Anak dan Kekerasan Kritik terhadap Cerpe

ANAK DAN KEKERASAN: KRITIK TERHADAP CERPEN
“PADA SUATU HARI, ADA IBU DAN RADIAN” KARYA
AVIANTI ARMAND
Achmad Muchtar
12/335233/SA/16701

PENGANTAR
Akhir-akhir ini cerpen mulai marak di surat kabar—yang kemudian disebut
sebagai sastra koran. Surat kabar nasional seperti Kompas, Koran Tempo, Republika,
Media Indonesia, Jawa Pos, Suara Merdeka, dan sebagainya meramaikan istilah
sastra koran itu sendiri. Sastra koran menunjuk istilah cerpen yang membedakan
dengan cerpen kebanyakan. Pembedanya adalah cerpen-cerpen ini lebih dibatasi oleh
jumlah karakter—misal cerpen di harian Kompas dibatasi hingga 10.000 karakter
termasuk spasi—dan pembukaan cerita yang semenarik mungkin supaya pembaca
dapat menikmati cerpen dengan sekali duduk.
Kompas dinilai sebagai media yang banyak melahirkan cerpenis-cerpenis
andal, seperti Kuntowijoyo, Radhar Panca Dahana, Seno Gumira Ajidarma, Jujur
Prananto, Danarto, Budi Darma, Ratna Indraswari Ibrahim, Djenar Maesa Ayu,
hingga Avianti Armand. Setiap tahun—mulai tahun 1992, kecuali tahun 1998—
Kompas selalu menerbitkan kumpulan cerpennya dan memilih satu judul cerpen
terbaiknya—kecuali tahun 2011, Kompas memilih 2 cerpen terbaiknya. Banyak

sekali cerpen berkualitas yang lahir dari koran nasional ini, seperti "Sepotong Senja

untuk Pacarku" karya Seno Gumira Ajidarma, "RT 03 RW 22: Jalan Belimbing Atau
Jalan 'Asmaradana'" karya Kuntowijoyo, "Sepi Pun Menari di Tepi Hari" karya
Radhar Panca Dahana, "Doa yang Mengancam" karya Jujur Prananto", hingga "Pada
Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian" karya Avianti Armand. Kompas secara bertahuntahun dijadikan ajang kompetisi bagi para cerpenis Indonesia. Seseorang yang
cerpennya pernah dimuat di Kompas, maka secara tidak langsung ia mendapat
semacam ‘sertifikat pengakuan’ sebagai cerpenis. Kompas hingga saat ini menjadi
tolak ukur cerpen berkualitas di Indonesia.
“Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian” adalah cerpen karya Avianti Armand
yang menjadi Cerpen Kompas Pilihan 2009—bukan Cerpen Pilihan Kompas karena
dipilih oleh dua orang di luar Kompas. Cerpen yang sudah mempunyai label
penghargaan pasti kualitasnya tidak bisa diragukan lagi. Namun, mengapa perlu ada
yang memperbincangkan lagi bahkan mengkritik cerpen yang sudah memiliki
pengakuan sekelas Kompas? Mengapa perlu ada kritikus yang menghakimi cerpen
yang sudah diakui sebagai cerpen yang bernilai tinggi?
Karya sastra adalah sesuatu yang mati ketika dibiarkan menumpuk di rak-rak
buku dan akan menjadi hidup jika ada yang membacanya. Jelas-jelas bahwa pembaca
yang berperan penting dalam menilai karya sastra itu. Di sinilah mengapa Umar
Junus mengemukakan pendapat bahwa resepsi sastra itu diperlukan dalam menelaah

karya sastra. Junus (1985:1) mengemukakan bahwa resepsi sastra memungkinkan
pembaca untuk memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga
dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin

