Globalisasi dan Politik Ekonomi Internas

Globalisasi dan Politik Ekonomi Internasional: Kesenjangan Utara-Selatan
Oleh:
Bimo Aryo Wibowo (11141130000087)
Muhammad Aria (11141130000094)
Putri Larasati (11141130000043)

A. Kedaulatan Negara dan Globalisasi
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berlaku terhadap seluruh
wilayah dan segenap rakyat dalam negara tersebut. Kedaulatan juga merupakan kekuasaan penuh
untuk mengatur seluruh wilayah negara tanpa campur tangan dari negara lain. Sedangkan
globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas
wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan,
kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik
kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Pengaruh globalisasi terhadap kedaulatan negara bahwa kedaulatan sebuah negara dalam
fenomena globalisasi memang mengalami banyak degradasi, karena semakin banyak isu-isu
yang tidak dapat ditangani oleh negara-negara itu sendiri. Globalisasi pun turut memunculkan
aktor-aktor baru seperti NGO, MNC, IGO yang dianggap lebih mampu menyelesaikan isu-isu
baru yang muncul.1
Globalisasi memang melemahkan kedaulatan negara dengan kebebasan dan demokrasi
yang dimiliki warga negara dan munculnya aktor-aktor baru. Akan tetapi bukan berarti bahwa

kedaulatan negara benar-benar hilang. Pemerintah tetap sebagai aktor utama dalam dunia
internasional karena hanya pemerintahlah yang memiliki kekuatan penuh untuk berdaulat dan
memberi keputusan terhadap pilihan yang diambil untuk negaranya.2

1

Malcolm Waters, “Wither The State? Globalizing Politics”, dalam Globalization, London: Routledge, 1995, hlm.
123-159.
2
Sukwaity, dkk., Ekonomi, Kanisius: Yogyakarta.

B. Perusahaan Multinasional dalam Perekonomian Global
Salah satu aktor penting dalam globalisasi adalah Multinational Corporations.
Multinational Corporations atau MNC adalah perusahaan yang beroperasi di dua atau lebih
negara. MNC menjadi fenomena yang dominan dalam hubungan internasional saat ini terkait
dengan adanya globalisasi perdagangan dan perkembangan perekonomian dunia. Dalam
menjalankan perannya, MNC memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan MNC antara lain yaitu menambah devisa negara melalui penanaman di bidang
ekspor, mengurangi kebutuhan devisa untuk import di sektor industri, memodernisir industri,
mendukung pembangunan nasional, dan menyediakan lapangan pekerjaan. Sedangkan

kelemahan MNC, yaitu di antaranya dapat mempengaruhi kekuasaan ekonomi negara jika
jumlahnya semakin bertambah. Sebab keuntungan yang didapat oleh MNC bisa saja dialihkan ke
luar negeri yaitu kepada pemegang sahamnya. Kemudian hal tersebut akan menyebabkan
penyusutan/depresiasi, yang dalam prakteknya sering digunakan untuk menyembunyikan
keuntungan-keuntungan agar tidak terkena pajak. Itulah mengapa keberadaan MNC dapat
merusak kehidupan politik dan ekonomi negara.3
C. Hubungan Perdagangan Utara-Selatan
Istilah Utara-Selatan pada aspek geopolitik dunia dipopulerkan oleh Willy Brandt pada
tahun 1980. Istilah ini terinspirasi pula dari ide Alfred Sauvy, seorang ahli demografis asal
Prancis, yang mencetuskan istilah Negara Dunia Pertama, Negara Dunia Kedua, dan Negara
Dunia Ketiga. Istilah Global North dan Global South sangat krusial untuk diperbincangkan pada
tahun 1990-an, yaitu ketika Blok Barat memenangkan pertempuran ideologi melawan Blok
Timur dan semakin berkembang seiring dengan maraknya globalisasi. Negara Utara merujuk
pada negara-negara maju nan kaya yang terletak di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Kanada.
Sedangkan Negara Selatan dunia diidentikkan oleh negara-negara miskin dan berkembang
(Negara Dunia Ketiga) yang biasanya terletak di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Pembagian Utara-Selatan ini sebenarnya lebih bersifat ekonomis daripada politis. Tolak ukur
untuk menentukan suatu negara masuk ke dalam kategori Negara Utara atau Selatan adalah
pembangunan ekonominya.4
3

4

Bob Sugeng Hadiwinata, Politik Bisnis Internasional, Yudhistira: Jakarta, 2006.
Jacqueline Stevens, “Recreating the State”, dalam Third World Quarterly, 2006, hlm. 755-756.

