Hubungan antara Hukum Internasional dan
HUBUNGAN ANTARA HUKUM
INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
Dosen Pembimbing
Ramlan, SH.MH
OLEH
Yovi Trimeihardi
RRB10013086
Fakultas Hukum Reguler Mandiri
Universitas Jambi
2015-2016
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin. Segala puji hanya untuk Allah Tuhan YME atas
segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayahnya yang tiada terkira besarnya.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak saran dari berbagai
pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Kedua orang tua dan segenap keluarga besar penulis yang telah
memberikan dukungan dan kepercayaan yang begitu besar, sehingga makalah ini
dapat di selesaikan.
Namun, Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masi
memiliki kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang
bersifat membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis
berharap agar makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.
Wabillahit taufiq walhidayah, wassalam.
Jambi, Januari 2015
Penulis,
Yovi Trimeihardi
2
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….
i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...
ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang………………………………………………………
1
1.2. Rumusan Masalah…………………………………………………...
1
1.3. Tujuan Penulisan……………………………………………………
2
1.4. Manfaat Penulisan…………………………………………………..
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tempat Hukum Internasional dalam Tata Hukum Secara
Keseluruhan…………………………………………………………
3
2.2. Primat Hukum Internasional Menurut Praktik Internasional……….
6
2.3. Hubungan antar Hukum Internasional dan Hukum
Nasional menurut Hukum Positif Beberapa Negara………………...
8
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan………………………………………………………….
11
3
3.2. Saran………………………………………………………………...
13
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………
14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas
berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan
sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola
hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas
sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi
internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.
Hubungan kerjasama yang terjadi antar negara didorong kebutuhan satu sama
lain. Adanya
perkembangan
globalisasi
menuntut
setiap
negara
untuk
menyesuaikan diri. Setiap negara harus menjalin hubungan dengan negara lain
untuk dapat saling melengkapi, baik hubungan disektor kehidupan seperti politik,
sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum yang diharap
bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar Negara. Dalam
melaksanakan hubungan kerjasama tersebut tentunya diperlukan sebuah aturan
yang tegas yang mengikat semua pihak yang terkait dalam hubungan tersebut.
Hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas
prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dalam
suatu negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan
4
antara mereka satu dengan lainnya. Hukum Nasional di Indonesia masih
menganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Dari kondisi di atas terdapat suatu masalah yang menarik untuk dibahas lebih
lanjud di dalam makalah ini yaitu mengenai hubungan di antara hukum
internasional dan hokum nasional.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut :
Tempat Hukum Internasional dalam Tata Hukum Secara Keseluruhan
Hukum Internasional Menurut Praktik Internasional
Hubungan antar Hukum Internasional dan Hukum Nasional menurut
Hukum Positif Beberapa Negara
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisa makalah ini adalah sebagai berikut :
Kita dapat menjelaskan hubungan hukum Internasional dan hukum
Nasional secara terperinci
Kita dapat menjelaskan pentingnya ajaran-ajaran dalam system hubungan
hukum Internasional dan hukum Nasional.
1.4. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Agar mahasiswa dapat mempelajari dan mengerti tentang Hubungan
Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Khususnya bagi
mahasiswa fakultas hukum.
Untuk menambah pengetahuan masyarakat luas tentang Hubungan Antara
Hukum Internasional dan Hukum Nasional.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tempat Hukum Internasional dalam Tata Hukum Secara Keseluruhan
Jayakusuma (2006-2007 : 55) menyatakan “Pembahasan persoalan tempat
atau kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan
didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum, hukum
internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Ketentuan hukum
yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan kebangsaan masing-masing
yang dikenal dengan nama hukum nasional”.
Dalam teori ada dua pandangan tentang hukum internasional yaitu
pandangan yang dinamakan voluntarisme, yang mendasakan berlakunya hukum
internasional ini pada kemauan negara, dan pandangan objektivis yang
menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan
negara.
Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda pula karena
sudut pandangan yang pertama akan mengakibatkan adanya hukum internasional
dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup
berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan objektivis menganggapnya
sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Erat hubungannya
dengan apa yang diterangkan tadi ialah persoalan hubungan hirarki antara kedua
6
perangkat hukum itu, baik merupakan dua perangkat hukum yang masing-masing
berdiri sendiri maupun merupakan dua perangkat hukum yang pada hakikatnya
merupakan bagian dari satu keseluruhan tata hukum yang sama.
Aliran dualisme pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Menurut
paham dualisme ini yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum
internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum
nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari
yang lainnya.
Alasan yang diajukan oleh penganut aliran dualisme bagi pandangan
tersebut di atas didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan
kenyataan. Di antara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan hal sebagai
berikut :
(1) kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum
internasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional
bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional
bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara;
(2) kedua perangkat hukum itu berlainan subjek hukumnya. Subjek hukum
dari hukum nasional ialah orang perorangan baik dalam apa yang
dinamakan hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subjek
hukum internasional ialah negara;
(3) sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional
menampakkan pula perbedaan dalam strukturnya.
Pandanga dualisme ini mempunyai beberapa akibat yang penting. Salah satu
akibat pokok yang terpenting ialah dalam teori dualisme tidak ada tempat bagi
persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena pada
hakikatnya kedua perangkat hukum ini tidak saja berlainan dan tidak bergantung
satu sama lainnya tapi juga lepas dari yang lainnya.