bersifat pasif atau sebaliknya. Seperti diketahui bahwa reaksi setiap pembaca dalam
membaca karya sastra adalah berbeda-beda dan mungkin tidak akan pernah sama
persis bagaimana mereka memaknai sebuah karya sastra. Maka dari itu kritik sastra
itu dimunculkan bukan hanya dari satu kalangan atau kelompok saja tetapi dari
pembaca dengan latar belakang yang berbeda.
Karya sastra yang sudah dinilai bagus oleh seseorang belum tentu bagus
ketika dinilai oleh orang lain. Ini membuktikan bahwa interpretasi setiap orang itu
berbeda-beda. Tidak mungkin pendapat setiap orang itu seragam. Tingkat
pemahaman setiap orang pun juga berbeda-beda. Apalagi horison harapan setiap
pembaca juga pasti berbeda. Horison harapan itu ditentukan oleh latar belakang
pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya
sastra (Pradopo, 2003:208). Misalnya, pendapat seorang pembaca karya sastra dan
budayawan, pembaca karya sastra akan menilai karya sastra itu berdasarkan karyakarya yang pernah ia baca, berbeda dengan budayawan, ia akan menilai karya sastra
berdasarkan nilai-nilai kehidupan yang ia kaitkan dengan kehidupan bermasyarakat.
Maka dari itu, kritik terhadap karya sastra itu tak dapat berhenti jika karya sastra itu
telah dinilai. Perlu ada pengkritik lain yang memperbincangkannya. Maka dari itu

beberapa kritik pun bisa saling melengkapi maupun menimbulkan polemik. Dalam
dunia kesusastraan, polemik inilah yang paling banyak dicari.
Kritik sastra menurut M.H. Abrams (dalam Pradopo, 1997:11) adalah studi
yang berhubungan dengan pendefinisian, penggolongan (klasifikasi), penguraian
(analisis), dan penilaian (evaluasi). Seorang kritikus melakukan klasifikasi terhadap

karya sastra, seperti memilah-pilah karya sastra itu berdasarkan genre-nya, apakah
karya sastra itu termasuk drama, puisi, atau prosa. Kemudian kritikus sastra
melakukan analisis terhadap suatu karya, seperti melakukan tafsir terhadap karya
sastra. Kemudian puncaknya, kritikus sastra memberikan evaluasi terhadap karya
sastra, yaitu dengan menilai karya sastra itu, apakah baik atau buruk.
Abrams (dalam Pradopo, 1997:26—27) membagi karya sastra berdasarkan
pendekatannya ke dalam empat tipe, yaitu kritik mimetik—yang memandang karya
sastra sebagai tiruan, pencerminan, atau penggambaran dunia dan kehidupan
manusia; kritik pragmatik—yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang
dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada pembaca; kritik ekspresif—yang
memandang karya sastra sebagai ekspresi jiwa dari pengarang; dan kritik objektif—
yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari pengarang,
pembaca, dan dunia yang mengelilinginya.


KRITIK MIMETIK
KRITIK mimetik adalah kritik yang dalam orientasinya memandang karya sebagai
tiruan, pencerminan, atau penggambaran dunia kehidupan manusia (Pradopo,
1997:26). Ini dapat berarti bahwa karya sastra yang bagus adalah yang mendekati
aslinya, karya yang dipandang tidak serta-merta ada, melainkan merupakan tiruan
semesta. Hal itu dapat berupa imajinasi pengarang yang memungkinkan hal itu dapat
terjadi di dunia nyata atau dengan kata lain kelogisan dalam bercerita sangat masuk
akal. Karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang memiliki alur yang logis dan

dapat diterima oleh pembacanya sehingga pembaca dapat membayangkan jika cerita
dalam karya sastra itu dapat terjadi di dunia nyata.
Cerpen “Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian” menyajikan sebuah drama
keluarga. Sebuah jalinan kekerasan rumah tangga pemabuk yang berujung pada
pembunuhan sang ayah sebagai sebab dari penderitaan tak tertanggungkan istri dan
anaknya. Cerpen ini menyajikan sebuah realita kehidupan masyarakat perkotaan.
Kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi dasar dari pembunuhan yang sadis oleh
seorang anak bisa saja terjadi di dunia nyata. Seorang anak yang murung luar biasa
karena melihat orang yang ia sayangi—ibunya—pasti bisa melaukan hal di luar
batasnya sebagai seorang anak. Di sinilah sebuah drama keluarga yang cukup
menyeramkan disuguhkan dengan kesedihan-kesedihan yang tersusun rapi dari awal

