Smart SOP dalam mitigasi dan penanganan

Peran dan Fungsi Standard Operation Procedure (SOP) dalam Mitigasi dan
Penanganan Bencana Alan di Jawa Barat

SMART SOP DALAM MITIGASI DAN
PENANGANAN BENCANA ALAM
Imam A. Sadisun, Dr. Eng.
Pusat Mitigasi Bencana – Institut Teknologi Bandung (PMB ITB)
KK Geologi Terapan – Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral ITB

PENDAHULUAN
Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi
fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air kita. Indonesia
merupakan negara kepulauan tempat dimana tiga lempeng besar dunia bertemu, yaitu
Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Interaksi antar
lempeng-lempeng tersebut lebih lanjut menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang
memiliki aktivitas kegunungapian dan kegempaan yang cukup tinggi. Lebih dari itu,
proses dinamika lempeng yang cukup intensif juga telah membentuk relief permukaan
bumi yang khas dan sangat bervariasi, dari wilayah pegunungan dengan lereng-lerengnya
yang curam dan seakan menyiratkan potensi longsor yang tinggi hingga wilayah yang
landai sepanjang pantai dengan potensi ancaman banjir, penurunan tanah, dan tsunaminya.
Yang menjadi masalah adalah sudahkah kita mengenal dengan baik berbagai jenis dan

karakter bahaya alam tersebut dan siapkah kita dalam menyambut kedatangannya
(Sadisun, 2005, 2006).
Potensi bencana alam ini telah diperparah oleh beberapa permasalahan lain yang muncul
di tanah air kita yang memicu peningkatan kerentanan. Laju pertumbuhan penduduk yang
sangat tinggi, sebagai salah satu contohnya, akan banyak membutuhkan kawasankawasan hunian baru yang pada akhirnya kawasan hunian tersebut akan terus
berkembang dan menyebar hingga mencapai wilayah-wilayah marginal yang tidak aman.
Tidak tertib dan tepatnya tata guna lahan, sebagai inti dari permasalahan ini, adalah
faktor utama yang menyebabkan adanya peningkatan kerentanan. Peningkatan
kerentanan ini akan lebih diperparah bila aparat pemerintahan maupun masyarakatnya
sama sekali tidak menyadari dan tanggap terhadap adanya potensi bencana alam di
daerahnya. Pengalaman memperlihatkan bahwa kejadian-kejadian bencana alam selama
ini telah banyak menimbulkan kerugian dan penderitaan yang cukup berat sebagai akibat
dari perpaduan bahaya alam dan kompleksitas permasalahan lainnya. Untuk itu
diperlukan upaya-upaya yang komprehensif untuk mengurangi resiko bencana alam,
antara lain yaitu dengan melakukan kegiatan mitigasi.
Makalah ini akan lebih menekankan pada aspek kajian resiko sebagai landasan mitigasi
bencana alam, yang lebih lanjut dapat digunakan dalam penanganannya. Sebagian besar
Page 1 of 6

isi makalah ini merupakan pengalaman-pengalaman kegiatan Pusat Mitigasi Bencana

ITB, terutama dalam pengembangan RADIUS (Risk Assessment Tools for Diagnostic of
Urban Areas Against Seismic Disaster) untuk Kota Bandung (LP ITB, 2000) dan
pengembangan metode RRA (Rapid Risk Assessment) untuk Kabupaten/Kota di
Indonesia (PMB ITB – Ristek, 2006a-b).

MITIGASI BENCANA BERBASIS KAJIAN RESIKO
Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi kerugian akibat
kemungkinan terjadinya bencana, baik itu berupa korban jiwa dan/atau kerugian harta
benda yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia. Untuk
mendefinisikan rencana atau strategi mitigasi yang tepat dan akurat, perlu dilakukan
kajian resiko (risk assessment).
Tidak semua potensi bahaya alam akan menimbulkan resiko bencana. Apabila suatu
peristiwa yang memiliki potensi bahaya terjadi di suatu daerah dengan kondisi yang
rentan, maka daerah tersebut beresiko terjadi bencana. Jadi resiko dipengaruhi oleh
faktor-faktor bahaya (hazards) dan kerentanan (vulnerability) (Gambar 1). Dalam hal ini
faktor kapasitas (capacity) dapat dianggap sebagai bagian dari faktor kerentanan, yang
dapat mengurangi kerentanan bila kapasitas daerah tersebut tinggi. Sebaliknya, apabila
kapasitas daerah rendah maka akan meningkatkan faktor kerentanannya.
Bahaya


Rangkaian Kerentanan
Penyebab yang
mendasari
Kemiskinan
Akses yang terhadap
terhadap :
• struktur-struktur
tenaga listrik
• sumber daya
Idiologi
Sistem ekonomi
Faktor-faktor prakondisi umum

Tekanan dinamis
Kurangnya :
• institusi lokal
• pendidikan
• pelatihan
• ketrampilan yang
memadai

• investasi lokal
• pasar lokal
• kebebasan pers
Kekuatan makro :
• ekspansi penduduk
• urbanisasi
• degradasi lingkungan