Akibat kedua ialah bahwa tidak mungkin ada pertentangan antara kedua
perangkat hukum itu, yang mungkin hanya penunjukan (renvoi) saja. Akibat lain
hukum internasional hanya berlaku setelah ditransformasikan dan menjadi hukum
nasional.
7
Menurut Jayakusuma (2006-2007 : 60) Paham monisme didasarkan atas
pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia.
Dalam rangka pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum
yang mengatur kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah
bahwa antar adua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan
hirarki. Persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional
inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam
aliran monisme. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara
hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum nasional.
Paham ini adalah paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham
yang lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional yang utama ialah hukum internasional. Pandangan iin disebut paham
monisme dengan primat internasional.
Dalam pandangan monisme dengan primat hukum nasional, hukum
internasional itu tidak lain dari merupakan lanjutan hukum nasional belaka, atau
tidak lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri atau auszeres Staatsrecht.
Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan hukum internasional
dengan primat hukum nasional ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum
internasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan utama anggapan ini
ialah :
(1) Bahwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur
kehidupan negara-negara di dunia ini;
(2) Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional
terletak dalam wewenang negara un tuk mengadakan perjanjian
internasional, jadi wewenang konstitusional.
Menurut paham monisme dengan primat hukum internasional, hukum
nasional itu bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangannya
merupakan suatu perangkat ketentuan hukum yang hirarkis lebih tinggi. Menurut
paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakikatnya
berkekuatan mengikatnya berdasarkan suatu pendelegasian wewenang dari
8
hukum internasional. Paham ini dikembangkan oleh mazhab Vienna (Kunz,
Kelsen dan Verdross).
Kesimpulan bahwa hukum nasional tunduk pada hukum internasional.
Tinggal kini kita melepaskannya dari argumen a priori yang didasarkan atas
konstruksi teoritis dan melihat apakah kesimpulan yang sekaligus menjadi
praemise pokok hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang efektif
dapat kiranya dicarikan jawabannya berdasarkan praktik internasional.
2.2. Hukum Internasional Menurut Praktik Internasional
Praktik hukum internasional memberikan cukup bahan atau contoh bagi
kesimpulan bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional
dewasa ini hukum internasional cukup memiliki wibawa terhadap hukum nasional
untuk mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan
hukum nasional itu pada hakikatnya tunduk pada hukum internasional. Sebagai
contoh, negara-negara mentaati hukum internasional mengenai batas wilayah
negara sebagai suatu hukum yang mengikat dirinya dalam pergaulan dengan
negara lain, khususnya dengan negara tetangganya.
Kenyataan yang dilukiskan di atas yaitu bahwa pada umumnya negaranegara di dunia ini saling menghormati garis batas yang memisahkan wilayahnya
dari wilayah negara lain tidak berarti bahwa sekali-sekali tidak bisa terjadi
sengketa perbatasan. Sengketa perbatasan antara India dan RRC, RRC dan USSR.
Contoh lain kaidah hukum internasional yang umumnya ditaati ialah hukum
yang mengatur perjanjian internasional antarnegara. Di sini pun sekali-sekali hal
terjadi penyimpangan dari keadaan umum ini seperti juga dalam hal hukum
internasional mengenai perbatasan wilayah.
Sering apa yang tampak sebagai pelanggaran suatu perjanjian tertentu, yang
dengan demikian merupakan suatu pelanggaran hukum internasional in concreto
di bidang hubungan diplomatik dan konsuler dan perlakuan terhadap orang asing
termasuk miliknya. Ada kalanya kekebalan diplomatik dan konsuler yang dijamin
oleh ketentuan hukum internasional ini terpaksa dilanggar oleh negara tuan rumah
seperti misalnya dalam usaha menangkap atau menundukkan pemberontak yang
berlindung di gedung atau halaman gedung kedutaan atau konsuler negara asing.
9
Bagaimanapun juga secara umum dapat dikatakan bahwa negara tuan rumah
tidak akan melanggar hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik dan konsuler
kecuali ada alasan yang kuat untuk ini dan setelah tidak ada jalan lain untuk
mengatasinya.
Juga mengenai perlakuan terhadap orang asingdan hak milik asing dalam
keadaan tertentu, ketentuan hukum internasional mengenai perlakuan terhadap
orang asing dan milik asing tidak bisa dipertahankan karena ada kepentingan lain
yang lebih mendesak dan lebih tinggi. Prima facie merupakan tindakan yang
melanggar hukum internasional yang memberikan perlindungan kepada orang
asing dan miliknya. Dalam persoalan tindakan pemerintah Indonesia terhadap
perkebunan dan perusahaan lain milik Belanda pada tahun 1958 ini, yang
kemudian dikenal dengan nama Perkara Tembakau Bremen. Keputusan yang
diambil oleh pengadilan Bremen yakni bahwa pengadilan tidak mencampuri sah
tidaknya tindakan ambil alih dan nasionalisasi pemerintah Indonesia itu, secara
tidak langsung dapat diartikan sebagai membenarkan tindakan terhadap
perusahaan dan perkebunan milik Belanda.
Bidang lain dalam praktik hukum internasional ialah hukum laut. Sejak
tahun 1958 yakni tahun diadakannya Konferensi Hukum Laut di Jenewa yang
pertama tidak dapat lagi dikatakan bahwa 3 mil laut merupakan batas lebar laut
teritorial yang berlaku umum. Persoalan penetapan batas lebar laut teritorial
(sepenuhnya) menjadi urusan masing-masing negara? Persoalan batas lebar laut
teritorial itu sepenuhnya diatur oleh hukum nasional negara masing-masing yang
pada hakikatnya berarti penyangkalan terhadap adanya hukum internasional yang
mengatur persoalan ini.