hingga akhir.
Jalinan ceritanya secara garis besar dapat dikatakan logis. Dimulai ketika
Radian menggambar ilustrasi mencekam tentang pembunuhan sang naga. Radian
secara psikologis menangkap apa yang dirasakannya pada jiwanya yang kemudian ia
tumpahkan ke sebuah gambar. Anak bisa saja menggambarkan hal-hal yang tidak
biasa karena sepanjang hidupnya ia dijejali oleh fenomena-fenomena yang
seharusnya bukan konsumsinya. Ia terlalu banyak melihat kekerasan. Oleh sebab
itulah gambar-gambar yang ia gambar terlalu miris untuk sebuah gambar seorang
yang masih kanak-kanak.
Lalu cerita berlanjut ke sebuah pembunuhan Ayah Radian oleh Radian.
Mungkin akan ada sebuah pertanyaan, apakah mungkin seorang anak yang masih

kecil dapat membunuh orang yang lebih besar darinya? Hal demikian bisa saja
terjadi. Seorang anak pun bisa membunuh orang yang badannya lebih besar
darinya—dengan pisau. Lalu pertanyaan berikutnya mungkin adalah apakah sang
ayah

tidak

melakukan


perlawanan?

Hal

demikian

mungkin

yang

patut

diperbincangkan dalam cerita ini. Radian menikam ayahnya dari depan, seharusnya
terjadi sebuah perlawanan, tetapi di dalam cerpen ini, Radian tidak terluka. Ini
membuktikan bahwa di pembunuhan itu tidak terjadi perlawanan dari Ayah Radian
Lalu yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bahwa berapa tinggi si anak ini?
Pertanyaan ini muncul kendati sang ayah ditikam dadanya. Apakah mungkin seorang
anak yang masih kecil bisa menikam dada ayahnya dari depan dan tanpa perlawanan?
Jika Radian memang sudah besar, itu mungkin dapat dikatakan logis, tetapi di dalam

cerpen ini, Radian digambarkan masih kecil.
Cerita berlanjut pada pembunuhan hamster. Seorang anak yang selama
hidupnya dicekoki oleh kekerasan, mungkin ia akan mempraktikkannya pada sesuatu
di sekitarnya. Radian mencekik hamsternya sebagaimana Ayah Radian mencekik Ibu
Radian. Ia ingin membuktikan betapa kematian telah mendekati Ibu Radian. Maka
dari itulah mungkin Radian ingin sang ayah enyah dari kehidupannya. Emosi
demikian bisa saja terjadi pada seorang anak.
Kemudian cerita berlanjut ke sebuah masa lalu cikal bakalnya hubungan ayah
dan ibu. Bermula dari kehamilan yang tidak diinginkan, mereka harus menanggung
risikonya. Keluarga mereka masing-masing berkehendak agar mereka berdua
menikah untuk menjaga nama baik keluarga mereka maisng-masing. Hal ini bukan

hal yang baru dalam dunia masyarakat kita. Sudah banyak kasus pasangan hamil di
luar nikah dan mereka dipaksa kawin. Karena keterpaksaan itulah lalu muncul
hubungan yang tidak harmonis dan tidak diinginkan sebelumnya. Ibu Radian tidak
mencintai Ayah Radian, begitu sebaliknya. Mungkin dari hal itulah maka terjadilah
kekerasan yang bertubi-tubi di antara mereka. Lalu yang membuat mereka tetap
bertahan pada hubungan suami istri digambarkan jelas dalam cerpen ini, bahwa orang
tua Ibu Radian itu sakit jantung yang dapat berarti ia harus tetap bersama Ayah
Radian agar sakit jantung orang tuanya tidak kambuh. Hal ini dapat dikatakan logis,

tetapi plot seperti itu membuat kelogisan itu terkean dibuat-buat dan mengada-ada.
Memang dalam hal kelogisan, Avianti Armand telah berusaha meyakinkan
pembacanya bahwa hal-hal tersebut dapat mungkin terjadi di dunia nyata.

