mengetahui bahasa Arab dengan baik dan sempurna, paham ilmu nahwu
dan lainya.

f. Mengetahui Ushul fiqh

g. Mengetahui maqashid as-Syari’ah

h. Iman, cerdas dan lainya6

b. Kualifikasi mujtahid

Tanpa memenuhi syarat, seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai
mujtahid yang berhak melakukan ijtihad. Dikalangan ulama yang melakukan
ijtihad ada beberapa tingkatan. Dan tingkatan ini tergantung pada aktivitas yang
dilakukan mujtahid itu sendiri. Tingkatan-tingkatan dikalangan mujtahid itu
sebagai berikut:

1. Mujtahid muthlaq mustaqil ( mujtahid Independen), yaitu mujtahid yang
membangun teori dan istinbath sendiri tanpa bersandar kepada kaidah
istinbat pihak lain. Yang termasuk dalam jajaran ini adalah Imam 4
Madzhab, laist ibn sa’ad. Al-‘auza’I, sufyan al-Sauri , Abu Saur dan lainya

2. Mujtahid Muntasib ( Mujtahid Berafiliasi ) yaitu para ulama yang berijtihad
dengan menggunakan kaidah Imam madzhab yang diikutinya. Tapi, dalam
masalah furu’ biasanya ia berbeda dengan ulama madzhab yang diikutinya.
Diantaranya adalah Abu Yusuf, Hanafiyyah, malikiyyah, syafi’iyyah, ibnu
taimiyah dan lainya.

3. Mujtahid fi al-Madzhab ialah mujtahid yang mengikuti ulama madzhabnya
baik dalam kaidah istimbat dan furu’
6 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97-98
10

4. Mujtahid Murajjih ialah mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum furu’.
Mereka sebatas membandingkan pemikiran hukun mujtahid sebelumnya,
kemudian memilih yang dianggap (rajjih) paling kuat.

C. Peranan Ijtihad dalam Ekonomi Islam Kontemporer
Di Indonesia tidak bisa dipungkiri bahwa kontribusi Islam (Syariah) dan
pemikiran umat Islam sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan
pemikiran hukum khususnya dalam ekonomi yang membahas tentang aktualisasi
atau reaktualisasi hukum Islam dalam bidang Muamalah, di Indonesia masih terus
digemborkan dan masih sangat relevan untuk dibicarakan dan diskusikan bagi
setiap orang baik dari kalangan muslim bahkan non muslim, apalagi jika dikaitkan
dengan hukum bisnis Islam atau hukum ekonomi Islam pembahasan ini sangat
menarik dan mendapatkan tempat di hati pemikir-pemikir ekonomi, karena
dibidang ini sangat diperlukan adanya pembaharuan dan usaha reaktualisasi.

Perlunya penemuan-penemuan baru tersebut, karena akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, berakibat pula menggeser cara pandang dan
membentuk pola alur berfikir yang membawa konsekuensi logis dan membentuk
norma baru dalam kehidupan masyarakat. Maka tidak semestinya kemajuan
IPTEK dan peradaban manusia itu dihadapkan secara konfrontatif dengan nash
saja, akan tetapi harus dicari pemecahannya secara ijtihadi. Dalam banyak hal
pada aktivitas ekonomi, Islam memberikan skala normatifnya secara global.7

Secara substansial, hukum Islam (Syariah) adalah bagian dari hukum positif
Indonesia yang bersumber dari Al-Quran, Al-Sunnah, dan Al-Ijtihad, terutama
yang mengatur tentang Al-Aqdu sebagai dasar timbulnya hak dan kewajiban
pihak-pihak dalam perjanjian (transaksi) Islam. Perjanjian/perikatan Islam dan
kegiatan bisnis Islam selalu berdasarkan prinsip-prinsip Islam (syariah) yang
harus bebas dari unsur ketidakjelasan (gharar), perjudian (maisir), bunga (riba),
dan penzaliman terhadap hak-hak orang lain. Tetapi secara formal dari segi bentuk
usaha (badan usaha) dalam kegiatan bisnis Islam bersumber dari hukum
7 Ibid hal. 98

11

perundang-undangan. Oleh karena itu, kedudukan hukum Islam (syariah) secara
yuridis adalah kuat dan legal dalam sistem hukum Indonesia, dan secara bisnis
operasional memperoleh dukungan kuat dari masyarakat karena di dasarkan pada
akad yang benar, adil, jujur, transparan, bebas dari ketidakjelasan (gharar) ,
perjudian (maisir), bunga (riba), dan jauh dari penzaliman.

Sehubungan dengan itu, dapat kita lihat berbagai jenis transaksi telah
muncul dan berkembang keseluruh penjuru dunia, terutama di Indonesia. Banyak
jenis transaksi baru yang di tawarkan yang juga menjanjikan keuntungan yang
berlipat ganda, di samping itu terdapat pula ketentuan-ketentuan hukum yang
dikeluarkan oleh otoritas pemerintah untuk menertibkan kegiatan-kegiatan bisnis
modern tersebut secara konvensional. Di sisi lain, untuk melindungi masyarakat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam, perlu dikaji kejelasan hukum dari
transaksi tersebut dipandang dari segi hukum Islam (syariah).8

Adapun Ijtihad sebagai sumber hukum Islam ketiga memberi peluang untuk
berkembangnya pemikiran umat Islam dalam menghadapi segala permasalahan di
era globalisasi ini. Jika kita lihat kataIjtihadini berasal dari bahasa arab artinya,
Aljuhdu ialah bersungguh sungguh. Menurut para ulama di Istilahkan, ialah
bersungguh-sungguh memeriksa, menggali dan memahami secara mendalam akan
keterangan dari Al-Quran dan Al-Hadits, hingga jika di temui pertanyaan yang
sulit-sulit dan suatu kejadian-kejadian yang luar biasa, bisa didapatkan hukumnya
dari Al-Quran dan Al-Hadits atas jalan pemahaman dengan susah payah atau jalan
Qiyas. Orang yang berusaha semacam itu tersebut juga dengan Mujtahid.