Pendapat
Mahkamah
Internasional
menunjukkan
bahwa
betapapun
lemahnya ketentuan (pembatasan) hukum internasional tentang penetapan lebar
laut teritorial, kesimpulan pokok yang dapat kita tarik darinya ialah bahwa
penetapan batas lebar laut teritorial bukanlah semata-mata merupakan tindakan
sepihak suatu negara.
Pada waktu Konferensi Hukum Laut III di Caracas Venezuela (tahu 1974)
dimulai persoalan batas lebar laut teritorial sudah tidak menjadi masalah lagi
karena tidak ada negara peserta yang dapat menyangkal batas lebar 12 mil sebagai
10
batas yang berlaku umum. Dari uraian pertumbuhan dan terbentuknya kaidah
hukum laut internasional mengenai atas lebar laut wilayah dapat kita tarik
beberapa kesimpulan. Salah satu di antaranya ialah bahwa kita perlu ada
pertentangan hakiki atau fundamental antara tindakan sepihak (unilateral act)
suatu negara dengan hukum internasional.
2.3. Hubungan antar Hukum Internasional dan Hukum Nasional menurut
Hukum Positif Beberapa Negara
Inggris menganut suatu ajaran (doktrin) bahwa hukum internasional adalah
hukum negara (international law is the law of the land). Ajaran ini lazim dikenal
dengan nama doktrin inkorporasi (incorporation doctrine).
Doktrin yang menganggap hukum internasional sebagai bagian hukum
Inggris ini berkembang dan dikukuhkan selama abad XVIII dan XIX dalam
beberapa keputusan pengadilan yang terkenal.
Kemudian terjadi beberapa perubahan dalam arti bahwa doktrin itu tidak
lagi diterima secara mutlak. Dalam menilai daya laku doktrin dalam hukum positif
yang berlaku di Inggris harus pula dibedakan antara: (1) hukum kebiasaan
internasional (customary international law) dan (2) hukum internasional yang
tertulis (traktat, konvensi atau perjanjian).
Doktrin inkorporasi di Inggris itu ada pembatasan dan pengecualiannya,
baik dalam ruang lingkup maupun penerapannya. Namun, dapat dikatakan bahwa
doktrin ini cukup kuat tertanam dalam hukum positif di Inggris. Hal ini terbukti
dari dua dalil yang dipegang teguh oleh pengadilan di Inggris yakni:
(1) dalil konstruksi hukum (rule of construction); menurut dalil ini
undang-undang yang dibuat oleh para Parlemen (Acts of Parliament)
harus
ditafsirkan
sebagai
tidak
bertentangan
dengan
hukum
internasional.
(2) dalil tentang pembuktian suatu ketentuan hukum internasional (rule of
evidence).
Mengenai hukum internasional yang bersumberkan perjanjian internasional
(agreements, treaties and conventions) dapat dikatakan bahwa pada umumnya
perjanjian
yang
memerlukan
persetujuan
Parlemen
memerlukan
pula
11
pengundangan nasional sedangkan yang tidak memerlukan persetujuan badan ini
dapat mengikat dan berlaku secara langsung setelah penandatanganan dilakukan.
Negara lain yang juga menganut doktrin inkorporasi yaitu menganggap
hukum internasional sebagai dari hukum nasional ialah Amerika Serikat. UndangUndang yang dibuat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Congress)
dianggap tidak bertentangan dengan hukum internasional. Akan tetapi, jika suatu
undang-undang (statue) terang-terangan bertentangan dengan suatu ketentuan
hukum kebiasaan internasional (yang lama), undang-undanglah yang harus
dimenangkan.
Amerika Serikat mengenai hubungan antara hukum nasional dan hukum
perjanjian internasional yang menentukan adalah ketentuan (tertulis) konstutusi
Amerika Serikat mengenai hal ini dan bukan perimbangan atau akomodasi antara
hak dan wewenang eksekutif (pemerintah dan Raja) dan Parlemen seperti di
Inggris yang berdasarkan praktik dan kebiasaan. Menurut praktik (hukum positif)
di Amerika Serikat iin, apabila suatu perjanjian internaisonal tidak bertentangan
dengan konstitusi dan termasuk golongan perjanjian yang self executing.
Jayakusuma (2006-2007 : 87) menyatakan “Dalam konstitusi masa kini
(modern) ada kecenderungan mencantumkan secara tegas bahwa hukum
internasional merupakan bagian dari hukum nasional, yang akan mengatasi atau
mengalahkan hukum nasional dalam hal ada pertentangan. Suatu contoh yang
jelas menggambarkan keadaan seperti itu ialah Undang-Undang Dasar (Grund
Gesetz) Republik Federasi Jerman yang dalam Pasal 25 menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional
Jerman”.
Sikap kita terhadap hukum internasional yang ditentukan oleh kesadaran
mengenai kedudukan kita dalam masyarakat internasional yang sedang
berkembang, apabila sikap yang tidak menerima begitu saja kaidah hukum
internasional tradisional itu disertai dengan suatu sikap yang wajar, kita bersikap
hendak mengadakan perubahan ini, sikap demikian selalu dibarengi dengan
kewajaran (reasonableness) dan kepekaan (sensitivity) terhadap hak dan
kepentingan pihak lain dan masyarakat internasional. Sikap demikian telah kita
perhatikan dengan Wawasan Nusantara atau konsepsi nusantara (archipelago),
12
dan hak atas dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil) di sekitar
kepulauan kita yang didasarkan atas doktrinlandas kontinen (continent shelf).