KRITIK OBJEKTIF
KRITIK objektif adalah kritik sastra yang mendekati karya sastra sebagai sesuatu
yang berdiri bebas dari penyair, audience, dan dunia yang mengelilinginya. Kritik ini
menganalisis karya sastra sebagai sebuah objek berdiri sendiri atau utuh yang otonom
yang harus dianalisis detail-detailnya dengan kriteria intrinsik (Pradopo, 1997:26).
Fakta-fakta cerita merupakan detail-detail yang diorganisasikan dengan baik oleh
pengarang. Fakta-fakta cerita inilah yang pertama-tama tampak dengan jelas di depan
mata pembaca. Fakta-fakta cerita ini terdiri atas tiga elemen, yaitu alur, tokoh, dan
latar (Stanton dalam Pujiharto, 2012:27).

Stanton (2012:26) menyebutkan bahwa alur merupakan rangkaian-rangkaian
peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa
yang terhubung secara kausal saja yang menyebabkan berbagai peristiwa lain dan
tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Cerpen ini
menyajikan alur mundur atau flashback. Dimulai ketika sebuah gambar dan
terjadinya pembunuhan. Berikutnya adalah cerita mengenai masa lalu Radian dan Ibu

Radian—mengapa Ibu Radian tetap bertahan dengan suami yang selalu menyiksanya
hingga alasan-alasan psikologis Radian membunuh ayahnya.
Selain alur, fakta lain yang terdapat dalam cerpen adalah tokoh. Keberadaan
elemen ini sangat penting karena tanpa tokoh, tidak akan ada cerita (bdk, Pujiharto,
2012:43). Istilah tokoh menunjuk pada pelaku cerita. Sedangkan karakter menunjuk
pada sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh
(Stanton dalam Pujiharto, 2012:44). Tokoh-tokoh utama yang mendominasi cerpen
ini ada tiga, yaitu Radian, Ibu Radian, dan Ayah Radian. Mereka mempunyai karakter
yang masing-masing kuat. Sang anak—Radian—merupakan anak yang manis dan
murung karena terlalu banyak melihat adegan kekerasan. Ia mudah goncang hatinya
dengan mencoba apa yang dilakukan ayahnya kepada ibunya pada hamster. Ia juga
merupakan anak yang suka menggambar, terutama gambar yang mengekspresikan
suasana kejiwaannya. Lalu ada Ibu Radian yang digambarkan sebagai sosok wanita
yang kuat dan sangat sayang pada anaknya. Terakhir adalah Ayah Radian yang
berwatak jahat, pemabuk, dan suka melakukan kekerasan pada Ibu Radian—bahkan
pada Radian.

Latar adalah elemen fiksi yang menyatakan di mana dan kapan terjadinya
peristiwa. Menurut Abrams (dalam Pujiharto, 2012: 47—48) latar cerita adalah
lingkungan yang secara umum berkenaan dengan tempat, waktu, sejarah, dan sosial

yang di dalamnya terjadi aksi. Dalam cerpen ini, latar sangat tergambar jelas. Di
rumah dan di sekolah. Latar rumah menjadi yang dominan dalam cerpen ini. Untuk
masalah suasana, cerpen ini cukup jelas menggambarkan suasana yang mencekam
lewat gambar-gambar yang dibuat Radian dan lewat diksi-diksi berupa simbol yang
dapat menjabarkan latar suasana cerpen ini.
Senja menjatuhkan sinar ke atas meja. Radian telah selesai
mmenggambar. Ia membalik kertasnya dan menunjukkannya padaku.
...
Jendela kaca memantulkan gambar-gambar suram itu.
Perempuan ringkih dan anak rapuh. Anak itu masuk ke dalam kamar
dan kembali dengan sepotong handuk. Perlahan ia menggeret kursi
untuk ibunya. Dengan lembut, diusapnya luka di wajah perempuan itu.
...
Siang itu, kami berbaring bersisian di lantai, di depan kamar
mandi yang berkubang merah, melingkupi tubuh lelaki itu yang pernah
hidup. Matahari kuning membanjiri. Terang. Terlalu benderang untuk
melihat gambar yang dibuat Radian, dalam menit-menit—entah berapa
lama—aku berdiam dalam gelap. Aku menatap matanya, tetapi ia
menghindar. Direntangkannya gambarnya di depan wajahku. Aku
memicing.


