Mengapa Yasser Arafat Harus Dibunuh

Rubrik Internasional - Timur Tengah:

Mengapa Yasser Arafat Harus Dibunuh?
Oleh Satrio Arismunandar

Pemimpin Palestina Yasser Arafat kini terbukti meninggal bukan karena sebab
alamiah, tetapi karena diracun. Meninggalnya Arafat menyebabkan ambruknya
gerakan nasional Palestina, pecahnya konflik terbuka Fatah-Hamas, dan makin
melestarikan penjajahan oleh rezim Zionis Israel.
Kecurigaan lama itu akhirnya terbukti. Para ilmuwan Swiss, November 2013
ini menemukan bukti konkret dari sisa jenazah pemimpin besar Palestina, Yasser
Arafat, bahwa mantan pemimpin PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) itu
meninggal bukan karena sebab-sebab alamiah. Dalam tubuhnya ditemukan isotop
radioaktif, polonium-210, yang bersifat racun, dalam kadar yang jauh di atas normal.
Ketika kini terbukti bahwa pejuang nasionalis Palestina itu tewas akibat racun,
banyak kalangan sudah menyimpulkan sendiri, siapa pelaku di balik pembunuhan itu.
Pihak yang paling berkepentingan untuk melenyapkan Arafat adalah Israel. Tudingan
ini bukan cuma muncul dari kalangan Palestina, tetapi juga dari kalangan Israel
sendiri, tentunya yang non-pemerintah.
Penulis dan aktivis Israel, Uri Avnery, adalah salah satunya. “Sejak momen
pertama, saya tak pernah punya keraguan sedikit pun bahwa Yasser Arafat dibunuh.

Itu adalah soal logika yang sederhana,” ujar Avnery.
Hanya Israel yang memiliki sarana, rekam jejak, niat dan motif yang
dinyatakan secara jelas, untuk menghabisi nyawa Arafat. Pembunuhan Arafat dikemas
secara rapi dan “bersih,” tanpa bukti hitam di atas putih yang bisa dilacak ke otoritas
Israel. Ini khas operasi intelijen Israel. Tanpa bukti nyata, dengan cuma berbekal
kecurigaan, memang sulit membuktikan kejahatan Israel di pengadilan hukum.
Namun, Israel masih bisa dihukum di pengadilan opini dunia.
1

Israel punya akses terhadap polonium
Fakta yang pasti, Israel memiliki akses terhadap polonium karena negara Zionis
itu punya reaktor nuklir di Dimona. Israel juga diketahui sudah punya senjata nuklir,
meski Israel tak pernah mau mengakui. Ditambah lagi, Israel punya rekam jejak
berkali-kali melakukan pembunuhan politik, baik dilakukan secara cukup terbuka
ataupun rahasia. Operasi pembunuhan itu sering menggunakan bahan-bahan kimia
yang sulit dilacak.
Juga banyak bukti bahwa Israel sejak lama memang ingin menghabisi Arafat.
Pada Januari 2002, seperti dilaporkan oleh wartawan Inggris Jonathan Cook, panglima
militer Israel Shaul Mofaz pernah ketahuan membisikkan sesuatu di mikropon kepada
Perdana Menteri Ariel Sharon. Mofaz saat itu berkata tentang Arafat, “Kita harus

melenyapkan dia.”
Arafat selama lebih dari dua tahun pernah terkurung di kompleks tempat
tinggalnya di Ramallah, daerah Tepi Barat, dalam kepungan tank-tank Israel. Pada
waktu itu, di kalangan pemerintah Israel ada perdebatan tentang apa yang harus
dilakukan terhadap Arafat. Cuma ada dua opsi, yakni apakah Arafat harus diasingkan
ke luar Palestina atau dibunuh.
Pada September 2003, kabinet Israel bahkan mengeluarkan peringatan bahwa
Israel harus “menghilangkan hambatan ini dengan cara dan waktu yang dipilih
sendiri.” Wakil Perdana Menteri Israel pada waktu itu, Ehud Olmert, mengklarifikasi
bahwa pembunuhan Arafat adalah “salah satu opsi.”
Lantas mengapa Arafat tidak dibunuh saja terang-terangan pada 2003? Secara
teknis, bagi Israel sangat mudah melakukannya. Namun, saat itu Israel belum bisa
menghabisi Arafat karena ada penolakan kukuh dari Amerika. Menlu Amerika waktu
itu, Colin Powell, khawatir bahwa pembunuhan Arafat akan memancing kemarahan di
seluruh dunia Arab dan Timur Tengah, yang ujung-ujungnya akan mengarah ke
Amerika sebagai sasaran.
Perpecahan di kepemimpinan Palestina
Namun pada April 2004, Sharon mengumumkan bahwa ia tidak lagi terikat
oleh komitmen sebelumnya pada Presiden AS George W. Bush, untuk tidak
2