Kondisi tidak aman
Lingkungan fisik
yang rentan :
• lokasi yang
berbahaya
• infrastruktur dan
bangunan yang
berbahaya
Ekonomi lokal yang
rentan :
• kehidupan yang
beresiko

• tingkat pendapatan
yang rendah
Tindakan umum

Bencana
=
Kerentanan
+
Bahaya

Kejadian-kejadian
pemicu
Gempabumi
Angin kemcang
Banjir
Letusan Gunungapi
Tanah longsor
Kekeringan
Perang/konflik sipil
Kecelakaan teknologi


Gambar 1. Model hubungan antara resiko bencana, kerentanan dan bahaya (UNDP, 1992)

Pendekatan proaktif dalam pengurangan resiko bencana merupakan salah satu bagian
terpenting dari kegiatan mitigasi, yang pada akhirnya sebenarnya lebih ditujukan untuk
mengurangi tingkat resiko bencana. Secara umum kerangka pengurangan resiko dapat
diperlihatkan dalam Gambar 2. Melalui kajian resiko, gambaran potensi bahaya alam
yang mungkin terjadi di suatu daerah dapat diketahui, prioritas-prioritas bahaya dan
kerentanannya pun dapat diidentifikasi dengan tepat. Kajian resiko bencana secara umum
dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya adalah probabilistic definition of
risk, scenario analysis, risk indexing, risk matrix analysis, dan multiple risk mapping.
Terkait dengan kajian resiko ini, Pusat Mitigasi Bencana ITB pernah menerapkan dan
mengembangkan RADIUS untuk Kota Bandung (LP ITB, 2000) dan pengembangan
metode RRA untuk Kabupaten/Kota di Indonesia (PMB ITB – Ristek, 2006a-b).

Page 2 of 6

Gambar 2. Kerangka pengurangan resiko bencana (UNISDR, 2002).

SMART (SUSTAINABLE MITIGATION AND ADAPTATION RISK TOOLKITS)

Kegiatan mitigasi bencana hendaknya merupakan kegiatan yang bersifat rutin dan
berkelanjutan (sustainable). Hal ini berarti bahwa kegiatan mitigasi seharusnya sudah
dilakukan dalam periode jauh-jauh hari sebelum kejadian bencana, yang seringkali
datang lebih cepat dari waktu-waktu yang diperkirakan, dan bahkan memiliki intensitas
yang lebih besar dari yang diperkirakan semula.
Selain itu, pemerintah hendaknya juga aktif memberikan berbagai arahan yang tepat dan
berkesinambungan dalam menghadapi peristiwa bencana atau dengan kata lain bisa
beradaptasi dengan resiko potensi bencana yang ada. Perlu diperhatikan bahwa untuk
setiap arahan yang ada hendaknya menjaga kesederhanaan sistem dan prosedur.
Berkaitan dengan hal ini, Kletz (1993) mengemukakan bahwa “organizations have no
memory; only people have memories and they move on”. Dengan kesederhanaannya,
diharapkan masyarakat bisa memahaminya dengan baik, terutama bagi masyarakat yang
terkena bencana, sehingga pada saat kejadian bencana dan dalam kondisi darurat,
diharapkan mereka mampu menanggapinya serta mampu melakukan proses pemuliham
darurat secara mandiri. Inilah yang sebenarnya merupakan salah satu pengembangan

Page 3 of 6

keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan bencana, yang berbasis kepada kemampuan
masyarakat itu sendiri dan bertumpu kepada kemampuan sumber daya setempat

(community based disaster management).

SMART SOP
Selain untuk keperluan mitigasi, kajian resiko untuk bahaya dari berbagai jenis potensi
bahaya alam lebih lanjut dapat juga dapat digunakan sebagai dasar dalam
mengembangkan rencana operasi darurat atau emergency operation plan (EOP), atau
dalam bentuk SOP yang terjangkau (achievable/workable), sederhana, dan tepat
(appropriate). Pada dasarnya EOP dan SOP merupakan kerangka dasar dalam rencana
tanggap darurat yang terkoordinasi dan efektif, karena di dalamnya umumnya telah
mendefinisikan peranan dan tanggung jawab seluruh stakeholder seperti pemerintah,
organisasi swasta dan sukarelawan, dan badan-badan lain yang terdapat di dalam suatu
wilayah negara (Gambar 3). Dalam hal ini, termasuk di dalamnya antara lain yaitu
perencanaan kegiatan-kegiatan sebelum kejadian bencana dan kesiapsiagaan,
perencanaan organisasi, dan kehumasan untuk mengatur aliran informasi. Atau dengan
kata lain bahwa dalam SOP diperlukan perencanaan terintegrasi, manajemen, dan
pendekatan kesiapsiagaan terkait dengan potensi bencana yang ada.

Gambar 3. Peranan berbagai stakeholder.