Secara sosial, latar cerpen ini terjadi di perkotaan—dengan tidak
digambarkannya suasana sekitar rumah. Latar rumah dalam cerpen ini sepertinya di
apartemen atau rumah susun mengingat tidak ada reaksi dari tetangga.
Sarana-sarana cerita merupakan metode memilih dan menyusun detail cerita
agar tercapai pola-pola yang bermakna oleh pengarang (Stanton, 2012:46). Sarana-

sarana cerita diperlukan untuk bisa mengutarakan masud pengarang. Dalam bukunya
An Introduction to Fiction yang telah diterjemahkan oleh Sugihastuti dan Rossi Abi
Al Irsyad, Stanton membagi sarana-sarana itu mulai dari judul, sudut pandang, gaya,
dan tone, simbolisme, hingga ironi (bdk, Stanton 2012:46—47). Judul merupakan
identitas suatu karya sastra. Karya sastra dapat dikenal orang, pertama kali melalui
judulnya. Dalam kaitannya dengan isi cerita, judul karya sastra pada umumnya
relevan dengan karya sastra. Judul cerpen ini adalah Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan
Radian yang merujuk pada tulisan mencang-mencong pada gambar yang dibuat
Radian. Ini menggambarkan sebuah keinginan sang tokoh utama untuk hidup hanya
berdua saja tanpa ayah yang sering menyakiti mereka. Hal ini sangatlah sesuai
dengan makna yang terkandung di dalam cerpen ini.
Sudut

pandang

adalah

posisi

pusat

kesadaran

pengarang

dalam

menyampaikan ceritanya (Pujiharto, 2012:66). Sudut pandang dalam cerpen ini tidak
jelas. Dari sudut pandang orang ketiga berubah menjadi sudut pandang orang pertama
secara tiba-tiba tanpa aba-aba sebelumnya.
Aku tidak lapar, Ibu. Anak lelaki itu ketakutan. Tetapi,
perempuan itu tetap berjalan ke dapur. Ia tidak membuka lemari
pendingin, tidak meletakkan panci di atas api. Ia cuma mengambil pisau
dan berdiri di depan meja. Begitu saja. Lama sekali. Matanya menatap
ke depan. Kosong. Kemudian tangannya mulai bergerak, dengan
gerakan memotong-motong sesuatu yang tak terlihat. Sesuatu yang
mungkin hanya ada di kepalanya. Pelan awalnya. Lalu makin cepat.
Keringat turun berbulir-bulir dari dahinya. Air turun berbulir-bulir dari
matanya. Anak lelaki itu tak berani mendekat. Ia cuma menatap
punggung ibunya yang berguncang keras. Sesuatu dari dalam telah
merusak perempuan itu, sedikit demi sedikit. Ia tak mengenalinya lagi.
Aku tak mengenalinya lagi.

Perubahan sudut pandang ini bukan satu-dua kali terjadi, maka sebaliknya juga
kerapnya perubahan narasi ke tuturan orang ketiga kiranya mempunyai maksud
tersendiri.
Malam terasa berat, tetapi sinar bulan cukup untuk
meremangkan ruang. Perempuan dalam cermin itu diam, meski tahuntahun yang tertoreh di wajahnya, di tubuhnya, bertutur. Aku tidak
mengenalinya. Wajah itu bukan wajahku. Mata itu bukan mataku.
Tubuh itu terlalu kering untukku. Ia sembab dan biru. Mungkin lelah.
Atau putus asa. Tetapi, jelas ia marah. Kemarahan membayang seperti
sayap-sayap hitam seekor gagak, menyambar dan mencakar-cakar
wajah itu, meninggalkan kerut-kerut dalam.
...
PADA SUATU HARI, ADA IBU DAN RADIAN
Cuma kita berdua, Ibu.