Kiranya praktik Indonesia mengenai Wawasan Nusantara dan landas
kontinent itu merupakan contoh bagaimana suatu praktik negar yang dimulai
dengan tindakan sepihak melalui pelaksanaan kebijaksanaan yang penuh
pertimbangan atas kepentingan pihak-pihak lain dan masyarakat internasional
pada hakekatnya tidak dapat dianggap sebagai bertentangan dengan kepentingan
dan hukum internasional. Jika demikian halnya dengan masalah hubungan antara
hukum internasional dan hukum nasional secara umum dan praktik beberapa
negara termasuk Indonesia.
Kita lebih condong pada sistem negara-negara kontinental Eropa yang
langsung menganggap diri kita terikat dalam kewajiban melaksanakan dan
mentaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa
perlu
mengadakan
lagi
perundang-undangan
pelaksanaan
(implementing
legislation).
Dalam beberapa hal tertentu terutama dalam keadaan kita turut serta dalam
suatu konvensi yang mengandung berbagai perubahan dan pembaharuan,
kelalaian demikian memang bisa menimbulkan keadaan yang kurang diinginkan.
Orang, tentu berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang ada (dan
belum) diubah yang didasarkan atas konvensi yang lama, sedangkan sebagai
negara kita sudah resmi terikat pada konvensi yang baru.
13
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
hukum internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya.
Ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan
kebangsaan masing-masing yang dikenal dengan nama hukum nasional. Dalam
teori ada dua pandangan tentang hukum internasional yaitu pandangan yang
dinamakan voluntarisme, yang mendasakan berlakunya hukum internasional ini
pada kemauan negara, dan pandangan objektivis yang menganggap ada dan
berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara.
Ada dua aliran utama yang dapat menjelaskan hubungan antara hukum
Internasional dan hukum Nasional, yaitu Ajaran Monisme dan Ajaran Dualisme.
1. Ajaran Monisme Dalam ajaran ini hukum Internasional dan hukum
Nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu system hukum, yaitu
hukum pada umumnya.
2. Ajaran Dualisme Dalam ajaran ini hukum Internasional dan hukum
nasional merupakan dua system hukum yang berdeda sama sekali,
dimana hukum Internasional mempunyai sifat yang berbeda secara
intlinsik.
14
Praktik hukum internasional memberikan cukup bahan atau contoh bagi
kesimpulan bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional
dewasa ini hukum internasional cukup memiliki wibawa terhadap hukum nasional
untuk mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan
hukum nasional itu pada hakikatnya tunduk pada hukum internasional.
Bidang lain dalam praktik hukum internasional ialah hukum laut. Sejak
tahun 1958 yakni tahun diadakannya Konferensi Hukum Laut di Jenewa yang
pertama tidak dapat lagi dikatakan bahwa 3 mil laut merupakan batas lebar laut
teritorial yang berlaku umum.
Inggris menganut suatu ajaran (doktrin) bahwa hukum internasional adalah
hukum negara (international law is the law of the land). Ajaran ini lazim dikenal
dengan nama doktrin inkorporasi (incorporation doctrine). Doktrin yang
menganggap hukum internasional sebagai bagian hukum Inggris ini berkembang
dan dikukuhkan selama abad XVIII dan XIX dalam beberapa keputusan
pengadilan yang terkenal.
Dalam menilai daya laku doktrin dalam hukum positif yang berlaku di
Inggris harus pula dibedakan antara: (1) hukum kebiasaan internasional
(customary international law) dan (2) hukum internasional yang tertulis (traktat,
konvensi atau perjanjian).
Doktrin inkorporasi di Inggris itu ada pembatasan dan pengecualiannya,
baik dalam ruang lingkup maupun penerapannya. Namun, dapat dikatakan bahwa
doktrin ini cukup kuat tertanam dalam hukum positif di Inggris.
Negara lain yang juga menganut doktrin inkorporasi yaitu menganggap
hukum internasional sebagai dari hukum nasional ialah Amerika Serikat. UndangUndang yang dibuat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Congress)
dianggap tidak bertentangan dengan hukum internasional. Amerika Serikat
mengenai hubungan antara hukum nasional dan hukum perjanjian internasional
yang menentukan adalah ketentuan (tertulis) konstutusi Amerika Serikat mengenai
hal ini dan bukan perimbangan atau akomodasi antara hak dan wewenang
eksekutif (pemerintah dan Raja) dan Parlemen seperti di Inggris yang berdasarkan
praktik dan kebiasaan. Menurut praktik (hukum positif) di Amerika Serikat iin,
15
apabila suatu perjanjian internaisonal tidak bertentangan dengan konstitusi dan
termasuk golongan perjanjian yang self executing.
Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor
kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat
diperlukan hukum yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul
dari hubungan antar negara. Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah
hukum wajib yang mengatur hubungan antara person hukum internasional
(Negara dan Organisasi Internasional), menentukan hak dan kewajiban badan
tersebut serta membatasi hubungan yang terjadi antara person hukum tersebut
dengan masyarakat sipil.
3.2. Saran
Mahasiswa : Diharapkan agar mahasiswa dapat mempelajari dan
mengerti tentang Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum
Nasional.
Masyarakat : Untuk menambah pengetahuan di kalangan masyarakat
luas mengenai Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum
Nasional.
16
DAFTAR PUSTAKA
Jayakusuma, Zulfikar. 2006-2007. Hukum Internasional. Fakultas Hukum
Universitas Jambi.