SOP yang efektif juga akan mencakup berbagai variasi bentuk koordinasi dan cara

pengambilan keputusan. Koordinasi sangat penting dilakukan dimana berbagai pihak
umumnya akan terlibat dalam penanganan bencana. Selain itu, sebuah SOP haruslah
SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant and Time-bound), dengan beberapa
ketentuan dasar yang antara lain meliputi :
• Mendefinisikan berbagai aktivitas apa saja yang harus dilakukan dalam kondisi
darurat
• Menetapkan tolak ukur untuk menilai suatu pencapaian aktivitas

Page 4 of 6






Menyusun antisipasi faktor-faktor yang paling beresiko dan usaha-usaha
menguranginya apabila mungkin
Membangun jaringan dalam melakukan pertolongan darurat, termasuk diantaranya
jaringan informasi
Melakukan estimasi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan

masing-masing aktivitas
Membuat jadwal dengan cermat dan sistematis keseluruhan kegiatan yang diperlukan
selama kondisi darurat (Gambar 4)

Gambar 4. Peranan dan kerangka waktu ideal berbagai stakeholder setelah bencana.

Pemerintah sebagai salah satu stakeholder, dalam hal ini Bakornas PBP, hendaknya aktif
melaksanakan kolaborasi dengan agen/organisasi nasional maupun internasional antara
lain untuk :
• Menyediakan pengetahuan dasar yang memadai bagi masyarakat tentang kajian
resiko dan penerapan mitigasinya
• Melaksanakan dan menggambarkan kolaborasi untuk maksud di atas
• Membantu dalam proses pembuatan atlas atau peta kerentanan
• Melaksanakan kolaborasi dalam program pengembangan kapasitas nasional untuk
autoritas lokal dan praktisi sektor swasta dalam budaya pencegahan bencana
SOP juga sebaiknya lebih banyak disebarluaskan dan dapat dimengerti dengan baik oleh
seluruh komponen yang terkait (stakeholder) dalam rangka mempercepat respon darurat
(reduce reaction time), memperbaiki koordinasi (networking) dan mengurangi kekisruhan
(confusion).


CATATAN PENUTUP
Secara sadar ataupun tidak sadar, saat ini kita telah berada di daerah berpotensi bencana.
Untuk itu, pemahaman dan usaha-usaha pengelolaan bencana secara dini dan
Page 5 of 6

berkesinambungan perlu dilakukan, sehingga kita bisa hidup nyaman berdampingan
dengannya (Sadisun, 2004).
Salah satu strategi dalam rangka mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya
bencana yaitu dengan melakukan mitigasi secara rutin dan berkelanjutan (sustainable).
Mitigasi akan lebih tepat dan akurat melalui pendekatan kajian resiko. Pendekatan
proaktif dalam pengurangan resiko bencana merupakan salah satu bagian terpenting dari
kegiatan mitigasi, yang pada akhirnya diharapkan setiap masyarakat dapat beradaptasi
dengan resiko potensi bencana yang ada.
Bentuk SOP yang terjangkau (achievable/workable), sederhana, dan tepat (appropriate)
perlu menjadi dasar dalam pengembangan SOP dalam mitigasi dan penanganan bencana
alam di Jawa Barat.

DAFTAR PUSTAKA
ISDR, 2002, Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiatives.
Geneva: United Nations, International Strategy for Disaster Reduction.
Kletz, T., 1993. Lessons from disaster: how organizations have no memory and accidents
recur. Institution of Chemical Engineers: Rugby, England.
LP ITB, 2000. Risk Assessment Tools for Diagnostic of Urban Areas Against Seismic
Disaster. Kerjasama Indonesian Urban Disaster Mitigation Project, Lambaga
Penelitian, Institut Teknologi Bandung – International Decade for Natural Disaster
Reduction, United Nation (tidak dipublikasikan).
PMB ITB – Ristek, 2006a. Kajian kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana:
Penyusunan pelaksanaan kajian resiko bencana alam. Kerjasama Institut Teknologi
Bandung – Kementrian Negara Riset dan Teknologi (tidak dipublikasikan).
PMB ITB – Ristek, 2006b. Identifikasi kapasitas daerah dalam manajemen bencana.
Kerjasama Institut Teknologi Bandung – Kementrian Negara Riset dan Teknologi
(tidak dipublikasikan).
Sadisun I. A., 2004. Manajemen bencana: Strategi hidup di wilayah berpotensi bencana.
Keynote Speaker pada Lokakarya Kepedulian Terhadap Kebencanaan Geologi dan
Lingkungan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, 2-3 Desember
2004.
Sadisun I. A., 2005. Usaha pemahaman terhadap stabilitas lereng dan longsoran sebagai
langkah awal dalam mitigasi bencana longsoran. Invited Speaker pada Workshop
Penanganan Bencana Gerakan Tanah. Bandung, Direktorat Volkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, 15-16 Desember 2005.
Sadisun I. A., 2006. Kajian ketidakstabilan lereng dan kerentanan gerakan massa
tanah/batuan sebagai satu upaya dini dalam penanggulangan bencana. Invited
Speaker pada Seminar on the Active Geosphere, Satellite Office KAGI21 - ITB, 27
Februari 2006.
UNDP, 1992. Tinjauan Umum Manajemen Bencana. UNDP Program Pelatihan
Manajemen Bencana, Edisi ke-2.

Page 6 of 6