Perubahan sudut pandang dalam cerpen ini bukanlah peristiwa langka apalagi baru
adanya. Meskipun demikian, menilik kerapnya perubahan sudut pandang yang
demikian memang kurang bagus untuk sebuah cerpen. Alangkah baiknya jika cerpen
ini berfokus pada satu sudut pandang.
Konflik adalah elemen dasar yang membangun alur. Konflik dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu konflik internal yang hadir melalui hasrat dua orang tokoh atau
hasrat seorang tokoh dengan lingkungannya, dan konflik eksternal atau konflik utama
sebagai puncaknya. Konflik internal dalam cerpen ini adalah tidak kekerasan yang
dilakukan Ayah Radian kepada Ibu Radian yang menyebabkan timbulnya konflik
batin Radian yang ia curahkan melaui gambar-gambar yang membuat miris. Konflik
eksternalnya atau sebagai konflik utama, yaitu pembunuhan yang dilakukan Radian
terhadap Ayah Radian.

Gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Tone adalah sikap
emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita (Stanton, 2012:61—64). Gaya
bahasa pado cerpen ini bergaya stactaco, ringan namun mendalam. Kata-katanya
dibuat singkat dengan penggambaran suasana yang padat. Ini memang menjadi
sebuah ciri dari cerpen bahwa dengan kata-kata yang tidak panjang lebar, dapat
menggambarkan secara luas.
Menurut Stanton, simbolisme merupakan cara pengarang dalam menampilkan
gagasan dan emosinya agar tampak nyata. Simbolisme dalam cerpen ini sangat
banyak dan begitu kuat. Dimulai dengan simbol-simbol yang berbentuk semacam
artefak aksi, seperti napas tersengal, muka biru memar, mata lebam, sosis dan selada
lumat, dan darah membual. Lalu ada simbolisme yang menyatakan emosi, seperti
getir, pedih, takut, amarah, dan tergugu. Lalu ada simbolisme yang menyatakan
komunikasi, seperti ujaran, tatapan, senyuman, sentuhan, senyuman, sentuhan,
pelukan, dan lemparan. Simbol-simbol berupa warna juga mendominasi suasana
mencekam cerpen ini, seperti langit jadi merah, tinta gurita, merah, hitam, kelabu,
dan kutipan berikut.
Rasa dingin tiba-tiba merayapi punggungku. Wajah itu terlalu
putih, bahkan untuk pagi yang masih biru. Aku segera mendekat. Dan
di sana, di balik pintu yang separuh terbuka, tubuh suamiku tergeletak.
Sebilah pisau menancap di dada. Darah membual dari lukanya. Lantai
yang putih kini berkubang merah. Duniaku seketika hitam.

Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan 'makna' dalam pengalaman
manusia atau sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat (Stanton,

2012:36). Tema dalam cerpen ini bukanlah tema baru. Tema ini bahkan sering terjadi
di dunia nyata bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat membuat anak menjadi
liar. Dalam cerpen ini tema kekerasan dalam rumah tangga menjadi pondasi
bergeraknya alur dan berbagai konfliknya.

KRITIK EKSPRESIF
KRITIK ekspresif adalah kritik sasstra yang memandang karya sastra terutama
dalam hubugannya dengan penulis sendiri. Kritik ini mendefinisikan karya sastra
sebagai ekspresi, curahan, atau ucapan perasaan, atau sebagai produk-produk
imajinasi pengarag yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan
perasaan-perasaannya (Pradopo, 1997:27).
Avianti Armand adalah seorang arsitek yang lahir pada tanggal 12 Juli 1969
di Jakarta. Ia mengajar sebagai dosen tamu di Jurusan Arsitektur Universitas
Indonesia dan Desain Interior Fakultas Desain Interior Universitas Pelita Harapan.
Tahun 2009, ia menggagas bengkel kerja dan pameran arsitektur dan kota yang
diselenggarakan di Salihara. Tahun 2009, ia menjadi kurator Pameran Arsitek Muda
Indonesia. Ia adalah kontributor tetap untuk artikel arsitektur di U Magazine. Ia juga
menjadi editor sekaligus salah satu penulis jurnal perjalanan arsitektur berjudul
Haikk!. Ia menulis buku berupa kumpulan cerpen berjudul Negeri Para Peri
(Pambudy, 2010:167).
Avianti Armand adalah seorang arsitek, hal ini dapat mendeskripsikan
mengapa dalam cerpen “Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian”, Avianti Armnad