17
INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
Dosen Pembimbing
Ramlan, SH.MH
OLEH
Yovi Trimeihardi
RRB10013086
Fakultas Hukum Reguler Mandiri
Universitas Jambi
2015-2016
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin. Segala puji hanya untuk Allah Tuhan YME atas
segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayahnya yang tiada terkira besarnya.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak saran dari berbagai
pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Kedua orang tua dan segenap keluarga besar penulis yang telah
memberikan dukungan dan kepercayaan yang begitu besar, sehingga makalah ini
dapat di selesaikan.
Namun, Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masi
memiliki kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang
bersifat membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis
berharap agar makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.
Wabillahit taufiq walhidayah, wassalam.
Jambi, Januari 2015
Penulis,
Yovi Trimeihardi
2
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….
i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...
ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang………………………………………………………
1
1.2. Rumusan Masalah…………………………………………………...
1
1.3. Tujuan Penulisan……………………………………………………
2
1.4. Manfaat Penulisan…………………………………………………..
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tempat Hukum Internasional dalam Tata Hukum Secara
Keseluruhan…………………………………………………………
3
2.2. Primat Hukum Internasional Menurut Praktik Internasional……….
6
2.3. Hubungan antar Hukum Internasional dan Hukum
Nasional menurut Hukum Positif Beberapa Negara………………...
8
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan………………………………………………………….
11
3
3.2. Saran………………………………………………………………...
13
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………
14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas
berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan
sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola
hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas
sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi
internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.
Hubungan kerjasama yang terjadi antar negara didorong kebutuhan satu sama
lain. Adanya
perkembangan
globalisasi
menuntut
setiap
negara
untuk
menyesuaikan diri. Setiap negara harus menjalin hubungan dengan negara lain
untuk dapat saling melengkapi, baik hubungan disektor kehidupan seperti politik,
sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum yang diharap
bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar Negara. Dalam
melaksanakan hubungan kerjasama tersebut tentunya diperlukan sebuah aturan
yang tegas yang mengikat semua pihak yang terkait dalam hubungan tersebut.
Hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas
prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dalam
suatu negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan
4
antara mereka satu dengan lainnya. Hukum Nasional di Indonesia masih
menganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Dari kondisi di atas terdapat suatu masalah yang menarik untuk dibahas lebih
lanjud di dalam makalah ini yaitu mengenai hubungan di antara hukum
internasional dan hokum nasional.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut :
Tempat Hukum Internasional dalam Tata Hukum Secara Keseluruhan
Hukum Internasional Menurut Praktik Internasional
Hubungan antar Hukum Internasional dan Hukum Nasional menurut
Hukum Positif Beberapa Negara
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisa makalah ini adalah sebagai berikut :
Kita dapat menjelaskan hubungan hukum Internasional dan hukum
Nasional secara terperinci
Kita dapat menjelaskan pentingnya ajaran-ajaran dalam system hubungan
hukum Internasional dan hukum Nasional.
1.4. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Agar mahasiswa dapat mempelajari dan mengerti tentang Hubungan
Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Khususnya bagi
mahasiswa fakultas hukum.
Untuk menambah pengetahuan masyarakat luas tentang Hubungan Antara
Hukum Internasional dan Hukum Nasional.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tempat Hukum Internasional dalam Tata Hukum Secara Keseluruhan
Jayakusuma (2006-2007 : 55) menyatakan “Pembahasan persoalan tempat
atau kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan
didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum, hukum
internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Ketentuan hukum
yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan kebangsaan masing-masing
yang dikenal dengan nama hukum nasional”.
Dalam teori ada dua pandangan tentang hukum internasional yaitu
pandangan yang dinamakan voluntarisme, yang mendasakan berlakunya hukum
internasional ini pada kemauan negara, dan pandangan objektivis yang
menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan
negara.
Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda pula karena
sudut pandangan yang pertama akan mengakibatkan adanya hukum internasional
dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup
berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan objektivis menganggapnya
sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Erat hubungannya
dengan apa yang diterangkan tadi ialah persoalan hubungan hirarki antara kedua
6
perangkat hukum itu, baik merupakan dua perangkat hukum yang masing-masing
berdiri sendiri maupun merupakan dua perangkat hukum yang pada hakikatnya
merupakan bagian dari satu keseluruhan tata hukum yang sama.
Aliran dualisme pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Menurut
paham dualisme ini yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum
internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum
nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari
yang lainnya.
Alasan yang diajukan oleh penganut aliran dualisme bagi pandangan
tersebut di atas didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan
kenyataan. Di antara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan hal sebagai
berikut :
(1) kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum
internasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional
bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional
bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara;
(2) kedua perangkat hukum itu berlainan subjek hukumnya. Subjek hukum
dari hukum nasional ialah orang perorangan baik dalam apa yang
dinamakan hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subjek
hukum internasional ialah negara;
(3) sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional
menampakkan pula perbedaan dalam strukturnya.
Pandanga dualisme ini mempunyai beberapa akibat yang penting. Salah satu
akibat pokok yang terpenting ialah dalam teori dualisme tidak ada tempat bagi
persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena pada
hakikatnya kedua perangkat hukum ini tidak saja berlainan dan tidak bergantung
satu sama lainnya tapi juga lepas dari yang lainnya.
Akibat kedua ialah bahwa tidak mungkin ada pertentangan antara kedua
perangkat hukum itu, yang mungkin hanya penunjukan (renvoi) saja. Akibat lain
hukum internasional hanya berlaku setelah ditransformasikan dan menjadi hukum
nasional.