“menyakiti Arafat secara fisik.” “Saya sudah bebas dari janji itu,” ujarnya. Gedung
Putih juga telah mengisyaratkan melemahnya penolakan Washington terhadap
rencana Israel membunuh Arafat.
Jadi, apa sebenarnya motif pembunuhan Arafat? Keuntungan apa yang
diperoleh Israel jika Arafat dienyahkan? Untuk memahami motif Israel, kita harus
melihat situasi, kondisi, dan perdebatan di kalangan Palestina pada tahun-tahun
tersebut. Waktu itu kepemimpinan Palestina pecah menjadi dua kubu, dalam hal
strategi perjuangan untuk kemerdekaan dan dalam berurusan dengan Israel. Dua kubu
itu adalah kubu Arafat dan kubu Mahmoud Abbas. Abbas saat itu sudah dipandang
sebagai “calon pewaris” kepemimpinan Arafat.
Kubu Arafat saat itu berpendapat, Israel telah banyak mengingkari kesepakatan
perdamaian Oslo. Karena itu, Arafat merasa enggan terlalu terlibat pada proses
perundingan perdamaian semata-mata. Toh pihak Israel sendiri juga tampaknya tidak
serius mau berdamai.
Dalam situasi buntu itu, Arafat ingin menjalankan strategi ganda. Di satu sisi,
ia membuka saluran perundingan, namun sekaligus ia juga tetap bersiap dengan opsi
perlawanan bersenjata melawan penjajahan Israel. Itulah sebabnya, Arafat secara
pribadi tetap menguasai secara ketat pasukan keamanan Palestina.
Berbeda kontras dengan sikap Arafat, Abbas percaya bahwa perlawanan

bersenjata justru akan menjadi “hadiah” bagi Israel dan merusak legitimasi perjuangan
Palestina. Abbas ingin fokus pada perundingan dan pembangunan-negara. Ia berharap,
dengan mengerahkan tekanan tak langsung pada Israel, akan memberi bukti pada
dunia internasional bahwa Palestina bisa dipercaya jika memiliki negara sendiri.
Prioritas Abbas adalah bekerjasama erat dengan Amerika dan Israel dalam masalahmasalah keamanan.
Israel dan AS lebih suka Abbas
Amerika dan Israel dengan kuat jelas lebih suka pada cara pendekatan Abbas.
Mereka bahkan memaksa Arafat agar untuk sementara mengurangi pengaruhnya
dalam kepemimpinan Palestina. Cara melemahkan Arafat, dengan menunjuk Abbas
menjadi Perdana Menteri, sebuah jabatan yang baru dibentuk saat itu.
3

Keprihatinan Israel adalah walaupun Arafat praktis sudah diperlakukan seperti
tahanan rumah, ia tetap menjadi figur pemersatu rakyat Palestina. Dengan menolak
melepaskan opsi perjuangan bersenjata, Arafat tetap mampu menangkal ketegangan
yang makin memuncak antara dua faksi utama Palestina. Yakni, faksi gerakan Fatah
yang berhaluan nasionalis di bawah Arafat, dan pesaing utamanya yang berideologi
Islam, Hamas.
Dengan lenyapnya Arafat dan hadirnya kepemimpinan Abbas yang “lebih
lunak” terhadap Israel, ketegangan antara Fatah dan Hamas --yang bisa diredam di

bawah Arafat-- kini pecah jadi konflik terbuka. Israel jelas sudah membaca jauh-jauh
hari akan terjadi konflik berdarah antara Fatah dan Hamas ini, bahkan mungkin
mendorong agar hal itu segera terjadi.
Konflik militer Fatah melawan Hamas memuncak menjadi terkoyaknya
gerakan nasional Palestina. Perpecahan itu bukan cuma soal perbedaan ideologi dan
strategi perjuangan, tetapi sudah menjurus ke pemisahan wilayah antara Tepi Barat
yang dikontrol Fatah dan Gaza yang dikuasai Hamas.
Kepentingan Israel untuk membunuh Arafat kini terbukti sesudah kematian
pahlawan Palestina itu. Bukan hanya gerakan nasional Palestina jadi tercerai berai,
namun kepemimpinan Palestina di bawah Abbas juga terseret mundur ke serangkaian
perundingan perdamaian dengan Israel, yang rapuh, lemah, dan tidak memberi arah
nyata menuju kemerdekaan Palestina. Perundingan perdamaian yang bertele-tele ini
malah memberi kesempatan pada Israel untuk terus merebut tanah Palestina dan
membangun permukiman-permukiman Yahudi di wilayah Palestina yang diduduki.
Satu hal yang patut dicatat adalah: Israel berani berperang, tapi sejatinya takut
pada perdamaian. Hal ini karena untuk berdamai, dia harus mengembalikan wilayah
Palestina yang ia duduki. Itu justru yang tidak dikehendaki oleh rezim Israel sekarang
di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. (Diolah dari berbagai sumber)
Ditulis untuk Majalah AKTUAL dan www.aktual.co


Jakarta, 19 November 2013

4

Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI
(1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (19881995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi
News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak
Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI
(Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.

Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061

5