Negara Utara dan Selatan tentunya memiliki perbedaan dalam berbagai aspek. Dalam
bidang perekonomian, Negara Utara cenderung tidak memiliki sumber daya alam yang cukup
untuk diproduksi. Namun itu semua dapat tertutupi dengan sumber daya manusia yang
profesional dan penguasaan teknologi yang canggih. Sedangkan Negara Selatan biasanya sangat
memiliki banyak sumber daya alam, namun mereka kurang memiliki kapabilitas untuk
mengolahnya. Atas dasar perbedaan itu, akhirnya baik Negara Utara maupun Negara Selatan
melakukan kerjasama ekonomi, khususnya di bidang perdagangan. Selain karena kepentingan
nasional, kerjasama ini juga ditujukan untuk menjalin tata hubungan baru yang lebih adil karena
selama ini Utara dan Selatan dikaitkan dengan ketimpangan.
Karena prinsip dasar yang diusung oleh kerjasama antara Utara dan Selatan dalam bidang
perdagangan adalah keadilan, maka hal yang dibicarakan lainnya adalah pemerataan. Untuk
mewujudkan pemerataan, maka hubungan kerjasama yang dijalin oleh keduanya harusnya
besifat kemitraan. Namun pada kenyataanya, ternyata hubungan kerjasama yang dijalin Utara
dan Selatan masih berpola dominasi-subordinasi, patron-klien, atau core-periphery. Karena
rezim perdagangan bebas memang lebih banyak diatur oleh Negara-negara Utara. Hal ini tentu

saja tidak membawa dampak yang baik berupa keadilan yang merata, namun justru
meningkatkan ketimpangan yang ada. Seperti misalnya penurunan nilai tukar bagi barang yang
dihasilkan Negara Selatan, pencemaran lingkungan, dan yang lebih masif lagi adalah timbulnya
ketergantungan berlebih Negara Selatan terhadap Negara Utara. Ketergantungan berlebih
tersebut dapat berdampak pada kedaulatan negara jika tidak dihadapi dengan baik.
Salah satu contoh kasus yang merupakan ketimpangan antara Negara Utara dan Selatan
yang dikemukakan oleh Stiglitz yaitu kasus yang terjadi pada Putaran Uruguay di mana Negaranegara Selatan dipaksa untuk menghentikan subsidi kepada para petani dan melakukan
liberalisasi perdagangan pertanian. Dalam perundingan WTO telah disepakati bahwa Negara
Selatan harus mempermudah masuknya komoditas pertanian dari Negara Utara. Namun
sebaliknya, Negara Utara mempersulit masuknya komoditas pertanian Negara Selatan ke Negara
Utara. Alhasil, pasca Putaran Uruguay, Negara Utara mendapatkan keuntungan berlipat,
sedangkan Negara Selatan mengalami kerugian yang luar biasa.5
D. Bantuan dan Pinjaman Internasional terhadap Negara Miskin dan Berkembang
5

Joseph Stiglitz, Globalization and Discontent, New Jersey: Norton Company, 2002, hlm. 23.

Istilah bantuan internasional banyak digunakan pasca Perang Dunia II dan dikaitkan
dengan mengalirnya dana dari negara maju (Negara Utara) ke negara berkembang (Negara
Selatan). Menurut Eroglu dan Yavuz, bantuan luar negeri adalah perpindahan sumber daya nyata

atau finansial dari pemerintah atau institusi publik negara maju ke pemerintah Negara Dunia
Ketiga. Tujuan utama dari dilakukannya bantuan internasional ialah untuk mewujudkan
perkembangan ekonomi di negara-negara miskin dan berkembang. Bantuan internasional
diharapkan dapat mengurangi kemiskinan, meningkatkan jumlah simpanan, menaikkan investasi,
serta memperbaiki pendapatan perkapita nasional Negara-negara Dunia Ketiga.6
Menurut Morgenthau, bantuan luar negeri atau bantuan internasional dapat berupa enam
hal, yaitu humanitarian aid (bantuan kemanusiaan), subsistence aid (bantuan kemanusiaan
berkelanjutan), military aid (bantuan militer), bribery aid (sogokan), prestige aid (bantuan amal),
dan economic development aid (pinjaman dan bantuan teknis). Namun jenis bantuan yang paling
sering diperbincangkan adalah bantuan yang berupa pinjaman (loan). Pinjaman ini tentu saja
diberikan oleh negara-negara maju (Utara) kepada negara-negara miskin dan berkembang
(Selatan) baik secara bilateral, multilateral, maupun sindikasi.7
Bantuan internasional yang diberikan Negara Utara kepada Negara Selatan tidak sertamerta dapat memajukan perekonomian Negara Selatan. Sebab pada dasarnya, bantuan yang
diberikan oleh Negara Utara dilatarbelakangi oleh motif-motif politis. Adanya motif politis ini
menyebabkan serangkaian prosedur dari penerimaan pinjaman tersebut diatur sedemikian rupa
agar menguntungkan pihak Negara Utara. Dalam memberikan pinjaman kepada negara-negara
miskin dan berkembang, negara-negara maju senantiasa menjadikan institusi-institusi seperti
IMF, World Bank, dan lain-lain sebagai alat legitimasinya.
Dalam jangka pendek, hutang luar negeri mungkin akan dapat menutupi defisit APBN
Negara-negara Selatan sehingga memudahkan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan.