7
Menurut Jayakusuma (2006-2007 : 60) Paham monisme didasarkan atas
pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia.
Dalam rangka pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum
yang mengatur kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah
bahwa antar adua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan
hirarki. Persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional
inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam
aliran monisme. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara
hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum nasional.
Paham ini adalah paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham
yang lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional yang utama ialah hukum internasional. Pandangan iin disebut paham
monisme dengan primat internasional.
Dalam pandangan monisme dengan primat hukum nasional, hukum
internasional itu tidak lain dari merupakan lanjutan hukum nasional belaka, atau
tidak lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri atau auszeres Staatsrecht.
Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan hukum internasional
dengan primat hukum nasional ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum
internasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan utama anggapan ini
ialah :
(1) Bahwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur
kehidupan negara-negara di dunia ini;
(2) Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional
terletak dalam wewenang negara un tuk mengadakan perjanjian
internasional, jadi wewenang konstitusional.
Menurut paham monisme dengan primat hukum internasional, hukum
nasional itu bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangannya
merupakan suatu perangkat ketentuan hukum yang hirarkis lebih tinggi. Menurut
paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakikatnya
berkekuatan mengikatnya berdasarkan suatu pendelegasian wewenang dari
8
hukum internasional. Paham ini dikembangkan oleh mazhab Vienna (Kunz,
Kelsen dan Verdross).
Kesimpulan bahwa hukum nasional tunduk pada hukum internasional.
Tinggal kini kita melepaskannya dari argumen a priori yang didasarkan atas
konstruksi teoritis dan melihat apakah kesimpulan yang sekaligus menjadi
praemise pokok hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang efektif
dapat kiranya dicarikan jawabannya berdasarkan praktik internasional.
2.2. Hukum Internasional Menurut Praktik Internasional
Praktik hukum internasional memberikan cukup bahan atau contoh bagi
kesimpulan bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional
dewasa ini hukum internasional cukup memiliki wibawa terhadap hukum nasional
untuk mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan
hukum nasional itu pada hakikatnya tunduk pada hukum internasional. Sebagai
contoh, negara-negara mentaati hukum internasional mengenai batas wilayah
negara sebagai suatu hukum yang mengikat dirinya dalam pergaulan dengan
negara lain, khususnya dengan negara tetangganya.
Kenyataan yang dilukiskan di atas yaitu bahwa pada umumnya negaranegara di dunia ini saling menghormati garis batas yang memisahkan wilayahnya
dari wilayah negara lain tidak berarti bahwa sekali-sekali tidak bisa terjadi
sengketa perbatasan. Sengketa perbatasan antara India dan RRC, RRC dan USSR.
Contoh lain kaidah hukum internasional yang umumnya ditaati ialah hukum
yang mengatur perjanjian internasional antarnegara. Di sini pun sekali-sekali hal
terjadi penyimpangan dari keadaan umum ini seperti juga dalam hal hukum
internasional mengenai perbatasan wilayah.
Sering apa yang tampak sebagai pelanggaran suatu perjanjian tertentu, yang
dengan demikian merupakan suatu pelanggaran hukum internasional in concreto
di bidang hubungan diplomatik dan konsuler dan perlakuan terhadap orang asing
termasuk miliknya. Ada kalanya kekebalan diplomatik dan konsuler yang dijamin
oleh ketentuan hukum internasional ini terpaksa dilanggar oleh negara tuan rumah
seperti misalnya dalam usaha menangkap atau menundukkan pemberontak yang
berlindung di gedung atau halaman gedung kedutaan atau konsuler negara asing.
9
Bagaimanapun juga secara umum dapat dikatakan bahwa negara tuan rumah
tidak akan melanggar hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik dan konsuler
kecuali ada alasan yang kuat untuk ini dan setelah tidak ada jalan lain untuk
mengatasinya.
Juga mengenai perlakuan terhadap orang asingdan hak milik asing dalam
keadaan tertentu, ketentuan hukum internasional mengenai perlakuan terhadap
orang asing dan milik asing tidak bisa dipertahankan karena ada kepentingan lain
yang lebih mendesak dan lebih tinggi. Prima facie merupakan tindakan yang
melanggar hukum internasional yang memberikan perlindungan kepada orang
asing dan miliknya. Dalam persoalan tindakan pemerintah Indonesia terhadap
perkebunan dan perusahaan lain milik Belanda pada tahun 1958 ini, yang
kemudian dikenal dengan nama Perkara Tembakau Bremen. Keputusan yang
diambil oleh pengadilan Bremen yakni bahwa pengadilan tidak mencampuri sah
tidaknya tindakan ambil alih dan nasionalisasi pemerintah Indonesia itu, secara
tidak langsung dapat diartikan sebagai membenarkan tindakan terhadap
perusahaan dan perkebunan milik Belanda.
Bidang lain dalam praktik hukum internasional ialah hukum laut. Sejak
tahun 1958 yakni tahun diadakannya Konferensi Hukum Laut di Jenewa yang
pertama tidak dapat lagi dikatakan bahwa 3 mil laut merupakan batas lebar laut
teritorial yang berlaku umum. Persoalan penetapan batas lebar laut teritorial
(sepenuhnya) menjadi urusan masing-masing negara? Persoalan batas lebar laut
teritorial itu sepenuhnya diatur oleh hukum nasional negara masing-masing yang
pada hakikatnya berarti penyangkalan terhadap adanya hukum internasional yang
mengatur persoalan ini.