Fungsi Ijtihad itu sendiri ialah sebagai solusi hukum jika ada suatu
permasalahan yang harus diterapkan hukumnya, tetapi tidak dijumpai dalam AlQuran maupun Al-Hadits. Maka jika dilihat dari fungsi Ijtihad tersebut, untuk
mendapatkan kedudukan dan legalitas dalam Islam (Syariah). Meskipun
demikian, Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang
memenuhi syarat-syarat tertentu yang boleh berijtihad.
8 Ibid hal. 98-100

12

Sebagai kesimpulanialah bahwa Ijtihad itu bersungguh sungguh memeriksa
dan dan menggali serta memahami dalam-dalam akan keterangan dari Al-Qur’an
dan Al-Hadits, hingga buat pertanyaan yang sulit-sulit dan buat kejadian-kejadian
yang luar biasa itu, bisa mereka dapatkan hukumnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits
atas jalan faham dengan susah payah atau jalan Qiyas. Orang berusaha seperti itu
dinamakan Mujtahid.Imam Syafi’i mengatakan bahwa seorang mujtahid tidak
boleh mengtakan “tidak tahu” dalam suatu permasalahan sebelum ia berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk meneliti, menelaah, menggali dan tidak boleh
mengatakan “aku tahu” seraya menyebutkan hukum yang diketahui itu sebelum ia
mencurahkan kemampuan dan mendapatkan hukum itu.

Sedangkan aplikasi Ijtihad itu dapat di terapkan pada empat cara dalam
bentuk transaksi yaitu;

1. Lisan. Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan
secara jelas.

2. Tulisan. Adakalanya, suatu perikataan (transaksi) dilakukan secara tertulis.
Hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung
dalam melakukan transaksi, atau untuk transaksi-transaksi yang sifatnya lebih
sulit, seperti yang dilakukan oleh badan hukum.

3. Isyarat. Suatu transaksi tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang normal,
orang yang cacat pun dapat melakukan transaksi (Al-Aqdu). Apabila cacatnya
adalah tuna wicara maka dimungkinkan akadnya dengan isyarat, asalkan
terdapat sepemahaman dalam transaksi tersebut.

4. Perbuatan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kini
transaksi dapat pula dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara lisan,
tulisan maupun isyarat. Hal ini dapat disebut dengan ta’ati atau mu’atah
(saling memberi dan menerima). Adanya perbuatan ini dari pihak yang telah

13

saling memahami perbuatan transaksi tersebut dengan segala akibat
hukumnya. Hal ini sering terjadi di supermarket yang tidak ada proses tawar
menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis
dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli datang ke meja kasir
menunjukkan bahwa di antara mereka akan melakukan transaksi jual-beli.9

a. Inovasi Produk Perbankan Syariah di Indonesia

Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang
beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah
menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh
golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan
berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan
hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan

harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan
produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan
bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat
spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan,
yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang. Maka jelaslah bahwa
urgensitas lembaga perbankan syariah di Indonesia ini setidaknya mencakup
empat hal, yaitu;

sebagai alternatif jasa keuangan, transaksi non spekulatif, reattachment, dan
fungsi social.

b. Program Pengembangan Perbankan Syariah
9 Rachmat Syafe’i op cit. Hal 77

14

Berbagai program konkrit dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand
strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah
sebagai berikut:

Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I
tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking,
dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri
sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai
perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset
sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III tahun 2010

1 Bank Indonesia, Laporan Pengembangan Perbankan Syariah 2010, Jakarta:10

Direktorat Perbankan Syariah, 2011.hal 32.Fahrur UlumAl-Qānūn, Vol. 17, No. 1,
Juni 2014/ menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah
terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan
pertumbuhan industri sebesar 81%.

Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek
positioning, differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai
perbankan yang salin. menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi
dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang

beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi
informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi
keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank
syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.

Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar
perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah
10 Ibid hal. 78

15

sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua
segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.

Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk
yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling
menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar
nama produk yang mudah dipahami.11

Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang
kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan
dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank
syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip
syariah; dan

Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien
melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media
cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman
tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat.Inovasi Produk Perbankan Syariah di Indonesia

Untuk menunjang perkembangan bank syariah, maka sosialisasi perbankan
syariah kepada masyakarat luas terus dilakukan dengan berbagai strategi, antara
lain strategi sosialisasi berbasis komunitas yaitu strategi komunikasi lebih
terfokus terhadap segmen nasabah sesuai dengan grand strategy pengembangan
pasar perbankan syariah (5 segmen nasabah : segmen pokoknya syariah, segmen
ikut arus, segmen sesuai manfaat dan kebutuhan, segmen terpaksa dan segmen
pokoknya konvensional). Untuk tahun 2010 kemarin prioritas komunitas yang
menjadi sasaran utama kegiatan sosialiasasi adalah: komunitas wanita dan pemuda
(women and youth), komunitas pengusaha (entrepreneurs) dan komunitas
pengguna internet (netizen) 12
11 Harjan Syuhada et.al. op cit hal. 102
12 Ibid hal. 102-103

16

17

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada
pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan
oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini.
Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid,
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan
segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.
Dalam Al-Qur’an disebutkan

18

DAFTAR PUSAKA
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Harjan Syuhada et.al. 2011. Fikih Madrasah Aliyah. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

19