Namun dalam jangka panjang, hutang internasional akan memiliki dampak negatif apalagi jika
sudah mendekati masa pengembaliannya. Dampak negatif yang ditimbulkan dari pinjaman

6

Omer Oreglu & Ali Yavuz, The Role of Foreign Aid in Economic Development of Developing Countries, Ankara:
Suleyman Demirel University.
7
Hans Morgenthau, A Political Theory of Foreign Aid, dalam The American Political Science Review, Vol. 56, No. 2,
hlm. 301-309.

internasional tersebut di antaranya adalah beban psikologis masyarakat akibat ketergantungan
yang sangat kuat terhadap negara-negara maju.
Apakah itu artinya globalisasi, perdagangan bebas, dan pinjaman internasional hanya
membuat negara-negara di dunia semakin miskin? Tergantung dari sudut pandang mana dalam
melihatnya. Menurut data yang telah dihimpun oleh UNDP pada tahun 2011, 80% dampak
positif globalisasi, perdagangan bebas, dan pinjaman internasional dirasakan oleh Negara Utara.
Sedangkan dampak positif dari ketiga hal yang telah disebutkan di atas hanya dirasakan sebesar
20% oleh Negara Selatan. Untuk menangani ketimpangan tersebut, Radelet memberikan
beberapa solusi yang harus dilakukan oleh Negara Selatan, yaitu meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam merancang program, meningkatkan harmonisasi dan koordinasi dalam
pelaksanaan projek pembangunan, serta mengevaluasi hasil yang telah dicapai selama ini.8
E. Alternatif Model Pembangunan Berkeadilan
Pembangunan (development) menurut Sabam Siagian ialah suatu usaha atau rangkaian
usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu
bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation
building). Sedangkan Ginanjar Kartasasmita memberikan pengertian sebagai suatu proses
perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana. Secara garis
besarnya pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan.
Di era globalisasi ini, pembangunan di negara-negara menjadi sebuah isu yang cukup
diperhatikan. Globalisasi juga dapat membawa implikasi pada marginalisasi peran negara dalam
pembangunan.9 Willy Brandt (1980) dalam “North-South: A Programme for Survival”
menyebutkan bahwa Negara Selatan yang umumnya merupakan negara bekas jajahan mengalami
masalah pelik dalam membangun ekonomi dan memerlukan dukungan Negara Utara untuk hadir
memberikan asistensi di sana. Meski pada kenyataannya, Negara Utara yang dimaksudkan untuk
membantu pembangunan di Negara Selatan justru malah memanfaatkan kesempatan itu untuk
memajukan dirinya sendiri.

8
9


Steven Radelet, A Primer on Foreign Aid, New York: W. W. Norton & Co., 2006.
Jan Pronk, Catalyzing Development: a Debate on Aid, UK: Blackwee Publishing, 2004.

Beberapa konsep pembangunan yang dilakukan oleh negara-negara adalah Model
Pembangunan Orthodoks dan Model Alternatif. Model Pembangunan Orthodoks adalah formula
dan kebijakan yang disusun dan didesakkan oleh korporasi internasional dari negara-negara
industri untuk dilaksanakan oleh negara-negara miskin melalui apa yang disebut menghapuskan
kemiskinan melalui pembangunan ekonomi dengan strategi pertumbuhan ekonomi. Yang mereka
anggap sebagai kemiskinan dan keterbelakangan adalah rendahnya pendapatan perkapita.10
Jika pendapatan perkapita dapat ditingkatkan, menurut mereka masalah kemiskinan dan
keterbelakangan akan terpecahkan. Model Ini adalah cerminan dari bentuk perekonomian dunia
pasca perang dunia kedua yaitu sistem Bretton Woods, yang mendasari terciptanya sistem ini
adalah kegagalan entitas pasar (market failures) dalam mengelola perekonomian dunia telah
melahirkan suatu kesepakatan untuk menciptakan tiga institusi regulatoris yaitu the International
Monetary Fund (IMF), the International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan
International Trade Organization (ITO). Ketiga institusi inilah yang kemudian berperan sebagai
institusi regulatoris untuk mengelola perekonomian dunia yang berlandasakan pada kebebasan
pasar.
Model pembangunan yang kedua adalah Model Pembangunan Alternatif. Model Alternatif