Pendapat
Mahkamah
Internasional
menunjukkan
bahwa
betapapun
lemahnya ketentuan (pembatasan) hukum internasional tentang penetapan lebar
laut teritorial, kesimpulan pokok yang dapat kita tarik darinya ialah bahwa
penetapan batas lebar laut teritorial bukanlah semata-mata merupakan tindakan
sepihak suatu negara.
Pada waktu Konferensi Hukum Laut III di Caracas Venezuela (tahu 1974)
dimulai persoalan batas lebar laut teritorial sudah tidak menjadi masalah lagi
karena tidak ada negara peserta yang dapat menyangkal batas lebar 12 mil sebagai
10
batas yang berlaku umum. Dari uraian pertumbuhan dan terbentuknya kaidah
hukum laut internasional mengenai atas lebar laut wilayah dapat kita tarik
beberapa kesimpulan. Salah satu di antaranya ialah bahwa kita perlu ada
pertentangan hakiki atau fundamental antara tindakan sepihak (unilateral act)
suatu negara dengan hukum internasional.
2.3. Hubungan antar Hukum Internasional dan Hukum Nasional menurut
Hukum Positif Beberapa Negara
Inggris menganut suatu ajaran (doktrin) bahwa hukum internasional adalah
hukum negara (international law is the law of the land). Ajaran ini lazim dikenal
dengan nama doktrin inkorporasi (incorporation doctrine).
Doktrin yang menganggap hukum internasional sebagai bagian hukum
Inggris ini berkembang dan dikukuhkan selama abad XVIII dan XIX dalam
beberapa keputusan pengadilan yang terkenal.
Kemudian terjadi beberapa perubahan dalam arti bahwa doktrin itu tidak
lagi diterima secara mutlak. Dalam menilai daya laku doktrin dalam hukum positif
yang berlaku di Inggris harus pula dibedakan antara: (1) hukum kebiasaan
internasional (customary international law) dan (2) hukum internasional yang
tertulis (traktat, konvensi atau perjanjian).
Doktrin inkorporasi di Inggris itu ada pembatasan dan pengecualiannya,
baik dalam ruang lingkup maupun penerapannya. Namun, dapat dikatakan bahwa
doktrin ini cukup kuat tertanam dalam hukum positif di Inggris. Hal ini terbukti
dari dua dalil yang dipegang teguh oleh pengadilan di Inggris yakni:
(1) dalil konstruksi hukum (rule of construction); menurut dalil ini
undang-undang yang dibuat oleh para Parlemen (Acts of Parliament)
harus
ditafsirkan
sebagai
tidak
bertentangan
dengan
hukum
internasional.
(2) dalil tentang pembuktian suatu ketentuan hukum internasional (rule of
evidence).
Mengenai hukum internasional yang bersumberkan perjanjian internasional
(agreements, treaties and conventions) dapat dikatakan bahwa pada umumnya
perjanjian
yang
memerlukan
persetujuan
Parlemen
memerlukan
pula
11
pengundangan nasional sedangkan yang tidak memerlukan persetujuan badan ini
dapat mengikat dan berlaku secara langsung setelah penandatanganan dilakukan.
Negara lain yang juga menganut doktrin inkorporasi yaitu menganggap
hukum internasional sebagai dari hukum nasional ialah Amerika Serikat. UndangUndang yang dibuat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Congress)
dianggap tidak bertentangan dengan hukum internasional. Akan tetapi, jika suatu
undang-undang (statue) terang-terangan bertentangan dengan suatu ketentuan
hukum kebiasaan internasional (yang lama), undang-undanglah yang harus
dimenangkan.
Amerika Serikat mengenai hubungan antara hukum nasional dan hukum
perjanjian internasional yang menentukan adalah ketentuan (tertulis) konstutusi
Amerika Serikat mengenai hal ini dan bukan perimbangan atau akomodasi antara
hak dan wewenang eksekutif (pemerintah dan Raja) dan Parlemen seperti di
Inggris yang berdasarkan praktik dan kebiasaan. Menurut praktik (hukum positif)
di Amerika Serikat iin, apabila suatu perjanjian internaisonal tidak bertentangan
dengan konstitusi dan termasuk golongan perjanjian yang self executing.
Jayakusuma (2006-2007 : 87) menyatakan “Dalam konstitusi masa kini
(modern) ada kecenderungan mencantumkan secara tegas bahwa hukum
internasional merupakan bagian dari hukum nasional, yang akan mengatasi atau
mengalahkan hukum nasional dalam hal ada pertentangan. Suatu contoh yang
jelas menggambarkan keadaan seperti itu ialah Undang-Undang Dasar (Grund
Gesetz) Republik Federasi Jerman yang dalam Pasal 25 menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional
Jerman”.
Sikap kita terhadap hukum internasional yang ditentukan oleh kesadaran
mengenai kedudukan kita dalam masyarakat internasional yang sedang
berkembang, apabila sikap yang tidak menerima begitu saja kaidah hukum
internasional tradisional itu disertai dengan suatu sikap yang wajar, kita bersikap
hendak mengadakan perubahan ini, sikap demikian selalu dibarengi dengan
kewajaran (reasonableness) dan kepekaan (sensitivity) terhadap hak dan
kepentingan pihak lain dan masyarakat internasional. Sikap demikian telah kita
perhatikan dengan Wawasan Nusantara atau konsepsi nusantara (archipelago),
12
dan hak atas dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil) di sekitar
kepulauan kita yang didasarkan atas doktrinlandas kontinen (continent shelf).