lebih banyak bertutur tentang latar suasana yang menjadi semacam ‘desain interior’
dalam cerpen itu. Latar suasana sangat tergambar jelas tentunya merupakan buah dari
seorang pengamat ruang. Dengan demikan, Avianti Armand sangat lihai dalam
menuliskan arsitektur imaji yang solid dan tegas.

KRITIK PRAGMATIK
KRITIK pragmatik adalah kritik sastra yang memandang karya sastra sebagai
sesuatu yang dibangun untuk mendapatkan efek-efek tertentu pada pembaca, baik
berupa efek-efek kesenangan estetik maupun ajaran atau pendidikan, dan efek-efek
yang lain. Kritik ini cenderung menilai karya sastra menurut berhasilnya mencapai
tujuan tersebut (Pradopo, 1997:26).
Cerpen ini mengingatkan pada beberapa kisah sosial yang dramatis. Pertama,
tentang hubungan seks di luar nikah. Kedua, kehamilan yang tak diinginkan. Ketiga,
kawin paksa. Keempat, kekerasan dalam rumah tangga. Dan yaang terakhir, anak
yang menjadi korban. Kelima hal ini cukup tersaji secara bagus dalam cerpen yang
mengalir begitu kelam lewat imaji-imaji yang liar dan lugas.
Cerpen ini dapat memberikan beberapa hal kepada pembaca, yaitu tentang
berbahanya hubungan di luar nikah yang dapat membuahkan sebuah keluarga yang
dipaksakan ada. Keluarga yang dipaksakan ini dapat menghasilkan sebuah wacana
kekerasan dalam rummah tangga yang berakhir pada anak sebagai korban. Di dalam
cerpen ini, anak meluapkan emosi yang menjadi-jadi yang mungkin menjadi
tamparan kepada pembaca agar lebih memperhatikan anak. Keluarga yang harmonis

dan sempurna adalah keluarga yang telah terencana dengan matang. Cerpen ini
berhasil menampilkan semua permasalahan itu melalui cerita yang sangat enak dibaca
ini.

SIMPULAN
Dari kelogisan, cerita dalam cerpen ini mungkin bisa saja terjadi di dunia
nyata, walaupun Avianti Armand memaksakan adanya alasan-alasan yang terkesan
dipaksakan ada. Pun pada sudut pandang yang berubah tanpa aba-aba dapat
membingungkan pembaca walau memang ini adalah sebuah ekspresi dari seorang
arsitek. Sebauknya memang cerpen ini memiliki satu sudut pandang agar cerita dapat
mengalir secara meyakinkan. Namun, dalam segi gaya penceritaan dan latar suasana,
cerpen ini berhasil. Tidak hanya itu, cerpen ini juga penuh makna dengan
diangkatnya tema kekerasan dalam rumah tangga dengan reaksi anak yang di luar
nalar membuat cerpen ini tidak terkungkung pada batasan-batasan imaji. Cerpen ini
berhasil dalam bertutur dan memberikan makna bagi para pembacanya. Ini adalah
salah satu cerpen cerbaik yang pernah dimuat di harian Kompas. Tak mengherankan
memang jika cerpen ini terpilih sebagai Cerpen Kompas Pilihan 2009. “Pada Suatu
Hari, Ada Ibu dan Radian” adalah salah satu cerpen yang bagus dalam kesusastraan
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Pambudy, Ninuk Mardiana (ed.). 2010. Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian:
Cerpen Kompas Pilihan 2009.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1997. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Pujiharto. 2012. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi Robert Stanton (diterjemahkan oleh Sugihastuti
dan Rossi Abi Al Irsyad). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Cerpen “Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian” dimuat pertama kali di harian
Kompas, Minggu, 15 Februari 2009, hlm. 20.