ini disebut “transformasi struktural”. Model pembangunan transformasi struktural meletakkan
prioritas pada kebutuhan-kebutuhan internal dari negara-negara berkembang itu sendiri untuk
menjamin keberlangsungan pembangunannya baik secara ekonomi maupun lingkungan, yang
menjamin perbaikan kondisi penduduk miskin.11
Pendekatan pembangunan yang baru ini menekankan pada prinsip equity (keadilan),
participation (partisipasi), dan sustainability (keberlanjutan). Komisi Selatan yang dipimpin oleh
Julius Nyerere menyimpulkan bahwa pembangunan yang benar harus menempatkan manusia
sebagai pusatnya, dan dirancang untuk menjamin kepentingan sosial dan ekonomi rakyat itu
sendiri.
Dinamika model pembangunan ortodoks yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan
modernisasi di Utara tidaklah layak dan cukup menjadi penggerak untuk meningkatnya
10

Saul D. Alinsky, Rules for Radical: A Practical Primer for Realistic Radicals, New York: Random House Inc., 1971,
hlm. 94.
11
Kenneth Clark & Hopkins Jeannette, “A Relevant War Against Poverty”, dalam A Study of Community Action
Program and Observable Social Change, New York: Harper and Row Publisher, 1969, hlm. 78.

pertumbuhan secara bekelanjutan di Selatan. Berdasarkan pengalaman koalisi NGO regional di

utara maupun di selatan dengan proyek-proyek mereka yang disebut dengan local development
inisiative merumuskan, bahwa keberhasilan pembangunan yang berhasil harus mendasarkan atas
prinsip-prinsip tertentu, yaitu partisipasi rakyat dalam menentukan/memutuskan setiap kebijakan
pembangunan, menghormati ilmu pengetahuan lokal, pengalaman praktis mereka dan budaya
setempat, dan mengangkat keswadayaan rakyat melalui produksi-produksi konsumsi lokal.
Kesadaran ini harus dibangun bersama dengan berbagai kekuatan di mana rakyat harus
benar-benar menjadi pelaku aktif dari setiap perubahan melalui pendidikan yang membebaskan
dan untuk ini mereka harus diorganisir untuk membangun kekuatan mereka sendiri (community
organizing). Pengorganisasian dan Pendidikan ini harus dilakukan oleh kelompok-kelompok
progresif yang memiliki ikatan historis terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi oleh rakyat
atau disebut intelectual organic oleh Gramsci. Rakyat harus secara terus menerus menentukan
dan memrumuskan masalahnya, menentukan apa yang paling tepat untuk mengatasinya, serta
menilai hasilnya yang oleh Lewin disebut action research.

Daftar Pustaka
1.

Alinsky, Saul D. 1971. Rules for Radical: A Practical Primer for Realistic
Radicals. New York: Random House Inc.


2.

Clark, Kenneth Clark & Jeannette, Hopkins. 1969. “A Relevant War Against
Poverty”, dalam A Study of Community Action Program and Observable Social
Change. New York: Harper and Row Publisher.

3.

Hadiwinata, Bob Sugeng. 2006. Politik Bisnis Internasional. Yudhistira: Jakarta.

4.

Morgenthau, Hans. A Political Theory of Foreign Aid, dalam The American
Political Science Review, Vol. 56, No. 2.

5.

Oreglu, Omer & Yavuz, Ali. The Role of Foreign Aid in Economic Development of
Developing Countries. Ankara: Suleyman Demirel University.

6.

Pronk, Jan. 2004. Catalyzing Development: a Debate on Aid. UK: Blackwee
Publishing.

7.

Radelet, Steven. 2006. A Primer on Foreign Aid. New York: W. W. Norton & Co.

8.

Stevens, Jacqueline. 2006. “Recreating the State”, dalam Third World Quarterly.

9.

Stiglitz, Joseph. 2002. Globalization and Discontent. New Jersey: Norton
Company.

10.

Sukwaity, dkk. Ekonomi. Kanisius: Yogyakarta.

11.

Waters, Malcolm. 1995. “Wither The State? Globalizing Politics”, dalam
Globalization. London: Routledge.