Kiranya praktik Indonesia mengenai Wawasan Nusantara dan landas
kontinent itu merupakan contoh bagaimana suatu praktik negar yang dimulai
dengan tindakan sepihak melalui pelaksanaan kebijaksanaan yang penuh
pertimbangan atas kepentingan pihak-pihak lain dan masyarakat internasional
pada hakekatnya tidak dapat dianggap sebagai bertentangan dengan kepentingan
dan hukum internasional. Jika demikian halnya dengan masalah hubungan antara
hukum internasional dan hukum nasional secara umum dan praktik beberapa
negara termasuk Indonesia.
Kita lebih condong pada sistem negara-negara kontinental Eropa yang
langsung menganggap diri kita terikat dalam kewajiban melaksanakan dan
mentaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa
perlu
mengadakan
lagi
perundang-undangan
pelaksanaan
(implementing
legislation).
Dalam beberapa hal tertentu terutama dalam keadaan kita turut serta dalam
suatu konvensi yang mengandung berbagai perubahan dan pembaharuan,
kelalaian demikian memang bisa menimbulkan keadaan yang kurang diinginkan.
Orang, tentu berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang ada (dan
belum) diubah yang didasarkan atas konvensi yang lama, sedangkan sebagai
negara kita sudah resmi terikat pada konvensi yang baru.
13
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
hukum internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya.
Ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan
kebangsaan masing-masing yang dikenal dengan nama hukum nasional. Dalam
teori ada dua pandangan tentang hukum internasional yaitu pandangan yang
dinamakan voluntarisme, yang mendasakan berlakunya hukum internasional ini
pada kemauan negara, dan pandangan objektivis yang menganggap ada dan
berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara.
Ada dua aliran utama yang dapat menjelaskan hubungan antara hukum
Internasional dan hukum Nasional, yaitu Ajaran Monisme dan Ajaran Dualisme.
1. Ajaran Monisme Dalam ajaran ini hukum Internasional dan hukum
Nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu system hukum, yaitu
hukum pada umumnya.
2. Ajaran Dualisme Dalam ajaran ini hukum Internasional dan hukum
nasional merupakan dua system hukum yang berdeda sama sekali,
dimana hukum Internasional mempunyai sifat yang berbeda secara
intlinsik.
14
Praktik hukum internasional memberikan cukup bahan atau contoh bagi
kesimpulan bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional
dewasa ini hukum internasional cukup memiliki wibawa terhadap hukum nasional
untuk mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan
hukum nasional itu pada hakikatnya tunduk pada hukum internasional.
Bidang lain dalam praktik hukum internasional ialah hukum laut. Sejak
tahun 1958 yakni tahun diadakannya Konferensi Hukum Laut di Jenewa yang
pertama tidak dapat lagi dikatakan bahwa 3 mil laut merupakan batas lebar laut
teritorial yang berlaku umum.
Inggris menganut suatu ajaran (doktrin) bahwa hukum internasional adalah
hukum negara (international law is the law of the land). Ajaran ini lazim dikenal
dengan nama doktrin inkorporasi (incorporation doctrine). Doktrin yang
menganggap hukum internasional sebagai bagian hukum Inggris ini berkembang
dan dikukuhkan selama abad XVIII dan XIX dalam beberapa keputusan
pengadilan yang terkenal.
Dalam menilai daya laku doktrin dalam hukum positif yang berlaku di
Inggris harus pula dibedakan antara: (1) hukum kebiasaan internasional
(customary international law) dan (2) hukum internasional yang tertulis (traktat,
konvensi atau perjanjian).
Doktrin inkorporasi di Inggris itu ada pembatasan dan pengecualiannya,
baik dalam ruang lingkup maupun penerapannya. Namun, dapat dikatakan bahwa
doktrin ini cukup kuat tertanam dalam hukum positif di Inggris.
Negara lain yang juga menganut doktrin inkorporasi yaitu menganggap
hukum internasional sebagai dari hukum nasional ialah Amerika Serikat. UndangUndang yang dibuat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Congress)
dianggap tidak bertentangan dengan hukum internasional. Amerika Serikat
mengenai hubungan antara hukum nasional dan hukum perjanjian internasional
yang menentukan adalah ketentuan (tertulis) konstutusi Amerika Serikat mengenai
hal ini dan bukan perimbangan atau akomodasi antara hak dan wewenang
eksekutif (pemerintah dan Raja) dan Parlemen seperti di Inggris yang berdasarkan
praktik dan kebiasaan. Menurut praktik (hukum positif) di Amerika Serikat iin,
15
apabila suatu perjanjian internaisonal tidak bertentangan dengan konstitusi dan
termasuk golongan perjanjian yang self executing.
Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor
kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat
diperlukan hukum yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul
dari hubungan antar negara. Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah
hukum wajib yang mengatur hubungan antara person hukum internasional
(Negara dan Organisasi Internasional), menentukan hak dan kewajiban badan
tersebut serta membatasi hubungan yang terjadi antara person hukum tersebut
dengan masyarakat sipil.
3.2. Saran
Mahasiswa : Diharapkan agar mahasiswa dapat mempelajari dan
mengerti tentang Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum
Nasional.
Masyarakat : Untuk menambah pengetahuan di kalangan masyarakat
luas mengenai Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum
Nasional.
16
DAFTAR PUSTAKA
Jayakusuma, Zulfikar. 2006-2007. Hukum Internasional. Fakultas Hukum
Universitas Jambi.
17